Pengenalan tokoh, karakter, dan cerita.
Rania Azkadina
Dia adalah seorang gadis remaja yang masih berusia 17 tahun. Dia masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Berasal dari keluarga yang terbilang kurang mampu, cukup untuk makan sehari-hari saja mereka sudah sangat bersyukur. Untuk biaya Sekolahnya dia harus bekerja seadanya. Apa saja yang bisa jadi uang ia kerjakan, yang penting halal.
Rania adalah putri bungsu dari sepasang suami istri, yakni Pak Burhan dan Bu Sari. Rania mempunyai 2 orang kakak, yang pertama laki-laki bernama Raditya Andhika. Dan yang kedua bernama Nadira Khoirunnisa. Pak Burhan, ayah dari ketiga anak itu mempunyai watak yang keras kepala, keras terhadap anak dan istrinya. Walaupun demikian, Pak Burhan tetap menyanyangi keluarganya. Raditya mempunyai watak yang sama persis dengan ayahnya. Sedangkan Bu Sari, Ibu dari mereka bertiga mempunyai watak yang sangat lemah lembut terhadap anak dan suaminya. Begitupun dengan Nadira, sama halnya seperti Ibunya. Sedangkan Rania memiliki sifat dari keduanya.
Rania, harus rela berkorban demi keselamatan ibunya. Dia menjadikan dirinya jaminan jika hutangnya tidak mampu ia bayar. Dia rela meninggalkan pendidikannya demi menikahi pria kaya yang memberi pinjaman uang untuk keselamatan ibunya. Dia harus terpaksa menikahi Tuan tajir yang ternyata ia hanya di jadikan status untuk kepentingan dirinya sendiri.
Bagas Ardinata Kusuma
Itulah namanya. Seorang pria yang memimpin di perusahaan milik ayahnya yang terkenal kaya raya. Sejak kecil ia tinggal bersama ayahnya dan kakak perempuannya, ibunya meninggal dunia ketika melahirkannya. Bagas tumbuh besar tanpa mendapat kasih sayang dan didikan dari seorang ibu. Ayahnya yang sibuk bekerja sampai tidak sempat memberi perhatian kepada anaknya. Yang ayahnya berikan hanyalah uang, uang dan uang. Padahal yang Bagas inginkan adalah sebuah perhatian. Katanya, Bagas ini orangnya baik. Itu baru katanya, belum tahu dengan kenyataannya.
Pria ini sangat di cintai oleh setiap wanita yang melihatnya. Bukan sekedar wajahnya yang tampan, tapi juga karena kekayaannya. Tapi sayangnya, pria ini tidak bisa di taklukan oleh wanita manapun. Sikapnya yang dingin dan sekali bicara bisa membuat orang sakit hati ini, sulit untuk wanita menaklukan hatinya. Makanya, sampai sekarang dia belum juga menikah. Padahal, usianya sudah menginjak 34 tahun.
*****
Seiring berjalannya waktu, Bu Sari mengalami sakit yang cukup parah. Sehingga harus segera di bawa ke Rumah Sakit. Namun, kondisi mereka yang minim dalam segi materi, terpaksa mempertimbangkan terlebih dahulu. Apakah Ibunya akan di bawa ke Rumah Sakit atau hanya berdiam diri di rumah menahan rasa sakitnya yang cukup parah itu.
Bu Sari hanya bisa terbaring lemah dan tak berdaya di tempat tidurnya yang jauh dari kata mewah. Di temani oleh ketiga anak dan suaminya di sana, mereka terus memusyawarahkan tentang kondisi Bu Sari yang harusnya segera di bawa ke Rumah Sakit.
Kemudian Raditya menarik lengan Rania dan membawanya keluar dari kamar Ibunya. Mereka berdua berdiri yang tidak jauh dari pintu kamar Ibunya.
"Rania, abang sudah cukup lama bekerja di sebuah perusahaan milik Pak Brahma, yang sekarang di pimpin oleh anaknya yang bernama Bagas. Apa salahnya jika kita meminjam uang kepada beliau untuk membawa Ibu ke Rumah Sakit." Ucap Raditya kepada Rania.
Radithya bekerja di kantor itu sebagai OB, dan sekarang terpaksa tidak masuk karena Ibunya yang sakit parah itu.
"Lantas?" Tanya Rania.
"Apa kamu tidak kasihan melihat Ibu yang terbaring tidak berdaya, Ibu harus segera di bawa ke Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan. Abang minta kamu menemui Tuan Bagas, pemimpin perusahaan itu untuk meminjam uang dengan alasan demikian."
"Kenapa tidak bang Radit saja, kan abang yang bekerja di sana? Kenapa harus Rania?"
"Tuan Bagas itu katanya orang baik. Walaupun abang sudah lama bekerja di sana. Tapi abang jarang bertemu dengannya, apalagi bicara. Dia masih lajang. Apa salahnya jika kamu.."
"Maksud abang?" Tanya Rania.
"Apa kamu bersedia, menukar diri kamu dengan sebuah nominal demi Ibu?"
Pertanyaan Raditya barusan, membuat Rania sangat terkejut. Tidak percaya dengan perkataan abangnya barusan. Apakah harga diri Rania serendah itu? Atau bahkan abang Rania menganggap sepele dengan harga dirinya. Air matanya mengalir deras di pipinya. Antara harga diri, pendidikan dan Ibunya, Rania bingung harus mengorbankan semuanya.
"Bagaimana dengan Sekolah Rania bang? Selama ini, Rania bersusah payah untuk mempertahankan pendidikan Rania, dengan mencari uang dengan cara apa saja, supaya Rania tidak kehilangan Sekolah Rania. Dan sekarang, tinggal menunggu beberapa bulan lagi Rania akan lulus SMA, apa Rania harus mengorbankan semuanya." Rania menangis tersedu-sedu, isak tangisnya terdengar semakin keras.
"Apa kamu tega, melihat Ibu terbaring di kasur dalam keadaan lemah tak berdaya? Apa kamu harus menunggu kehilangan Ibu terlebih dahulu, kemudian menyesal.?"
Pertanyaan-pertanyaan yang di katakan Raditya barusan membuat air mata Rania semakin deras, kini Rania merasa dilema.
"Kenapa tidak Kak Nadira saja? Lagi pula kak Nadira sudah lulus Sekolah dan belum mendapatkan pekerjaan." Tanya dan saran Rania.
"Kamu tidak usah menawar Rania. Sekarang cepat lakukan apa yang abang katakan tadi." Kemudian Radithya pergi sebentar dan kembali membawa secuil kertas.
"Ini." Secuil kertas di berikan kepada Rania.
"Ini alamat kantornya." Ucap Raditya.
Tangan Rania bergetar ketika mengambil secuil kertas yang abangnya berikan. Rania ragu, apakah dia benar-benar akan pergi ke kantor itu untuk menemui Pak Bagas?
Abangnya kembali ke kamar Ibunya meninggalkan Rania sendirian yang masih menangis. Rania mematung, tetapi air mata matanya semakin menderas, dan isak tangisnya yang semakin mengeras. Dia tidak punya pilihan lagi, dia tidak ingin sampai kehilangan Ibunya.
Bersambung...
SELAMAT MEMBACA!
Follow ig: wind.rahma
Pemberitahuan!
Visual bisa di lihat di akun youtube saya, di channel Windy Rahmawati.
-Visual Bagas (TUAN TAJIR)
-Visual Rania (TUAN TAJIR)
-Visual Bagas dan Rania (TUAN TAJIR)
Yuk, tonton sekarang juga!
SUBSCRIBE, biar mendapat notifikasi ketika adegan nyata visualnya di update!
Rania mematung di depan gedung yang sangat besar dan luas. Matanya sibuk memandangi gedung itu. Baru kali ini dia melihat gedung sebesar ini. Secuil kertas yang tadi di berikan oleh abangnya masih Rania genggam di tangannya. Kemudian Rania membuka secuil kertas itu untuk memastikan alamatnya. Dan benar, gedung yang sedang berada di hadapannya adalah alamat yang di berikan oleh abangnya.
Rania mencoba akan memasuki gedung itu. Tapi langkahnya di hentikkan oleh Security.
"Nona siapa? Ada keperluan apa datang ke kantor ini?" Tanya Security itu dengan tegas.
"Saya ingin bertemu dengan Tuan Bagas, Pak. Pemimpin perusahaan ini." Jelas Rania pada Security itu.
"Apa sebelumnya ada janji?"
"Belum Pak, tapi ada hal penting yang akan saya sampaikan pada Tuan Bagas."
"Kalau begitu Nona tidak boleh masuk. Silahkan Nona pergi dari sini." Usir Security.
"Tapi Pak, ini penting sekali buat saya."
Rania mencoba menerobos untuk masuk, tapi Security ini tetap menahannya. Ketika perdebatan ini berlangsung, tiba-tiba datang seorang pria keluar dari gedung itu. Kedatangan seorang pria mengenakan jas hitam dan kaca hitamnya menghentikan perdebatan antara Rania dan Security.
"Ada apa ini?" Tanya pria itu membuat Rania sontak kaget dengan kedatangannya, dan Security juga merasa takut dengan atasannya.
"Ini Pak, gadis ini ingin bertemu dengan Bapak." Jelas Security dengan tegas.
Kemudian pria ini membuka kacamata hitamnya. Melihat baik-baik siapa gadis yang ingin bertemu dengannya.
"Ikut saya." Ucap Bagas pada Rania.
"Baik, Tuan."
Kemudian Bagas kembali melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung besar itu, dan Rania mengikuti langkahnya dari belakang.
Security yang sudah bekerja selama puluhan tahun di sana seketika terkejut mendengar ucapan Bagas barusan. Karena baru kali ini ada orang asing yang ingin bertemu dengannya langsung di bawa masuk. Sebelumnya, Bagas tidak mengizinkan siapapun masuk kecuali karyawannya.
******
Bagas membawa Rania ke ruangan pribadinya. Rania menatap ruangan pribadi Bagas dan seisinya satu persatu. Bagas yang sudah duduk di kursi meja tempat dia bekerja tersenyum remeh melihat gadis yang sedang berada di hadapannya itu.
Gadis berpenampilan gaya anak desa ini adalah satu-satunya orang yang menginjakkan kaki di ruang pribadinya setelah karyawannya.
"Duduk." Bagas mempersilahkan duduk kepada Rania.
Kemudian Rania menganggukkan kepalanya pelan dan dia duduk di hadapannya.
"Ada perlu apa kamu sama saya?" Tanya Bagas dengan nada dingin.
Rania mencoba mengangkat kepalanya yang tertunduk. Mencoba mengatakan maksud kedatangannya. Tapi sebelumnya, Rania harus mengumpulkan mental yang sangat kuat untuk mengatakannya.
"Saya Rania Tuan, adik Bang Raditya yang bekerja di sini sebagai OB. Maksud kedatangan saya ke sini.."
"Katakan."
"Maksud kedatangan saya ke sini, saya mau meminjam uang kepada Tuan. Itupun jika Tuan memberikan."
Bagas tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan gadis yang sedang berada hadapannya. Bagas berdiri dari kursinya dan mencondongkan tubuhnya ke arah Rania. Kedua tangannya ia letakkan di atas meja.
Wajah Rania semakin tertunduk, tangannya sibuk memainkan jemarinya yang semakin dingin dan bergetar.
"Apa jaminannya jika saya tertarik memberimu pinjaman uang?"
Gadis di hadapannya itu akan memberikan apapun termasuk dirinya sendiri. Mengorbankan pendidikan yang selama ini ia pertahankan agar tidak putus di tengah jalan. Bagas tertawa terbahak-bahak, padahal ia mampu mendapatkan wanita yang jauh lebih cantik, sexy, dan sederajat dengannya jika ia mau.
Bagas seketika terdiam. Bagas memandangi tubuh gadis berusia 17 tahun yang masih duduk dengan wajah tertunduk di hadapannya itu. Tubuh gadis itu terlihat sangat segar dan berisi. Rambut sebahunya yang berwarna kecoklatan, kulit putih, hidung mancung dan bibir kemerahan walaupun tanpa lipstik. Bagas menatap lekat gadis itu, kemudian ia tersenyum licik. Entah apa yang sedang ia pikirkan tentang gadis ini.
Bagas kembali duduk di kursinya. Dan merogoh ponsel di balik jas hitamnya. Kemudian ia memainkan ponselnya seperti sedang mengirim pesan kepada seseorang.
Tidak lama setelah itu, seorang pria masuk ke ruangan Bagas dengan membawa sebuah tas koper kecil berwarna hitam. Pria itu berdiri di sampingnya, lalu memberikan tas koper itu kepada Bagas yang di letakkan di atas meja di hadapannya.
"Ini Tuan."
Bagas membuka isi tas koper kecil itu, memeriksa isinya yang ternyata adalah uang. Kemudian Bagas mengambil selembar uang itu dan menutup kopernya kembali. Bagas meminta pulpen yang berada di saku kemeja pria itu, pria itupun memberikannya. Kemudian Bagas menulis di selembar uang seratus ribuan itu. Waw, benar-benar anak Sultan, menulis di atas selembar uang. Rania yang menyaksikannya di sana melihat dengan tatapan tidak suka dengan pria di hadapannya yang itu.
Kemudian Bagas memberikan selembar uang kertas yang sudah ia tulisi kepada Rania.
"Besok kamu datang ke alamat ini." Kata Bagas.
Kemudian Rania mengambil selembar uang yang bertulisan alamat itu. Bagas menyerahkan tas koper hitam yang berada di hadapannya itu, sehingga tas koper itu berada dekat di hadapan Rania. Rania dan pria yang berdiri di samping Bagas itu sontak kaget melihat Bagas yang langsung menyerahkan uang segitu banyaknya begitu saja. Rania tersenyum di hadapan mereka, karena ia berhasil mendapat pinjaman uang untuk segera membawa ibunya ke rumah sakit. Jika bukan karena niatnya untuk segera membawa Sang Ibunda tercinta ke Rumah Sakit, mungkin Rania tidak akan sampai meminjam uang kepada pria yang tidak ia kenal ini.
Rania berdiri dari kursinya, kedua tangannya memeluk tas koper hitam itu.
"Terimakasih, Tuan." Ucap Rania.
Ternyata benar, Tuan Bagas ini orangnya baik. Begitu gumamnya.
Kemudian Rania pergi meninggalkan ruangan pribadi milik pria kaya itu. Pria yang sedari tadi berdiri di samping Bagas merasa iba kepada Rania. Terlihat dari wajahnya yang merasa kasihan ketika Bagas memberi uang di tas koper sebanyak itu tadi. Sepertinya gadis itu benar-benar membutuhkan uang. Pikirnya. Pria itu adalah Frans, Sekertarisnya Bagas.
"Dia siapa Tuan?" Tanya sekertaris Frans.
Bagas tidak menjawab pertanyaan sekertaris Frans. Bagas hanya melirik Frans kemudian tersenyum sinis.
******
Rania masuk ke dalam rumah dengan langkah yang terburu-buru. Rania langsung masuk ke kamar ibunya. Di sana, ayah dan kedua kakaknya menatap lekat Rania yang membawa tas koper hitam berisi uang itu. Sementara Radithya tersenyum melihat Rania berhasil membawa uang hasil pinjamannya.
"Uang dari mana itu Rania?" Tanya Burhan, ayahnya.
"Ayah, yang terpenting sekarang adalah segera membawa ibu ke rumah sakit." Jawab Rania.
Kemudian Burhan mengangguk cepat.
"Baiklah."
Burhan dan Radit segera membopong ibunya, di luar sudah ada ambulance yang sebelumnya sudah Nadira telpon untuk datang. Petugas ambulance membantunya. Burhan dan Nadira ikut masuk ke dalam ambulan, sementara Rania dan Radit menunggu di rumah.
Radit menarik lengan Rania masuk ke dalam rumah ketika mobil ambulance sudah pergi.
"Bagaimana kamu bisa berhasil meminjam uang kepada Tuan Bagas, Rania?" Tanya Radit penasaran.
"Rania juga tidak tahu bang, tapi Rania di minta untuk datang ke alamat yang tadi Tuan Bagas sempat berikan." Rania menjelaskan.
Radit hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian mengajak Rania pergi menyusul ibunya ke rumah Sakit.
Bersambung...
Hari ini Rania terpaksa tidak memakai seragam sekolahnya lagi. Lagi-lagi ia harus absen karena ada keperluan yang menurutnya lebih penting. Kali ini Rania harus berpenampilan rapi dan anggun. Seperti yang Tuan Bagas minta dalam tulisan di selembar uang itu. Rania juga tidak tahu kenapa dia memintanya untuk seperti itu. Selembar uang yang bertuliskan alamat masih ia genggam erat, ia berdiri di depan rumah mewah milik Tuan Bagas. Sebuah istana yang Rania impikan sejak kecil untuk menempati tempat seperti di hadapannya itu.
Kemudian Rania berjalan menuju pintu masuk rumah itu. Rania mengetuk pintunya.
Toktoktok
Bibi pengurus rumah membuka pintunya, kemudian Rania di persilahkan untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Ternyata bukan hanya luarnya saja, isi rumahnya pun benar-benar meyakinkan bahwa yang sedang ia masukki adalah istana.
Terlihat seorang pria sedang turun menapaki anak tangga. Rania seketika berdiri ketika melihat pemilik rumah itu datang. Bagas menghentikan langkahnya ketika melihat penampilan Rania hari ini yang jauh lebih cantik daripada kemarin.
Bagas terus memandangi tubuh Rania dari ujung kaki sampai ujung rambut. Bagas sangat terpesona oleh gadis remaja itu. Seketika bagas tersadar, ia tidak boleh tertarik begitu saja oleh gadis miskin seperti Rania. Bagas melanjutkan langkahnya untuk turun.
Bagas mempersilahkan Rania duduk kembali. Tidak lama kemudian, masuk 2 orang pria. Mereka adalah sekertaris Frans dan Brahma ayah Bagas.
Brahma dan sekertaris Frans langsung duduk.
"Jadi ini." Ucap Brahma pada Bagas dengan menunjuk ke arah Rania yang tidak tahu apa-apa.
Bagas menganggukkan kepalanya. Kemudian sekertaris Frans meletakkan beberapa berkas beserta pulpen ke atas meja yang sedari tadi ia bawa. Bagas langsung menandatangani berkas itu. Rania semakin bingung, sebenarnya apa yang sedang mereka rencanakan.
"Kapan pernikahannya akan berlangsung?" Tanya Brahma menatap Bagas dan Rania secara bergantian. Rania di buat kaget dengan pertanyaan yang Brahma lontarkan barusan.
Pernikahan? Siapa yang mau menikah? Gumam Rania.
"Secepatnya." Jawab Bagas dengan cepat.
Rania yang sedari tadi diam mulai membuka suara.
"Maaf tuan, yang di maksud tuan siapa?" Tanya Rania pada Brahma.
"Kamu dan Bagas." Jawab Brahma.
"Saya?" Rania semakin di buat bingung.
"Saya kan sudah janji pada Bagas anak saya, jika dia segera mempunyai istri. Saya akan mewariskan seluruh harta saya kepada Bagas. Dan sekarang, Bagas sudah membawa kamu, calon istri Bagas." Jelas Brahma.
"Tapi.." Belum sempat Rania bicara, tapi Bagas sudah memotong pembicaraannya.
"Terimakasih Pah, Bagas janji akan secepatnya melangsungkan pernikahan ini." Ucap Bagas seraya memegangi tangan Brahma.
"Iya." Jawab Brahma menepuk pundak Bagas pelan.
Kemudian Brahma segera berdiri dari kursinya. Dan pamit untuk pergi karena ada meeting hari ini. Sekertaris Frans yang tadi menjemput Brahma ikut pergi, karena harus mengantarnya kembali.
Di ruang tamu, hanya ada Bagas dan Rania. Rania sudah tidak dapat menahan rasa penasaran atas apa yang mereka rencanakan yang melibatkan dirinya. Baru saja ia akan membuka mulutnya, tapi Bagas sudah terlebih dahulu melemparkan sebuah berkas yang sekertaris Frans berikan sebelum ia pergi. Berkas itu di lemparkan tepat mengenai wajah gadis yang berada di hadapannya.
"Cepat kamu tanda tangani." Suruh Bagas dengan nada tinggi.
"Tapi ini apa, tuan?" Tanya Rania yang memegang berkas itu.
"Tidak usah banyak tanya. Sekarang juga kamu tanda tangan." Suruhnya lagi.
Rania tidak bisa berontak, karena pria ini sudah memberinya pinjaman uang untuk keselamatan ibunya. Rani langsung mengambil pulpen bekas Bagas tadi yang masih tergeletak di atas meja. Tangannya gemetar ketika memegang pulpen. Rania masih ragu untuk menandatangani sebuah berkas yang ia tidak tahu apa isinya. Yang bisa Rania baca di sana hanyalah surat perjanjian.
"Cepat." Bentak pria sombong itu dan berdiri dari kursinya.
Akhirnya Rania menandatangani berkas itu. Bagas langsung merampas berkas itu dari tangan Rania dan tertawa terbahak-bahak.
"Terimakasih gadis bodoh. Sekarang hutangmu sudah lunas." Ucapnya setelah puas tertawa.
Lunas? Kenapa bisa lunas begitu saja? Apa aku baru saja melakukan sesuatu? Gumam Rania.
"Saya tidak mengerti dengan apa yang tuan katakan."
"Terimakasih. Karena kamu, seluruh harta ayah saya akhirnya jatuh ke tangan saya. Besok lusa, kamu akan menikah dengan saya."
"MENIKAH??" Tanya Rania sangat terkejut setelah mendengar ucapan Bagas barusan.
"Iya. Tapi, jangan mimpi kamu akan menjadi istri saya yang sebenarnya. Dengan kamu menanda tangani surat perjanjian itu. Kamu harus taat dengan peraturan yang sudah saya buat dalam surat perjanjian itu." Jelas Bagas pada Rania.
Rania langsung berlutut di kaki Bagas.
"Tuan, saya janji akan melunasi hutang saya. Saya hanya butuh waktu untuk melunasinya. Saya tidak mau jika saya harus menikah dengan tuan, saya masih harus melanjutkan sekolah saya yang tinggal beberapa bulan lagi. Sekolah yang saya pertahankan selama ini demi mendapatkan selembar kertas bertulisan LULUS. Karena itu satu-satunya cara yang menurut saya akan mengubah masa depan saya. Saya mohon tuan." Ucap Rania memeluk erat kaki pria sombong itu.
Bagas mendorong Rania dengan kakinya, membuat tubuh Rania terdorong keras. Pria ini bukan hanya sombong, tapi juga kejam. Rania mulai meneteskan air matanya, merasa dirinya sangat hina di depan pria kejam ini.
"Percuma wahai gadis bodoh. Keputusan saya tidak bisa di ganggu gugat. Sekalipun kamu menangis darah di hadapan saya, saya tidak akan pernah mengubah keputusan yang sudah saya buat." Jawab pria itu dengan egois.
"Kamu baru saja menandatangani surat perjanjiannya. Itu berarti, kamu menyetujui dengan keputusan saya." Lanjutnya.
Kemudian Rania berdiri menghadap pria kejam yang akan merampas hak asasinya.
"Baiklah. Semua itu akan saya lakukan demi ibu saya." Kata Rania pasrah.
"Bagus." Ucap Bagas, bibirnya menyeringai.
Tanpa pamit, Rania pergi meninggalkan pria sombong dan kejam ini. Air matanya menetes tiada henti. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya ia kepalkan untuk menguatkan diri dan hatinya. Rasanya Rania ingin menarik ucapannya ketika berpikir bahwa pria ini benar-benar orang baik. Sekarang Rania tahu, sifat asli pria itu.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!