Tengah malam yang sunyi senyap, derap langkah kaki itu begitu lantang terdengar, tergesa-gesa menyambut deringan panjang tiada henti dari ruang tamu. Mengaum seakan menulikan telinga seketika. Wanita tua itu bersungut-sungut tak jelas, sedikit kesal pada sang penelepon - mengganggu ketenangan istirahatnya yang nyaman.
"Yes, kediaman keluarga Oswalden. Ada yang bisa saya bantu?!" sapa wanita itu ramah di tengah-tengah suara serak bangun tidurnya.
"Datanglah ke rumah sakit Internasional Kanada, seorang pasien bernama Davina Oswalden mengalami kecelakaan---"
Tubuh wanita tua itu bergetar hebat, kakinya tak mampu lagi untuk menopang tubuh tuanya. Hingga dia pun beringsut jatuh terduduk lemas di lantai yang dingin ini. Isakan demi isakan kecil lolos dari cela bibirnya yang terkatup rapat - ketika mendengar kabar yang mengejutkan dunianya. Tanpa disadarinya, telepon yang dipegangnya sebegitu eratnya telah terlepas sedari tadi - dibiarkan menggantung begitu saja di sebelahnya. Bahkan suara panggilan sang operator rumah sakit dari speaker telepon jadul itu, tak lagi terdengar oleh telinga wanita tua ini.
"Hallo?! Hallo?! ...."
Wanita tua itu hanya bisa tergugu-gugu, tak mampu untuk berbuat apa-apa lagi. Dia bingung. Bahkan ketika putrinya datang menghampiri, dirinya tak menyadarinya.
"Mom ... siapa yang menelepon?" Suara wanita lebih muda darinya, menyelanya - membuyarkan rasa bingungnya.
"Arlana ... Vina kecelakaan ..."
*This Is Your Baby*
Deru napas itu terengah-engah bersama tiga pasang kaki terus berlari-lari. Dalam keadaan panik dan kalut, lorong yang mereka telusuri seakan tak ada ujungnya. Bau obat-obatan serta suara riuh; baik itu pasien maupun dari pihak rumah sakit, menyatu di udara memenuhi gedung serba putih itu. Tak dihiraukan lagi oleh tiga pasang kaki ini, terus berlari mengejar waktu.
Pria paruh baya itu membuka paksa pintu yang tertutup rapat. Menghiraukan seruan larangan dari sang perawat yang sedang berjaga di depan kounter resepsionist.
"Dokter bagaimana keadaan putri kami?!" seru pria paruh baya itu di tengah deru napasnya yang tersengal-sengal.
Sang dokter berbalik. Dan ketiga mata orang di belakangnya langsung tertuju pada satu sosok manis di atas ranjang tersebut. Bibir mereka kelu, tubuh mereka kaku. Dunia mereka berhenti berputar.
Davina Oswalden, anak mereka atau pun adik mereka. Terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang dengan alat ventilator yang dihubungkan melalui selang ke mulut-nya; sebagai oksigen penyatu kehidupannya saat ini. Sedangkan alat monitor di sampingnya, terus memperlihatkan grafis naik-turun pergerakan kinerja tubuh Davina.
"Dilihat dari kepalanya yang terbentur keras. Kemungkinan pasien Davina akan mengalami amnesia. Saat siuman nanti, kemungkinannya ... ingatannya akan kembali pada kejadian dua tahun yang lalu," jelas sang dokter muda yang khusus menangani Davina.
"I-itu artinya ... dua tahun yang dijalani sekarang ini--- putriku tak mengingatnya?!" tanya sang kepala keluarga---Mr. Oswalden--- seraya terus menatapi wajah manis putri keduanya ini.
Dengan mantap, dokter muda yang saat ini memakai kacamata ber-frame bulat itu mengangguk.
"Astaga!" Ny. Oswalden tercekat, segera menutup mulutnya rapat-rapat, tak sanggup membayangkan putrinya tidak bisa mengingat kehidupan dua tahun belakangan ini.
Semua terdiam menatap lekat sosok Davina. Perhatian mereka pun beralih pada bayi laki-laki mungil berusia lima bulan dalam dekapan Arlana, Eleanore Oswalden atau ....
"Jadi Vina kita takkan mengingat siapa Baby El, Mom?" Arlana semakin mendekap erat sang keponakan lucunya. Seolah ada orang lain yang mengintai keberadaan sosok mungil ini.
"Ya ...."
"Itu artinya, semua yang berhubungan dengan orang itu ... keluarga itu ... juga dilupakannya?!"
"Tentu Lana, mungkin Tuhan mencoba memberikan kebahagiaan tersendiri untuk Vina kita. Sudah terlalu lama dia menderita ..." bisik Mr. Oswalden, menggantikan istrinya menjawab pertanyaan putri pertamanya.
*This Is Your Baby*
"Mom, Dad! Vina sadar ..."
Wanita dan lelaki paruh baya itu tersentak bangun dari tidurnya ketika putri pertama mereka berseru panik dan gembira. Sontak mereka berlari ke arah ranjang dengan perasaan harap-harap cemas menggelayuti.
Apakah sosok manis ini melupakan mereka?
"Vina, kau mengenal kami?!" serbu Ny. Oswalden tak sabaran menunggu putranya mengenali keadaan di sekitarnya.
"Di mana ini?! Ini bukan kamarku," Alih- alih menjawab pertanyaan khawatir orang terdekatnya, sosok manis itu menelisik seluruh ruangan asing yang tampak asing di matanya.
"Di rumah sakit nak," jawab wanita paruh baya itu. Jantungnya berdetak kencang, gugup akan sosok manis putrinya.
"Vina, kau tahu siapa yang berdiri di depanmu?" ulang wanita itu lagi.
Davina mengernyit sekilas akan pertanyaan ibunya.
"Eung ... tentu saja Mommy---" Davina menghentikan kalimatnya sekilas, kemudian irisnya beralih pada pria paruh baya di samping ibunya. "Ini Daddy, dan Kak Lana," tunjuknya bergantian.
"Ya, kau benar. Ini kami Sayang."
Serentak semuanya mengembuskan napas lega, begitu sosok manis ini mengenali seluruh anggota keluarganya.
Kedua alis Davina bertautan, ketika beralih menatap lekat bayi berambut almond, berpipi gembul, dengan warna mata coklat bening seperti dirinya. Sang bayi juga menatap polos dirinya seraya mengisap jempol mungilnya.
"La-lalu ... siapa bayi lucu dalam gendongan Kak Lana itu?!"
Semua hening seketika. Ketiganya saling berpandangan. Kedua wanita itu menganggukkan kepalanya, menatap penuh arti pada sang kepala keluarga, menyerahkan sepenuhnya keputusan pada pria paruh baya itu.
"Namanya Eleanore Oswalden. Panggilannya Baby El, dia anak kakakmu, Arlana."
Jangan lupa guys, kakak-kakak yang cantik & ganteng, adik-adik yang emes 😍, kasih like, vote dan komentarnya biar semangat nulis ceritanya 🤗😉, oke 👍.
Sampai jumpa lagi di next chapter 🤗💜💜.
Gadis manis itu mendekap erat sekotak susu dalam rengkuhan tubuh kurusnya, pucuk rambut almond-nya bergerak-gerak kecil tertiup angin. Menyibak bagian helai depan rambutnya yang menutupi dahinya, lalu menyelipkannya ke samping telinganya, hingga terlihatlah mata indah dengan pancaran iris coklat di dalamnya.
Davina memandang lekat bangunan sederhana di depannya, dengan tanaman-tanaman berbagai jenis menghiasi pekarangan rumahnya. Rumah yang telah dihuninya, dari dirinya lahir sampai berdiri tegak sekarang ini, tentunya bersama kedua orang tua dan satu kakak perempuannya, Arlana Oswalden.
Oh satu lagi. Tambahan anggota keluarganya. Seorang bayi mungil dan lucu. Entahlah dia tidak ingat, kapan kakaknya menikah hingga punya bayi laki-laki berumur lima bulan. Bahkan dia belum pernah bertemu suami dan ayah bayi dari kakaknya ini. Bagaimana bentuk rupa wajahnya atau mungkin namanya, sama sekali belum tahu.
Seminggu yang lalu. Tepatnya ketika dia membuka mata pertama kalinya, di rumah sakit Internasional Kanada. Dilihatnya sang kakak - Arlana. Mendekap erat bayi laki-laki, yang diketahuinya sering dipanggil Baby El oleh keluarganya. Dan ketika dia bertanya. Siapa Baby El, ayahnya menjawab itu anak kakaknya.
Hal itu mengundang berbagai tanya dibenaknya, tetapi niat untuk bertanya segera diurungkan, kala melihat ekspresi wajah kakaknya - tak siap untuk diberi pertanyaan olehnya. Hingga kini, dia belum berani bertanya apa-apa soal Baby El pada kakak dan kedua orang tuanya.
Setiap dia ingin mengarahkan pembicaraan siapa Baby El, orang tua dan kakaknya menghindari dan mengalihkan ke topik lainnya. Seakan-akan mereka punya rahasia yang tidak diketahuinya selama ini.
Ya! Semenjak dia sadar dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, dokter dan orang tuanya mengatakan kalau dia mengalami retrograde amnesia. Di mana dia tak bisa mengingat peristiwa dan kejadian selama dua tahun belakangan ini. Termasuk melupakan siapa Baby El, sang keponakan lucunya itu.
Davina meniup poninya yang kembali menjuntai. Sayup-sayup telinganya menangkap suara tangisan Baby El yang menggema di rumahnya, seketika saja mengempaskannya kembali ke bumi dari lamunan sesaatnya tadi.
Gadis itu bergegas melangkahkan kakinya lebar-lebar, tergesa-gesa memasuki pekarangan rumahnya. Mungkin Baby El sudah kehausan, menunggu dirinya yang membeli sekotak susu yang jarak tempuhnya memakan waktu setengah jam bolak-balik antara rumahnya dan minimarket terdekat.
Setengah jam yang lalu, persediaan susu untuk Baby El telah habis. Dan dia menawarkan diri untuk membelinya pada sang kakak yang berusaha mendiamkan tangisan Baby El. Tentu akan repot bila Arlana yang membelinya sendiri, sementara wanita cantik itu juga harus mengasuh Baby El, belum lagi untuk bersiap-siap pergi bekerja.
Sedikit miris, bila dia melihat kehidupan kakaknya. Seorang diri mengasuh putranya, tanpa ada suami yang bertanggung jawab di sisinya. Ditambah lagi kakaknya yang merupakan seorang wanita karier. Selama seminggu ini, dialah---setelah sadar dari koma sesaatnya---mengasuh Baby El bersama ibu mereka.
"Aku pulang ..." sapa gadis manis itu membuka pintu, segera melepas sneakers putih polosnya dan melemparnya asal. Menghiraukan seruan dari halaman rumahnya. Sang ibu yang menggerutu sebal padanya, karena tidak sengaja tadi menginjak tanaman merambat kesayangannya. Well, baru sehari yang lalu sang ibu menanamnya, dan dia telah seenaknya menghancurkannya.
Davina menatap lekat punggung kakaknya, sedang berusaha mendiamkan Baby El. Kedua pipinya yang montok dan bulat tampak kemerahan karena terus menangis.
"Kak, ini susunya." Davina meletakkan sekotak susu di atas meja makan.
"Ah, kau kembali juga, Vina." Arlana menoleh padanya. Tersenyum lega bagaikan permasalahan yang---menggunung di dadanya---selama ini menghimpitnya terlepas begitu saja.
"Cepatlah Kak, buatkan susunya! Kasihan Baby El menangis terus."
Davina segera meraih dan mengambil alih Baby El dari tangan Arlana, membiarkan kakaknya membuatkan susu untuk Baby El.
"Aih, kenapa dia berhenti menangis bila dalam gendonganmu." Arlana menggerutu sebal, mulai menyibukkan diri di balik konter dapur.
"Kak Lana, itu karena aku Aunty-nya--- Huft. Kakak sih, kerja terus dari pagi sampai malam. Bisa-bisa Baby El melupakan siapa Mommy...nya,” celetuk Davina tanpa sadar. Buru-buru gadis itu menutup mulutnya, ketika melihat ekspresi wajah kakaknya yang tak terbaca.
"Melupakan Mommy-nya, ya ...."
"Eh ... b-bukan begitu, Kak,--- ah maafkan aku, Kak Lana." Davina tergagap. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat dan menatap bersalah pada kakaknya. Karena ucapannya, wanita cantik itu jadi sedikit terganggu, dan menghentikan sejenak menyeduh susu.
"Hm! Tak apa, Vina. Jangan dipikirkan." Arlana tersenyum simpul, mengembuskan napas pendek dan kembali berkutat dengan susu Baby El.
“Maaf, ya, Kak,” lirih Davina.
“Iya, iya. Kakak sudah memaafkanmu. Tidak usah dipikirkan lagi. Oke?”
“Oke.” Meski masih mengganjal dalam hati, Davina memaksakan bibir plum-nya tersenyum kecil. Diperhatikannya begitu lekat Arlana sembari memikirkan sesuatu.
"Kak, boleh aku tanya sesuatu?" tanyanya hati-hati.
"Hmmm."
Davina menarik napas pendek, dia anggap gumaman kakaknya tanda setuju akan pertanyaannya nanti.
Ya! Dia tidak sanggup lagi menanggung rasa penasaran tinggi dalam benaknya, dan itu harus ada jawabannya dari belah bibir wanita berumur lima tahun lebih tua darinya ini.
"Apa benar, ayah dari Baby El ini,--- Kak Darrel?!"
Prang
Tremos yang ada di tangan Arlana meluncur bebas dari tangannya, jatuh pecah berhamburan ke lantai.
"Lana? Vin--- Astaga! Apa yang terjadi, Nak?"
Suara ibu mereka menyeruak di antara keterpakuan keduanya, wanita tua itu segera meraih Baby El dari tangan Davina. Bayi itu ikut menangis, terkejut oleh suara benda pecah barusan.
Sementara itu, Davina masih tersentak kaget dan diam bergeming secara bersamaan, bingung melihat reaksi kakaknya. Dari reaksinya, benarkah pacar kakaknya yang berbuat seperti itu? Atau ada pria lainnya?
"Tak terjadi apa-apa, Mom, hanya saja tanganku sedikit licin--- eung, bisakah Mommy bawa pergi Baby El sebentar?" pinta Arlana sambil menggigit bibirnya. Menatap lekat wanita paruh baya di depannya, seakan mengerti kode dari Arlana, ibu mereka segera pergi, sebelumnya mengusap pundak Davina yang masih mematung di tempat.
"Ah, maafkan aku, Kak. T-tak seharusnya aku bertanya seperti itu," sesal Davina, segera membantu Arlana membersihkan pecahan kaca - setelah bisa menguasai rasa terkejutnya tadi.
Arlana menarik napas pendek, ditatapnya Davina yang menyapu lantai sisa pecahan kaca tremos.
"Vina, bukan Darrel ayah kandung Baby El. Suatu hari nanti ... kau akan mengetahui siapa ayah kandung Baby El yang sebenarnya."
Davina terdiam. Kalau bukan Darrel Tompson, siapa lagi? Yang dia ketahui mantan pacar Arlana akhir-akhir ini tentu saja Darrel. Setelah putus dari Darrel, Arlana tidak terlihat dekat dengan pria mana pun.
Tetapi, kalau pun menikah dengan pria lain, mana suaminya? Setiap ditanya seperti itu, kakaknya hanya tersenyum simpul. Tidak mengiyakan atau pun membantah.
"Sudahlah, Vina, tak usah dipikirkan soal Kakak atau Baby El. Bila saatnya tiba, Kakak akan membuka semua rahasianya."
"Eung, ya, aku mengerti, Kak. Maaf telah bertanya seperti tadi." Davina menunduk, memutar-mutar gagang sapu di tangannya. Perasaan bersalah menari-nari liar dalam benaknya.
Arlana menepuk bahunya lembut. "Kakak mengerti,--- ah, bisakah kau yang membuat susunya?"
"Oke." Davina mengangguk kecil, menatap punggung Arlana, segera meraih blazer formalnya yang tersampir di kursi makan dan terburu-buru memakainya, sembari melihat riasan wajahnya dipantulan kaca lemari dapur. Sekilas wanita itu melirik pada arloji di pergelangan tangannya.
"Aih, sepertinya Kakak benar-benar telat ke kantor, mana ada kunjungan dari perusahaan pusat lagi," gerutu Arlana mulai panik. Davina yang memperhatikan tingkah panik Arlana hanya tersenyum geli.
"Seperti biasa, Vina, titip Baby El, ya," lanjut Arlana.
"Ya, aku tahu, Kak. Serahkan semuanya padaku."
"Hum, makasih, Vina. Kau selalu bisa diandalkan." Arlana tersenyum tipis, sekali lagi menatap wajah manis Davina.
"Errr, kalau begini, seharusnya kau yang pantas jadi Mommy Baby El, dibandingkan aku, Vina." Arlana bersungut memakai sepatu heels merah marunnya. Tampak jelas ekspresinya, bahwa dia masih ingin bebas - tanpa terbebani bayi dalam hidupnya saat ini.
"Eh? Aku?" Davina menggaruk kepalanya, meletakkan kembali sapu di tempat semula.
"Hu'um, benar. Kau yang seharian mengasuh Baby El, memberinya makan, menidurkannya, bahkan dia akan diam dan tak rewel bila dalam gendonganmu,--- kurasa kau sudah cocok jadi Mommy-nya."
Davina mengerucutkan bibir, sedikit keberatan, bukankah dia adiknya? Masa jadi Mommy? Seharusnya dia jadi Aunty-nya.
"Aih, Kakak. Tapi, pada kenyataannya, Kakak-lah Mommy kandung Baby El, lagipula aku ini adikmu, mana bisa jadi Mommy, sudah tentu aku jadi Aunty-nya," bantah Davina, segera menyeduh kembali susu yang baru untuk Baby El.
Arlana terdiam mendengar ucapan Davina. Menggigit bibirnya, menatap sayu punggung adiknya, lantas menggelengkan kepala, menyingkirkan perasaan tak enak yang menyelinap di hati.
"Mommy kandung ya ..." gumam Arlana sambil mengembuskan napas pendek, segera berbalik dan berlalu pergi dari dapur dengan pikiran bercabang di kepalanya.
Jangan lupa guys, kakak-kakak yang cantik & ganteng, adik-adik yang emes 😍, kasih like, vote dan komentarnya biar semangat nulis ceritanya 🤗😉, oke 👍.
Sampai jumpa lagi di next chapter 🤗💜💜.
Davina mengamati dengan cermat wajah manis Baby El yang tertidur pulas. Sudut bibirnya tertarik ke atas, tersenyum sukacita. Hatinya begitu damai kala menatap wajah polos Baby El. Beberapa menit yang lalu, Baby El memejamkan mata mungilnya. Tertidur pulas dalam buaian hangatnya.
Berangsur-angsur dan sangat hati-hati sekali, Davina menarik botol susu dari mulut Baby El, sangat takut kalau membangunkan sang keponakan yang baru saja terlelap. Gadis itu bernapas lega, saat berhasil menarik dot bagian atas botol susu tersebut dari mulut Baby El, kemudian meletakkan botol susu itu ke atas meja nakas. Ia melirik jam dinding, menunjukkan angka delapan malam. Satu jam lagi kakak-nya pulang dari kantor.
Kembali Davina menatap lekat sang keponakannya, mengelus kepala Baby El penuh cinta, lalu beralih menciumi kedua belah pipi gembul tersebut. Setelah puas membuat kedua pipi itu memerah, lagi-lagi ia memandangi wajah murni itu tanpa jemu. Perlahan, jemarinya menyusuri lekuk wajah Baby El. Ia mengernyit samar.
Kalau diperhatikan lebih mendetail. Wajah bayi mungil ini, hampir mendekati lima puluh persen mewarisi bentuk wajahnya. Apa karena Baby El memiliki hubungan darah yang kental dengannya---terikat sebagai bibi dan keponakan---hingga mereka berdua seiras. Dibandingkan dengan ibu kandungnya sendiri, kakaknya - Arlana. Tak ada miripnya sama sekali. Aneh
Dan sisa persennya. Davina yakin diwarisi dari pihak ayah Baby El. Terlebih sangat menonjol dari wajah Baby El adalah bentuk matanya. Itu mengapa keyakinannya sangat kuat. Sebab di dalam silsilah keturunan keluarganya, belum ada bentuk mata bulat besar seperti milik Baby El. Sangat bulat, hampir menyerupai mata alien? Atau mata kodok? Davina terkikik geli.
Dari sana pulalah, Davina bisa menelaahnya. Kalau Darrel yang dikiranya selama ini ayah kandung Baby El, salah besar. Semakin yakin, setelah Arlana sendiri menjelaskan pagi tadi, bahwa Darrel tak ada hubungan darah secuilpun dengan Baby El.
Lalu, siapa pria bejat itu? Yang teganya menghamili kakaknya, lalu mencampakkannya dengan kejam, tanpa bertanggung jawab dengan menikahinya.
Davina tak habis pikir, bagaimana bisa kakaknya jatuh ke dalam pelukan pria misterius itu.
Dibandingkan dengan pria bejat itu, Davina lebih menyukai Darrel sebagai kakak iparnya. Pria itu sangat baik sekali terhadap keluarganya. Sayang, hubungan keduanya kandas di tengah jalan. Kendati demikian, Darrel tetap menjaga hubungan baik dengan mereka sampai sekarang.
"Vina ... bisakah kau angkat teleponnya sebentar, Nak?"
Suara lembut ibunya dari dapur perlahan mengalun di telinga gadis itu. Mengenyahkan perhatiannya menelisik wajah Baby El layaknya seorang detektif.
"Yes, Mom. I'm coming." Davina menyahut. Segera keluar dari kamarnya, menuruni satu persatu anak tangga dengan langkah lebar menuju ruang tamu. Di mana dering nyaring---bagai suara nenek tua berteriak lantang---itu bersumber dari pesawat telepon rumah dengan model kuno jaman dulu itu terletak.
Suara memekakkan telinga itu seketika berhenti, bersamaan Davina mengangkat gagang antik tersebut. Sesekali sosok manis ini menghalau tangan mungil Baby El - ingin ikut memegang gagang tersebut. Barusan saja bayi manis ini terbangun karena nyanyian nyaring telepon kuno itu. Jadi, Davina memutuskan untuk membawanya daripada ditinggalkan sendirian di kamar.
"Hallo?!"
"Vina?"
Senyum tipis mengembang di wajah manis Davina, saat mengenali suara berat di seberang telepon. Darrel, pria yang gagal jadi calon kakak iparnya. Sekilas Davina sempat mengerutkan dahi kala mendengar deru napas tak beraturan dari mulut Darrel.
"Ada apa, Kak?" tanya Davina ikut cemas, walau dia tidak melihat secara langsung apa yang sedang dialami pria di seberang sana.
"Untunglah kau yang mengangkatnya ..."
Davina menaikkan sebelah alisnya bingung. Telinganya dengan jelas menangkap sosok di seberang telepon menarik napas berat - sebelum melanjutkan ucapannya.
"...katakan pada Aunty dan Uncle. Kalau ... Lana mengalami kecelakaan, sekarang dia berada di rumah sakit Internasional Kanada ..."
Bersamaan dengan dering panjang telepon yang terputus secara sepihak itu, mendadak telinga Davina berdenging nyaring - seakan ada ribuan lebah mengerubungi sekitarnya. Pertanda firasat buruk akan segera terjadi.
*This Is Your Baby*
Tubuh Davina mengejang seketika. Kakinya terpancang kaku di atas lantai marmer putih kotak-kotak itu. Dirinya sudah tak sanggup lagi melangkah - walau sejengkal pun. Hanya mampu berdiri mematung diambang pintu ruang observasi intensif. Baru beberapa menit yang lalu Arlana keluar dari ruang operasi.
Iris coklatnya menatap nanar sosok kakaknya. Kini, pernapasannya dibantu dengan mesin ventilator, terhubung bersama respirator yang melekat di mulutnya. Ada mesin ECG monitor yang memantau detak jantungnya. Detakan itu semakin lama kian lemah.
Memperhatikan alat-alat tersebut, kembali mengingatkannya akan kondisinya sendiri seminggu yang lalu. Sama persis dengan yang dialami kakaknya saat ini. Entah mengapa, melihat alat-alat tersebut menjadikannya trauma tersendiri. Tubuhnya menggigil seketika, takkala ingatan lainnya ikut menyempil dan memaksa masuk. Menerobos ganas akan memorinya selama dua tahun belakangan ini yang tak dia ingat lagi sama sekali.
Sekelumit bayangan aneh, beberapa sosok misterius berwajah topeng jahat tertawa-tawa hina pada dirinya. Berputar-putar dalam benaknya, seakan bersenang-senang di atas penderitaannya selama ini.
Siapa mereka?
Apa hubungan dirinya dengan orang-orang jahat tersebut?
"Hiks, Lana!"
Pekikan histeris ibunya di samping kembali membuat Davina tersadar. Menghancurkan kepingan-kepingan memori aneh di kepalanya, menjadi bagian-bagian tak jelas untuk diingat kembali saat ini.
Davina menatap hampa pada kedua orang tuanya. Mereka sangat shock melihat putri mereka terkapar tak berdaya di atas ranjang. Bahkan ibunya, sempat pingsan berkali-kali mendengar kabar mengejutkan itu.
Baru seminggu yang lalu, kedua orang tuanya mendapatkan kabar tak kalah menegangkannya. Mendengar kabar putri kedua mereka kecelakaan. Kini, putri pertama mereka juga mengalami hal yang sama. Sungguh miris kehidupan mereka jalani saat ini. Mengapa nasib malang selalu menimpa mereka, terlebih untuk putri mereka yang polos, dan tak tahu apa-apa akan kejadian yang dialaminya selama ini.
"Vina ..." panggil suara lemah Arlana di balik alat respirator, mengejutkan semua yang hadir dalam ruangan ini. Pancarannya menyayu, seakan memberi kode pada sosok gadis berwajah manis itu untuk mendekat padanya.
"Kak Lana ..." lirih Davina dengan bibir gemetaran. Berangsur-angsur mendekati ranjang tersebut.
Davina duduk di sisi Arlana dengan menggenggam erat tangan pucat itu. Sementara jantungnya kian berpacu cepat bagai roller coaster yang menukik tajam. Hatinya sesak, seakan tak ada oksigen lagi untuk dihirupnya saat ini. Lagi, dia merasakan firasat sangat buruk akan terjadi pada Arlana - kakaknya. Sedangkan kedua orang tuanya, semakin menangis terisak-isak sangat keras.
"Vina, Baby El ...."
"Ya? Ada apa dengan Baby El, Kak?" tanya Davina serak, irisnya menatap Baby El dalam gendongan ayahnya. Sementara bayi itu menatap bingung pada orang-orang di sekitarnya. Berkerumun mengelilingi Arlana.
Mata Davina kembali beralih menatap pancaran mata kakaknya, kian lama kian redup, tak ada tanda cahaya kehidupan di dalamnya. Didekatkan telinganya ke mulut Arlana. Di mana wanita itu memberi kode, agar lebih mendekat lagi padanya di tengah suaranya kian tenggelam - terkalahkan oleh suara mesin ECG monitor. Semakin menunjukkan pergerakan jantungnya tak beraturan, naik turun dengan drastisnya.
"Vina ... bi-bila kau ingin tahu ... si-siapa ayah kandung Baby El. Da-datanglah ke rumah keluarga Archielo ...."
Bersamaan kalimat panjang terbata-bata itu selesai diucapkan. Jiwa yang baik itu pergi meninggalkan raga kakunya, diiringi derai tangis kesakitan - sangat tidak rela akan kepergiannya.
Tubuh pucat itu kini menyisakan sebuah wasiat akan rahasia siapa Baby El untuk Davina. Sosok yang berperan penting akan hadirnya Baby El ke dunia ini. Menyumbangkan sperma-nya, hingga terbentuklah bayi mungil nan lucu di keluarganya. Menyisihkan sejumput tanya akan sosok pria misterius dalam benak Davina pada salah satu anggota keluarga Archielo.
Siapa pria itu?
Jangan lupa guys, kakak-kakak yang cantik & ganteng, adik-adik yang emes 😍, kasih like, vote dan komentarnya biar semangat nulis ceritanya 🤗😉, oke 👍.
Sampai jumpa lagi di next chapter 🤗💜💜.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!