NovelToon NovelToon

Love Me Please, Channing

Aku Cinta Kamu!

"Aku cinta sama Kak Channing, kita pacaran yuk!"

Gadis cantik dengan balutan seragam putih abu-abu, tanpa tedeng aling-aling menyatakan cinta pada lelaki yang dua tahun lebih tua darinya, yang tak lain adalah kakak sambungnya sendiri.

Mereka adalah Binar Kejora dan Channing Olsan Demitry, dua remaja yang sama-sama menempa ilmu di SMA Harapan Bangsa, Denpasar-Bali.

"Kamu itu ngomong apa sih?" Bukannya menjawab 'iya' atau 'tidak', Channing malah mengacak-acak rambut Binar, yang kala itu hanya diikat sebagian.

"Aku serius. Aku cinta sama Kak Channing."

"Kita ini kakak adik, Bin. Cintamu itu hanya cinta sebagai saudara, bukan pacar," sahut Channing sambil tertawa, menganggap lucu apa yang Binar katakan barusan.

"Beda, Kak. Ini cinta pada lawan jenis, bukan saudara. Lagian, kita cuma saudara sambung, nggak ada hubungan darah. Bebas mau pacaran, bahkan sampai nikah pun boleh, nggak dilarang sama agama. Selain itu, aku juga bisa kok yakinin Mama Papa biar merestui hubungan kita."

Channing kembali mengacak-acak rambut Binar, "Makin ngawur bicaramu. Udah, jangan bahas-bahas lagi! Kamu itu masih kecil, fokus aja belajar, nggak usah mikir pacaran."

"Aku udah SMA, udah gede."

"Baru kelas 1 SMA, masih belasan tahun. Mana ada gede, kecil yang iya. Udah jangan ngomong itu lagi. Pamali!"

Penolakan yang cukup jelas, sayangnya Binar tak menyerah akan hal itu. Dia tetap menyatakan kalimat yang sama ketika dirinya naik ke kelas 2 SMA. Jawaban Channing pun tak jauh beda, bahkan ketika Binar mengulang untuk keempat kalinya ketika sudah menanggalkan seragam SMA.

"Kuliah dulu yang rajin, jangan mikir cinta-cintaan. Kamu masih kecil, belum ngerti soal itu." Lagi-lagi kata 'masih kecil' yang Channing gunakan sebagai jawaban.

______

Kini, dua tahun sudah berlalu sejak terakhir kali Binar menyatakan cintanya. Dia bukan lagi anak SMA sekarang, melainkan anak kuliahan. Sesuai dengan hobinya yang suka menggambar, Binar mengambil jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) dan kini sudah D2.

Bulan lalu, untuk pertama kalinya Binar mulai mengambil job atas bidang tersebut. Bermula dari hasil gambar yang ia unggah di media sosialnya, Binar dihubungi salah satu pihak penerbit dan ditawari mendesain sampul novel yang akan naik cetak. Dengan penuh percaya diri, Binar menerima tawaran tersebut.

Luar biasa. Desain sampulnya mendapat sambutan baik dari pihak penerbit maupun penulis, dan ia mengantongi pundi-pundi rupiah dari pekerjaannya tersebut. Meski tidak terlalu banyak, tetapi cukup membuatnya bangga.

Bahkan demi merayakan keberhasilannya itu, malam ini Binar mengajak Channing makan malam di sebuah restoran mewah, sekaligus merayakan ulang tahunnya yang ke-20.

Sebenarnya, siang tadi sudah dirayakan kecil-kecilan oleh orang tuanya di rumah. Channing pula sudah ikut serta merayakan, berikut dengan memberi hadiah yang berupa laptop untuk mendukung desainnya. Namun, Binar kurang puas. Dia ingin merayakan berdua saja dengan Channing.

"Kak, gimana rasanya?" tanya Binar tiba-tiba.

"Enak. Asam pedasnya pas," jawab Channing ambil asyik mengunyah daging udang di mulutnya.

"Ih, bukan itu." Binar merajuk manja.

Channing beralih menatapnya, "Terus apaan?"

"Ya ... jalan-jalan berdua sama aku gini. Gimana rasanya?" tanya Binar sambil tersenyum lebar, hingga terlihat deretan giginya yang putih dan rapi.

"Apaan sih kamu, Bin? Bukannya kita sering jalan berdua? Emang sekarang kamu ngerasa gimana, takut? Sama preman? Apa sama hantu? Aku masih nggak cukup nih jadi bodyguard kamu?" Channing menjawab sekenanya, karena memang dia tidak begitu paham dengan maksud Binar.

"Ish, Kak Channing ngaco deh. Maksudku itu, apa kamu nggak merasa berkesan gitu, Kak? Merasa ... ini sesuatu yang spesial atau istimewa." Binar menatap jeli lelaki yang duduk di hadapannya, yang sejak kecil menjadi sosok pujaan.

Channing menghentikan suapannya, lantas menatap sepasang mata Binar yang penuh harap.

"Kamu makin nggak jelas deh, Bin. Udah deh, buruan makan aja. Keburu dingin, nggak enak nanti," ujar Channing sembari menyudahi pandangan. Dia tak mau kejadian masa silam terulang lagi.

Namun sialnya, hal yang tak diinginkan itu terjadi juga malam ini.

"Aku udah 20 tahun sekarang, bukan anak kecil lagi. Dan aku udah paham kalau yang kurasakan ini beneran cinta untuk lawan jenis, bukan saudara. Jadi gimana, Kak, mau kan jadi pacarku?" Untuk kelima kalinya Binar menyatakan cinta kepada Channing.

Entah karena cinta yang menyerupai obsesi atau karena sudah terbiasa bersama sejak kecil, jadi tak ada rasa malu lagi bagi Binar untuk mengatakan hal itu. Padahal, di luar sana banyak gadis yang untuk memulai chat saja tidak sanggup.

Sementara itu, Channing hanya terdiam untuk beberapa saat lamanya.

Bersambung...

Penolakan yang Menyakitkan

Usai menatap Binar dengan lekat, Channing menyandarkan punggung sembari mengembuskan napas panjang.

Kali ini dia percaya Binar tidak main-main, karena adiknya itu bukanlah anak kecil seperti dulu. Namun, tetap saja tidak masuk dalam pikiran Channing. Mereka sejak kecil sudah tumbuh bersama, bagaimana mungkin bisa ada cinta?

Ya, dari dulu sampai saat ini, Channing tetap menganggap Binar sebagai adik belaka. Bukan perempuan yang patut dicintai, apalagi sampai memiliki hatinya secara utuh. Tidak! Membayangkan saja Channing tidak bisa. Terlalu aneh.

"Dari sekian banyak cowok, kenapa harus aku sih, Bin? Aku ini kakakmu loh. Apa tanggapan Mama Papa coba kalau tahu kamu kayak gini," ujar Channing setelah berpikir lama.

"Kamu bukan kakakku, kita hanya saudara sambung. Mama sama Papa juga pasti ngerti kok kalau kita nggak ada hubungan darah, wajar kalau jatuh cinta." Binar tetap bersikeras dengan perasaannya, yang menurutnya wajar. Memang benar tidak ada larangan dalam hal itu, namun bagi sebagian masyarakat masihlah sesuatu yang tabu.

"Bin, coba deh mulai sekarang kamu lihat ke luar. Ada banyak cowok yang jauh lebih tampan dan lebih segalanya dari aku. Coba buka hati untuk mereka, jangan melulu terpaku dengan kepedulian dan perhatianku selama ini. Aku melakukan itu karena kamu adik cewek, udah kewajibanku sebagai kakak untuk menjaga kamu. Kalau saja Axel terlahir cewek, aku juga akan memperlakukan kalian dengan sama. Semua ini murni sebagai saudara, Bin, nggak lebih. Kuharap banget kamu pun bisa mikir gitu."

 Penjelasan Channing kali ini lebih serius. Dia tak mau adik yang disayangi terus tenggelam dalam perasaan yang tak mungkin berakhir baik. Dia berusaha keras menyadarkan Binar akan sikapnya selama ini, yang tak lebih dari sekadar perasaan sayang dari kakak untuk adik, yang sialnya mendapat tanggapan lain dari Binar.

"Nggak ada yang lebih baik dari Kak Channing. Dan nggak ada yang aku cintai selain Kakak. Sekarang ataupun nanti, aku cuma mau kamu yang jadi pasanganku, Kak," ujar Binar, sama sekali tidak terpengaruh dengan penjelasan Channing yang panjang lebar.

Lelaki yang kini sudah mendapat gelar sarjana administrasi bisnis itu mengacak rambut mullet-nya dengan kasar. Sudah habis kalimat untuk membujuk dan memberi pengertian kepada Binar. Kini tak ada lagi cara lain, selain berterus terang. Meski itu akan menyakitkan, tetapi harus diungkapkan. Karena cinta yang semula dikira candaan dan akan dilupakan seiring berjalannya waktu, nyatanya tetap dijaga oleh Binar hingga detik ini.

"Maaf, aku nggak bisa, Bin. Aku udah ada pacar dan hanya sama dia aku punya cinta. Kamu ... sampai kapanpun tetaplah adikku."

Mata Binar membelalak seketika, bersamaan dengan tangan yang mendekap mulutnya sendiri. Setelah sekian lama ditolak dengan alasan masih kecil dan terikat hubungan keluarga, kini ia ditolak karena ada cinta yang lain. Hati yang semula utuh dan berbunga-bunga pun hancur remuk tak berbentuk.

"Kak___"

"Kamu juga pasti bisa menemukan cowok yang kamu cintai selain aku, Bin. Cukup dengan membuka hati pada yang lain, pasti nggak akan sulit," pungkas Channing.

Namun, Binar spontan membuang pandangan. Lantas memejam agar air matanya tidak keluar.

"Binar!"

"Kamu pikir aku nggak pernah melakukan itu, Kak?" ujar Binar dengan lirih. Tak sanggup ia bicara keras karena tangis sudah menyesak di dada.

Channing terdiam.

"Sejak kuliah aku udah sering mencoba melihat cowok lain, tapi nggak bisa. Tetap kamu yang ada di sini, Kak." Binar kembali menatap Channing, sembari menyentuh dadanya sendiri dan dengan air mata yang terburai tentunya. "Kalau dari awal cuma nganggap aku adik, harusnya kamu nggak usah perhatian dan peduli banget. Kalau perlu abaikan aja aku sekalian, biar nggak ada perasaan yang kayak gini. Kamu pikir aku yang mau ini, Kak? Nggak! Ia ada dengan sendirinya. Kalau aja boleh milih, aku juga nggak mau jatuh cinta sama kamu!" sambungnya dengan bentakan.

Channing tak bisa berkata-kata, terlebih lagi ketika melihat tangis Binar yang makin pecah.

Sementara Binar sendiri, masih kalut dalam perasaannya. Sampai-sampai tak acuh dengan tatapan pengunjung lain yang mengarah padanya. Dengan membawa sejuta kecewa, Binar bergegas bangkit dan pergi meninggalkan Channing.

Cinta. Sejatinya dia pun pernah merenung dan merasa bahwa itu salah. Tak seharusnya mencintai Channing yang notabennya adalah kakak sambung yang tinggal satu atap. Namun, hati begitu sulit dikendalikan. Dari waktu ke waktu kian menggebu dan menuntut untuk dikejar. Nyaris seperti obsesi.

Anehnya, sikap Channing juga seperti merespon baik hal itu—meski bibirnya pernah menolak secara terang-terangan. Hingga akhirnya, Binar benar-benar jatuh dan buta dalam perasaannya. Sampai mengesampingkan rasa malu dan menyatakan cinta itu lagi untuk yang kesekian kali.

Sayangnya ... kini luka dan kecewa yang ia terima.

Bersambung...

Mencemaskan Binar

Walau berangkat bersama, malam itu Binar dan Channing pulang sendiri-sendiri. Binar menggunakan taksi, sedangkan Channing mengendarai mobil yang tadi mereka gunakan untuk berangkat. Kendati begitu, keduanya tiba bersamaan di kediaman, sehingga orang tua mereka tak curiga. Karena selain itu, Binar pun sudah menyeka habis sisa air mata.

"Katanya mau sambil belanja, kok pulang nggak bawa apa-apa?" tanya Athena—ibu kandung Binar—ibu sambung Channing.

"Nggak jadi, Ma. Tiba-tiba tadi ada orderan desain lagi dan deadline-nya lusa. Jadi, aku cicil dari sekarang aja." Binar berdusta. Tak lupa ia sunggingkan senyuman lebar agar ibunya makin percaya.

"Sudah banjir orderan saja anak Papa. Tapi ingat ya, kamu masih uliah. Jangan terlalu memforsir diri sampai mengurangi waktu istirahat," timpal Kendrick—ayah sambung Binar, yang kala itu sedang menonton TV bersama Athena.

"Siap, Pa."

Usai menjawab demikian, Binar langsung melenggang menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Channing pun tetap setia mengikuti di belakang, karena kamarnya juga berada di sana.

"Binar!" panggil Channing ketika keduanya sudah tiba di lantai dua.

Jangankan menjawab, menolah pun tidak. Binar tetap melanjutkan langkahnya, bahkan lebih cepat dari sebelumnya.

"Binar, tunggu!" Channing tak segan menahan tangan Binar, hingga gadis itu menoleh dan menatap ke arahnya.

"Aku capek, Kak, mau tidur." Binar menjawab datar, sembari menepis tangan Channing yang menggenggam lengannya.

Belum sempat Channing bicara lagi, tiba Axel membuka pintu kamar dan menghampiri keduanya. Axel adalah anak kandung Athena dengan Kendrick, yang kebetulan kamarnya berada di antara kamar Binar dan Channing.

"Kak, aku___"

"Besok aja. Aku masih ada tugas," pungkas Binar tanpa membiarkan Axel menyelesaikan kalimatnya. Lantas, ia langsung pergi dan masuk ke kamarnya sendiri.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Channing. Ia berbalik tanpa menunggu Axel mengatakan maksudnya.

Ketika dua pintu kamar milik kakaknya sudah tertutup, Axel mengernyitkan kening. Ia kebingungan seorang diri.

"Pada kenapa sih?" gumamnya.

Mau tidak mau, Axel pun turut kembali ke kamar. Karena ditunggu sampai beberapa saat pula, tidak ada yang menghampiri lagi. Baik Channing maupun Binar, tetap tega mengabaikannya.

"Padahal aku cuma mau bilang kalau tadi lemarinya udah kuisi snack. Malah pada cuek bebek, ya udah besok kumakan sendiri aja," gerutu Axel sambil mendaratkan tubuhnya ke atas ranjang.

Memang sudah menjadi kebiasaan mereka bergantian mengisi lemari dan kulkas dengan aneka camilan dan minuman, yang diletakkan di ruang bersantai, di depan kamar mereka. Sambil mengobrol ringan dan bercanda di waktu malam, mereka akan perlahan menghabiskan persediaan itu.

Namun sepertinya ... malam ini tidak akan ada candaan atau sekadar obrolan.

Tak ingin kesal seorang diri, Axel memilih memainkan gitar kesayangan dan mendendangkan lagu Innocence milik Avril Lavigne.

Dalam sekejap, Axel larut dalam dunia yang disukainya—musik.

Sementara itu, di kamar yang berbeda, Channing tak bisa larut dalam pikiran yang tenang. Berulang kali dia berdecak kesal karena Binar tak jua membalas pesannya. Padahal, sudah berulang kali ia mengirim, dari ucapan maaf yang singkat, sampai yang panjang dan mencapai satu layar penuh.

Bukannya tak mau memberi waktu bagi Binar untuk menenangkan diri, melainkan terlalu khawatir kepada gadis itu. Pikiran Channing mendadak pendek, berbagai prasangka buruk memenuhi otaknya tanpa permisi. Ada ketakutan akan tindakan ceroboh Binar, ada pula ketakutan atas kebencian yang mungkin berlangsung dalam jangka lama.

Tidak! Channing tak mau dua hal itu terjadi.

"Bin, please lah. Seenggaknya baca dan balas dulu pesanku. Biar aku yakin kalau kamu baik-baik aja," gumam Channing seorang diri.

Setelah beberapa saat menunggu dan tak ada tanggapan dari Binar, Channing nekat mengirimkan pesan ulang, lagi-lagi dalam jumlah yang cukup banyak.

Senyum pun terkulum ketika usaha itu membuahkan hasil. Bukan hanya dibaca, melainkan juga ada simbol bahwa Binar sedang mengetik pesan untuknya.

Namun, baru beberapa detik saja senyuman Channing kembali pudar. Balasan dari Binar tak membuat hatinya tenang, malah makin cemas. Makin banyak prasangka yang silih berganti menghantui.

"Binar." Dengan suasana hati yang kacau, Channing menggumamkan nama adiknya.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!