Di dunia ini ada dua sifat bertolak belakang baik dan buruk. Begitu juga di Sekolah ada anak berkelakuan baik dan anak berkelakuan buruk.
Keduanya tidak bisa kita hindari mau bersekolah di mana pun. Mereka yang selalu dicap buruk itu juga akan menjadi kenangan manis suatu saat nanti.
Namun, Adira Verbena tidak suka anak-anak yang seperti itu. Terutama ia tak suka dengan Abrisam Pradipta. Siswa itu teman sekelasnya. Sam suka menggodanya. Eits, lebih tepatnya Sam suka menggoda siswi yang melintasi kantin saat dia dan teman-temannya nongkrong di sana.
Sam juga terkenal suka berkelahi dan merokok di Toilet. Ada saja tingkahnya yang menyeret ia masuk ke ruang BK. Namun, tidak ada kata jera di kamusnya.
Adira tidak ingin punya hubungan dan urusan sama orang seperti Sam dan sejenisnya. Cukup sudah menjadi teman sekelas, itu sudah membebaninya. Dia ingin hidupnya tenang hingga lulus SMA.
“Dira! Yara!” gadis dengan rambut terkepang satu itu berlari-lari menghampiri Adira yang sedang makan bakso bersama Yara, temannya.
“Kenapa Vio?” tanya Dira menghentikan makanannya.
“Itu Si Sam berantem lagi,” jawab Violet dengan napas terengah-engah.
“Hah, di mana?” tanya Dira lagi.
“Itu di Warung belakang sekolah. Ayo, kita liat!”
Adira seperti malas-malasan untuk meninggalkan bangkunya. Sedangkan Yara mengangguk antusias dan sudah berdiri.
“Ayo, Dir! Sebagai sekretaris kelas lo ‘kan juga termasuk bertanggung jawab menjaga nama baik kelas kita. Kalau ini dibawa ke BK lagi bagaimana?”
Ucapan Yara barusan ada benarnya. Dira berdiri, “ayo!”
Mereka bertiga buru-buru meninggalkan kantin. Siswa dan siswi yang tidak sengaja mendengar percakapan ketiga gadis itu menyusul di belakang, ingin menyaksikan juga keributan itu.
Sedangkan di tempat kejadian sangat-lah gaduh. Murid-murid yang melihat bukan memisahkan, tapi menambah panas perkelahian.
“Abrisam! Abrisam! Abrisam!”
Dari jarak 5 meter sorak-sorai penyemangat Sam sudah terdengar. Dira menghembuskan napas kasar. Dia sudah pusing mengatasi murid nakal yang ada di kelasnya ini.
Dira serta teman-temannya sampai bersamaan dengan Pak Yuhdi, guru BK yang terkenal dengan peluitnya.
Peluit berwarna kuning itu seketika menggema memenuhi tempat kejadian.
Siswa dan siswi kompak menutup telinga mereka dengan kedua tangan. Walau sedikit memekakkan telinga cara ini efektif menghentikan perkelahian Sam dengan siswa lain.
“Kamu lagi, kamu lagi,” ucap Pak Yuhdi setelah melepas peluitnya.
“Hai, Pak!” Sam mengangkat satu tangannya dan tersenyum kepada guru BK itu.
“Jangan cengar-cengir kamu!” Sam lekas menutup mulut dan menunduk, “kalian berdua ikut bapak ke ruang BK!”
Pak Yuhdi berjalan lebih dulu. Namun, saat merasa tidak diikuti pria paruh baya itu berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
“Ngapain masih diem di situ? Mau saya skors?”
Sam dan anak laki-laki itu menggeleng cepat.
“Ayo, ikuti saya!” bentak Pak Yuhdi, “yang lain bubar!”
Dengan iringan sorak para siswa dan siswi membubarkan diri.
Baju seragam yang keluar setengah, dasi tidak terpakai, dan rambut sedikit berantakan Abrisam berjalan kembali ke kelasnya. Bel masuk baru berbunyi ketika ia keluar dari ruangan BK.
Dengan langkah yang malas-malasan Sam masuk ke kelas. Namun, ia tersentak kaget saat Adira menghadang jalannya.
“Ada apa?” tanya Sam mengusap rambutnya itu ke belakang.
Murid-murid yang ada di Kelas kompak memperhatikan dua orang itu. Karena pasalnya mereka memang sudah terkenal sering ribut. Pasti bakal ada tontonan seru kalau mereka sudah berbicara.
“Lo masih nanya?” Dahi Sam berkerut saat mendengar ucapan Dira. Dia masih tak paham.
“Lo kapan nggak buat ulah lagi? Gara-gara lo kelas kita ini terkenal jelek. Seumur-umur gue sekolah baru ini kelas gue dicap jelek. Itu semua gara-gara lo!”
“Udah ngomel-ngomelnya?” Dira mengerutkan bibir dan masih memasang tampang sangarnya, “kalau emang nggak suka sekelas sama gue silakan keluar cari kelas yang lain.” Sam menunjuk pintu.
Cowok itu melipat kedua tangannya di dada, “asal lo tahu, gue juga nggak mau sekelas sama lo, tapi berhubung lo cantik nggak apa-apa deh.”
“Sam, gue nggak lagi bercanda ya!” Dira mengacungkan jari telunjuknya menunjuk wajah tampan milik Sam.
Sam maju satu langkah, tapi Dira malah mundur. Cowok itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Jadi, lo mau gue seriusin?” tanya Sam dengan tampang menggodanya.
“SAM!” Dira berteriak hingga Sam cepat menjauh, lalu memilih berjalan pergi meninggalkan tempatnya berdiri.
Dira memutar tubuhnya, “sekali lagi lo masuk BK nggak akan gue ampuni!” gadis itu kembali ke mejanya.
Murid-murid yang tadi menonton sekarang sudah sibuk masing-masing kembali.
Sam berhenti melangkah, “lo terlalu ngurusin hidup orang. Lebih baik, urus aja hidup lo sendiri. Ketua kelas aja nggak pernah masalah sama kelakuan gue, ” kemudian ia menjatuhkan bokongnya di kursi.
Dira yang belum duduk melihat ke Guntur yang diam duduk di meja paling depan. Guntur adalah ketua kelas di kelas Dira. Namun, anak itu takut untuk melawan Sam.
“Ada Bu Lisa!” teriak Abdi yang berlari masuk dan memberikan pengumuman.
Dira masuk ke barisan duduknya dan duduk di sebelah Violet. Semua murid kembali ke tempat duduk mereka masing-masing, lalu pelajaran dimulai.
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMENNYA YA. FAVORITKAN JUGA BIAR DAPAT NOTIF UNTUK NEXT PART.
SEE YOU 🤗
Adira menghembuskan napas panjang saat menjatuhkan bokongnya di sofa. Ia lepas ransel di punggung dan melemparnya ke sofa yang ada di sampingnya.
Dira jadi teringat perkataan Sam sebelum kelas Bu Lisa dimulai.
“Agghh, ngapain juga gue ikut campur?”
Ia jadi menyesal menegur Sam. Harusnya dia nggak usah ngurusin urusan orang. Apa lagi urusan orang seperti Sam. Yang terlalu banyak masalah.
“Aaaaa!” Dira mengentak-entakkan kedua kakinya di lantai.
Gadis yang tingginya 157 cm ini terdiam setelah teringat sesuatu.
“Tapi kalau gue diem doang itu bocah ngelunjak yang ada, kelas gue tambah dicap jelek sama guru-guru."
"Guntur juga pengecut sih," sambungnya.
“Anak mama udah pulang. Kok nggak ngucapin salam?” tanya Winda, ibu kandung dari Adira.
Dira berhenti menggerutu. Ia menoleh ke belakang, “eh mama. Udah lama, Ma?”
Winda menggelengkan kepala melihat kelakuan anak gadisnya itu.
“Kamu ngelamun? Sampe nggak tahu mama ada di sini.”
“Maaf, Ma. Dira lagi kesel sama teman di Sekolah.” Dira mengambil tangan Winda dan mencium punggung tangannya.
“Wah ada apa ini pada ngumpul-ngumpul tumben?” tanya seorang cowok yang baru masuk rumah.
“Ini juga baru bilangin adiknya. Dia juga nggak pakai salam masuk rumah,” oceh Winda memarahi anak sulungnya.
Kakak dari Dira ini cengengesan, lalu meraih tangan sang ibu dan mengecup punggung tangannya.
“Assalammualaikum mama kutersayang,” ucapnya dengan nada yang dilembut-lembutkan.
Adira yang melihat kelakuan kakaknya, tertwa pelan.
“Walaikumsalam, begitu dong.”
“Kak Dimas nggak ke kampus?” tanya Dira yang baru sadar kakaknya sudah memakai baju biasa.
“Udah tadi pagi. Siang ini nggak ada dosennya. Jadi, mending pulang. Bisa main ke Warnet.”
“Enak ya kalau udah jadi anak kuliahan. Nggak ada dosen bisa pulang. Jadi pengen kuliah.”
Winda mengelus kepala Dira, “bentar lagi ‘kan Dira lulus terus bisa kuliah kayak Kak Dimas.
Dira tersenyum pada mamanya.
“Mending nggak usah. Gue aja yang udah kuliah mau balik TK lagi,” ucap Dimas yang malah melarang adiknya.
“Kenapa gitu Kak?” tanya Dira.
“Pusiiingg!”
“Ih kamu!” Winda memukul gemas lengan anak laki-laki semata wayangnya.
Adimas Saputra meringis dan mengusap lengannya, “sakit, Ma.”
“Makanya jangan mematahkan semangat adiknya.”
Dimas memajukan bibirnya, lalu berjalan pergi meninggalkan ruang tamu.
“Dira mau ganti baju dulu deh.” Gadis itu mengambil ranselnya, “dadah mama!”
Winda berbalik untuk menatap Dira yang sudah melangkah menjauh.
“Abis ganti baju ke dapur bantuin mama buat kue ya, Ra. Banyak pesanan nih.”
Dira mengacungkan tangan berbentuk ‘ok’ dan terus berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Adira memang sudah biasa membantu ibunya membuat pesanan kue. Kebetulan Winda yang berperan sebagai ibu dan ayah buat anak-anaknya ini mempunyai usaha katering.
Sejak almarhum ayahnya Dira meninggal Winda harus mengurus kedua anaknya itu sendirian. katering kue adalah pilihannya.
Karena sudah terbiasa membantu Dira juga terlatih memasak. Ia juga pandai membuat kue seperti sang mama. Cita-citanya juga tidak jauh dari hobi memasaknya itu. Yaitu menjadi seorang chef terkenal.
Gadis ini juga ingin melanjutkan pendidikannya ke Universitas luar negeri. Namun, hidup yang pas-pasan seperti ini tidak memungkinkan Dira untuk meraih keinginannya itu.
Bisa lanjut di Universitas yang ada di Indonesia saja setelah lulus sekolah Dira sudah senang. Cita-citanya terpaksa ia simpan saja.
Adira menguap lebar saat sampai di depan gerbang sekolah yang sudah terkunci. Rasanya ia masih mau tidur saja di rumah.
“Telat lagi gue, ah! Pak mamat buka-in! Pak, please bolehin Dira masuk.” Ia menggoyangkan gerbang agar terdengar oleh satpam yang sedang menjaga.
Dira menyesal tidak mendengarkan perkataan mamanya semalam. Winda sudah meminta Dira untuk berhenti membantunya dan segera tidur. Namun, Dira keras kepala dan terus membantu.
Gadis itu cuma tidak tega dengan mamanya yang harus begadang sendirian. Akhirnya Dira terlambat ke Sekolah dan baru ini sampai tidak bisa masuk ke dalam sekolah.
“DORRR!”
Dira terkejut saat pundaknya ada yang menepuk. Ia lekas menoleh ke belakang.
“Cie telat nih,” goda Abrisam yang baru datang.
“Gue kesiangan nggak kayak lo telat mulu!”
Sam menyender di tembok sambil membuka bungkus permen karetnya, “sama aja. Lo tetap telat. Mau masuk nggak?”
“Gimana mau masuk gerbangnya udah dikunci?”
“Ada jalan lain.” Sam mengunyah permen yang ada di mulutnya, “mau nggak?”
“Jalan lain?” Dira memegang erat kedua tali ranselnya, “bisa buat gue masuk ke dalam sekolah?”
Sam mengangguk. Dira beralih melihat ke arah lain. Ia sedang menimbang-nimbang ingin tetap masuk atau tidak.
“Mau nggak? Sebelum kepala sekolah patroli nih.”
Dira menatap Sam yang ada di depannya. Gadis yang rambut sepundaknya ini digerai melangkah mendekati teman sekelasnya itu.
“Lo yakin kita nggak akan ketahuan?”
Sam mengambil sebelah tangan Dira. Gadis ini menunduk, melihat tangannya yang digenggam cowok itu.
“Kalau kita masuk sekarang nggak akan ketahuan. Ayo!”
Adira pasrah mengikuti tangannya yang ditarik Sam. Cowok itu membawanya ke belakang sekolah. Tempat kemarin ia berkelahi.
“Sam, telat lagi?” tanya si penjaga warung.
Sam menoleh, “iya mang, tapi sekarang dapat bonusnya.” Ia melirik Dira.
Dira yang mendengar menepuk lengan cowok itu, “apaan sih!”
Dia jadi malu sama penjaga warung yang tertawa setelah mendengar omongan Sam.
Gerbang belakang yang sudah tua dan reot itu juga sudah dikunci. Biasanya terbuka ketika istirahat saja.
Sam melepas gandengannya, lalu berjongkok dan melepas bagian dari pagar. Dira baru tahu kalau sisi dari gerbang tua itu bisa dibokar pasang.
“Ini gue dan teman-teman gue yang buat.” Sam menoleh ke belakang sekilas, “sengaja untuk bolos.”
“Gue nggak peduli.”
Celetukan dari Dira membuat Sam menarik sudut bibirnya, lalu menggelengkan kepala pelan.
“Ayo cepat masuk!” Sam mempersilakan untuk Dira masuk terlebih dahulu.
Dira berjongkok dan merangkak melewati cela yang lumayan lebar ke dalam sekolahnya. Kemudian disusul oleh Sam.
“ABRISAM!”
Sam dan Dira melihat sepasang kaki menggunakan sepatu pantofel dan celana bahan. Suara itu juga tidak asing bagi Sam.
Mereka berdua mendongak. Wujud kepala sekolah dengan tampang sangarnya menatap Dira dan Sam sekarang.
“Hai, Pak!” sapa Abrisam.
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMENTARNYA. KASIH SARAN JUGA BOLEH. KLIK FAVORIT UNTUK MENDAPATKAN NOTIF DARI CERITA INI.
MAKASIH UDAH MAU BACA ❤
“Kalian berdiri dan memberi hormat pada bendera sampai jam istirahat!” perintah kepala sekolah dengan tegas.
“Bapak nggak nyangka kamu ikut-ikutan seperti Abrisam. Padahal setahu saya, kamu anak olimpiade matematika tahun lalu ‘kan?”
Perkataan kepala sekolah beberapa jam yang lalu masih terngiang-ngiang di pikiran Adira.
Ia menoleh ke samping. Abrisam masih fokus menatap bendera di depannya. Harusnya Adira pulang saja tadi bukan ikutan masuk dengan cara tidak terhormat seperti tadi. Kalau begini ia kena dua catatan buruk.
Pertama terlambat dan yang kedua masuk diam-diam. Adira kesal dengan Abrisam.
“Kenapa? Mau pingsan?” tanya Sam yang merasa diperhatikan.
“Nggak.” Dira segera mendongak menatap bendera dan memberi hormat lagi.
Sam bergeser beberapa langkah mendekat ke Dira. “Gue kira mau pingsan kayak di film romantis gitu. Entar gue yang bopong ke UKS.”
Mendengar bisikan Sam di telinganya. Gadis ini kembali menoleh pada cowok itu.
“Nggak sudi dibopong sama lo! Lagi pula gue nggak selemah itu," jawab Adira dengan suara berbisik pula. Setelahnya, ia kembali membuang muka.
“Berarti gue nggak salah pilih ya?”
tanya Sam membuat Adira menatapnya lagi.
“Pilih apa?”
“Pilih lo sebagai calon pacar gue. Lo ternyata cewek yang kuat. Selama ini gue jomblo emang lagi nyari yang kayak lo.”
“Najis! PD banget lo. Gue mau gitu sama lo? Nggak!” Dira bergeser sedikit, lalu fokus menjalani hukumannya kembali.
Sam yang mendapat respon seperti itu malah tertawa. Ia ikut mendongak dan memberi hormat lagi pada bendera merah putih yang berkibar di tiang tinggi.
"Lo tahu nggak kisah bendera ini bisa berkibar seperti sekarang?" tanya Sam yang masih menganggu ketenangan Adira.
Tanpa menoleh Adira menjawab, "tahu-lah, 'kan ada di pelajaran sejarah. Makanya jangan kebanyakan bolos saat pelajaran itu."
"Gue bolos karena nggak suka sama pelajarannya."
Adira akhirnya kalah, ia kembali menatap Sam yang berdiri sangat dekat dengannya.
"Berarti semua pelajaran lo nggak suka? Ampir tiap hari gue liat lo sering hilang dari kelas." Gadis itu menggerutu sendiri.
"Lo tahu alasan gue nggak suka?"
"Nggak penting juga gue harus tahu." Sam mencebikkan bibir saat Adira berkata seperti itu.
"Gue nggak suka mengulang masa lalu. Masa lalu lebih baik cukup disimpan jadi kenangan. Yang gue suka itu merangkai masa depan, apa lagi masa depan bersama lo."
Adira mendelik. Otaknya langsung berpikir apa Sam kesambet setan lapangan sekolahan ini.
"Basi gombalan lo!"
"Yang penting berhasil buat lo baper 'kan?"
Dira menatap pada lelaki itu tajam, "nggak tuh." ia menekan setiap ucapannya.
Abrisam malah tertawa dibuatnya. Benar-benar kesambet pikir gadis itu.
Matahari yang makin lama makin panas menerpa kedua pelajar itu. Suasana masih sepi karena yang lain fokus belajar. Istirahat tinggal beberapa menit lagi. Adira berusaha terus kuat. Walau kelihatan lelah di wajahnya.
Teetttt... teeeettt....
Mendengar bel berdering sepenjuru sekolah Adira lekas menurunkan tangan yang sedari tadi sudah pegal memberi hormat. Senyuman terukir di bibir ranumnya.
“Akhirnya kelar juga.” Ia menghembuskan nafas panjang.
Siswa dan siswi yang baru saja keluar dari kelas menatap penuh tanya pada Adira dan Abrisam. Mereka jadi pusat perhatian.
“Ini semua gara-gara lo!” Abrisam yang sedang menyeka keringatnya tersentak mendengar ucapan Dira, "kita jadi dilihatin anak-anak sekolahan ini."
“Kita lagi apes aja. Biasanya gue selalu lolos masuk sampai ke kelas.”
“Bodo! Gue nggak mau lagi ikut-ikut cara lo. Jangan dekat-dekat gue lagi!”
Adira segera berlari meninggalkan lapangan.
“Jadi, kalian dihukum berdua?” tanya Yara mempertegas tuturan Dira sebelumnya.
Adira mengangguk, “sial banget gue, sampe ke kelas juga nggak. Malah dijemur kayak ikan asin.” Ia menggebrak sedikit keras meja yang ada di kelasnya.
Yara mendengarkan cerita Dira sambil menghabiskan cilok yang tadi ia beli di Kantin.
“Duh kasihan Dira-ku bisa-bisa jadi hitam,” ucap Violet lekas mengipasi Dira dengan kipas tangan yang sering ia bawa ke mana-mana.
“Pokoknya gue nggak mau ikut-ikut cara Sam lagi. Yang ada gue bakal dikenal sebagai anak nakal. Gue ‘kan mau jadi lulusan terbaik di Sekolah ini.” Dira berceloteh menatap kedua temannya bergantian.
Violet menopang pipinya di meja. Ia mengangguk-angguk ketika Dira berbicara.
Sedangkan di tempat lain. Sam menceritakan pengalaman dihukumnya dengan Dira kepada kedua sahabat karibnya di Toilet.
“Kalian dihukum dong sama kepala sekolah?” tanya Emran.
Sam menghisap rokoknya lalu menghembuskan asap perlahan, “iya.”
“So sweet-nya. Dihukum berduaan,” ucap Emran sesudah membuang asap rokok yang ada di mulutnya.
“So sweet dari mananya? Dia nyalahin gue mulu.”
Emran tertawa keras mendengar ucapan teman yang sudah ia kenal dari 2 tahun yang lalu ini.
“Gue pikir-pikir tuh cewek lucu juga. Walau kadang nyebelin, terlalu ngatur gue.”
“Adira itu yang ngomelin lo di depan ruang BK dulu ‘kan?” tanya Manha membenarkan resleting celananya sesudah buang air kecil.
“Iya, bener.” Emran mematikan rokoknya dengan menekan ke dinding, “lo masih inget aja yang itu.”
“Berkesan banget, ****. Abrisam baru keluar dari ruang BK, terus disemprot pakai omelan sama tuh cewek. Mana di depan orang banyak.” Manha terkekeh sambil mencuci tangan di wastafel.
“Jangan diingat-ingat lagi bang*at!” Sam mendorong lengan Manha.
Manha yang mendapat reaksi seperti itu malah tertawa lagi.
“Lo ada niatan buat jadian sama tuh cewek?” Emran membuang puntung rokoknya ke tempat sampah, “kayaknya kalian cocok siapa tahu berkat dia lo bisa berubah.”
Manha merapat ke teman-temannya, “siapa tahu nanti lo jadi murid teladan.” cowok yang tingginya lebih rendah dari Sam itu cekikikan lagi.
“Apa sih kalian. Kalau gue ngegodain atau dekat sama cewek itu bukan berarti gue suka. Cuma kalau sama Dira, gue seneng aja liat cewek itu ngomel-ngomel. Tambah dia kesal, gue tambah bahagia.”
“Awas nanti pas dia nggak ada kangen sama omelannya.” Goda Emran.
Emran dan Manha tertawa. Sam menggeleng dan sedikit tersenyum mendengar ucapan kedua temannya.
“Ayo buang rokoknya. Kita balik ke kelas.” Emran melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, “tiga menit lagi bel.”
Sam mematikan api rokoknya, lalu membuang puntung rokok ke kotak sampah. Dia dan sahabatnya berjalan keluar dari toilet dengan santai tanpa takut ketahuan habis merokok.
Saat di persimpangan Sam harus berpisah dengan teman-temannya itu. Mereka beda kelas. Sedangkan Manha dan Emran masih satu kelas dari dulu.
MAKASIH MASIH MAU MAMPIR. LOPE ❤ BUAT READERS-KU 😆
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!