“Bina... ”
Aku yang tengah fokus pada layar laptop yang saat ini tengah menunjukkan deretan kata yang menjadi kalimat membentuk sebuah cerita, menoleh, melepaskan sebelah air buds yang terpasang di telinga.
Tok... Tok... Tok...
Ceklek...
Terdengar pintu terbuka yang membuat aku menoleh seketika. Di sana, ada A Gilang, kakak sulung ku yang memiliki tubuh sedikit berisi. Bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan yang sudah menikah 4 tahun yang lalu dan kini mempunyai satu putri cantik yang baru saja berusia 2 tahun.
Aku memutar kursiku, berbalik menatap A Gilang yang kini sudah berdecak pinggang. “Ya ampun... Aa panggil dari tadi, gak nyaut-nyaut. Ternyata, lagi sibuk sama si Lappy.” ucap A Gilang, dia berdecak pelan.
Lappy, nama dari laptop yang tengah aku gunakan kini. Laptop yang sudah menemaniku menyelesaikan segala tugas, mulai dari tugas di dunia nyata sampai di dunia maya, bahkan sudah membantuku menghasilkan beberapa karya sejak aku duduk di bangku SMP.
“Apa sih, A? Orang baru panggil sekali juga.” Aku beranjak berdiri, menghampiri A Gilang yang masih berdiri diambang pintu kamar ku. A Gilang memang jarang sekali masuk ke kamarku, mentok-mentok yang berdiri di ambang pintu saja. “Ada apa sih, A?” tanyaku.
“Di bawah, ada teman Aa. Kamu tolong siapin minum sama makanan ringannya, ya. Oh, iya. Teman Aa cuma dua orang, bertiga sama Aa.”
Aku mengerutkan kening, “Lah, emang Teh Nisa kemana?” tanyaku, Teh Nisa itu istri A Gilang, dia kakak ipar ku.
“Dia lagi keluar sana Kinara.”
“Lah, bibi? ”
Terdengar A Gilang yang berdecak pelan. “Kalau ada bibi, Aa gak akan suruh kamu, Bina... Cantik...”
Aku mencebik, malas sebenarnya. Karena sesungguhnya aku tengah melanjutkan naskah novel yang sudah beberapa hari aku biarkan tanpa ada update, sudah banyak pembaca ku yang meminta untuk dilanjutkan. Dan, karena baru ada ide sekarang, cerita itu baru bisa aku lanjutkan sekarang. Tapi, disaat ide itu tengah mengalir di benakku, justru dikaburkan dengan suruhan dari A Gilang.
“Dih, ngelamun nih anak. Udah, buruan! Aa tunggu, ya!”
“Iya...”
“Btw, makasih ya Bina, adik perempuan ku satu-satunya yang cantik jelita.”
Aku mencebik, memutar jengah bola mataku. “Dih, ada maunya aja puji-puji segala. Kalau biasanya tuh, beh, boro-boro!”
“Udah, ah! Buruan!”
“Iya... Aa juga ngapain disini, sana!"
A Gilang pergi, meninggalkan kamarku kini. Dan, aku kembali menuju laptop ku, menyimpan file yang baru saja aku buat. Oh, iya. Aku belum memperkenalkan diri, ya.
Sabina Gemi Aretha. Aku baru saja lulus SMA dan kini sudah duduk di bangku perkuliahan di semester 2. Baru masuk dan kesibukan sangat padat akhir-akhir ini, banyak tugas menumpuk yang belum selesai dikerjakan, namun banyak tugas yang juga berdatangan tiba-tiba. But, it's okay aku coba untuk menikmati itu semua. Lagipula, ini pilihanku, kuliah kemauan ku. Jadi, kalau aku ngeluh, apa gunanya? Ngeluh sedikit boleh, tapi jangan keterusan. Itu intinya.
Juga, aku ada kerja sampingan, gak rutin cuma lumayan buat nambah uang jajan. Aku bekerja sebagai seorang penulis di suatu platform online, juga membuat desain cover untuk beberapa novel. Lagi, itu kemauan aku. Jadi, kalau capeknya nambah, ya gak papa. Toh, hasilnya juga nambah kan? Lagipula, aku enjoy melakukan itu semua.
Sekian perkenalkan singkat dari aku. Kalau mau tahu aku, ya, ikutin kisah aku. Hehehe...
Aku berjalan ke arah cermin, menatap pantulan diri ku yang kini memakai celana dan baju panjang yang longgar, juga hijab yang kini ku kenakan. Liptint sedikit aku swatch di bibirku agar terlihat lebih segar. Setelah dirasa cukup, aku berjalan keluar menuju dapur tanpa melewati ruang tamu.
Tiga cangkir tes manis dengan sepiring croffle juga bolu yang dibuat Teh Nisa kemarin sudah aku siapkan. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu dimana A Gilang dengan temannya kini tengah mengobrolkan sesuatu yang entah apa.
“Permisi,” aku bersimpuh, meletakkan nampak tersebut dia hadapan mereka. “Ini aku buatin teh sama bolu juga croffle yang kebetulan baru juga aku beli. Silahkan dinikmati, ya.” ucapku, tersenyum tipis seperti biasa yang aku lakukan pada tamu lainnya.
“Wih, enak banget kelihatannya. Makasih, ya, Na.”
Aku mengangguk, “Sama-sama,” jawabku sambil beranjak berdiri. “Yaudah, aku permisi dulu, ya. Silahkan dinikmati.” ucapku sekali lagi sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan mereka.
Oh, iya. Ada satu kebiasaan yang entah ini dianggap buruk atau tidak. Hanya saja, aku tak pernah melihat wajah tamu, terutama cowok dan terkhusus teman-teman dari A Gilang. Aku lebih memilih mengalihkan pandangan ku saja karena rasanya kurang nyaman, lebih tepatnya aku memilih menunduk saja, tak berani untuk berkontak mata langsung. Rasanya sedikit canggung, tapi tenang aja aku tahu kok beberapa wajah teman A Gilang yang sempat aku lihat sekilas. Oke, meskipun sebenarnya ini kebiasaan yang aku lakukan bukan hanya pada tamu, tapi pada laki-laki manapun dan dimanapun. Note, orang asing, orang yang aku anggap asing lebih tepatnya.
Begitulah.
Aku kembali ke dapur, meletakkan nampan di tempatnya kembali. Dan, Tiba-tiba ponselku berdering menandakan ada panggilan yang masuk. Aku tersenyum senang melihat siapa nama yang tertera di ponselku. Aku berdehem, memperbaiki penampilan dan dengan cepat mengangkat panggilan tersebut sebelum orang itu mematikan panggilan.
“Hallo, Ga.”
“Lama benar lo angkat telpon,”
Aku mencebik, “Lama apaan? Orang aku gercep banget kok angkat nya. Lebay deh.” jawabku sambil berjalan menuju meja makan, duduk di kursi dan meletakkan ponselku diatas meja lalu disandarkan pada mug yang entah bekas siapa. “Lagian, ngapain telpon? Tumben banget.”
“Ada yang mau gue diskusiin sama lo.”
“Soal?”
“Bentar, gue ajak yang lain dulu buat join disini.”
Aku mengendikkan baju, “Yaudah, buruan, ya.”
“Iya, sabar kali... ”
Aku mencoba menahan bibirku untuk tak tersenyum tiap kali melihatnya, terkadang juga menghalangi mulut menggunakan tangan agar saat tersenyum tidak kelihatan. Oh, iya. Laki-laki yang saat ini tengah melakukan video call bersama ku juga tengah sibuk invited yang lain untuk join bersama kita itu adalah Arga Januari.
Arga Januari adalah salah satu teman dekatku, teman satu kelas sejak duduk di bangku SMP. Sebenarnya, kami berteman berlima ada Aku, Arga, Dwiki, Caca juga Lisa. Kami itu satu kelas, sering satu kelompok dan kebetulan tempat tinggal kami juga berdekatan. Alhasil, kedekatan pun tercipta sampai kini kami semua sudah duduk di bangku perkuliahan. Meskipun kami harus terpisahkan oleh pendidikan, dimana Dwiki dan Caca mengambil pendidikan di Malang, Lisa di Jogjakarta dan aku juga Arga yang masih di kota yang sama. Jadi, bisa dibilang disini yang masih bisa bertemu secara langsung, ya, aku sama Arga.
Jika banyak yang bilang, pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu gak akan mungkin seratus persen rasa teman, pasti ada rasa lain yang tumbuhnya, aku rasa itu benar.
Karena sejujurnya, aku menaruh perasaan lebih untuk Arga. Aku suka sama dia. Meskipun, aku tahu, jika Arga menaruh hati pada perempuan lain. Karena itu pula, aku tak pernah mengatakan sejujurnya mengenai perasaanku ini. Jadi, perasaan ini biar aku saja yang pendam sendiri. Toh, aku juga gak mau merusak persahabatan antara kami.
“Dih, si Bina malah bengong. Aneh.”
“Hey, Bin. Ulah bengong, woy!”
Aku tersentak, membulatkan mata dan tersadar jika Lisa dan Caca sudah join di vc ini. Aku terkekeh.
“Eh, enggak. Gak bengong kok.”
“Yaelah, kayak gak tahu Bina aja sih kalian. Pasti tuh anak lagi berimajinasi, lagi ngehalu dia buat tokoh-tokoh fiksi nya itu.”
Aku terkekeh mendengar ucapan Arga, “Apaan sih kamu, Ga! Gak jelas! Lagian, ada apa sih tiba-tiba nelpon, ngumpulin kita.”
“Iya nih, Ga. Tumbenan banget. Biasanya juga kalau telpon kita tuh, malam. Lah, ini siang bolong?” tanya Lisa yang juga bingung sama seperti aku, penasaran sih lebih tepatnya. “Terus lagi, tuh si Caca ngapain diam doang dari tadi.”
“Stt... Gue lagi kelas online, bestie.”
“Ya ampun... Tuh, Ga! Buruan deh, lo mau ngomongin apa? Kasihan Caca.”
“Bentar, ini nunggu iki angkat dulu. Si anjir, sok sibuk emang tuh anak.” umpat Arga saat Dwiki tak juga mengangkat panggilan.
“Yaudah, gue jelasin sekarang aja.”
“Minggu ini kita ke Malang!”
“Hah?”
Kami semua memekik mendengar ucapan Arga, belum sempat aku bertanya, namun panggilan membuatku menoleh seketika. Aku dengan cepat beranjak berdiri, tersenyum kikuk pada salah satu teman A Gilang yang entah siapa namanya.
“Ada apa, ya, Mas?” tanyaku sambil tangan mematikan microphone di panggil. Aku menatap teman A Gilang itu, sungguh aku gugup kini. Padahal aku sering berdekatan dengan laki-laki, maksudku Arga dan Dwiki. Tapi, tetap saja aku gugup jika berdekatan dengan laki-laki lain.
“Maaf, saya ganggu, ya?”
Aku menggeleng, "Enggak kok, mas. Ada apa? Mas butuh sesuatu atau mau ke toilet?”
“Bukan,”
“Iya, terus?”
“Saya butuh gula. Ada?”
Aku mengangguk, “Gula, ya? Ada kok. Bentar, ya aku ambilin.”
“Iya, makasih, ya.”
Aku berjalan menuju rak bumbu, mengambil toples yang berikan gula pasir dan kembali menghampiri teman A Gilang itu. “Ini, mas.” ucap ku sambil menyerahkan toples tersebut.
“Oke, makasih ya...?”
“Bina, aku Bina mas.” ucapku sambil tersenyum, lucu sekali melihat pria itu terlihat bingung ingin menyebutku apa.
“Oke, Bina. Sekali lagi, makasih ya.”
“Oke, mas.”
Dan, saat teman mas Gilang itu pergi aku hanya diam dan kembali menghampiri ponselku dan bergabung dengan panggilan itu.
“Oke, jadi gitu.”
“Gitu, apa?” tanyaku yang tak mengerti, aku ketinggalan infomasi nih.
“Yaelah. Lo sih, orang gue lagi jelasin tadi malah pergi. Ketinggalan kan lo!”
“Ya, sorry. Tadi kan ada temannya A Gilang minta gula, masa iya aku cuekin gitu aja, kan gak enak. Udah, deh. Jadi, apa? Ngapain kita ke Malang.”
“Gitu, pokoknya! Udahlah, intinya lo siap-siap aja buat nanti Minggu. Gue jemput lo nanti. Sekian ya, guys infomasi dari gue. Bye!”
Tut.
Aku mendengus kesal saat panggilan diputus begitu saja, masalahnya jika hanya Arga mungkin tak apa. Aku bisa bertanya pada yang lainnya. Namun, ini mereka semua justru mematikan panggilan tersebut.
“Dasar, gak jelas banget. Biarin lah. Mending ke kamar, lanjut nulis lagi.”
“Lama nunggu, ya...”
Bina mendongak seketika, dia memutar bola matanya kesal dan berdecak pelan. Dia menyisihkan terlebih dahulu laptopnya, menatap sebal laki-laki yang kini sudah duduk di bangku di hadapannya.
“Lama banget sih,” kesal Bina, dia mencebikkan bibirnya.
Arga tersenyum lebar, dia mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya dan meletakkannya dihadapan Bina. Perempuan itu mengerutkan kening saat sebatang cokelat disodorkan padanya.
“Apa nih maksudnya?” tanya Bina tak mengerti, dia menahan senyumnya sekuat tenaga agar tak terlihat mencurigakan. Bertemu Arga saja sebenarnya sudah membuatnya tersipu.
Arga mengendikkan bahunya, “Permintaan maaf karena gue telat. Meskipun gue tahu, lo gak mungkin bisa marah sama gue.” jawab Arga, dia menaikkan sebelah alisnya menatap Bina yang langsung mencebik seketika.
“Siapa bilang aku gak bisa marah sama kamu? Bisa kok!”
Bina langsung menunjukkan wajah marahnya. Namun, bukannya membuat Arga ketakutan atau semakin merasa bersalah, justru Arga dibuat tertawa melihat ekspresi yang ditunjukkan Bina.
“Gak usah gitu! Muka alim lo tuh gak pantas buat marah. Udah, gak usah dipaksa!”
“Ih... Ngeselin! Lagian kamu kenapa telat sih? Setengah jam loh! Lama banget itu.”
“Biasa lah, cowok ganteng kayak gue banyak acara. Jadi mohon dimaklumi aja.”
“Nyebelin banget jawabannya.” ucap Bina, dia terkekeh dan mengambil cokelat yang diberikan Arga untuknya. “Jadi, ini beneran buat aku, ya?” tanya Bina memastikan.
Arga mengangguk, “Yoi.”
Bina tersenyum lebar, dia tak bisa menahannya lagi.
“Biasa aja kali senyum nya, gak usah selebar itu juga.” ucap Arga yang seketika membuat Bina mendengus pelan sambil terkekeh. “Terbaca sekali belum pernah dikasih cokelat sama cowok. Cowok ganteng lagi.” lanjut Arga, dia hanya becanda saja.
“Emang iya.” jawab Bina acuh, memang itu kenyatannya. Ya, maksudnya dia pernah mendapat cokelat dari pria, contohnya kakaknya, saudara laki-lakinya. Yang jelas, jika cokelat dari lawan jenis yang notabene nya tak punya ikatan persaudaraan, mungkin baru Arga orangnya. Arga jadi yang pertama. Meskipun nyatanya, ini bukan pertama kalinya Arga memberikan dia cokelat, ini sudah cokelat yang entah ke berapa kali lelaki itu berikan.
“Serius, Mi?”
Bina mengangguk.
“Ya ampun... Masa iya gak ada satu cowok pun sih yang kasih cokelat buat lo? Hoax nih, ya!”
“Terserah.”
Arga tertawa, rasanya dia ingin mencubit pipi Bina yang menggemaskan. Namun, dia tak bisa melakukan itu. “Iyain deh. Tapi, jangan baper sama gue, ya, Mi karena cokelat itu.”
Bina terdiam sejenak. Bahkan sebelum diberi cokelat saja Bina sudah baper duluan dengan Arga, asal lelaki itu tahu saja. Tapi, tak mungkin dia berkata demikian.
“Gak akan lah!” balas Bina sambil tersenyum manis.
“Bagus kalau begitu.”
“Tunggu, dulu! Jadi, maksudnya kamu ajak aku kesini, ketemu disini cuma mau kasih aku cokelat, gitu?”
“Dih, dibilangin jangan baper. Tapi, malah baper duluan.” canda Arga, dia terkekeh. “Ya, enggak lah, Mi. Gue ajak lo kesini, ya karena mau tanya sesuatu sama lo.”
“Kenapa gak lewat telpon aja?”
“Langsung lebih enak. ”
“Oke. Jadi, ada apa?” tanya Bina, dia menyingkirkan laptopnya dan melipat tangan diatas meja, menatap Arga dan menunggu apa yang akan ditanyakan lelaki itu padanya.
Arga terkekeh, dia pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bina, yaitu melipat tangan diatas meja dan ikut menatap perempuan itu. Mereka saling tatap.
“Jujur sama gue, menurut lo gue gimana orangnya?”
Bina mengerutkan keningnya. “Gimana apanya?” tanya Bina tak mengerti.
“Ya, gue gimana orangnya.” ucap Arga mencoba menjelaskan, dia mengendikkan bahunya. “Ganteng kah, baik kah atau gimana?” sambung Arga, dia butuh jawaban sekarang.
Bina menarik tubuhnya, dia bersandar kini. “Ih, ngapain tanya itu sama aku? Gak tahu aku.” jawab Bina, dia gugup sebenarnya.
“Yaelah, Mi. Tinggal kasih tahu aja pendapat lo tentang gue. Lo kan kenal gue, udah lama juga kan kita dekat.”
Bina menggeleng, “Gak bisa aku.”
“Ih... Dasar. Gak pernah berubah dari dulu, gak pernah mau kalau disuruh ngasih pendapat.”
“Takut salah aku.”
“Ini nih, ini sifat yang gak baik. Ngasih pendapat itu gak papa, kan opini pribadi. Jadi, gak ada yang salah dong. Lagipula, kalau beda opini, ya wajar, namanya juga manusia. Nih, ya, jangankan sama orang lain, sama yang satu darah aja kita kadang beda kan. Jadi, jangan takut lah...”
Bina menahan senyumnya.
“Ayo! Jadi, gue gimana menurut lo?” pinta Arga, dia tak akan berhenti sebelum mendapat jawaban dari pertanyaan nya.
“Sebelum aku jawab, aku tanya balik deh. Menurut kamu aku sendiri gimana orangnya?” tanya Bina akhirnya, entah kenapa dia berharap lebih.
Arga terkekeh, dia menjentikkan jarinya. “Gampang banget itu mah!” tukas Arga, dia berdehem dan menatap lekat Bina. “Sabrina—”
“Sabina!”
“Iya, iya. Sabina Gemi Aretha, teman gue sejak SMP. Dia tuh orangnya baik, itu udah jelas. Sholehah, sudah pasti, hijab gak pernah ketinggalan dia pake. Ya, gak?”
Bina terkekeh. Arga mengendikkan bahunya, merasa bangga.
“Udah, itu doang?”
“Ya, apa, ya? Cantik?”
Bina diam, merasa gugup.
“Udah jelas dong, lo cantik. Cewek mana sih yang gak cantik? Pasti pada cantik kalau cewek mah.”
Bina kecewa, jawabannya tak sesuai ekspektasinya. Tapi, tak apa. Dia tetap puas atas pujian Arga.
“Masya Allah... Jangan lupa bilang MasyaAllah kalau puji orang tuh.”
“Iya, iya. Masya Allah... Gemi cantik.”
Bina tersenyum kembali.
“Jadi, gimana Mi? Gue gimana orangnya?"
Arga kembali bertanya pertanyaan yang belum juga Bina jawab.
“Arga baik kok, bertanggung jawab juga orangnya. Arga juga humoris, bisa banget bikin orang ketawa. Pokoknya, Arga tuh bisa jadi mood booster buat orang-orang yang gak lagi happy.”
Arga semakin tersenyum lebar mendengar pujian yang dilontarkan Bina. “MasyaAllah...” ucap Arga, dia terkekeh.
Bina mengangguk-angguk.
“Emangnya kenapa sih kamu tanya gitu, Ga? Ada apa emangnya?”
“Berarti, gue layak gak jadi pacar orang?”
Bina membelalakkan matanya, terkejut mendengar pertanyaan ini. Mendengar itu membuat jantungnya berdebar tak karuan. Pertanyaan yang dilontarkan Arga seperti menjurus pada satu hal.
Bina mengangguk. “Layak kok.”
“Kira-kira, Caca suka gak sama cowok kayak gue?”
***
Bina berjalan lunglai menyusuri trotoar. Hari sudah mulai gelap, langit sore yang tadinya cerah berubah dengan cepatnya jadi gelap. Sama seperti perasaan Bina saat ini, dia yang tadinya senang, sangat senang malah saat tahu akan bertemu Arga, justru sedih seketika saat dia tahu tujuan Arga memintanya bertemu.
“Haha...”
Bina tersenyum miris, ternyata begini rasanya patah hati.
Sebelumnya, dia tak pernah merasakan ini jika melihat Arga dekat dengan perempuan manapun. Tapi, kenapa mendengar Arga suka dengan Caca, yang notabene nya teman dekatnya, teman dekat mereka, justru rasanya begitu sakit luar biasa. Bahkan, rasanya Bina ingin menangis saat ini juga.
“Sakit banget...” keluh Bina, dia tak bisa menahan air matanya kini.
Bina berhenti berjalan, menatap miris langit yang sama mendungnya seperti hatinya. Bahkan, langitpun tahu jika Bina menangis kini, langitpun sedih melihat Bina seperti sekarang. Bahkan, langitpun ikut menangis dibuatnya. Air hujan mulai jatuh mengenai wajah Bina.
“Ya Allah... Kenapa sakit banget rasanya tahu Arga suka sama Caca.” keluh Bina, dia menangis kini bersamaan dengan hujan yang mulai deras. Dia tak peduli kini jika dirinya basah kuyup atau apa, dia tak peduli. Dia hanya ingin menangis saja kini, namun untuk menghindari rasa malu maka dia biarkan hujan membasahi nya. Setidaknya, bersama hujan air matanya tak begitu terlihat, bersama hujan air matanya ikut pergi mengalir.
“Kenapa harus Caca sih? Kenapa harus teman dekat aku yang kamu suka, Ga? Kenapa gak aku aja?”
“Aku pikir, semua perhatian, sikap baik kamu, itu berarti kamu suka sama aku. Tapi, ternyata enggak. Kamu cuma anggap aku teman biasa dan cuma aku yang anggap kita lebih.”
Bina perlahan berjongkok, dia tak tahu harus bagaimana kini. Dia memilih menangis saja kini.
“Kamu ngapain hujan-hujanan?”
Bina mendongak seketika, menatap seseorang dibawah payung yang kini juga memayungi nya, menjaganya dari tetesan air hujan. Perlahan Bina beranjak, menatap orang itu yang tak lain dan tak bukan adalah teman dari Kakaknya.
“Kamu nangis?”
“Mas, temannya A Gilang kan?”
“Iya. Saya Ghani. Kamu ngapain hujan-hujanan?” tanya Ghani, dia mengerutkan keningnya. “Nangis pula.” tambah Ghani.
Bina menggeleng cepat, “Gak nangis kok.”
“Yaudah! Kamu jelasin nya nanti aja. Ayo, kita neduh dulu!”
Tanpa berkata apapun, Ghani langsung menarik tangan Bina, membawa gadis muda itu untuk ikut bersamanya meneduh disalah satu cafe.
***
Ghani menatap lekat Bina di hadapannya, dalam hati dia tersenyum senang bisa bertemu Bina disini. Padahal niatnya hanya untuk membeli secangkir kopi saja, namun saat melihat seseorang yang berjongkok dibawah hujan, disaat yang lain justru berlarian menghindari hujan membuatnya penasaran. Dan, saat tahu siapa orang itu, tanpa berpikir apapun lagi dia segera menghampirinya.
“Diminum dulu kopinya.”
Bina yang sejak tadi hanya menunduk, mendongak seketika. Dia tersenyum tipis, menggeleng.
Ghani mengerutkan keningnya, “Kenapa?”
“Aku gak minum kopi, mas.”
Ghani salah, dia pikir Bina suka kopi, maka dari itu dia memesan kan perempuan itu secangkir kopi cappuccino. Tahu begitu, dia memesan cokelat hangat saja tadi.
“Yaudah, saya pesenin cokelat hangat aja, ya.”
“Gak usah, mas.” tolak Bina cepat, dia menggeleng langsung saat melihat Ghani yang berniat memesan kan cokelat hangat untuknya.
“Loh, kenapa? Kamu hujan-hujanan loh. Pasti kedinginan. Gakpapa, saya yang bayar.”
“Bukan gitu. Aku emang gak mau aja.” jelas Bina, dia menyampirkan tote bag nya yang berisikan laptop. Tenang saja, tote bag nya itu anti air, jadi meskipun tadi dia hujan-hujanan, si lappy masih aman. “Aku mau pulang juga kok. Jadinya, gak usah, mas.”
“Mau pulang?”
Bina mengangguk.
“Yaudah, saya antar, ya.”
“Gak usah! Aku naik taksi aja.” ucap Bina, dia beranjak berdiri. “Makasih, ya, mas. Kalau begitu aku permisi dulu. Assalamu'alaikum.” sambung Bina, dia bergegas pergi tanpa mendengar jawaban dari Ghani.
Ghani hanya bisa diam, menatap kepergian Bina. Dia tersenyum tipis melihat tingkah Bina.
“Waalaikumsalam.”
Bina telah pergi, Ghani pun tak ada niatan menyusul atau membujuk, cukup melihat perempuan itu naik taksi saja sudah cukup untuknya. Senyuman tak pernah pudar dari bibir Ghani melihat Bina, hingga saat dia beranjak berniat pergi, panggilan masuk bukan ke ponselnya membuat dia tersentak seketika.
Ghani baru sadar, jika ponsel milik Bina tertinggal.
“Ya ampun... Bisa-bisanya HP dia ketinggalan.”
Ghani menatap layar ponsel milik Bina, melihat siapa yang menghubungi perempuan itu. Seorang pria muda yang sepertinya seumuran Bina, sepertinya laki-laki ini teman Bina, pikir Ghani.
“Arga,” gumam Ghani, membaca nama penelepon tersebut.
Tak sopan sebenarnya mengangkat panggilan dari ponsel milik orang lain, apalagi Bina juga bukan siapa-siapa nya. Tapi, ada keinginan untuk Ghani mengangkat panggilan tersebut, dia merasa ada sesuatu yang lebih antara Bina dan laki-laki bernama Arga ini.
“Gak, gak. Kalau gue angkat dan si Arga ini bilang sama Bina, pasti Bina bakal mikir jelek tentang gue. No! Jangan sampai gue negatif di pikiran Bina.”
Ghani mengedikkan bahunya, dia mencoba mengabaikan panggilan tersebut. Hingga panggilan itupun berhenti seketika, namun sebuah pesan dari orang yang sama masuk.
‘Bina cantik, MasyaAllah... Makasih, ya tadi. Tuh cokelat jangan lupa lo makan. Tapi, lo juga harus ingat, jangan kebanyakan, gak baik buat kesehatan. Ingat, ya lusa kita mau Malang. Btw, sombonk banget sih lo gak mau angkat telpon gue. Dahlah, bye!’
Sudut bibir Ghani bergetar. Seperti ini kah obrolan anak muda?
Tapi, melihat dari obrolannya membuat Ghani yakin jika antara Bina dan Arga tak mungkin tidak ada apa-apa. Pasti ada sesuatu diantara mereka.
Jadi, apa Arga kah saingannya untuk mendapatkan Bina?
***
Bina menatap pantulan wajahnya di cermin? Tak ada senyum sedikitpun kini, yang ada hanya kesedihan yang terlihat disana. Penyebabnya cuma satu, yaitu cinta. Cintanya bertepuk sebelah tangan, cintanya dipatahkan dan pelakunya adalah sahabatnya sendiri. Kalau sudah begini, siapa yang salah?
Arga kah yang salah karena jatuh cinta pada Caca bukan pada Bina?
Atau, Bina lah yang sebenarnya salah karena selama ini tak pernah mengungkapkan perasaannya dan lebih memendamnya, sehingga kini justru cintanya bertepuk sebelah tangan?
Entah, siapa yang salah sebenarnya.
“Sakit banget disini tuh,” keluh Bina, dia menyentuh dadanya yang benar-benar terasa sakit. Seperti ada sesuatu yang tak kasat mata menggoreskan sesuatu disana yang menyebabkan luka dan sesuatu itu adalah ungkapan Arga tadi.
“Astaghfirullah...”
Bina memejamkan matanya, dia mencoba menenangkan hatinya juga mengikhlaskan semuanya. Hingga terdengar pintu yang diketuk membuat Bina seketika membuka matanya, dia menoleh pada pintu.
“Siapa?”
“Ini teteh, Bin.”
Bina bergegas membuka pintu yang langsung menampilkan Teh Nisa, istri A Gilang yang kini tersenyum manis padanya. Teh Nisa belum berkerudung, masih terbuka dan kini rambutnya sepanjang bahu juga terlihat curly. Teh Nisa tak ada keturunan Cina, namun wajahnya sungguh menunjukkan jika dia ada darah Cina nya. Kulitnya tidak putih, tidak juga hitam, kuning langsat tepatnya, warna kulit khas orang timur. Bulu matanya lentik, bibirnya cantik, pokoknya teh Nisa ini versi sempurna di mata Bina. Entah apa yang dilakukan A Gilang sampai-sampai bisa mendapatkan perempuan secantik dan sebaik Teh Nisa. MasyaAllah...
“Ada apa, teh?”
“Kamu lagi apa, Bin?” tanya teh Nisa, dia langsung menangkup wajah Bina dengan sebelah tangannya. “Tunggu! Kamu nangis, ya? Kok ini sembab sih?” tukas teh Nisa melihat sembab di mata Bina.
Bina dengan cepat menggeleng, “Enggak, enggak, Bina gak nangis kok. Apaan sih, teh! Lagian, gak ada yang bisa buat aku nangis kali.” ucap Bina, dia terkekeh pelan.
“Kalau ada apa-apa, cerita aja sama teteh. Oke?”
Bina mengangguk, dia bersyukur memiliki teh Nisa dalam hidupnya. Teh Nisa ini benar-benar memberikan kasih sayang dan perhatian layaknya seorang ibu pada anak, terlebih Bina sudah ditinggalkan ibunya sejak dia masih duduk di bangku kelas 2 SD. Rasanya, kasih sayang kurang lengkap Bina dapatkan dan terasa sempurna saat teh Nisa datang.
“Makasih, ya, teh. Oh, iya ada apa?”
“Tuh kan, teteh sampai lupa.” ucap teh Nisa, dia berdecak pelan. “Itu, di bawah ada temannya Aa, dia nyari kamu.”
Bina mengerutkan kening bingung, “Hah! Teman Aa nyari aku? Siapa? Mau apa?” tanya Bina tak mengerti, dia tak merasa punya urusan dengan teman kakaknya itu.
“Teteh gak tahu. Yaudah, kamu temuin aja dulu.”
“Tapi, teh...”
“Kenapa sih emangnya? Orang nemuin doang kan? Udah, gakpapa. Ayo!”
Terpaksa, Bina menurut. Dia mengikuti langkah teh Nisa ke lantai bawah, menemui tamu yang merupakan teman a Gilang yang sudah menunggu di ruang tamu.
“Mas Ghani,” gumam Bina saat melihat siapa yang duduk menunggu di ruang tamu.
Teh Nisa tersenyum tipis melihat keterkejutan Bina yang tak bisa gadis itu sembunyikan.
“Malam, Bin. Sorry, ya saya ganggu kamu.”
Bina menggeleng, “Gakpapa kok, mas. Tapi, ada apa, ya?”
Ghani tersenyum tipis, dia mengeluarkan ponsel milik Bina dari sakunya, kemudian meletakkan diatas meja di hadapan pemiliknya. “Ponsel kamu ketinggalan di cafe tadi. Jadi, saya kesini buat anterin ini.”
Bina tersentak mendengarnya, dia bahkan tak sadar jika ponselnya tertinggal.
“Tunggu! Di cafe? Kalian—”
“Saya tadi gak sengaja ketemu Bina di jalan, dia—”
Bina membulatkan matanya, takut jika Ghani mengatakan semuanya. “Mas, makasih ya udah dianterin. Aku cari-cari ternyata ketinggalan. Oh, iya, ini udah malam juga ternyata ya.”
Ghani tahu maksudnya, itu sebuah pengusiran secara halus. Dia mengangguk-angguk, melirik jam di pergelangan tangannya. “Iya. Udah malam juga ternyata. Yaudah, kalau begitu saya permisi ya.”
“Iya, mas. Sekali lagi makasih ya.”
Setelah kepergian Ghani, terbitlah senyum mencurigakan yang ditujukan teh Nisa untuk Bina yang langsung gelagapan.
“Teh jangan salah paham dulu, ya. Aku tuh—”
“Teteh setuju kalau kamu sama Ghani. Dia baik kok, pekerja keras juga, terus dia punya usaha sendiri loh. Udah mapan lah hitungannya.”
“Apaan sih, teh! Orang aku gak ada apa-apa sama mas Ghani. Tadi, kebetulan aja ketemu. Udah itu doang.”
Teh Nisa terkekeh, “Iya deh, iya. Teteh percaya.” ucap teh Nisa diselingi senyuman menggoda untuk Reina.
“Ghan, Ghan, gercep juga, ya lo.”
Mereka tengah menikmati makan siang bersama di sebuah restoran setelah sebelumnya melakukan meeting membahas bisnis properti yang akan jadi kerja sama mereka kedepannya.
Ghani tersenyum tipis, sedangkan Syahrul mengerutkan kening bingung sambil menyeruput ice coffee nya.
“Apa nih? Gue ketinggalan info apa lagi?” tanya Syahrul, dia menatap bingung kedua temannya bergantian.
“Ini, si Ghani. Dia udah ngapelin adik gue aja semalam.” ucap Gilang, dia menunjuk Ghani dengan dagunya dan terkekeh. “Mana Nisa bilang kalau Ghani sama Bina sempat ketemuan di cafe. Entah deh ngapain nih anak.” lanjut Gilang.
Syahrul ikut terkekeh mendengarnya, dia menatap Ghani. “Gila... Giila, gila, gila! Gak main-main sih emang nih anak.”
Ghani mengunyah nasi berserta lauk di mulutnya, menyedot orange juice miliknya. “Gini loh. Kalian kan tahu gue, tahu gimana gue. Gue kan gak pernah main-main sama sesuatu. Kalau gue pengen, ya, pasti gue berusaha buat dapatin nya. Like gue akan terus berusaha sampai gue dapatin apa yang gue mau. Like that!”
Syahrul mengangguk-angguk, “Ya, ya kita tahu lo. Lo bukan tipikal orang yang akan nyerah gitu aja. Lo akan lakuin apapun asal apa yang lo mau bisa jadi kenyataan.”
“Oke, terus lo ngapain sama adik gue di cafe?”
“Oh, itu. Gue gak sengaja ketemu dia di jalan, hujan-hujanan lagi. Makanya, gue ajak dia ke cafe buat gue tawarin minuman hangat. Eh, dasar adik lo beda dari yang lain. Boro-boro mau minum, gue mau pesenin aja dia gak mau. Mana langsung mau pulang lagi.”
Gilang terkekeh, dia tahu itu pasti akan terjadi. Adiknya memang seperti itu.
“Lah, bg! Lo kenapa gak anterin aja tuh anak. Kesempatan kedua itu.” ucap Syahrul.
“Kalau dia mau. Masalahnya dia gak mau, dia langsung ngibrit gitu aja. Beruntung nya sih HP dia ketinggalan, ada deh alasan gue buat datang ke rumah lo, Lang buat ketemu Bina. Ya kali aja malam-malam gue ketemu lo, mau ngapain kita? Kerja? Gila aja!” ujar Ghani, dia terkekeh dan kembali menikmati makanannya.
Syahrul menarik sudut bibirnya, melirik Gilang sekilas sambil mengendikkan dagunya. “Sengaja kali tuh adik lo ninggalin HP nya. Biar Ghani nyamperin gitu, taktik lah.” canda Syahrul, dia terkekeh.
Gilang langsung menatap datar Syahrul, berdecak pelan. Dia menggeleng, “Gak mungkin! Gak mungkin banget Bina lakuin itu, dia bukan kayak cewek kebanyakan, ya yang centil sana sini. Aduh... Adik gue gak kayak gitu. Itu sih emang beneran gak sengaja ketinggalan aja. Dasar, lo ah!”
Syahrul terkekeh, senang menggoda Gilang.
Ghani mengangguk, setuju dengan ucapan Gilang. “Iya, gue juga yakin gitu. Orang nyampe rumah lo aja gue udah langsung diusir sama Bina.” tugas Ghani yang membuat Syahrul dan Gilang tak percaya. “Yoi, dia ngusir gue. Ya, meskipun secara halus ya. Tapi, ya gitu. Adik lo emang beda dari cewek lain. Jadi, bikin gue tambah suka aja.”
“Tapi, ingat! Dia adik gue. Awas aja kalau sampai lo nyakitin dia. Sekali lo nyakitin dia atau buat dia nangis sedikit aja. Udah, kelar semuanya. Pertemanan kita, selesai saat itu juga.”
“Anjay...” sahut Syahrul.
Ghani mengangguk-angguk, dia mengerti kenapa Gilang bersikap demikian. Ini sebuah ungkapan rasa sayang seorang kakak laki-laki untuk adik perempuan nya, terlebih dia juga tahu jika Gilang berperan sebagai orang tua, lebih tepatnya ayah untuk Bina sejak meninggalnya kedua orang tua Gilang saat Bina masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Siap-siap. Gak bakal gue nyakitin Bina. Berarti udah deal nih, lo terima gue jadi ipar lo?”
“Bisa gue pertimbangkan lah.”
“Hahaha...”
***
Bina keluar dari area kampus, berniat menyebrang jalan untuk pergi ke cafe di depan kampusnya. Kelas pertama sudah selesai, dia masih ada dua kelas lagi dan itu dilaksanakan jam satu siang. Dan, sekarang masih jam setengah sebelas siang. Jadi, lebih baik dia menunggu di cafe saja sambil melanjutkan naskahnya yang belum selesai.
Laptop+cafe+naskah dan jangan lupakan uang untuk membayar semua makanan dan minuman yang nantinya menemani.
“Mbak, aku mau matcha latte yang grande sama croffle yang ini satu. Atas nama Gemi, ya.”
“Oke, kak. Ada lagi?”
“Udah itu aja.”
“Oke, jadi semuanya Rp..... Mau pembayaran apa kak? Cash atau apa, kak?”
Bina mengeluarkan ponselnya, membuka salah satu aplikasi pembayaran online yang sepertinya anak jaman sekarang sudah tak asing lagi. “Pake aplikasi Dena, bisa ya?” tanya Bina yang diangguki barista yang melayani nya.
“Bisa kak.”
Setelah melakukan pembayaran, Bina bergegas menuju pojokan dari cafe. Tempat yang menurutnya paling oke untuk dia yang tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian. Dia segera mengeluarkan laptopnya, membuka words untuk melanjutkan tulisan naskahnya sambil menunggu pesanannya selesai dibuat.
Bina terdiam kini, membaca kembali penggalangan naskah tersebut untuk membuatnya bisa kembali melanjutkan cerita ini. Perasaan itu coba dia rasakan dan perlahan rasa sakit itu muncul saat ucapan Arga kembali terngiang di benaknya.
“Gue kayaknya suka deh sama Caca,”
Rasa sakit itu sudah Bina rasakan, namun dia bingung bagaimana melanjutkan kisah ini. “Ih... Nyebelin banget! Bisa-bisanya aku galau karena Arga. Udah sih, Bin. Ikhlasin aja.”
Sulit, susah rasanya mengikhlaskan ini semua. Mungkin mulutnya gampang berucap demikian, namun nyatanya dia sulit melakukan itu semua.
“Atas nama Kak Gemi,”
Bina menoleh saat namanya di panggil, pesanannya sudah selesai dibuat. Dia beranjak hendak mengambil pesanannya dan saat akan kembali ke tempatnya, dia dikejutkan dengan suara seseorang yang baru saja memesan minuman, suara yang dia kenal.
Bina menoleh, berniat melihat siapa orang itu. Dan, alangkah terkejutnya dia saat melihat siapa orang itu.
“Mas Ghani?”
“Loh, Bina? Kamu disini?”
Bina mengangguk, “Iya, Mas. Kebetulan kampus aku yang depan.”
Ghani ber'oh'ria, dia mengangguk-angguk. “Oh, jadi kamu anak kampus sini. Saya juga lulusan dari sini tahu.”
“Oh, ya? Jadi, mas Ghani kuliah di kampus ini juga? Oh... Pantes sih. Kata a Gilang tuh, kalau Mas Ghani emang cerdas. Jadi, wajar kalau kuliah di sini.” ucap Bina, dia tahu bagaimana sulitnya masuk ke universitasnya ini. Wow, sangat sulit.
Ghani terkekeh, “Bisa aja kamu. Eh, tapi ini kamu lagi puji diri sendiri, ya?” tukas Ghani.
“Hah?”
“Kamu bilang yang kuliah disini tuh pasti orang-orang cerdas dan sekarang kamu juga mahasiswi disini. Bukannya itu artinya kamu juga cerdas?”
Bina terdiam, mencerna ucapan itu. Dia tersenyum kikuk akhirnya saat sadar sesuatu. “Bukan gitu maksud aku. Gimana, ya?” ucap Bina, dia bingung menjelaskan padahal dia tidak bermaksud demikian, apa lagi sampai ingin memuji diri sendiri. Tidak loh.
“Iya, iya, saya ngerti kok.”
Bina mengangguk, “Iya, syukur deh mas. Yaudah, kalau gitu aku permisi.”
“Iya.”
Bina beranjak pergi menuju tempatnya, kembali berkutat dengan laptopnya juga naskah novelnya yang akan dia lanjutkan, ditemani minuman juga croffle.
“Fokus amat neng,”
Bina seketika mendongak mendengar ucapan seseorang, dia mengulum senyumnya melihat keberadaan Arga yang kini dihadapannya. Namun, saat kejadian semalam kembali terlintas di benaknya, senyumnya itu luntur seketika.
Arga menarik kursi, duduk di hadapan Bina dan langsung mengambil garpu, memotong croffle milik Bina dan melahapnya.
“Ih, Arga...”
“Minta dikit, juga.”
“Kebiasaan.”
Arga tersenyum lebar, dia mengunyah croffle di mulutnya dan menatap Bina yang fokus pada laptopnya, mengacuhkan dia yang datang menghampiri perempuan itu.
“Gila, gue di kacangin.”
Bola mata Bina bergerak keatas, menatap Arga yang menatapnya lekat dengan senyuman yang membuat Bina kesal. Senyuman Arga itu manis, selalu membuat jantungnya berdebar tak karuan dan sialnya, Arga selalu menunjukkan senyum itu pada Bina. Kesal sekali rasanya.
“Kamu ngapain kesini?” tanya Bina, dia mencoba untuk bersikap datar, tapi sulit. Memang dasarnya dia pribadi yang hangat, sulit sekali untuk menjadi dingin dan datar, meskipun pura-pura.
“Gue cari lo di kampus tadi, tapi gak ada. Dan, benar aja dugaan gue, lo disini.”
“Iya, terus kamu mau ngapain?”
“Mau minta tolong,”
“Apa?”
“Temenin gue ke toko buku, yuk!”
Bina mengerutkan keningnya, Arga ke toko buku? Hello... Sejak kapan Arga suka buku?
Tahu dengan pemikiran Bina membuat Arga tertawa jadinya, dia bisa menebak apa yang tengah dipikirkan Bina dan dia yakin tebakannya itu seratus persen benar. “Ya ampun... Gue tahu, gue bukan pecinta buku. Tapi, ya, emangnya salah kalau gue datang ke toko buku?” tanya Arga, dia menggeleng, tidak membenarkan pertanyaannya.
Bina menggeleng, “Bukan. Tapi, maksud aku emangnya kamu mau ngapain? Mau cari buku apa, gitu?”
“Udah, lo juga nanti tahu sendiri di sana. Jadi, gimana, bisa, gak? Gue yakin sih, bisa.”
Bina mendengus, dia terkekeh. “Duh, itu maksa namanya.” balas Bina, dia justru tersenyum. Gagal sudah rencananya untuk bersikap berbeda pada Arga dari biasanya, nyatanya dia masih menganggap Arga spesial.
Arga tertawa, dia mengangguk-angguk. “Nah, itu tahu. Gimana?” tanya Arga, dia butuh kepastian.
Bina mengangguk, “Bisa sih. Tapi, aku masih ada kelas nanti abis dzuhur. Palingan, ya kita ke toko bukunya agak sore. Gakpapa?”
Arga mengedikkan bahunya, “Gak masalah gue. Lo mau anterin aja udah bersyukur gue.”
“Ada bayarannya gak?”
“Wah... Sudah pasti dong! Tenang aja!” jawab Arga, dia mengedipkan sebelah matanya, genit sekali dan justru membuat Bina tertawa.
Entah apa lagi yang mereka bicarakan, yang jelas Bina jadi tidak fokus pada naskahnya dan justru fokus pada Arga. Senyuman dan tawa senantiasa menghiasi bibir Bina atas semua tingkah dan cerita Arga. Dan, tatapan lain pun terlihat jelas dari mata Bina. Tatapan memuja, tatapan suka pada lawan jenis dan Bina tak bisa menyembunyikan itu. Dan, Ghani yang melihatnya sejak tadi tahu jika Bina sudah melabuhkan hatinya untuk laki-laki lain.
Dan, sekarang Ghani tahu siapa Arga itu. Laki-laki yang Bina suka.
Kalau sudah tahu begini, apa yang harus Ghani lakukan? Terus melaksanakan niatnya atau justru lebih baik berhenti sebelum dia melangkah lebih jauh lagi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!