"Selamat diterima kerja Kiran!!" seru Putri dan Cia bersama-sama membuat banyak orang di dalam cafe melihat ke arah mereka bertiga.
"Udah. Malu tau"
"Emang kenapa? Kan kita seneng banget akhirnya kamu diterima sesuai dengan yang kamu pengenin"
"Iya. Kamu juga udah kerja keras biar bisa diterima" ucapa Putri dan Cia menambah rasa bangga dalam diri Kiran.
"Oke ... oke. Makasih ya sahabatku tersayang!!!" teriak Kiran tidak mau kalah. Lebih baik dia menambah keramaian daripada malu sendiri.
Beberapa orang tertawa karena melihat tingkah mereka. Tapi Kiran tidak peduli lagi. Putri dan Cia merayakan kabar diterimanya dia bekerja di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Malang. Sesuatu yang memang dimpikannya sejak lama. Bukan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliahnya. Tapi kota yang akan ditempatinya saat bekerja nanti. Malang. Tempat dia dilahirkan. Tempat dia dibesarkan sampai berumur empat belas tahun. Juga tempat terakhir dia bertemu ibu, ayah dan juga ... orang itu.
"Jadi ... kamu bakal tinggal di rumah lamamu?" tanya Putri menggugah lamunan Kiran.
"Tapi rumah itu kan gak ditinggali lama. Berapa tahun? sepuluh tahun?"
Kiran tersenyum mengetahui betapa perhatian dua sahabatnya itu.
"Udah dibenerin kok. Bibi bilang kalo rumah itu sempet dikontrakin habis dirombak. Tapi luarnya tetep dijaga kayak dulu. Kan sayang rumah bersejarah dari jaman Belanda"
"Wuihhh kalo malem-malem pasti ngeri juga ya. Kamu yakin gak mau ditemenin?" tanya Cia dengan menunjukkan ekspresi ngeri.
Kiran tersenyum lagi. Sebenarnya dia juga sempat ragu untuk tinggal di rumah itu. Rumah yang menyimpan banyak sekali kenangan baik itu indah dan buruk. Tapi ... dia hanya ingin mengingat ibunya saja saat pertama kali masuk ke rumah itu lagi setelah sepuluh tahun lamanya. Dia bahkan tidak pernah ke kota kelahirannya sejak pindah ke Jakarta karena kenangan itu.
"Aku ... pengen masuk kesana sendiri. Yah ... paling gak buat hari pertama"
Kedua sahabatnya terdiam sejenak setelah mendengar kata-klata Kiran. Mereka tahu kalau pulang ke Malang dan rumah itu adalah sesuatu yang sangat penting baginya.
"Pokoknya kalo kamu ngerasa takut sama kesepian, telpon aku aja. Aku bakal terbang cepat ke Malang dan nemenin kamu"
"Selesaiin dulu urusan wisuda kamu tuh"
"Lho, wisuda kamu bukannya udah selesai urusannya Cia?"
"Belum lah. Kan aku males. Gak kayak kalian yang semuanya tepat waktu"
Sebenarnya daripada Kiran, Putri adalah yang terpintar diantara mereka bertiga. Lulus kulian manajemen dalam waktu tiga setengah tahun saja. Setelah lulus langsung diterima kerja di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Tapi setelah bekerja selama dua tahun memutuskan untuk berhenti dan mendirikan toko online sendiri dan sukses menjadi pengusaha sampai sekarang. Sedangkan Cia yang merupakan putri pengusaha batu bara di Kalimantan menjalani kehidupan yang lebih santai daripada Kiran dan Putri. Meskipun pandai, Cia memilih untuk menikmati masa kuliahnya dengan maksimal dan akhirnya lulus di tahun keenam.
Kiran sendiri sebenarnya tidak begitu pandai seperti Putri dan Cia. Dia hanya diberi anugerah berupa rajin oleh Tuhan. Membuatnya melakukan semuanya dengan cepat dan sepenuh hati. Hal itu membuatnya mendapat beasiswa hampir selama tiga tahun di Universitas sebelum akhirnya Kiran memutuskan untuk bekerja di tahun terakhirnya kuliah. Setelah lulus, dia tetap bekerja di tempat yang sama sambil mencari informasi penerimaan Pegawai Negeri.
"Tapi sekarang kan udah selesai Cia"
"Udah dong. Kamu berdua harus hadir nanti bulan Oktober. Jangan beralasan sibuk dan macem-macem. Jangan panggil aku sahabat kalo kalian gak dateng di wisuda aku" ancam Cia.
"Oke" jawab Kiran dan Putri hampir bersamaan.
"Apa Bibi kamu dateng bawa oleh-oleh Ran?" tanya Cia mengingatkan Kiran tujuannya mengajak kedua sahabatnya bertemu.
"Iya. Bibi udah beliin kalian baju batik. Outer kayaknya sama bakpia terus apa lagi gitu"
"Aseek. Yok ke rumah kamu. AKu juga pengen denger cerita bulan madu Bibi kayak gimana. Apa mereka pulang dengan benih yang ada di dalam perut Bibi kamu?"
Rasa ingin tahu Cia yang seperti ini, menyusahkan Kiran dan Putri selama mereka berteman. Untuk masalah seperti ini, Cia sungguh cepat menangkap.
"Kalian tanya sendiri aja deh"
Ketiga sahabat itu pergi ke rumah bibi Kiran dengan mobil Cia. Mobil Putri terpaksa ditinggal di kafe karena rumah Bibi Kiran berada di dalam gang jalan yang ramai sekali. Tidak ada tempat parkirnya. Lain kalau mereka bertiga naik motor seperti Kiran. Mereka sampai saat Bibi Kiran sedang sibuk membereskan barang bawaan dari Jogja.
"Bibi!!!" seru Cia dari luar rumah mengejutkan Bibi Kiran.
"Kalian dateng! Sini. Bibi udah bawain oleh-oleh"
"Kalo Cia lebih butuh cerita Bi. Gimana malem pertama Bibi di Jogja?"
"Ciaaaa"
Kiran dan Putri geleng-geleng kepala karena pertanyaan Cia yang tidak basa-basi itu.
"Gak apa-apa kan Bi, Cia tanya gitu"
"Duhhh Cia, itu kan rahasia perusahaan"
Cia sepertinya kecewa mendengar penolakan Bibi. Tapi tidak dapat berbuat apa-apa karena Paman datang membawakan teh untuk mereka semua. Disaat Putri dan Cia sibuk mendengar cerita Bibi, Kiran masuk ke dalam kamarnya dan melihat koper di atas kasur. Semuanya sudah siap untuk keberangkatannya ke Malang besok sore. Harusnya dia merasa sedih karena harus meninggalkan Bibi yang selama ini membesarkannya menggantikan ibu. Tapi kini Kiran bahagia karena tidak meninggalkan bibinya sendirian di rumah ini. Rumah yang menjadi saksi perjuangan mereka berdua sebagai Bibi dan keponakan di ibu kota.
"Kamu bawa pakaian dikit aja. Paman bakal ngirim sisanya lewat paket. Biar kamu gak repot bawanya" kata Paman baru Kiran yang muncul di depan kamarnya.
"Iya deh paman. Tolong ya!"
"Iya. Jangan lupa obat-obatan yang udah dibeli bibi kamu tadi pagi dia atas meja"
Setelah menunjuk ke atas meja rias, Paman Joni pergi ke dapur. Sepertinya bersiap membuat makanan. Kiran tersenyum membuka kantong plastik berisi obat-obatan yang dibeli oleh bibinya dan mulai menata semuanya di koper. Sedangkan bajunya yang lain mulai dimasukkannya di dalam kardus. hanya satu kardus besar berisi baju dan perlengkapannya. Karena Kiran tidak terlalu senang membeli apa-apa untuknya. Dia lebih suka menabung dan menyimpan uang untuk keperluan yang mendadak.
Akhirnya semua siap dan Kiran berhasil menyelesaikan semuanya dalam beberapa menit saja. Dua sahabatnya yang menyusul ke kamar tiba-tiba menampakkan wajah sedih, membuatnya merasa bersalah.
"Kan kalian bisa dateng ke Malang. Aku juga bisa pulang ke Jakarta dua bulan sekali"
"Iya"
Mereka bertiga berpelukan seakan tidak ingin berpisah satu-sama lain. Tapi inilah kehidupan. Meski mereka sangat dekat dari SMP, akhirnya akan terpisah karena pekerjaan dan kehidupan masing-masing. hal yang tidak bisa dihindari itu akhirnya datang juga dan memaksa mereka terpisah satu sama lain.
"Ada yang ketinggalan gak?" tanya Bibi untuk yang kesekian kalinya.
Kiran melihat ke arah koper, tas berisi makanan lalu menggeleng.
"Gak ada kayaknya Bi. Tadi kan Kiran udah periksa lagi sebelum berangkat ke stasiun"
"Jangan sampai lupa makan. Kalo gak sempet belanja sama masak, beli aja"
Kiran tersenyum. Dia mengerti pasti bibinya itu sedang mengkhawatirkannya. Maklum, mereka memang tidak pernah berpisah selama sepulkuh tahun ini. Apapun yang terjadi, mereka selalu berdua dan seperti tidak dapat dipisahkan. Tapi sekarang Kiran sengaja melepaskan diri. Untuk menjalani kehidupannya sendiri. Begitu juga dengan bibinya yang harus mengurus keluarga barunya.
"Kiran udah besar Bi"
"Iya ... tapi ... "
Kiran melihat air mata kembali mengalir di pipi Bibinya. Dia memeluk Bibi yang sudah seperti ibunya sendiri itu dan merasakan kehangatan yang sama seperti biasanya.
"Kiran bakal makan teratur. Juga telpon Bibi tiap hari. Tapi ... agak siang aja ya Bi. Takutnya Kiran ganggu quality time Bibi sama Paman lagi" canda Kiran membuahkan sebuah cubitan di perutnya sendiri. Sakit bercampur geli rasanya.
"Pokoknya telpon kapanpun kamu mau. Bibi bakal nunggu terus setiap hari. Kalo bosen disana sendiri, pulang ke Jakarta"
"Iya"
Kiran melepas pelukannya dan menghapus bekas tangisan Bibinya.
"Ran, aku cuma bisa nemu minuman yang ini. Gak apa kali ya?"
Kiran terkejut melihat dua kantung plastik minimarket yang penuh di tangan Cia dan Putri.
"Kalian mau ikut?" tanya Kiran curiga.
"Ini semua buat kamu. Habisnya kan kamu nanti di rumah sendirian. Mending nyetok makanan instan kayak gini"
Kiran melihat mi instan, kue kecil kesukaannya dan banyak sekali coklat.
"Aku kan cuman sendirian nanti. Bisa buat satu bulan tuh setoknya"
"Pokoknya habisin. Jangan sampe kamu kelaparan gara-gara takut keluar rumah nanti" perintah Putri.
"Baik Bos" jawab Kiran dengan posisi siap.
Saat dia mengira bawaannya sangat banyak, Kiran keliru. Pamannya yang tadi berjalan-jalan di sekitar stasiun kembali membawa satu kantung plastik berisi brownies khas Bandung tiga kotak.
"Ini ... "
"Kamu bawa aja" kata Pamannya lalu menyerahkan semuanya pada Kiran.
Sepertinya Kiran bakal gendut kalo harus menghabiskan semua makanan ini. Apalagi di rumah lamanya belum ada kulkas untuk menyimpan makanan yang cepat basi.
Setelah menata kembali barang bawaannya, Kiran akhirnya membawa dua tas di tangan kiri dan satu koper di tangan kanannya lalu berjalan masuk ke dalam area stasiun. Dia melambaikan tangan sebelum menghilang ke dalam. Dan sempat melihat Cia menangis. Sedih sekali rasanya meninggalkan satu-satunya keluarga yang dia miliki, juga dua sahabatnya untuk pergi bekerja. Tapi ... Kiran tau kalau semua ini perlu dilakukannya. Demi kedamaian di dalam hatinya.
Kiran masuk ke dalam kereta Gajayana yang akan mengantarnya ke Malang dan meletakkan semua barang bawaannya di atas kursi. Tak lupa dia menyapa orang yang duduk di sebelahnya. Mereka akan menjadi teman perjalanan selama tujuh belas jam berikutnya. Suara peluit menandakan kereta akan berangkat dan Kiran merasakan hentakan ke arah depan. Perlahan kereta Gajayanan jurusan Jakarta-Malang akhirnya berangkat. Dia menghembuskan napas panjang lalu mengetik teks kepada Bibi dan dua sahabatnya.
"Aku berangkat. Doain ya!!! I Love you"
Pesannya segera mendapat balasan yang hampir membuatnya menangis. Intinya, Bibi, Paman, Cia dan Putri akan menunggu kabarnya selalu. Juga mendoakan Kiran menemukan apa yang dicarinya di Malang nanti.
Yang dicarinya?
Apa sebenarnya yang dicarinya di Malang?
Kenangan akan ibunya?
Atau ... orang yang tidak pernah dilihat atau didengar kabarnya lagi selama lebih dari sepuluh tahun ini? Orang pertama yang membuat hatinya sakit sampai terpaksa pergi dari kota kelahirannya sendiri. Orang asing yang sempat menjadi keluarga lalu kembali menjadi orang asing itu. Kakaknya.
Tujuh belas jam akhirnya berakhir begitu saja saat kereta berhenti di Stasiun Kota Malang.
"Aku baru aja nyampe Bi"
"Gak capek? Kamu pasti capek banget ya? Kan Bibi udah bilang mending naik pesawat aja"
Kiran segera menghubungi Bibinya begitu menginjakkan kaki di Malang.
"Gak apa Bi. Kiran juga bisa tidur kok di kereta"
"Ya udah. Kamu bisa pesen ojol atau naik becak buat ke rumah. Tapi kasian nanti tukang becaknya"
"Nanti Kiran liat dulu di depan ya Bi. Ini Kiran belum keluar dari stasiun"
"Oh, iya deh. Pokoknya makan dulu kalo udah nyampe rumah"
"Iya Bi"
Kiran keluar dari stasiun dan disapa oleh banyak orang yang menawarinya mobil sewa dan becak. Karena jarak rumahnya lumayan jauh dari stsiun, Kiran memesan ojol mobil. Kasihan tukang becak kalau harus mengantarnya apalagi membawa banyak barang seperti ini. Melihat tugu Malang membuat Kiran yakin kalau dia benar-benar sudah ada di kota kelahirannya. Sepertinya tidak banyak yang berubah dari kota ini. Hanya beberapa kecil saja dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu. Kiran menikmati perjalannya dengan melihat setiap jalan yang dilaluinya dan tak lama sampai di sebuah rumah tidak asing.
Daerah yang tidak pernah berubah. Mungkin karena dekat dengan sebuah Museum yang berdiri sejak tahun 1962 itu. Juga berada di sekitar jalan besar Ijen yang masih sama dari dulu sampai sekarang.
"Sudah sampe Mbak" kata sopir ojek online itu menyadarkan Kiran dari lamunannya.
"Iya Pak. Barangnya yang di belakang minta tolong dikeluarkan Pak"
"Iya"
Setelah Kiran membayar ojol, dia hanya bisa berdiri di depan pagar yang diingatnya itu. Dia menarik napas panjang lalu berjalan memutari pagar menuju pintu gerbang dan merasa dadanya sesak. Seperti memasuki pintu waktu ke masa lalu yang selama sepuluh tahun ini sengaja disingkirkannya. Karena ingin bertahan hidup demi masa depannya.
"Gak berubah" komentarnya saat memasuki gerbang. Dia bisa melihat rimbunnya tanaman yang ada di sekitar rumah. Lebih tidak terawat dari sepuluh tahun lalu. Hanya dua pohon besar yang diingatnya sudah tidak menaungi rumah ini lagi dari sinar terik matahari. Kata Bibi dua pohon itu sudah terlalu besar dan terpaksa ditebang agar tidak membahayakan rumah. Kiran berjalan ke arah teras dan tiba-tiba air matanya mengalir tak tertahan lagi.
"Ibu ... Kiran pulang" katanya dengan suara parau.
Semua ingatan akan ibunya lewat secara liar di pikirannya saat ini. Menimbulkan rasa rindu yang menyesakkan dada.
Sepuluh menit kemudian Kiran menghapus sisa air mata yang ada di pipinya. Berusaha untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Tapi pintunya terkunci. Oh iya, dia lupa minta kunci pada Bibinya. Dimana orang yang menyewa rumah ini terakhir kali meletakkan kuncinya? Kiran sibuk menggeser pot dan kursi, berharap menemukan kunci, tapi tetap tidak menemukannya.
"Kamu sudah datang?"
Kiran terdiam mendengar suara yang berasal dari belakangnya. Suara yang tidak pernah didengarnya lagi selama sepuluh tahun ini. Suara orang yang berhasil membuatnya pergi dari kota kelahirannya. Kiran berbalik dan melihat orang itu. Dengan matanya yang tidak berkedip, Kiran menangkap wajah yang sama tapi kesan yang begitu berbeda dari orang itu.
"Zanna. Apa kabar? Kamu masih ingat kakak?"
Ingat? Lebih tepatnya tidak bisa melupakan. Tapi, orang ini bukan seperti sepuluh tahun lalu. Banyak sekali perbedaannya. Mungkin dagu yang bersih? Bukan ... wajah orang ini terlalu bersih. Juga baju dan cara berdiri orang ini lebih ... rapi daripada yang selalu diingatnya sepuluh tahun lalu. Tapi tidak ada orang lain yang akan memanggilnya dengan nama itu. Selain ayah, ibu dan orang yang berdiri di depannya ini.
"Kak ... Dhika?" tanya Kiran lalu disambut senyuman oleh orang itu.
"Zanna, kenalkan ini Pak Burhan. Orang yang akan jadi ayah Zanna"
Kiran sangat mengingat hari itu. Hari dimana ibunya mengenalkan seorang laki-laki besar dan tinggi sebagai ayah barunya. Saat itu Kiran belum mengerti karena baru berumur lima tahun. Yang Kiran tahu, ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Ayahnya yang bekerja di sebuah sumur bor minyak tengah laut, mengalami kecelakaan dan meninggal begitu saja. Ibunya yang sedang mengandung sempat mengalami syok berat juga karena diusir oleh keluarga ayah Kiran setelah kejadian itu. Akhirnya Kiran lahir di rumah ini. Rumah peninggalan orang tua ibu dan bibinya. Rumah tua peninggalan Belanda yang masih kokoh meskipun beberapa bagiannya perlu diperbaiki.
Untuk membiayai hidup, ibu Kiran meneruskan pekerjaannya sebagai sekertaris di salah satu mall Malang. Kiran ditinggal di rumah dengan pembantu dan juga Bibinya. Karena sibuk, Kiran menghabiskan banyak waktu tumbuhnya bersama Bibi dan bukan ibunya. Jadi ... saat ibunya memutuskan untuk menikah dengan Pak Burhan, dia tidak merasakan apa-apa. Dia hanya kesal karena rumah yang biasanya sepi menjadi sangat ramai. Karena bosan, Kiran memutuskan untuk berjalan-jalan di luar rumah dan ingin menghampiri temannya yang bernama Tasya.
Belum sempat keluar dari halaman, Kiran melihat seorang anak laki-laki yang duduk dengan wajah cemberut ke arah rumah. Siapa dia? pikir Kiran lalu lanjut berjalan ke rumah Tasya untuk bermain.
"Hei kamu!"
Kiran menoleh dan melihat anak laki-laki itu.
"Apa?"
"Kamu senang dapet ayah baru?"
"Ayah baru?"
"Iya. Kan kamu dapet ayah baru"
"Siapa?"
"Dasar anak kecil!"
Kiran memicingkan matanya merasa tidak suka karena dikatai sebagai anak kecil.
"Kamu juga masih kecil!" teriak Kiran.
"Aku udah SD, kamu masih TK"
"Tapi kamu juga belum gedhe"
"Kamu yang bocil"
Dikatai anak kecil saja Kiran sudah marah, apalagi bocah cilik. Selama ini dia tidak pernah diperlakukan seperti anak kecil. Dia harus mandiri karena ayahnya sudah meninggal dan ibunya selalu bekerja untuk mencari uang. Dia juga tidak pernah merepotkan pembantu yang disewa ibunya juga bibinya. Bahkan gurunya selalu memuji kedewasaan Kiran yang lain dari teman-teman TK-nya.
"Kamu bocah manja!" teriak Kiran lagi. Kali ini dengan mengembangkan kedua tangannya dan berjinjit. Berusaha membuat tubuhnya tampak tinggi dan besar.
"Apa? Tau apa kamu?"
"Iya. Kamu bocah manja"
"Dasar bocil galak"
"Aku gak galak! Kamu yang jahat!"
Pertengkaran mereka semakin menjadi karena tidak ada yang mengalah. Pertengkaran itu akhirnya terdengar sampai di dalam rumah dan beberapa orang mulai keluar untuk melihat.
"Kiran, ngapain?" tanya Bibinya yang menghampiri.
"Anak ini jahat. Ngatain Kiran"
"Kiran? Namanya bukan Zanna?" tanya anak laki-laki itu dengan sombongnya pada Bibi, membuat Kiran semakin kesal.
"Ini Zanna Kirania dan ini kak Radhika Pranaja, anak Pak Burhan" terang Bibi. Kiran sama sekali tidak tertarik mendengarnya.
"Bi, Kiran mau ke Tasya"
"Tapi ibu kamu pengen foto sekeluarga. Ayo Dhika juga"
"Gak mau!" kata keduanya kompak.
"Tapi ibu minta Bibi bawa kamu ke dalem. Dhika juga ayo"
Karena kesal, capek dan bosan, Kiran akhirnya tidak tahan. Dia mengeluarkan senjata terakhir yang dia punya.
"Huaaaaaa!!! Kiran gak mau. Kiran mau ke Tasya. Kiran mau ke Tasya!!" teriaknya bercampur tangis lalu memaksa Bibi mengantarnya ke rumah Tasya. Takut memperbesar tangis Kiran, akhirnya Bibi mengantarnya ke rumah Tasya. Tangis Kiran mereda, lalu dia mendengar anak laki-laki yang jahat itu bicara pelan.
"Enak banget bisa nangis"
Meskipun bisa melarikan diri ke rumah Tasya sampai sore hari. Kiran harus kembali ke rumah karena semua tamu sudah pulang semua. Rumah peninggalan kakeknya kembali seperti sedia kala. Besar dan sepi. Tapi ada kehadiran orang asing, membuat Kiran sedikit tidak nyaman. Dia memilih utnuk berada di kamar ditemani Bibinya. bahkan tidak ingin menemui ibunya yang begitu semangat memperkenalkan pak Burhan dan kak Dhika sebagai keluarga baru mereka.
"Zanna, bangun Nak"
Kiran terbangun karena suara merdu ibunya di pagi hari. Tidak biasanya dia mendengar suara ibunya di pagi seperti ini. Yang membangunkannya pasti Bibi atau pembantu mereka, karena ibu Kiran harus berangkat kerja pagi sekali.
"Ibu"
"Ayo bangun, sarapan. Kamu sekolah kan hari ini"
Kiran bangun dan melihat Bibinya siap kuliah. Juga anak laki-laki jahat yang bertengkar dengannya kemarin. Dan pak Burhan yang tinggi besar duduk di ujung meja makan.
"Zanna sudah bangun?" sapa pak Burhan tapi Kiran masih tidak mau menjawab.
"Nanti sekalian antar sekolah Kiran ya Mas"
"Boleh. Zanna berangkat sekolah sama ayah ya?"
Ayah? Kata Bibi pak Burhan memang resmi menjadi ayah Kiran sejak kemarin tapi rasanya aneh sekali memanggil orang asing dengan sebutan itu.
Jadilah Kiran ada di dalam mobil pak Burhan yang hitam dan besar. Ibunya melambaikan tangan dari rumah saat melihat mereka pergi. Ada yang aneh dari kejadian ini, tapi Kiran masih belum menyadarinya.
"Mulai sekarang Zanna berangkat sekolah sama ayah ya"
"Cih"
"Dhika!"
"Percuma ngomong sama bocil"
Kedua laki-laki yang duduk di kursi depan itu melihat sekilas pada Kiran yang masih tidak mengerti arti perkataan pak Burhan.
"Ayah Kiran gak ada. Kiran cuma punya ibu sama Bibi" kata Kiran saat turun dari mobil dan masuk ke dalam TK. Dia tidak peduli pada wajah sedih yang pak Burhan tunjukkan.
Kiran memang keras hati, tapi lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan kehadiran dua orang laki-laki di dalam rumahnya itu. Dia juga terbiasa berangkat sekolah dengan pak Burhan dan anak laki-laki jahat itu. Dan yang lebih membuatnya terbiasa adalah kehadiran ibunya di rumah. Sudah lebih dari sebulan, ibunya selalu menyiapkan sarapan, menyambutnya pulang dan menemaninya tidur siang. Bukan hanya itu, ibunya juga memasak makan malam dan membantunya mengerjakan tugas sekolah setiap malam.
"Kok ibu gak kerja sekarang?" tanya Kiran membuat semua orang melihat ke arahnya malam itu.
"Soalnya ibu gak perlu kerja lagi"
"Nanti gak bisa bayar sekolah Kiran sama Bibi"
"Ibu sudah bayar sekolah Bibi. Kalo buat Kiran ada yang ganti bayarin"
"Siapa?"
Kiran melihat ibunya menoleh ke Pak Burhan dan anak laki-laki itu.
"Ayah Burhan"
Kiran melihat ke pak Burhan yang tersenyum.
"Kenapa?" tanyanya lagi tidak mengerti.
"Sekarang Ibu ada di rumah buat ngurus Kiran, Bi Tia sama kak Dhika. Gak perlu kerja lagi kayak dulu"
"Jadi Kiran pulang sekolah, ibu ada di rumah?"
"Iya"
"Sampe kapan?"
"Setiap hari"
Mendengar itu Kiran merasa sangat gembira. Dia sudah menunggu lama sekali agar ibunya selalu ada untuknya saat pulang sekolah. Dan kini semua itu terwujud. Karena hadirnya seorang pria besar yang tersenyum hangat ke arahnya.
Besok paginya Kiran berangkat sekolah diantar oleh pak Burhan. Dan tentu saja dengan anak laki-laki yang wajahnya seperti mau marah itu. Saat Kiran turun dari mobil, dia menoleh pada pak Burhan dan memeluknya.
"Makasih Ayah" katanya lalu berlari ke dalam sekolah. Dia tidak tahu kalau hal itu membuat pak Burhan merasa senang sekali. Tapi ... hal itu juga menimbulkan hati seseorang menjadi lebih gelap dari sebelumnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!