Dua minggu sebelum pernikahan.
"Kamu tidak menginap?"
"Nanti saja, Ma. Aku ada tugas kuliah, yang harus dikerja."
"Ya, sudah. Nanti supir yang mengantarmu. Mungkin, tiga hari lagi, anak bandel itu pulang."
"Iya, Ma. Aku pamit dulu."
Resti mengantar calon menantunya, sampai halaman.
Sore tadi, Maya mampir ke rumah Zamar, tunangannya. Ia diminta untuk melihat gaun pengantin dan pernak-perniknya. Dua minggu lagi, acara pernikahan mereka diadakan. Tapi, Zamar meminta izin, untuk menyelesaikan pekerjaannya, diluar negeri.
Supir yang mengantar Maya, sudah parkir di halaman gedung apartemen.
"Disini saja, Non?"
"Iya, Pak. Terima kasih, ya."
Maya sudah berjalan masuk kedalam, sembari menerima telepon dari seseorang.
Didalam apartemen, ia dikejutkan dengan botol-botol minuman alkohol, diatas meja. Pandangannya bergeser, pada wanita yang tersenyum dengan mengangkat gelasnya.
"Surprise."
"Kau mabuk lagi?" Maya ikut bergabung duduk diatas sofa.
"Ini acara, melepas status lajang. Ayo, bersulang!" Sandra memberikan segelas minuman alkohol, padanya.
"Aku tidak minum. Aku perlu jaga kesehatan!" ketus Maya, yang hendak beranjak, tapi Sandra meraih lengannya.
"May, segelas saja. Zamar tidak akan membunuhmu, jika kau minum segelas."
Maya kembali duduk. Sebenarnya, ada nyawa lain dalam perutnya, yang perlu ia jaga. Tapi, hal ini, menjadi rahasia. Ia mau kejutan ini, sebaiknya Zamar yang lebih dulu mengetahuinya, sebelum orang lain.
"San. Kau tahu, kan, toleransiku terhadap alkohol? Jangankan segelas, setetes saja, aku sudah pusing dan mual. Minuman itu, tidak cocok untukku."
"Ayolah, please! Satu teguk saja, setelah itu, kau boleh pergi."
Maya menghela napas. Sandra adalah sahabat, yang sudah seperti saudara baginya. Meski, keduanya berbeda status sosial. Sandra terlahir dari keluarga terhormat dan kaya raya. Tidak sepertinya, yang seorang yatim piatu. Namun, hal itu bukan menjadi penghalang keduanya, untuk menjalin hubungan persahabatan.
"Oke, satu teguk." Maya menyambar gelas itu, lalu bersulang.
Uhuk, uhuk. Tenggorokan Maya, terasa terbakar. Ia menyambar gelas lain, yang berisi air putih.
"Baru seteguk, kau sudah batuk."
"Tidak enak. Tenggorokanku aneh."
"Itulah sensasinya." Sandra, menghabiskan satu gelas alkohol dalam satu kali tegukan.
Maya bersandar, dengan kepala yang mulai pusing dan mual. Ia melirik, satu botol minuman alkohol, sudah dihabiskan Sandra. Masih ada beberapa botol lagi, diatas meja.
"Kau mau lagi?" tanya Sandra yang kembali memberikan segelas.
"Tidak. aku sudah merasakan pusing dan mual." Maya memejamkan mata. "Kau berencana mabuk?"
"Benar. Sepertinya, aku tidak bisa menghadiri pernikahanmu."
"Kenapa?" Maya membuka mata, lalu menoleh. "Kau ada masalah?"
"Orang tuaku, mengatur pernikahan, tanpa sepengetahuanku. Katanya, anak rekan bisnis mereka. Kau tahu, kan. Mereka tidak menerima penolakan."
"Lalu, apa rencanamu?"
"Aku akan keluar negeri, minggu depan dan menetap disana. Tapi, jangan khawatir, aku akan sering menghubungimu." Sandra kembali meneguk segelas penuh, minuman alkohol.
"Sudah, berhenti. Kau sudah mabuk!" Maya merampas botol minuman. Tapi, kalah tenaga dengan Sandra.
"Mabuk, adalah obat terbaikku melupakannya."
Glek, glek, glek.
Tiba-tiba, kepala Maya semakin pusing. Pandangannya berputar dan mata terasa berat. Ia. menggeleng beberapa kali, tapi tetap sama.
"Aku ke kamar dulu. Aku mau tidur."
"Hmm. Aku akan menyusul." Sandra masih sibuk dengan minumannya. Ia tidak akan bangkit, sebelum menghabiskannya.
Maya sendiri, sudah ambruk diatas kasur. Kepalanya berdentam dan dia tidak kuat menahannya.
🍋🍋🍋
Pagi menjelang.
Cahaya matahari, sudah masuk melalui ventilasi. Maya merasa silau, saat setitik cahaya menerpa kedua maniknya, yang masih terpejam.
Maya mengerjap, sembari meluruskan sendi-sendinya. Tapi, sebuah tangan kekar memeluk pinggangnya dengan erat. Dan dia baru, sadar, jika tidak menggunakan pakaian.
Maya tersenyum simpul, dia bisa menebak, siapa pria yang sedang memeluknya. Dia mendiamkan tangan itu, menunggu, sampai si pemilik terbangun.
Waktu berlalu, pria dibelakangnya mulai bergerak. Bahkan, mendaratkan kecupan di bahunya.
"Selamat pagi."
Deg.
Suara pria asing, membuat jantung Maya, terpacu. Dengan cepat, ia menoleh. Detik itu, jantung Maya, seakan jatuh diatas tanah. Matanya membulat sempurna. Ia segera bangkit, menjauhi pria asing tanpa busana, diatas kasurnya.
"Ka-kau siapa?" Suara Maya bergetar, dengan memegang erat selimutnya.
"Sayang. Jangan begitu, baru semalam kita menikmatinya. Dan kau sudah lupa." Pria itu menyeringai dan turun dari tempat tidur.
"Jangan mendekat!" Maya bergerak mundur. "Aku tidak mengenalmu. Apa yang sudah kau lakukan?"
"Sayangku. Karena, kau tidak ingat, maka aku akan membantumu mengingat kembali, bagaimana semalam kau berteriak."
Maya berlari, menuju pintu. Dengan tangan yang gemetar, ia berusaha meraih handle. Tapi, pria itu, lebih dulu menangkapnya.
"Lepaskan, lepaskan!" Maya meronta-ronta, dengan memukul pria itu, yang sepertinya tidak berdampak apa-apa.
Ia terhempas diatas kasur, dengan selimut yang hampir terbuka.
"Tolong, lepaskan aku. Aku akan memberikan apapun yang kau minta. Kau butuh uang? Aku akan berikan." Maya mencoba mengiba, dengan lelehan air mata.
"Aku hanya ingin mendengar suara desahanmu semalam." Dengan kasar, pria itu membuka selimut Maya.
"Lepaskan, lepaskan!" teriak Maya, sambil meronta. Ia akhirnya teringat, akan Sandra. "Sandra, San, Sandra," panggil Maya, tapi tidak mendapat sahutan.
Maya masih mencoba melawan, dengan memukul dada pria itu, yang perlahan menindihnya. Ia juga menendang, tapi akhirnya kalah tenaga. Ia hanya bisa mengiba dan berteriak meminta pertolongan.
"Aku mohon, tolong jangan lakukan ini," isak Maya yang mulai kelelahan.
Brak.
Maya menoleh.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN?" teriak Zamar, dengan tatapan nyalang.
Tanpa menunggu, Zamar sudah mendekat dan menendang pria itu, hingga jatuh. Maya segera bangkit, meraih selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Oh, bukankah ini, Tuan muda Zamar, yang sudah membiayai kekasihku?" Pria itu tersenyum, sembari perlahan bangkit.
"Za, tolong jangan dengarkan dia! Aku tidak mengenalnya dan dia mencoba memperkosaku," isak Maya.
"Sayang. Aku tahu, dia memberimu kemewahan. Tapi, kau tidak boleh, tidak mengakuiku."
Wajah Zamar memerah dengan napas naik turun. Tangannya sudah terkepal sempurna dan akhirnya mendarat.
"Kekasihmu?" Bugh bugh. Satu tendangan cukup kuat, membuat pria itu tersungkur, tidak sadarkan diri.
Maya menutup wajahnya, dengan kedua mata yang sudah basah. Ia bingung harus berbuat apa sekarang. Kemarahan Zamar, membuatnya takut sekaligus tenang, karena datang diwaktu yang tepat.
"Huan," teriak Zamar.
"Iya, Tuan."
"Bawa dia."
Huan sang sekretaris, mengambil handuk, menutupi tubuh pria itu. Lalu, membawanya keluar dibantu anak buahnya.
Zamar masih berdiri ditempat. Tangannya masih terkepal, dengan sorot mata tajam, menatap sang calon istri.
"Dia siapa?" desis Zamar. Ia sedang menahan amarah, dengan susah payah.
"Za. aku tidak mengenalnya. Aku juga tidak tahu, bagaimana ia bisa masuk." Maya kembali menunduk, dengan suara tangis.
Zamar tidak menjawab. Ia melangkah dan menarik selimut dari tubuh Maya.
"Bajingan!" umpat Zamar, dengan mata memanas. "Katakan, dengan jujur, May!" desis Zamar, dengan nada rendah tapi terdengar sangat menakutkan.
"Aku tidak mengenalnya, Za. Percaya padaku!"
"Dengan semua tanda di tubuhmu, kau masih bilang, tidak mengenalnya?" bentak Zamar, dengan berapi-api.
🍋 Bersambung
Didalam kamar, dengan suasana hening. Hanya ada, suara tangis yang memenuhi ruangan. Zamar memilih duduk, dengan mengambil jarak. Tapi, sorot matanya, masih menatap tajam sang kekasih.
Sungguh, ia bingung harus mengatakan apa, selain umpatan. Amarah yang tertahan, seakan merobek dadanya. Pemandangan yang membuatnya jijik, telah meruntuhkan kepercayaannya selama ini.
Pagi yang seharusnya indah dan romantis, menjadi pengkhianatan yang tidak akan ia lupakan seumur hidup. Ia baru tiba, tanpa beristirahat, hanya demi memberi kejutan pada sang tunangan. Tapi, justru ia yang mendapat kejutan, yang membuatnya ingin membunuh seseorang.
"Sudah berapa lama?" tanya Zamar dengan intonasi rendah.
"Za, kau tidak percaya padaku?" Maya mendongak. Terlihat jelas wajahnya yang sembab dan kedua maniknya yang basah.
"AKU BERTANYA, SUDAH BERAPA LAMA?" bentak Zamar, dengan napas naik turun. Bahkan, sudah bangkit dari posisinya.
Tubuh Maya gemetar, karena tersentak. Untuk pertama kalinya, ia melihat Zamar murka. Mata yang selalu menatapnya hangat, berubah menjadi dingin. Ada bom waktu, yang sebentar lagi akan meledak.
"Za. Aku harus bagaimana, agar kau percaya? Aku harus bilang apa lagi?" Suara tangis yang menyesakkan, tapi tidak membuat Zamar merasa iba.
"Bagaimana aku bisa percaya? Kau..... Haaaaaah!!" teriak Zamar frustasi. Bayangan Maya, bersama pria lain, membuatnya meledak. Ia menghancurkan semua perabotan yang ada didalam kamar.
Maya menutup kedua telinga dan matanya, dengan air mata yang meluncur deras. Jantungnya terpacu, dengan sikap Zamar yang meluapkan amarah. Suara kaca yang jatuh, gelas yang terlempar dan vas bunga. Semuanya, berserakan menjadi serpihan kecil diatas lantai.
"Dasar, sial!!" Prang, prang.
Maya tidak berani membuka mata. Ia hanya menangis dalam kegelapan. Suara barang, yang berjatuhan diatas lantai dan umpatan Zamar, membuatnya takut.
Sampai akhirnya, langkah kaki terdengar menjauh dan bunyi pintu yang dibanting dengan keras.
Maya membuka mata. Semua berserakan diatas lantai, tanpa sisa. Termaksud, foto pertunangan mereka yang terpajang. Tangis Maya, semakin menyesakkan.
"Pakai bajumu!" Ternyata, Zamar belum pergi. Ia melemparkan pakaian, pada Maya. "Jangan pernah meninggalkan kamar ini."
"Za, dengarkan aku!"
"Cukup, May! Aku sedang menahan diri, sekarang. Apa kau tahu? Aku ingin melemparmu, dari gedung ini."
Deg.
Maya langsung bungkam. Ia bergidik ngeri, ketika menatap Wajah Zamar. Percuma, ia membela diri. Pria didepannya, sedang dikuasai amarah.
Brak.
Pintu kembali dibanting. Terdengar suara dari luar. Sepertinya, ada beberapa orang yang datang. Entah apa yang mereka lakukan diluar sana. Perlahan apartemen ini, mulai sepi, saat pintu luar tertutup.
Maya memberanikan diri, untuk turun. Ia masih terisak, memperhatikan keadaan kamarnya. Foto pertunangan mereka, sudah mendarat diatas lantai, bersama serpihan kaca. Maya berjongkok, menatapnya.
"Aku, harus bagaimana?" Tes, tes, bulir cairan bening, jatuh diatas bingkai foto yang hancur.
"Aaaa." Maya meringis, memegang perutnya yang tiba-tiba nyeri. "Za," panggilnya, namun tidak ada sahutan.
Ia terpaksa, menyeret langkahnya, naik keatas tempat tidur. Meringkuk, dengan kedua tangan yang tak lepas dari perutnya, yang masih rata.
"Za, Zamar," panggilnya berulang-ulang, dengan sesegukan. Namun, tak ada sahutan dari luar.
Maya menahan sakit, seorang diri. Suara tangis dan rintihan, keluar dari bibirnya. Hanya suara dentingan jam dinding, yang menjadi temannya. Ia mulai memikirkan banyak hal. Bagaimana jika pernikahan ini batal? Bagaimana Zamar yang tidak percaya, lalu memutuskan hubungan?
Maya semakin stress, ia terus menangis tanpa henti. Membiarkan rasa nyeri dan pikiran, yang datang bersamaan.
Entah berapa lama, ia menangis. Sakit yang ia alami semakin menjadi.
Brak.
Maya tersentak dan degup jantungnya tak beraturan. Zamar kembali dengan menatap nyalang kepadanya.
"Mana cincinmu?" tanya Zamar, yang perlahan mendekat.
Maya tidak menjawab. Ia lemah dan kepalanya berputar, ditambah nyeri dibagian perutnya. Ia hanya mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan jari manisnya, yang tersemat cincin pertunangan mereka.
Tapi,
"Kau membuang cincin pemberianku?" teriak Zamar, yang membuat Maya, menatap jari manisnya. Cincin yang berbeda, dari yang biasa ia gunakan. Cincin berwarna emas polos, melingkar disana.
"Za, aku tidak tahu. Sumpah. Aku tidak pernah melepas cincin pertunangan kita." Maya bangkit, dengan wajah meringis dan memegang perutnya. Dengan cepat, ia melepaskan cincin dari jari manisnya.
"Kau tahu, dimana aku menemukan ini?" Zamar memperlihatkan cincin pertunangan mereka, yang bertahtakan berlian. "Ditempat sampah."
"Ap-apa?" Maya terperanjat. Dadanya merasa sesak, beriringan air matanya yang semakin deras.
"Dia melamarmu semalam, bukan?" ujar Zamar, dengan rahang yang mengeras.
"Za. Aku mohon, tolong percaya padaku. Aku sama sekali, tidak tahu apa yang terjadi semalam." Kini Maya menjatuhkan lututnya diatas lantai. Memohon dengan linangan air mata, berharap ada setitik kepercayaan untuknya.
"Tidak tahu?" Smirk dengan tatapan dingin. "Sini, aku tunjukkan!" Zamar menarik dengan kasar, tangan Maya. Tidak peduli, dengan Maya yang meringis dan mengaduh kesakitan. "Lihat, apa yang kalian lakukan semalam?"
Maya melihat botol wine diatas meja, gelas yang masih tersisa, sedikit wine didalamnya. Lilin yang sudah padam dan buket bunga mawar merah. Menggambarkan, suasana romantis telah terjadi semalam.
Tapi, ingatan Maya, bukan seperti ini. Semalam, ia menemani Sandra, minum.
"Bukan seperti ini." Maya menggelengkan kepala. Siapa yang sudah menjebaknya, dengan skenario seperti ini?
"Kau masih mau menyangkal?" Zamar mencengkam dagu Maya. "Kau wanita licik dan penipu."
"Lepas!" Maya menghempaskan tangan Zamar, entah dari mana, ia mendapatkan kekuatan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Semalam aku bersama Sandra. Dia berada di apartemen, saat aku pulang dari rumah ibumu. Ia mabuk dan setelah itu, aku sungguh tidak tahu lagi," teriak Maya, yang mulai muak dengan segala tuduhan.
Plak.
Zamar mendaratkan telapak tangannya. Kedua matanya, menyiratkan kemarahan. Hidungnya kembang kempis, menahan gejolak amarah.
"Sampai, kapan kau akan membohongiku, May?Menyebut nama sahabatmu, sebagai perisai."
"Kenapa kau tidak percaya padaku?" isak Maya, dengan salah satu tangan, memegang pipinya yang perih.
"Sandra, di luar negeri, dari seminggu yang lalu. Dan, kau masih menyebut namanya. Kau membuatku muak dan jijik padamu."
Jantung Maya, seolah berhenti berdetak beberapa detik. Matanya membulat dan tenggorokannya tercekat.
Ada apa ini? Sandra mengatakan, dia akan pergi minggu depan. Lalu, siapa yang bersamaku semalam? Aku masih ingat, itu Sandra.
Maya menjambak rambutnya sendiri, karena kebingungan yang berperang dalam pikirannya. Ia ingat betul, apa yang terjadi semalam, sebelum ia tertidur.
Mengabaikan Zamar. Maya menggeledah isi rumahnya, termaksud tempat sampah. Seingatnya, Sandra membawa banyak minuman dan makanan ringan. Namun, semua terlihat bersih, seolah rumah ini tidak kedatangan tamu semalam. Hanya ada, sobekan kertas dalam tempat sampah.
"Sandra," ujar Maya dengan suara serak. Pikirannya, langsung memvonis tersangka, yang menyebabkan hidupnya seperti ini.
Pandangan Maya, semakin buram. Sakit dibagian perutnya, semakin menjadi. Kepalanya berdentam hebat. Hingga akhirnya, ia ambruk, tak sadarkan diri.
"MAYA," panik Zamar, yang berlari menangkap tubuh tunangannya. Matanya melebar, tatkala darah segar, mengalir turun, di kaki Maya.
🍋 Bersambung.
Rumah sakit.
Zamar mondar mandir, diruang UGD. Hampir 20 menit, ia menunggu dan belum mengetahui apa yang terjadi didalam. Gelisah, karena khawatir. Darah segar, yang mengalir jatuh, terus terbayang dalam pikirannya.
"Tuan, dia sudah sadar dan saya sudah menyelidiki, apa yang Anda minta," ujar sang sekretaris, yang baru saja tiba.
Zamar tidak langsung menjawab. Ia menghela napas berat, sembari menatap sang sekretaris.
"Bajingan itu, mengatakan apa?"
"Dia belum membuka mulut. Katanya, dia ingin Anda mendengarnya langsung."
"CCTV?"
"Malam itu, CCTV tidak menyala. Pemilik gedung, mengatakan itu sudah lama rusak dan belum sempat diganti. Tapi, kami mendapatkan rekaman CCTV di lobi."
"Apa yang kalian dapatkan?"
"Pria itu sudah menunggu, sebelum Nona pulang ke apartemen. Dan sepertinya, mereka saling menelepon. Saya sudah memastikan, dari kontak panggilan terakhir diponsel nona Maya dan pria itu."
"Sialan!!" Bugh. Kepalan tinju, mendarat di tembok bercat putih. Wajah Zamar sudah merah padam, ritme napasnya sudah tidak beraturan. Kekhawatirannya, sudah menguap begitu saja.
"Sandra? Apa ada wanita itu, dalam CCTV?"
"Tidak ada, Tuan."
"Panggil pelayan, untuk menjaganya dan rahasiakan ini, dari ibuku."
"Saya mengerti, Tuan."
Zamar terduduk lesu, dibangku rumah sakit. Amarahnya kembali terpantik, mendengar laporan sang sekretaris. Apalagi bayangan Maya menghabiskan malam, bersama pria lain dan ditambah kebohongan Maya, untuk menutupi aibnya. Membuat dadanya bergemuruh.
Ia bingung, harus bersikap apa sekarang? Pernikahannya sudah didepan mata. Bagaimana ia akan menjelaskannya pada sang ibu? Membatalkan pernikahan, itu tidak mungkin. Undangan sudah disebar, keluarga besarnya sudah tahu, ia tidak mau sang ibu menanggung malu.
"Pak Zamar," panggil seorang dokter.
"Bagaimana dokter?" Zamar langsung bangkit.
"Pasien mengalami gejala keguguran, tapi beruntung masih bisa tertolong. Pasien_"
"Sebentar, dokter," potong Zamar cepat, "Keguguran? Maksud dokter, dia hamil?" tanya Zamar, yang ingin memastikan pendengarannya.
"Benar. Pasien sedang mengandung 4 minggu."
Seperti, tersambar petir disiang bolong. Zamar sudah tidak mendengar, penjelasan dokter didepannya. Ia seolah berada ditempat lain dan bayangan Maya sedang bercumbu dengan pria lain, memenuhi penglihatannya. Kepalan tangan Zaim, sudah gemetar hebat dan kedua matanya memanas.
"Pak, Pak," Zamar tersentak. Lalu, menyeka ujung matanya. "Anda baik-baik saja?"
"Iya, dokter. Silahkan lanjutkan perawatan," ujar Zamar dengan tenang.
Zamar melangkah pergi, meninggalkan rumah sakit. Diparkiran, Huan sudah menunggu dengan membuka pintu mobil.
"Bawa aku, menemui bajingan itu," perintahnya.
Sepanjang jalan, Zamar membisu dengan air mata yang jatuh, tanpa ia sadari. Pandangannya, fokus pada jendela kaca disampingnya. Rahangnya sudah mengetat, dengan sorot mata tajam
Kenapa, May? Kenapa? Kenapa kau begitu tega?
Biasanya, pikiran Zamar dipenuhi senyuman Maya yang manis kepadanya. Sekarang, semuanya berubah menjadi sebaliknya. Maya sedang bercumbu dengan pria lain dan menertawakannya.
"Kenapa?" teriak Zamar, yang membuat Huan hampir mengerem mendadak.
Huan kembali fokus menyetir, tidak berani berkomentar. Ia hanya akan bicara, jika diminta.
Dikursi belakang, hanya terdengar suara isak yang tertahan dan Huan tidak berani untuk menoleh.
Tiba di tujuan. Sebuah gudang, yang sepertinya sudah tidak digunakan. Ada tumpukan drum dan ban mobil, yang sudah rusak.
Pria yang belum diketahui identitasnya, duduk dengan tangan terikat dan wajahnya sudah babak belur.
Zamar duduk dihadapannya, bersikap tenang, menekan amarah yang ingin menyerang dengan membabi buta.
"Anda akhirnya datang. Anda tidak perlu bertanya, saya_"
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Zamar langsung.
Bukannya menjawab, pria itu justru tertawa, seolah mengejeknya. Zamar akhirnya naik darah, hingga langsung menendang kursi, tempat pria itu duduk. Alhasil, jatuh tidak berdaya.
"Jawab aku, sialan!" desis Zamar kasar.
Anak buah Zamar, membantu pria itu untuk bangun.
"Aku dan Maya, tumbuh bersama dipanti asuhan. Dia wanita cerdas dan pekerja keras. Aku menjadi kakak sekaligus kekasihnya." Pria itu, menarik napas, tampak kedua matanya memerah. "Dia bercita-cita menjadi dokter, untuk membantu saudara kami dipanti. Lulus sekolah, ia berusaha mendapatkan beasiswa. Ia lulus dan kami berbahagia untuknya. Tapi, ia berubah pikiran. Sekolah kedokteran bukanlah hal mudah. Ia tidak memiliki waktu, untuk bekerja sampingan. Ia butuh uang untuk biaya hidup. Kau tahu, aku kasihan padanya. Karena, dia berjuang sendirian, untuk orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya."
Tes, tes, pria itu terisak. Entah dia sedang berpura-pura atau tidak. Yang jelas, ada ketulusan di wajahnya, saat menceritakan tentang Maya. Tapi, menit berikutnya, tiba-tiba, wajah pria itu kembali menyeringai.
"Karena, Anda sangat menyukainya. Jadi, aku berpikir untuk memijamkannya, sebentar, sampai dia lulus kuliah."
"Kau bajingan, sialan! Kau pikir aku percaya? Pria mana, yang mau kekasihnya disentuh orang lain?"
"Hahahahaha.... Anda lucu sekali. Jaman sekarang, selaput darah bukanlah hal penting. Lagi pula, aku masih bisa menidurinya, selama Anda pergi keluar kota."
Bugh, bugh, pukulan tanpa henti, mendarat di wajah pria itu. Dia tidak berteriak atau mencoba melawan. Dia pasrah, dengan memejamkan mata. Membiarkan rasa perih, di sekujur tubunnya.
"Tuan, hentikan. Anda bisa membunuhnya." Huan memegang tubuh Zamar, yang sudah gelap mata.
"Aku akan membunuhmu, sialan! Katakan, padaku, siapa yang menyuruhmu?" teriak Zamar, yang meronta untuk melepaskan tubuhnya, dari Huan.
"Tidak ada. Aku melakukannya, karena Maya mulai lupa akan tujuannya. Uang bulanan untukku, sudah lama tidak ia kirim." Pria itu tertawa, dengan raut wajah mengejek.
Zamar sudah tidak bisa mengendalikan diri. Pria ini, harus mati, pikirnya. Senyum dan tawanya, membuat seluruh pembuluh darah Zamar berdenyut.
"Tuan, sadarlah. Kita masih membutuhkannya." Huan bersusah payah, menahan tubuh Zamar. Dibantu anak buahnya, Zamar dibawa keluar, untuk menenangkan diri.
"Pak. Ini data yang Anda minta sebelumnya."
Zamar menerimanya dengan kasar. Ia membolak-balik kertas, dengan mata menyala. Ada sesuatu dalam dokumen itu, yang membuatnya semakin murka.
"Ini, apa maksudnya?"
"Nona mengirim uang setiap bulan pada rekening yang sama dan itu milik Riko. Itu dimulai, dari tiga tahun lalu."
Zamar tertawa, penuh kekecewaan. Tiga tahun lalu, mereka mulai berkencan. Ia bersusah payah, mengejar gadis yang selalu menolaknya. Dan, apa ini? Gadis itu, mengirim sejumlah uang pada pria lain.
Zamar merasa sesak, ingin berteriak, mengeluarkan sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Ia merasa ditipu, dibodohi dengan sikap polos Maya selama ini.
"Haaaaa..... " Berteriak juga akhirnya, bahkan memukuli dadanya, berulang kali. Ia tidak pernah sesakit ini. Cinta pertama, yang membuat luka dan trauma.
"Huan, keluarkan semua barang-barang Maya, dari apartemen. Dia tidak boleh, membawa satu barang pun, yang aku berikan padanya."
"Baik, Tuan. Lalu, bagaimana dengan pria itu?"
"Lepaskan dia!"
"Lepaskan?" tanya Huan kembali.
"Kenapa?" Zamar memicingkan mata.
"Ah, maaf. Saya akan melakukannya."
Huan kembali masuk dalam gudang. Memberikan instruksi pada anak buahnya. Tapi, ia memberikan tugas lain, pada tiga anak buahnya yang lain.
"Kalian hanya melapor padaku, mengerti!" tegas Huan
"Mengerti, Pak."
"Ingat, kalian tidak boleh katahuan. Dan kamu," tunjuk Huan pada, pria berkumis. "Kunjungi panti asuhan ini. Cari tahu semuanya dan laporkan padaku."
"Siap, Pak."
Huan kembali menemui Zamar, yang sudah duduk dalam mobil. Pria itu, termenung dengan beban pikiran yang menggunung.
Tuan, maafkan saya, melawan perintah. Tapi, saya melakukannya untuk Anda, agar tidak menyesal suatu hari.
🍋 Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!