NovelToon NovelToon

Lelaki Rumah Sebelah

1. Rumah Lama

Dinara berdiri di samping ayunan yang diikat pada dahan pohon mangga. Kedua matanya menatap datar ke arah bangunan dua lantai yang masih berdiri kokoh meski hampir dua puluh tahun ditinggalkan pemiliknya. Dinara tak menyangka, pertengkaran antara dirinya dan Mama ternyata membuatnya pergi sejauh ini.

"Kamu mau bengong di sana terus atau gimana, sih?"

Dinara tersentak dan spontan memandangi Wisnu yang berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. "Eh, udah selesai semua, ya, Mas?"

"Udahlah," ketus Wisnu sebelum menghampiri Dinara dan menduduki salah satu ayunan yang masih kokoh.

Sama halnya seperti Dinara, Wisnu juga mengarahkan matanya ke arah yang sama. "Gak usah takut. Sesekali Mas bakalan jengukin kamu di sini. Cuma tiga bulan, 'kan?"

Dinara mengangguk lalu menghela napas panjang.

"Lagian kamu, sih. Kenapa gak terima aja dijodohin sama Arhan? Dia kurang apa coba? Mapan, tampan, perhatian. Sama yang paling penting, dia udah suka kamu sejak sepuluh tahun yang lalu."

"Mas Arhan udah aku anggap kayak abang sendiri, Mas. Aku gak bisa cinta sama dia," jawab Dinara entah kali ke berapa.

"Jangan-jangan kamu masih suka Dominik lagi?"

"Enggak, ya. Aku udah lupain Dominik. Dia gak tepat buat aku."

"Bagus. Akhirnya kamu sadar kalau si berengsek itu emang gak pantas buat kamu."

Dinara mengangguk sambil sesekali mengayunkan ayunan yang membuat tubuhnya juga ikut bergerak. Beberapa tahun lalu, dia dan Wisnu selalu bermain di ayunan ini. Namun, begitu Kinara lahir, ayahnya dipindahtugaskan ke luar kota. Mereka sekeluarga pun ikut pindah. Hari itu adalah hari terakhir Dinara menginjakkan kaki di sini.

"Mas ingetin sama kamu, jangan sekali-kali kamu benci sama Mama. Mama cuma khawatir, Dinar. Mama takut jika suatu hari nanti mereka pergi, kamu bakalan sendiri."

"Aku gak benci sama Mama, kok, Mas. Dan, pilihan buat tinggal di sini aku juga yang minta."

Wisnu tersenyum simpul ketika Dinara menoleh ke arahnya. Dengan gerakan pelan, ia mengusap kepala Dinara sebelum berkata, "Mas harus pulang."

"Gak nginap di sini aja, Mas?"

"Kalau Mas di sini, Mbak Lastri di rumah sama siapa, Din? Kamu gak tau aja gimana rewelnya Musa pas kebangun malem-malem. Kasian Mbak Lastri kalau harus ngurus Musa sendirian."

"Kalau gitu makan malam dulu, deh, ya?"

"Gak, ah. Nanti kemalaman lagi sampai rumahnya."

Dinara mendengkus kesal karena gagal membujuk Wisnu untuk lebih lama menemaninya. Bukannya Dinara takut. Hanya saja, dia tak terbiasa untuk tinggal sendirian. Selama ini, kehidupannya selalu dipenuhi banyak orang. Apabila memasuki kawasan baru, ia sedikit merasa tak nyaman.

"Kalau kamu setuju nikah sama Arhan, kamu gak perlu tinggal di sini sendirian, Din. Kamu pasti bakalan bahagia di umur kamu yang segini."

"Jangan mulai, deh, Mas," pinta Dinara tak suka.

"Mas serius, Din."

"Aku juga serius pas bilang gak mau nikah sama Mas Arhan. Dan, Mas Arhan fine-fine aja, kok. Dia masih suka baik juga sama aku."

"Itu karena dia suka kamu, Dinara. Budek bener pas dikasih tau."

Dinara tak peduli. Baginya, Arhan tetaplah seorang kakak laki-laki yang selalu baik dan perhatian kepadanya. Dinara bukanlah gadis polos. Dia sudah tahu kalau Arhan menyukainya sejak dulu. Akan tetapi, dia tak menyangka jika laki-laki yang seumuran kakaknya ini, setuju untuk menikah dengannya.

"Ya, udah, deh, ya. Mas mau pulang. Abis ini kamu langsung masuk rumah. Jangan kelayapan. Semua bahan dapur udah Mas beliin."

Dengan senyum setengah hati, Dinara melepaskan kepergian Wisnu bersama mobil hitam metaliknya. Kini, Dinara tinggal seorang diri.

Entah apa yang akan terjadi nanti, Dinara tak bisa menebaknya. Akankah Dinara berhasil menemukan laki-laki yang tepat untuknya dalam waktu tiga bulan? Kalau jawabannya tidak, Dinara terpaksa harus menikah dengan Arhan.

* * *

"Gimana hari pertamanya, Nar? Seru gak?"

"Seru apaan? Gue aja berasa ngeri karna tinggal sendirian."

"Eh, bukannya ada Mas Wisnu, ya?"

"Dia cuma nganterin, gak bisa nginap. Kasian Mbak Lastri kalau Musa rewel malam-malam."

"Oh, gitu, ya. Nanti, deh, pas weekend gue sama Ali ke rumah lo, Nar. Sekalian mau ngecek, ada mas-mas ganteng gak di sana."

Dinara tertawa singkat dan berkata, "Ingat Ali, Hel. Dia tunangan lo."

Masih dalam obrolan via telepon dengan Helena, kening Dinara dibuat bergelombang oleh seorang anak kecil yang menangis di seberang jalan rumahnya. Dia berdiri untuk memastikan. Sebelum melangkah lebih jauh, dia berkata kepada Helena, "Udah dulu, ya, Hel. Gue ada urusan."

"Oke, deh. Baik-baik, ya, di sana."

Selesai menyimpan ponsel ke dalam saku celana, Dinara berjalan ke luar pagar. Tatapannya masih mengarah pada seorang anak kecil yang menangis di bawah lampu jalan. Dalam cahaya remang-remang dengan langit malam sebagai latar, anak itu menyembunyikan wajah pada lipatan tangan yang ditumpuk rapi di atas lututnya.

Dinara mendekati si kecil dengan cara berjongkok di sebelahnya. Seraya menyentuh pundaknya, Dinara bertanya lembut, "Nak, kamu kenapa?"

Anak laki-laki itu mengangkat wajah untuk menatap Dinara. Sayangnya, dia memilih diam, membuat pertanyaan Dinara terabaikan.

"Kenapa sendirian aja? Orang tua kamu di mana?"

Anak itu bergeming tanpa mengindahkan kekhawatiran Dinara sedikit pun. Tak patah arang, Dinara memutuskan bertanya sekali lagi. "Kamu ingat alamat rumah kamu gak? Atau nama orang tua? Nomor telepon? Kalau gak--"

"Agam?"

Ucapan Dinara terhenti ketika seseorang tiba-tiba datang dari arah belakang. Spontan Dinara mendongak lalu menemukan seorang laki-laki memandang ke arahnya.

Ah, tidak-tidak.

Laki-laki itu memandangi si kecil dengan sorot mata khawatir. Apa ini ayahnya?

"Maaf," Dinara berdiri, membuat laki-laki tersebut mengalihkan tatapan ke arahnya, "Mas ini kenal sama--"

"Papa jahat! Agam benci sama Papa!"

Agam berdiri dan berteriak marah. Tangisan yang beberapa saat tadi sempat mereda, kini kembali tumpah karena kehadiran papanya.

"Maafin Papa, Agam. Maafin Papa karena gak datang. Papa udah kecewain Agam. Papa salah." Pria itu berjongkok, menyamakan tinggi dengan putranya. Sewaktu hendak menyentuh pundak Agam, kedua tangannya ditepis dengan kasar.

Anak kecil itu marah, wajahnya memerah. Kedua tangannya terkepal dan napasnya berembus tak beraturan.

"Agam gak suka sama Papa. Papa gak nepatin janji. Jangan ganggu Agam. Agam mau sendiri!"

Tanpa mendengar kalimat berikutnya, Agam segera berlari ke arah rumahnya yang terletak tepat di sebelah rumah Dinara. Dengan pandangan campur aduk, Dinara menatap kepergian Agam dan sosok lelaki di sebelahnya secara bergantian.

"Em, kalau gitu, saya permisi."

Dinara berbalik, hendak meninggalkan lelaki yang tak diketahui namanya tersebut.

"Sebelumnya terima kasih banyak, ya, Mbak. Terima kasih karena udah perhatian sama Agam."

Dinara tersenyum tipis dan mengangguk singkat. Bagaimanapun, Agam terlalu manis untuk diabaikan.

* * *

2. Kedatangan Arhan

Dinara baru saja selesai membuang sampah saat Agam dengan santai berjalan di depan rumahnya. Dengan tulus dia tersenyum lalu menyapa Agam hingga menoleh ke arahnya.

Sayangnya, bocah berumur tujuh tahun itu tampak tidak peduli. Dia hanya memandangi Dinara dengan sorot datar. Seolah lupa bahwa wanita ini yang ditemuinya malam tadi, Agam berlalu begitu saja.

"Selamat pagi."

Dinara yang terkejut lantas menoleh ke sumber suara. "Eh, selamat pagi. Mas ini papanya Agam, 'kan?"

"Iya, saya papanya Agam. Saya minta maaf atas kelakuan Agam. Dia memang gitu, dingin dan cuek sama orang baru."

"Oh, iya. Saya paham," balas Dinara seraya menyelipkan anak rambut di belakang telinga.

Dinara tak begitu bingung karena dulu dirinya juga seperti Agam. Sedikit susah untuk akrab dengan orang baru, membuat Dinara kesulitan menambah teman. Namun, apa pun itu, Dinara masih tertarik untuk mengenal Agam semakin dekat.

"Nama saya Adam. Kebetulan, kami tinggal tepat sebelah rumah ini."

Lamunan Dinara tentang Agam dan secuil masa lalunya terhenti ketika sebuah tangan terulur ke arahnya. Dengan sama sopan, ia berusaha membalas uluran papanya Agam. "Saya Dinara. Semoga kita bisa menjadi tetangga yang rukun, ya."

"Iya, pasti." Adam melepaskan tautan tangan mereka lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. "Saya pikir rumah ini akan selalu kosong. Tapi, pemiliknya kembali setelah sekian lama."

"Iya, saya juga berpikir gitu. Tapi, selalu ada alasan yang bisa membawa kita pulang, 'kan?"

Jika beberapa saat tadi Adam selalu tersenyum ketika berbicara dengannya, kini tidak lagi. Senyum itu mendadak luntur, digantikan dengan wajah muram dan tatapan menyedihkan. "Iya, seharusnya memang ada alasan, tapi ...."

Dinara menunggu kelanjutan kalimat yang akan Adam katakan. Namun, sepertinya harapan itu dipaksa musnah begitu saja.

Adam kembali tersenyum, menatap matanya dengan sorot cerah. "Mbak Dinara kalau perlu apa-apa jangan sungkan untuk minta bantuan saya, ya. Kapanpun Mbak Dinara butuh, saya akan luangkan waktu."

"Makasih banyak, ya, Mas Adam. Mungkin setelah ini, Mas Adam akan sering saya repotkan," sahut Dinara berusaha mencairkan suasana.

Anehnya, Adam benar-benar berhasil dibuat tertawa. "Baiklah kalau gitu, Mbak Dinara. Saya harus segera pulang."

Usai mendapatkan anggukan, Adam segera pergi menuju rumahnya. Lelaki itu sempat menoleh, tersenyum sekilas sebelum akhirnya menghilang di balik pagar.

Sepeninggal Adam, Dinara menghela napas panjang. "Kok, tawanya dia bikin gue seneng, ya?" Dinara bergumam, tetapi dua detik kemudian langsung memukul kepalanya. Dinara meringis dan berkata, "Sadar, Dinara, sadar. Laki-laki itu suami orang. Mana bisa dia jadi suami lo? Emangnya lo mau dicap sebagai pelakor?"

"Siapa yang jadi pelakor, Din?"

"Eh?"

Refleks Dinara berbalik. Jantungnya seolah jatuh karena kehadiran laki-laki seumuran Wisnu di belakangnya.

Laki-laki itu tersenyum manis. Menemukan ekspresi kaget Dinara, ia pun tertawa singkat. "Aku bukan hantu, Din. Biasa aja, dong, liatnya."

"Eh, aku kaget aja, Mas. Kok, Mas Arhan bisa di sini, sih?"

Laki-laki yang dipanggil Arhan itu mengubah raut wajah, membuatnya terlihat seolah berpikir. "Coba tebak. Kira-kira aku kenapa bisa ada di sini?"

"Mas Arhan gak mungkin mau ketemu klien, soalnya ini hari Minggu. Tapi, kalau aku bilang mau samperin aku, itu lebih gak mungkin, 'kan?"

"Sayangnya yang lebih gak mungkin itu yang bener," tukas Arhan santai.

"Mas Arhan beneran ke sini cuma buat samperin aku? Ngapain?"

"Soalnya kemarin aku gak sempat bantuin kamu pas pindahan. Lagian aku yang mau, kok, Din. Gak usah ngerasa gak enak gitu."

Dinara mengangguk lalu mengajak Arhan masuk ke rumahnya. Sesudah mempersilakan laki-laki itu untuk duduk, ia bertanya, "Mas Wisnu tau gak kalau Mas Arhan ke sini?"

"Enggak, sih, kayaknya," jawab Arhan bersamaan dengan matanya yang meneliti seisi ruang tamu. "Rumahnya masih bagus banget, ya, Rin. Padahal udah lama banget, lo, gak ditinggalin."

"Gimana gak bagus? Tiap minggu Papa bakalan ke sini buat bersihin rumah. Eh, Mas Arhan udah sarapan belum?"

Arhan menggeleng. "Belum, sih, Din. Mau sarapan di luar gak?"

"Tapi, aku udah masak. Gimana, dong?"

"Makan di sini aja berarti."

Tanpa perlu dipersilakan, Arhan langsung menuju meja makan.

Rumah Dinara terbilang cukup simple. Di lantai bawah terdapat dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur tanpa sekat. Saat ini, Dinara memilih tidur di kamar lamanya. Kamar berukuran tak besar yang terletak di lantai dua.

Keduanya duduk berhadapan dengan menu sarapan tertata rapi di atas meja. Namun, tiba-tiba saja Arhan berkata, "Aku minta maaf, ya, Din. Gara-gara aku, kamu sampai harus pindah ke sini."

Dinara tersenyum teduh dan terlihat meletakkan potongan dada ayam ke dalam piring Arhan. "Bukan salah Mas Arhan, kok. Aku aja yang mau pindah ke sini."

"Jangan bohong, Din. Aku tau semuanya." Arhan menghela napas cukup panjang, memperhatikan Dinara yang juga sedang menatapnya.

Sebelum bertemu Dinara, Arhan sudah membuat keputusan ini. Dirinya tidak bisa membiarkan perasaan bersalah terus hidup dalam dirinya. Dengan mengungkapkan perasaannya kepada Dinara, setidaknya bongkahan batu yang menyumpal dadanya menghilang begitu saja.

"Wisnu udah cerita kemarin. Katanya, Tante Wina memberikan tempo tiga bulan untuk kamu menemukan lelaki pilihan. Kalau kamu gagal, berarti ...."

"Berarti apa, Mas?" tanya Dinara masih dengan senyum miliknya.

Arhan menggeleng lemah. Bukan karena tak tahu jawaban apa yang harus diberikan, tetapi dia gagal menyusun setiap lembar perasaan.

"Maafin aku, ya, Din. Maaf banget. Harusnya aku gak bilang setuju atas perjodohan itu. Harusnya aku biarin kamu buat memilih kebahagiaan kamu sendiri. Harusnya--"

"Udahlah, Mas. Gak usah diperpanjang lagi. Emangnya kamu gak laper, ya? Perut aku aja udah bunyi dari tadi." Dinara mencoba bergurau yang pada akhirnya membuat Arhan ikut menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

Baginya, Dinara akan dan selalu terlihat indah. Perempuan ini memang tidak memiliki tinggi ideal. Tidak juga dengan bulu mata lentik yang memukau. Akan tetapi, saat Dinara tersenyum, Arhan merasa seluruh keindahan yang Tuhan ciptakan hanya untuk Dinara.

Jadi, salahkah kalau selama ini, Arhan hanya menjatuhkan hatinya untuk Dinara?

Jika ditanya sampai kapan Arhan akan bertahan, dia tak tahu jawabannya. Namun, Arhan bersumpah. Sebelun Dinara benar-benar bahagia dengan pilihannya, dia akan selalu menjaga dan berada di samping Dinara.

"Novel kamu gimana, Din? Kinara bilang, ada penerbit mayor yang pinang naskahnya, ya?"

Obrolan kembali bergulir. Kali ini, menyinggung pekerjaan Dinara sebagai penulis.

"Iya, Mas. Tapi, ini masih dalam proses editing, sih. Doain lancar, ya."

Arhan mengangguk lalu menelan gumpalan nasi usai mengunyahnya. "Pasti, Din. Kapan, sih, aku gak pernah doain kamu?"

"Kamu emang yang tebaik, Mas." Dinara memuji dan Arhan tersenyum manis.

Semoga kamu bisa menemukan perempuan yang lebih baik dari aku, Mas. Semoga kamu bahagia.

* * *

3. Palazzo Kafe

"Kamu ini kenapa, sih, Din? Arhan kurang apa coba? Kenapa susah banget buat kamu terima dia?"

"Mas Arhan gak ada kurangnya, Ma. Tapi, aku emang gak bisa terima dia."

Wina berdecak frustrasi sewaktu Dinara mengulang kalimat yang sama. "Mama gak mau tau. Pokoknya kamu harus mau nikah sama Arhan."

"Mama bisa gak, sih, jangan maksa? Ini hidup aku. Aku yang berhak menentukan pilihan."

"Tapi, sampai kapan, hah? Kamu mau jadi perawan tua? Ingat, Dinara. Kamu itu gak muda lagi, udah 27 tahun. Temen-temen kamu aja udah punya anak semua, 'kan? Terus kenapa kamu gak bisa kayak mereka? Jawabannya karena kamu terlalu pemilih."

"Ma, abisin makanannya dulu. Gak baik marah-marah di depan rezeki."

Dari ujung meja, Rangga menegahi pertengkaran tersebut. Dirinya memang sudah biasa melihat Dinara dan istrinya adu mulut seperti ini. Namun, dari sekian banyaknya pertengkaran, ini yang terburuk.

Suasana malam hari di meja makan tak terasa hangat lagi. Jika biasanya waktu-waktu seperti ini digunakan untuk menciptakan momen bersama, kini tak lagi.

Sementara itu, Dinara meletakkan peralatan makannya dengan dongkol. Seleranya hilang, digantikan rasa muak yang menyesakkan. Di sampingnya, Kinara menatap sedih ke arahnya. Gadis itu seolah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Aku udah selesai."

Kinara menghela napas panjang, sedangkan Rangga mengusap wajahnya perlahan. Namun, Wina tidak seperti itu. Wajahnya memerah karena menahan gumpalan marah. Tepat ketika Dinara benar-benar bangkit dari kursinya, ia pun berkata, "Terus aja kayak begini. Mama cuma mau kamu bahagia. Salah, ya?"

Langkah Dinara terhenti. Ia menoleh melalui bahu kiri. Dengan seulas senyum tipis ia berkata, "Mama gak salah, kok. Salahnya kenapa aku yang harus jadi anak Mama."

* * *

"Dinara."

Lamunan Dinara pecah sewaktu tepukan lembut terasa nyata pada bahunya. Ia menoleh dan tersenyum hangat ke arah Rangga.

"Bapak kenapa harus maksa ke sini, sih? Bukannya kata dokter Bapak harus banyak istirahat, ya?"

Pria dengan umur yang tak lagi muda itu tertawa kecil. Usai mengambil tempat pada satu-satunya kursi kosong yang tersisa pada balkon, ia berkata, "Bapak gapapa, Din. Malahan Bapak merasa cemas kalau sehari gak ketemu kamu," jelas Rangga untuk kesekian kalinya.

Dinara mengangguk lalu mengambil secangkir kopi dan meniup kepulan asap agar menjauh. Setelah cukup, barulah ia meneguk minuman tersebut dengan tenang.

Siang tadi, Dinara dikagetkan dengan kedatangan Rangga yang tiba-tiba. Sang ayah tidak mengirimkan pesan ataupun meneleponnya. Jika Dinara tahu Rangga akan menemuinya, tentu dia akan melarangnya.

Dua minggu yang lalu, Rangga baru keluar dari rumah sakit. Kesehatannya menurun hingga dokter menyarankannya untuk beristirahat di rumah.

"Mama tau, kan, kalau Bapak ke sini?"

"Tau."

"Terus kenapa gak ikut?"

"Bapak larang. Bapak tau, komunikasi kamu dan Mama masih kurang baik. Jadi, Bapak gak mau sampai ada pertengkaran lagi."

"Kenapa, ya, Pak? Kenapa Mama begitu keras sama Dinara? Apa karena Dinara bukan anak kandung Mama?"

"Dinara ... kamu gak boleh berpikir begitu. Mama sayang kamu. Sangat sayang."

Dinara menggeleng tipis. Setetes air tampak menggenang di sudut mata kirinya. Malam ini, cuaca terasa dingin. Dinara menaikkan kedua kakinya ke atas kursi dan memeluknya dengan erat. Kedua matanya mengarah ke depan, jauh melewati atap perumahan.

"Mama gak sayang sama Dinara. Mama cuma sayang Kinara. Karena cuma dia anak kandung Mama."

"Dinara, dengerin Bapak."

Dipanggil begitu, Dinara lantas menatap sang ayah dengan manik basah. Sesaat, ia menemukan ketenangan hanya karena Rangga mengelus puncak kepalanya dengan sayang.

"Setiap orang tua punya cara berbeda-beda dalam mengungkapkan kasih sayangnya. Walaupun kamu bukan anak kandung Mama, tapi cintanya selalu tulus buat kamu."

Rangga mengembuskan napas panjang. Di umur senja seperti sekarang ini, menghadapi kegalauan putrinya tentu bukanlah perkara yang mudah.

Dinara bukan lagi gadis yang sama seperti 27 tahun yang lalu. Putrinya terlalu banyak berubah. Mulai dari sikap, pemikiran, ataupun saat mengambil keputusan. Untuk itu, cara menenangkan dan menghadapinya juga tak lagi sama.

"Kalau kamu mau tau, satu-satunya orang yang tak pernah putus mendoakan kebahagianmu setelah Bapak adalah Mama, Dinara. Hanya Mama yang setiap malam selalu memohon kepada Tuhan agar kamu hidup nyaman dan tenang. Hanya Mama ...."

Perkataan Rangga membuat tangisan Dinara semakin jelas. Sebenarnya, amarah seperti apa yang sedang ia pertahankan?

* * *

"Adam, kamu beneran udah gak cinta lagi sama aku?"

"Jangan gini, Sher. Please ...." Dengan gerakan yang begitu halus, Adam melepaskan cengkeraman Sherly pada lengannya.

Perempuan itu mendengkus, tetapi sedetik kemudian kembali memegang bahu Adam. "Aku janji gak akan tinggalin kamu dan Agam lagi. Aku janji bakalan jadi istri dan ibu yang baik buat kalian. Aku janji, Adam. Tolong terima aku lagi. Aku ... aku cinta sama kamu."

Adam terdiam. Dari sekian banyaknya kejutan, pengakuan Sherly adalah yang paling mengejutkan. Dia benar-benar tak menyangka. Perempuan yang pernah mencampakkannya dan Agam beberapa tahun silam, hari ini kembali menampakkan batang hidungnya.

Perempuan ini bahkan menangis dan memohon. Memeluknya beberapa kali, menyentuh wajahnya dengan penuh perasaan.

"Sher ...." Adam melirih, gagal menyusun setiap kalimat yang ingin ia ucapkan.

Adam marah? Jelas.

Dari hati yang terdalam, dirinya sangat ingin memarahi Sherly. Perempuan ini bukan hanya meninggalkan dirinya. Akan tetapi, dia juga menghancurkan hati Agam.

"Kamu masih sayang aku, kan, Dam?"

Jika ditanya apakah masih ada rasa, jawaban Adam adalah 'iya'. Sherly satu-satunya wanita yang selalu Adam cintai. Sherly satu-satunya perempuan yang Adam harapkan untuk kembali. Namun, Adam tak ingin serakah. Hidupnya tergantung Agam, putranya.

Dan, sayangnya, Agam sudah tak lagi mengharapkan kehadiran perempuan ini di sisinya.

"Maaf, Sher. Gak ada lagi yang tersisa buat kamu. Entah itu cinta ataupun kasih sayang. Semua musnah. Semua hilang."

"Kamu jahat, Adam. Kamu jahat!" bentak Sherly tak terima. Ia memukul dada Adam banyak kali untuk menyesali perbuatannya. Masih dengan tangisan, ia berusaha berkata, "Aku akan kembali, Adam. Akan aku buktikan kalau aku adalah satu-satunya ibu yang pantas buat Agam."

Sherly pergi dengan langkah terhentak-hentak. Melewati jajaran meja, kursi, bahkan beberapa pelayan yang menyaksikan pertengkaran mereka.

Saat Sherly sudah benar-benar jauh dari matanya, Adam memilih untuk mengistirahatkan dirinya. Mengapa saat ia sudah lupa, perempuan ini malah hadir untuk dirinya? Sebenarnya rencana Tuhan itu apa? Apakah dirinya harus kembali patah dengan orang yang sama?

"Mas Adam?"

Panggilan sopan tersebut memaksa Adam untuk kembali mendongakkan kepala. Sepertinya rencana untuk istirahat di jam pagi saat kafe belum sibuk-sibuknya musnah begitu saja.

"Kan, bener Mas Adam. Kenapa di sini, Mas? Mau ngopi juga, ya?"

"Oh, Mbak Dinara. Saya lagi istirahat aja, kok. Mbak Dinara mau ngopi?" tanya Adam sopan.

"Iya," jawab Dinara semangat sambil mengangkat gelas kopinya tinggi-tinggi. "Sekalian nyusun naskah juga, sih, Mas. Boleh gak saya duduk di sini?"

"Boleh-boleh."

Dinara tersenyum lebar lalu menarik kursi dan mendudukinya dengan santai. "Tadi rencananya mau keliling buat nyari sarapan. Eh, tau-taunya saya malah ketemu kafe ini. Karena menarik, saya pun masuk. Dan, ternyata malah ketemu Mas Adam di sini."

Adam hanya tersenyum dan mengangguk tipis. Benar-benar tak tahu harus merespons dengan kalimat apa.

"Mas Adam, kok, gak minum, sih? Pesan aja. Biar nanti saya yang bayarin. Itung-itung salam kenal dari tetangga baru."

Kalimat yang diucapkan Dinara cukup membuat Adam merasa geli. Ia tertawa singkat lalu melambaikan tangan hingga seorang pelayan mendekat ke arahnya.

"Tolong bawakan menu spesial hari ini, ya. Jangan sampai terlewat satu menu pun," ujarnya pada pelayan tersebut.

Di seberang mejanya, Dinara terlihat meneguk ludah dengan kasar. Kedua matanya sempat melotot sambil menggigit bibir kuat-kuat.

Gue pikir dia bakalan pesen minuman doang. Tau-taunya malah ngelunjak minta makan. Gimana, nih? Mana royalti gue belum cair lagi.

"Sebelumnya terima kasih banyak atas kebaikannya, Mbak Dinara. Tapi, kali ini, biarkan saya mentraktir Mbak Dinara lebih dulu, ya."

Adam berdiri lalu membungkukkan badannya sekilas. Dengan senyuman manis seolah Sherly tak pernah kembali dalam hidupnya, ia mencoba bersikap ramah dan ceria. Adam berkata, yang pada akhirnya membuat Dinara kehilangan separuh suaranya.

Ucapnya, "Selamat datang di Palazzo Kafe. Semoga Mbak Dinara menikmati sarapannya."

"Bentar-bentar. Mas Adam yang punya kafe ini, ya?"

* * *

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!