NovelToon NovelToon

Memori Cinta Zevanno

Kecelakaan

Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pagi hari waktu setempat.

Sebuah mobil meluncur dengan kecepatan tinggi melewati ruas jalan raya yang masih tampak sepi dan lengang. Pandangan mata pria itu begitu tajam dan fokus kedepan. Dia sedang mengejar waktu untuk bisa tiba di bandara tepat waktu. Meski gerimis mulai mengguyur namun tidak menyurutkan tekadnya untuk segera pulang. Hari ini adiknya akan menikah, dan seharusnya dia sudah berada disana. Tapi karena masalah proyek yang baru bisa diselesaikan, membuat dia menjadi terlambat.

"Tuan, pesawat akan take off satu jam lagi. Apa kita ambil penerbangan kedua saja?" tanya Deni, asistennya.

"Jangan, aku ingin cepat sampai disana, kita masih sempat," jawabnya.

Zevanno Adiputra, pria berusia 25 tahun yang merupakan putra dari seorang pemilik perusahaan terbesar yang ada di ibukota. Dia pergi ke Kalimantan dua hari yang lalu untuk menangani proyek yang sedang bermasalah menggantikan Ayahnya, karena adiknya hari ini akan menikah. Jadi, dengan keyakinan yang ada Vanno tidak ingin melewatkan momen itu. Bagaimanapun caranya dia harus bisa tiba di Jakarta siang ini juga.

Vanno semakin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah ruas jalanan itu. Tidak lagi dia perdulikan gerimis yang membuat jalanan sudah menjadi licin. Deni, benar-benar hanya bisa pasrah saat Tuan mudanya yang mengambil alih kemudi.

Namun, beberapa saat kemudian, entah karena sudah lelah atau karena jalanan yang licin, mobil yang dikendarai Vanno oleng, membuat mereka berdua langsung panik.

Deni berteriak kuat saat mobil mereka malah terbalik beberapa kali dan membuat tubuh mereka terpental-pental di dalam mobil. Vanno memejamkan matanya dengan jantung yang terasa terlepas. Mereka sudah pasrah.

Hingga akhirnya mobil yang sudah berguling dijalanan itu menabrak pembatas jalan dan terjun bebas kedalam sungai yang begitu dalam.

...

Sore hari disebuah pedesaan kecil yang begitu damai dan masih terlihat asri. Seorang gadis baru saja pulang dari kebun sayur neneknya. Dia menenteng sebuah bakul purun atau sejenis keranjang yang terbuat dari anyaman daun pandan liar yang tumbuh di rawa.

Gadis itu berjalan menyusuri sungai karena sembari mencari sayuran paku yang biasa di kelola oleh masyarakat di desanya. Bibirnya tidak pernah lepas melantunkan nyanyian-nyanyian kecil sembari memetik sayuran itu.

"Hei, Zura! Nggak takut diculik setan kamu sore-sore gini masih keliaran di sungai?" seru Akmal yang masih menggembala kerbau. Sepertinya dia juga sudah mau pulang.

"Nggak lah bang, bentar lagi Zura pulang kok," jawab Zura.

"Jangan lama-lama, gak baik anak gadis sendirian disini," ujarnya lagi.

"Iya," seru Zura yang kembali mengambil tumbuhan paku. Meski hari sudah hampir senja dan hari juga masih gerimis, namun Zura tidak takut sama sekali. Dia sudah terbiasa disini. Apalagi sambil berjalan-jalan di pinggir sungai yang jernih dan masih begitu asri.

Dari kejauhan, Zura bisa melihat jika jembatan gantung yang melintasi sungai ini sedikit bergoyang. Dia bergidik ngerih dan kembali mengumpulkan sayurannya. Tanpa sadar dia jalan terlalu jauh masuk kedalam semak belukar dimana tumbuhan paku banyak tumbuh disana.

Namun tiba tiba, mata Zura terbelalak kaget saat melihat seonggok tubuh manusia yang tersangkut di pinggiran sungai tepat di semak yang menahan tubuh mayat itu dari arus sungai yang cukup deras.

"Astaga, apa itu mayat," gumam Zura begitu terkejut. Dia menegakkan tubuhnya, menoleh kesana dan kemari mencari orang yang bisa dia panggil. Namun hanya ada Bang Akmal yang masih menggiring kerbaunya di ujung jalan.

"Bang Akmal!" seru Zura begitu kuat. Namun karena dia berada ditepian sungai yang tertutup semak membuat Akmal hanya mendengar samar-samar teriakannya.

"Bang Akmal, ada mayat!" teriak Zura kembali, kali ini lebih kuat hingga membuat Akmal terkesiap dan langsung membalikkan tubuhnya.

Pria muda itu langsung berjalan kembali kearah Zura, "Zura, kamu dimana?" teriak Akmal.

"Disini bang, dibawah! cepetan kemari!" teriak Zura lagi. Tangannya sudah mencoba untuk menggapai semak dan akar pohon yang menggelantung disana. Dia ingin melihat orang itu, seorang pria dengan wajah yang masih tertutup semak.

"Ada apa Zur, kamu dimana sih, gak nampak!" seru Akmal kembali.

"Kebawah lagi bang, Zura di sungai!" teriak Zura. Dia masih kepayahan untuk turun kebawah karena tebing sungai itu sedikit licin.

"Astaga, siapa itu Zur?" tanya Akmal yang begitu terkejut saat melihat seorang pria tersangkut semak disana.

"Orang hanyut mungkin bang, cepetan tolongin!" seru Zura.

"Ish, janganlah. Takut abang, Zur. Itu mayat, kita tunggu orang lain aja," ujar Akmal yang sudah bergidik ngerih.

"Lihat dulu bang, badannya masih bagus. Belum bengkak, ada kemungkinan masih hidup. Cepetan lah," ujar Zura kembali. Dia terlihat kesal sekarang, apalagi ketika melihat Akmal yang ketakutan seperti itu. Tapi, mau tidak mau karena paksaan dari Zura, membuat Akmal juga ikut turun ke sungai. Bahkan dia langsung terjun ke sungai untuk melihat pria itu, sedangkan Zura menunggunya diatas.

Akmal menyingkirkan rumput yang tertempel diwajah pria itu dengan hati-hati dan dengan tangan yang bergetar. " Zur, masih bernafas," seru Akmal saat dia bisa merasakan ada sedikit nafas hangat di hidung pria itu, meski terasa begitu lemah.

"Cepetan angkat, bang. Biar Zura bantu tarik," Zura berucap sembari menjulurkan tangannya dan meraih lengan pria itu. Sekuat tenaga mereka berusaha menaikkan pria itu keatas, hingga beberapa saat kemudian tubuh pria itu berhasil mereka angkat. Zura bahkan sampai terjatuh dan terduduk diatas semak dengan tubuh pria itu yang berada di pangkuannya.

"Aduh, bang Akmal keterlaluan," gerutu Zura saat dia merasa keberatan dengan tubuh besar pria ini.

Namun, saat dia memandang wajah itu. Zura langsung tertegun. Apalagi saat melihat wajah pria itu yang sangat pucat dan penuh luka. Tapi yang membuat dia terpana adalah, pria itu ... terlihat sangat tampan.

....

Beberapa saat kemudian, disinilah Zura berada. Disebuah klinik kecil yang ada di desa itu. Dia duduk dengan pakaian yang sedikit kotor dan basah. Beruntungnya ada warga sekitar yang lewat dan membantu Zura untuk membawa pria asing itu ke klinik hingga dia bisa mendapatkan perawatan.

"Gak ada tanda pengenalnya sama sekali Zur, kita gak bisa menghubungi keluarganya," ucap Akmal yang baru datang dari dalam. Dia membantu perawat disana untuk memindahkan pria itu sekaligus untuk mengecek tanda pengenal.

"Yaudah, kita tunggu dia bangun aja, bang," jawab Zura.

Akmal mengangguk pelan, namun wajahnya terlihat sedikit cemas. "Kamu gak apa-apa aku tinggal bentar kan Zur. Kerbau ku masih di sungai, kalau hilang mati aku dibuat Pak Bandi," ucap Akmal.

Zura tersenyum tipis dan mengangguk pelan. " Nggak apa-apa, bang. Nanti tolong kerumah Zura ya, bilang sama nenek kalau Zura disini," ujar Zura.

"Iya, aku tinggal dulu." Akmal langsung pergi meninggalkan Zura sendiri disana. Menunggu pria asing yang entah siapa, namun melihat wajah dan penampilannya dia seperti orang kota.

Hingga tidak lama kemudian, perawat yang memeriksa pria itu keluar. " Gimana mbak?" tanya Zura langsung.

"Luka-lukanya cukup parah, Zur. Matanya juga terluka, apalagi kepalanya. Kayaknya dia perlu dibawa ke kota deh, takut kenapa-kenapa," ucap Mbak Diyah, perawat yang bertugas di klinik itu.

Zura meringis, dia mengusap wajahnya dengan bingung." Duh, bawa ke kota kan biayanya besar. Sementara saya gak tahu siapa pria ini, tanda pengenalnya juga nggak ada. Ini aja kalau dia gak bangun saya bayar uang klinik bingung, mbak," ungkap Zura dengan sedih.

"Gimana ya Zur, mbak takut dia kenapa-kenapa. Lemah banget soalnya," ucap mbak Diyah lagi.

"Entar deh, mbak. Saya ngomong sama nenek dulu, siapa tahu nenek bisa bantu tanpa bawa kerumah sakit. Selagi nunggu dia bangun," pinta Zura.

"Sayangnya kita nggak tahu kapan dia bangun Zur," jawab mbak Diyah.

Azzura Maharani, gadis berusia 20 tahun itu benar-benar bingung sekarang. Ingin meninggalkan pria itu, tapi dia tidak tega, apalagi dia yang menemukannya. Minta tolong pada orang lain, siapa yang akan mau menolongnya. Semua warga disini tidak menyukai Zura. Apalagi Zura hidup dari seorang wanita bekas pekerja malam.

..

Selamat datang di cerita baruku, bantu dukung lagi ya guys.

Mulai Sadar

Sebulan berlalu, tidak terasa sudah begitu lama Zura dan Neneknya merawat pria asing di rumah mereka. Pria asing yang sampai saat ini belum juga sadarkan diri. Dia masih tertidur tenang dalam kesakitannya. Hingga membuat Zura tidak tahu siapa pria ini. Bahkan, untuk mencari tahu pun mereka tidak bisa.

Hanya seminggu Zura dan Neneknya bisa merawat pria itu di klinik, setelah itu mereka memutuskan untuk membawa pria asing itu kerumah. Beruntungnya Nenek Zura bisa sedikit meracik ramuan tradisional untuk membantu luka-luka pria itu sembuh. Dan untuk asupan makanan, setiap hari mereka membiarkan jarum infus tertancap di lengannya.

"Kok nggak bangun-bangun ya, Nek?" tanya Zura. Dia sedang membersihkan tubuh pria ini sekarang. Pria tampan yang sangat bersih dan putih. Zura sampai tak pernah bosan melihatnya.

"Kepalanya luka parah, sekarang aja masih ada bekasnya. Dia cukup kuat bisa bertahan sampai sekarang, Zur," jawab Nek Sri. Nenek Zura itu terlihat sedang menumbuk sesuatu didalam wadah tempurung.

"Kasihan, keluarganya pasti khawatir cariin dia," gumam Zura, namun masih terdengar di telinga Nek Sri.

"Ya gimana, yang penting kita rawat aja dulu. Mau minta tolong sama siapa, pak Lurah aja gak mau tahu. Apalagi warga disini. Tabungan kita udah habis untuk biaya dia infus sebulan," sahut Nek Sri. Dia kembali membalurkan ramuan yang dia tumbuk ke kepala pria itu yang masih terluka, namun sudah mulai pulih. Dan sedikit memasukkan air perasannya kedalam mulut pria itu.

"Maaf ya, Nek. Zura gak tega kalau biarin dia mati. Dia juga manusia yang butuh pertolongan, kasihan," Zura berucap sembari membantu Neneknya membalurkan ramuannya.

"Iya, gak apa-apa. Kalau bukan kita siapa lagi," jawab Nek Sri.

Zura mengangguk pelan, dia kembali membersihkan tubuh pria itu yang juga penuh luka. Tapi semua sudah mengering hanya tinggal bekasnya saja.

"Nenek mau ke kebun, cari sayur buat di jual besok. Kamu dirumah aja, nanti masak buat makan malam kita," ujar Nek Sri pada Zura.

"Iya, Nek," jawab Zura. Dia tersenyum memandang Nek Sri yang sudah pergi keluar dari kamar itu. Kamar kecil yang mereka digunakan untuk tempat lelaki asing yang sudah selama sebulan ini menjadi tanggung jawab mereka.

Setelah kepergian Nek Sri, Zura kembali memandangi pria itu. Bibirnya langsung tersenyum dengan tangan yang mulai menjulur dan menyentuh wajah pria itu yang sangat tampan. Dia memiliki bentuk wajah yang sangat sempurna. Hingga membuat Zura tak pernah bosan memandanginya.

"Kapan kamu bangun, aku udah gak sabar pengen lihat mata indah kamu ini," Zura berucap sembari mengusap mata pria itu, mata yang juga terluka beberapa waktu lalu. Mata indah dengan bulu mata yang lentik.

"Senyum kamu pasti manis," kata Zura lagi yang kini sudah beralih pada bibir pria itu. Bibir yang sudah tidak sepucat beberapa waktu lalu. Kini bibir itu sudah mulai merona. Membuat ketampanannya semakin terlihat.

"Ah, ternyata ada ya manusia setampan kamu," gumam Zura kembali. Bahkan senyumnya begitu lebar dengan wajah yang merona malu. Dia salah tingkah sendiri melihat pria ini.

Selama sebulan, hanya ini yang Zura lakukan ketika selesai membersihkan tubuh pria ini. Memandangi seluruh wajahnya yang tampan. Mengagumi setiap keindahan yang semakin hari semakin terlihat. Membuat Zura merasa jatuh cinta dengan pria tampan ini.

Zura tinggal di pedesaan, lebih tepatnya di ujung desa dekat hutan dan sungai. Mereka jauh dari tetangga, karena Zura dan Neneknya termasuk warga yang di kucilkan. Hanya ada rumah Kang Akmal, itupun berbatas dengan kebun orang. Hidup mereka cukup sulit, apalagi Zura dan Neneknya hidup hanya dengan mengharapkan dari hasil kebun sayur yang tidak seberapa.

Pernah beberapa waktu lalu Zura meminta tolong pada warga desa, namun yang terjadi dia malah dihina sebagai perempuan murahan yang membawa laki-laki kerumah. Bahkan mereka sama sekali tidak mau tahu dengan keadaan pria asing yang butuh pertolongan itu. Hingga akhirnya, Zura dan Neneknya lebih memilih untuk merawat pria ini sendiri.

"Cepatlah bangun, kamu tidak rindu dengan keluargamu? Aku gak tahu bagaimana cara menghubungi mereka." Zura berbicara seakan-akan pria ini bisa mendengar. Ya, dia sangat berharap jika pria ini akan cepat sadar. Sudah sebulan dia disini, keluarganya pasti bingung mencarinya.

Zura kembali mengusap wajah tampan itu dan membenarkan selimut yang menutupi tubuhnya. "Aku keluar dulu, mau masak. Kamu baik-baik disini ya," ujar Zura sembari mencubit gemas hidung mancung pria itu. Namun sedetik kemudian dia langsung terkekeh geli dengan ulahnya sendiri.

"Astaga, kayaknya aku udah gila karena ngomong sama orang pingsan," Zura bergumam sambil beranjak dari ranjang pria itu. Dia merapikan meja kecil bekas Neneknya membuat ramuan tadi. Dan setelah itu berniat untuk membawa peralatan itu keluar.

Namun, baru akan melangkah tiba-tiba Zura mendengar sebuah gumaman halus. Zura mengernyit bingung, dia langsung membalikkan tubuhnya dan memandang pria itu. Mata Zura langsung melebar sempurna saat melihat bola mata pria itu mulai bergerak-gerak.

"Mom," gumamnya sangat pelan, bahkan hanya terdengar seperti bisikan.

Buru-buru Zura meletakkan kembali peralatannya di atas meja dan kembali duduk disamping pria itu. Bahkan dia mendekatkan telinganya di dekat bibir pria itu.

"Mommy," gumam pria itu kembali.

"Mommy," gumam Zura pula.

"Hei, ayo bangun. Buka mata kamu," pinta Zura sembari mengusap lengan pria itu dengan lembut.

Gumaman beberapa kali terdengar, namun disaat Zura menunggu pria itu membuka mata, gumaman pria itu malah terhenti, bibir pria itu juga terkatup rapat kembali. Begitu pula dengan matanya yang sudah tenang.

Zura mengernyit heran, dia mengusap wajah pria itu sejenak. "Hei, ayolah bangun, jangan tidur terus. Kamu gak mau sembuh? Gak mau ketemu Mommy?" tanya Zura, dia berusaha untuk membangunkan pria itu lagi.

"Ayo bangun, udah sebulan kamu tidur. Jangan buat Nenek tambah capek Lo," ucap Zura kembali.

Entah apa saja yang dikatakan oleh Zura, namun semua berhasil dan membuat pria itu kembali bereaksi.

"Nah, iya. Ayo ganteng, kamu pasti bisa. Bangun ya, kamu harus lihat aku. Ayo berjuang dulu," panggil Zura.

Dia tersenyum saat melihat tangan pria itu yang juga mulai bergerak, meski lemah tapi itu sudah cukup bagus. Zura langsung meletakkan tangannya digenggaman pria itu hingga dia bisa merasa jika pria itu pun mulai menggenggam tangannya.

"Bangunlah," bisik Zura ditelinga pria itu. Hingga tidak lama kemudian, mata itu mulai terbuka membuat Zura juga ikut tersenyum senang.

"Kamu bangun," Zura berucap tertahan. Dia begitu senang melihat mata itu terbuka meski masih begitu lemah dan sayu. Bekas lukanya membuat mata pria itu sedikit memerah.

Namun, senyum Zura kembali meredup saat melihat pria itu seperti memandang kosong keatas. Tapi Zura masih bisa merasakan genggaman tangannya.

Ada apa dengan lelaki ini?

"Hei, Mas!" panggil Zura sembari menggoyangkan tangan pria itu dengan pelan.

Pria itu mengernyit, dia seperti menahan sakit sekaligus mencari-cari suara Zura.

"Mas," panggil Zura kembali. Dia bahkan melambaikan tangannya didepan wajah pria itu. Namun, tidak ada respon sama sekali.

"Kenapa gelap?" suara lemah pria itu mulai terdengar.

Zura terdiam, dadanya terasa berdetak kencang mendengar pertanyaan itu. "Gelap," gumamnya.

Aku Akan Memanggilmu, Evan

Zura membantu pria asing itu meminum ramuan yang baru saja selesai dibuat oleh Nek Sri. Pria itu masih terbaring lemah diatas ranjang yang berbalut dengan kasur tipis. Wajahnya masih pucat, namun sudah lebih baik dari pada saat dia masih tidak sadar beberapa waktu yang lalu.

Beberapa saat setelah pria asing itu sadar, Zura meminta tolong pada Kang Akmal untuk memanggil Nek Sri yang ada di kebun. Karena dia cukup bingung jika harus menangani pria asing ini sendirian.

"Udah gak sakit lagi kepalanya, nak?" tanya Nek Sri.

Pria itu menggeleng pelan dengan mata yang memandang kosong keatas.

"Sakit ketika saya bergerak," jawab pria itu.

"Gak papa, kamu jangan banyak bergerak dulu. Nanti tambah sakit," ujar Nek Sri.

Pria itu hanya diam, bahkan sudah berulang kali Zura melambaikan tangan didepan matanya. Namun, tetap saja tidak ada respon sama sekali.

"Saya kenapa?" tanya pria itu.

Sejak tadi dia selalu bertanya hal itu, dia seperti orang bingung yang membuat Zura dan Neneknya juga bingung.

"Kamu gak ingat kenapa kamu bisa begini?" tanya Nek Sri.

"Saya bahkan tidak tahu saya siapa,"

Deg

Zura dan Nek Sri langsung saling pandang dengan wajah yang terkejut.

"Jadi kamu gak tahu kamu itu siapa? Kamu gak ingat apa-apa?" tanya Zura dengan cepat.

Pria itu mengangguk pelan.

"Hei jangan bohong dong," Zura jadi panik sekarang.

"Untuk apa saya berbohong, saya juga tidak mau seperti ini. Saya bingung," ungkap pria itu begitu lirih.

"Tapi, kenapa bisa nggak ingat apapun. Tadi sewaktu kamu bangun, kamu bilang sesuatu Lo," ucap Zura kembali.

"Bilang apa?" tanya pria itu pula. Dia benar-benar seperti orang bingung sekarang.

Zura kembali terdiam, dia memandang neneknya dengan wajah cemas. Ya, bagaimana tidak cemas jika pria ini tidak mengingat apapun, lantas bagaimana cara mereka untuk memberi tahu keluarganya. Mungkin jika dia hanya buta, Zura masih bisa membantu mencari alamat pria ini. Tapi jika pria ini lupa ingatan, bagaimana caranya dia bisa bertemu dengan keluarganya?

"Nek, gimana ini?" tanya Zura, sedikit berbisik pada Neneknya.

Nek Sri terlihat menghela nafas, mau bagaimana lagi. Sepertinya mereka memang harus bersabar untuk merawat orang asing dirumah mereka.

"Kita tunggu sampai dia pulih, jangan dipaksa. Dia baru bangun," ujar Nek Sri.

Zura terlihat sedih, dia kembali memandang pria yang masih terbaring di atas ranjang itu. Memandang pria yang terlihat menyedihkan. Wajahnya terlihat bingung, takut, sedih, dan juga tertekan. Dan Zura memang tidak bisa memaksanya untuk mengingat apapun.

"Yasudah, nenek buat bubur dulu. Dia harus makan sedikit-sedikit." Nek Sri berucap sembari beranjak dari kursinya. Berjalan keluar meninggalkan Zura bersama dengan pria itu berdua.

"Apa kamu pergi?" tanya pria itu, tangannya terlihat meraba-raba kedepan dan kesegala arah. Apalagi ketika mendengar suara langkah kaki yang menjauh. Dia terlihat ketakutan.

Zura langsung meraih tangannya, dan tentu saja genggaman tangan Zura itu membuat dia tenang kembali.

"Aku masih disini, itu Nenek yang keluar. Dia mau buat bubur untuk kamu," jawab Zura.

Pria itu langsung terdiam, namun tangannya terus menggenggam tangan Zura.

"Tolong jangan pergi, aku benar-benar takut. Ini gelap dan aku tidak tahu apa-apa," pinta pria itu.

Mendengar ucapan pria itu, tentu saja membuat Zura merasa iba. Dia terluka parah, matanya buta, dan dia lupa ingatan. Pasti itu adalah hal yang berat untuk pria ini. Sungguh, hidupnya benar-benar malang.

"Aku nggak akan pergi, aku disini. Kamu tenang, kamu istirahat dulu ya," ujar Zura.

Lelaki itu menggeleng pelan sembari berucap, "bisakah kamu ceritakan siapa aku, dan kenapa aku tidak bisa melihat," pinta pria itu.

Zura menghela nafas pelan. Dia membenarkan posisi duduknya dan menghadap kearah pria tampan itu. Pria tampan yang mungkin jika dia sehat, dia pasti akan memiliki pandangan mata yang tajam, wajah yang sedikit angkuh, dan juga suara yang tegas. Tapi sekarang, dia tak lebih dari seorang pria menyedihkan yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Aku juga nggak tahu kamu siapa. Aku menemukan kamu di pinggir sungai dalam keadaan terluka parah. Jadi aku bawa kamu kerumah," ungkap Zura.

"Aku dipinggir sungai? terluka parah?" dia terdengar bergumam.

"Iya, aku dan Nenek gak bisa bawa kamu kerumah sakit. Kami gak punya biaya. Jadi cuma bisa merawat kamu dirumah sebulan ini," ungkap Zura lagi.

Pria itu terdiam, genggaman tangannya di tangan Zura mulai melemah. Entah apa yang dia pikirkan. Namun, ketika Zura ingin menarik tangannya pria itu kembali menggenggam tangan Zura dengan kuat. Seakan-akan dia tidak ingin Zura pergi.

"Tidak apa-apa jika kalian tidak bisa membawaku kerumah sakit. Tapi tolong, jangan tinggalkan aku sendirian. Setidaknya, sampai aku mengingat siapa aku yang sebenarnya," pinta pria itu.

Zura tersenyum memandang pria itu. Dia mengusap punggung tangan pria itu dengan lembut membuat pria itu mengarahkan kepalanya kearah Zura.

"Aku nggak akan meninggalkanmu. Kamu tenang aja, kamu aman disini. Ada aku dan Nenek yang akan menjaga dan merawat kamu sampai sembuh. Semoga saja ingatan kamu cepat pulih, jadi kamu bisa cepat bertemu dengan keluargamu," ujar Zura.

Pria itu mengangguk pelan, "terima kasih, maaf jika aku akan selalu merepotkan mu," ucapnya. Meski kini hatinya dipenuhi dengan rasa takut, gelisah, bingung dan perasaan tidak menentu, tapi entah kenapa pria itu percaya pada Zura. Dan begitu berharap jika ingatannya akan segera kembali.

"Jangan pikirkan apapun, sekarang yang terpenting kamu harus sembuh dulu. Kamu harus sehat, dan setelah itu kita bisa sama-sama mencari ingatan kamu yang hilang," ujar Zura kembali.

Pria itu lagi-lagi mengangguk pelan.

"Ah iya, bagaimana aku memanggilmu sekarang ya?" Tiba-tiba Zura baru mengingat hal itu. Tidak mungkin jika dia memanggil pria ini tanpa nama terus bukan.

"Aku tidak tahu," jawab pria itu.

"Kalau aku memberimu nama sementara, apa kamu nggak marah?" tanya Zura, sedikit ragu sebenarnya. Dia takut pria ini tersinggung.

Namun, pria itu malah mengangguk pelan. "Terserah kamu, bahkan untuk mengingat namaku pun aku tidak bisa," jawabnya begitu lirih.

Zoya menepuk punggung tangan pria itu dengan lembut, "jangan seperti itu. Anggap saja kamu sedang beristirahat dari segala pikiran dan kehidupanmu yang dulu. Bawa tenang supaya kamu bisa cepat sembuh," ujar Zura.

Pria itu hanya terdiam, membuat Zura juga sebenarnya semakin iba melihatnya.

"Bagaimana jika aku memanggil kamu dengan nama ... Evan?" ucap Zura.

"Evan?" gumam pria itu.

"Ya, Evan. Bagaimana?" tanya Zura kembali. entah kenapa nama itu yang terpikirkan dikepalanya sekarang.

"Ya, terserah kamu," jawab Evan.

"Itu bagus kok, dan kamu bisa panggil aku ... Zura,"

"Zura," gumam pria itu.

..

Tinggalkan like dan komen untuk dukung aku ya guys. Terima kasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!