NovelToon NovelToon

Long of Journey

Abigail Mahira

Malam itu terdengar suara tangisan bayi dari luar pintu. Seorang wanita muda menghampiri pintu rumah itu.

 

"Bayi siapa ini? Mengapa ada bayi dirumahku?" Wanita itu tampak kebingungan.

 

"Hei, Hany mengapa kau berada diluar? Aku sudah membayarmu untuk melayaniku!" teriak seorang pria dari dalam rumah.

 

"Sebentar mas, sepertinya aku mendengar suara bayi." Wanita itu membuka pintu rumahnya dan betapa terkejutnya Hany saat melihat sebuah kardus di depan pintu rumahnya.

 

"Apa itu?" Lelaki yang meneriakinya menghampirinya.

 

"Entahlah Diego, coba kau buka saja," pinta wanita itu padanya.

 

Lelaki yang setengah mabuk itu mengikuti permintaan wanitanya. Dia segera membukakan kardus yang lumayan besar itu.

 

"Hah, bayi siapa ini?" Diego cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya barusan.

 

"Apa kau yakin, itu seorang bayi?" Hany segera mendekat ke arah kotak itu, dan benar saja yang dilihatnya itu adalah sesosok bayi mungil yang sangat lucu, lengkap dengan baju hangat dan perlengkapan bayinya juga sepucuk surat.

 

"Diego, bacalah surat itu aku akan membawa bayi ini ke dalam."

 

"Tidak ada isi apapun hanya sebuah surat yang tertulis sebuah nama Abigail Mahira,"  ujar lelaki itu sambil membolak-balikkan kertas yang berada digenggamannya, mungkin saja dia akan menemukan pesan lainnya dan ternyata tidak ada pesan lainnya.

 

"Bayi ini perempuan. Sepertinya ada orang yang sengaja meletakkannya di depan rumahku."

 

"Sudahlah kau tinggalkan saja bayi itu diluar, ayo cepat layani aku sekarang juga," Diego tak sabaran ingin segera menyalurkan hasratnya yang tertunda.

 

Lelaki itu merangkul wanitanya dan mencoba untuk menciumi wanita itu.

 

"Ah, Diego. Kasihan anak ini, lihatlah betapa lucu dan cantiknya dia. Bagaimana mungkin aku akan meninggalkannya diluar begitu saja?" Hany mendorong pelan dada Diego.

 

"Hany ayolah, kau tidak tahu itu anak siapa, jika kau membawanya ke dalam rumahmu pasti kau akan terkena masalah." Diego merasa jengah dengan kedatangan bayi mungil itu.

 

"Tidak Diego, aku akan merawat anak ini," Hany memeluk tubuh bayi itu dan menciumi wajah bayi mungil itu.

 

"Hany, orang tua anak itu saja tidak memperdulikannya untuk apa kau ambil pusing tentangnya?" ucapnya sambil mengambil botol minumannya.

 

"Kalau kau tidak perduli pada anak ini ya terserah, tapi aku akan tetap merawatnya." Hany segera membawa bayi mungil itu ke dalam kamarnya dan menidurkannya.

 

Diego hanya menatap malas pada bayi mungil itu.

 

"Dasar pengganggu, mengapa kau datang pada saat yang tidak tepat?" Gerutunya sambil menatap bayi mungil itu.

 

Sementara Hany dengan sigap membuatkan susu yang terdapat pada tas kecil yang diletakkan bersama bayi itu. Kemudian memberikan minum untuknya. Hany menggendong bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama bayi itupun tertidur dengan pulasnya.

 

"Bagaimana, kau sudah selesai bersama bayi itu? Ayo sekarang kau harus memuaskanku. Aku sudah menunggu lama," pinta lelaki itu sambil memeluk erat pinggang wanitanya dari belakang.

 

"Tananglah Diego, malam ini aku milikmu. Kau akan mendapatkan apapun yang kau mau," Hany mengusap pelan rahang tegas pria itu.

 

Mereka segera melanjutkan permainan mereka yang tertunda karena kedatangan sang bayi mungil itu.

 

***

 

Delapan belas tahun berlalu, Abigail telah tumbuh dewasa dan menjadi gadis yang sangat cantik. Banyak lelaki yang bertekuk lutut padanya dan rela merangkak dihadapannya untuk mengemis cintanya karena gadis itu benar-benar sangat lihai dan piawai dalam melayani para pelanggannya.

 

"Abigail, apa kau sudah siap? Hari ini kita kedatangan tamu istimewa dan kau harus melayaninya dengan baik," titah Hany padanya.

 

"Baik ibu, aku akan melakukan yang terbaik untuk pria itu. Ibu tidak perlu khawatir, tidak ada pria yang akan menolakku," ujarnya sambil memoleskan lipstik berwarna merah dibibirnya.

 

"Waw, kau cantik sekali hari ini," Diego memperhatikan gadis belia itu dari atas hingga ke bawah. Dia cukup terpesona dan tergoda melihat kecantikan paripurna yang ada dihadapannya. Gadis muda itu terlihat cantik dengan dress berwarna merah dengan bentuk V pada bagian depannya yang cukup rendah hingga menampakkan tonjolan pada tubuh gadis itu. Ditambah lagi dress itu hanya sebatas lutut hingga menampakkan kaki jenjangnya.

 

"Apa yang kau lihat?" Gadis belia itu menjentikkan jarinya ke hadapan Diego membuatnya cukup terperanjat.

 

"Ah, tidak. Apa kau sudah siap?" tanyanya pada gadis muda itu.

 

"Hm, tentu."

 

"Sebentar lagi tamunya akan datang, kau bersiaplah."

 

Diego segera menemui Hany, untuk pergi bersamanya, karena memang malam ini mereka sengaja membiarkan Abigail dirumah itu sendirian supaya leluasa untuk melayani tamu yang telah membayar mereka untuk membooking Abigail.

 

Satu jam berlalu, tamu yang dinantikan tiba. Lelaki itu turun dari mobil mewahnya melangkahkan kaki ke arah rumah Abigail. Dia mengetuk pintu rumah itu dan betapa terkejutnya lelaki itu saat melihat gadis muda yang membukakan pintu untuknya.

 

"Kau, mana ibumu?" tanya lelaki itu sambil menatap pada tubuh gadis muda itu. Bagaimana tidak tergoda melihat pemandangan yang begitu indah terpampang nyata di depan matanya.

 

"Kau, mencari ibuku?"

 

"Iya, bukankah ibumu yang akan menemaniku? Aku sudah membayarnya."

 

"Kau salah, orang yang kau maksud itu bukan ibuku tapi aku. Masuklah tuan, aku akan melayanimu," ucap Abigail tanpa rasa canggung dan meraih tangan pria itu untuk masuk bersamanya.

 

"Apa aku tidak salah dengar? Bagaimana mungkin aku akan tidur bersamamu. Sedangkan kau..."

 

"Kenapa? Apa kau meragukanku? Jangan salah tuan, aku ini sudah berpengalaman untuk menghadapi pria dewasa sepertimu. Apalagi dalam urusan ranjang," pintas gadis kecil itu tanpa ada keraguan.

 

Dirinya sangat yakin, kalau dia bisa membuat lelaki dewasa dihadapannya itu merasa puas saat bersamanya.

 

"Dengar nak, kau masih terlalu muda untuk bekerja seperti ini. Sebaiknya lupakan saja," lelaki itu memberikan uang pada Abigail kemudian membalikkan badan untuk keluar dari rumah itu.

 

Bagaimana mungkin, seorang lelaki dewasa sepertinya akan berkencan dengan gadis berumur delapan belas tahun yang lebih cocok menjadi anaknya?

 

"Apa kau meragukanku tuan? Kau sudah membayarku, artinya aku harus melayanimu," jelas Abigail padanya.

 

Lelaki itu membalikkan badannya menghadap kepada Abigail.

 

"Aku tidak bisa melakukannya bersamamu. Jika aku melanjutkan semua ini aku akan merasa sangat berdosa padamu. Kau itu seumuran dengan anakku, aku tidak mungkin mengencanimu," jelasnya dengan wajah sendu menatap gadis muda itu.

 

"Jadi kau punya anak? Apakah anakmu secantik aku?" cicit Abigail padanya.

 

"Iya, aku telah mempunyai anak tapi aku tidak tahu apakah anakku masih hidup atau tidak karena aku juga tidak mengetahui keberadaannya." jelas pria itu dengan suara yang sedikit tercekat ditenggorokan.

 

"Maaf, aku kira anakmu ada bersamamu." Abigail menundukkan kepala merasa tidak enak hati.

 

"Tidak masalah nak, mungkin Tuhan sengaja mempertemukan kita agar mengingatkanku untuk mengakihiri petualanganku," senyum tipis terbesit diwajah tegas lelaki itu.

 

"Tapi paman, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan ibuku nanti kalau aku hanya menerima uangmu saja?"

 

Abigail takut kalau ibu dan pacar ibunya yang bernama Diego itu tahu kejadian malam ini, dia pasti akan terkena masalah besar.

 

"Tenanglah nak, kau cukup bilang kau sudah melakukan tugasmu dan aku akan menelpon ibumu kalau aku merasa puas dengan servicemu,"  lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan dan bertubuh atletis itu segera mengeluarkan ponselnya kemudian menelpon Hany dan memberitahukan wanita itu bahwa dia telah mendapatkab service terbaik dari gadis yang berada didalam rumahnya.

 

"Kau lihatkan? Aku sudah menepati janjiku. Baiklah, aku akan segera pergi," tukas lelaki itu sambil meninggalkan Abigail.

 

"Tunggu, aku belum tahu siapa namamu?" Abigail menahan langkah lelaki itu.

 

"Javes Frederick. Kau bisa memanggilku Javes," ujar lelaki itu sambil menatap Abigail.

 

"Baiklah. Terimakasih tuan Javes."

 

Wanita muda itu merasa sangat bahagia, karena untuk pertama kali dalam hidupnya ada lelaki yang bisa menghargai dirinya. Seorang lelaki yang mau memberikannya uang tanpa harus menikmati tubuhnya. Hari ini dirinya merasa benar-benar dihargai sebagai manusia sesungguhnya.

Menghangat

Diperjalanan pulang, Javes teringat dengan wajah gadis muda yang baru saja akan dikencaninya. Mata indah sang gadis yang sangat mirip dengan wanita yang pernah ia cintai, namun dia tidak tahu entah dimana keberadaan wanita itu. Apakah dia masih hidup atau telah tiada.

Ailee, dimana kau sekarang? Sudah dua puluh tahun berlalu, aku masih tidak mampu melupakanmu. Kau tahu, batinku sangat tersiksa. Jika saja kau ada disini, kau pasti akan menghapus semua rasa sakit ini.

Sekarang aku bagai tubuh tanpa nyawa tanpamu. Kau tahu Ailee aku baru saja bertemu dengan seorang gadis muda yang sangat mirip denganmu. Entah mengapa aku merasa sangat dekat dengannya padahal aku baru saja bertemu dengannya. Apakah ini sebuah pertanda, kau telah memberikanku sebuah kehidupan baru melalui gadis muda itu? Mengapa aku merasakan dia seperti anakku?

Jave berpikir sangat keras mengingat wajah gadis muda yang bernama Abigail itu. Hatinya benar-benar terenyuh. Sakit sekali rasanya jika benar itu adalah putrinya.

 

Sementara itu, Abigail yang berada di dalam kamar, memperhatikan sekeliling tembok disana, ia masih bisa mengingat bagaimana lelaki yang bernama Javes tadi menasihatinya. Ternyata, di dunia yang kejam ini masih ada orang baik hati yang mau memperdulikan orang seperti dirinya

 

Seketika saja, terasa hatinya menghangat. Sentuhan lembut dari lelaki paruh baya tadi dipucuk kepalanya membuatnya merasakan sebersit kasih sayang yang tak pernah dirasakannya selama ini telah ditemukan kembali olehnya.

Ayah Bisiknya dalam hati. Seketika diapun membuka matanya yang terpejam, Abigail tersadar semua itu hanya mimpi.

Hanya mimpi, mengapa aku bisa bermimpi dengan tuan kaya raya itu? Aku baru saja bertemu dengannya mengapa aku memimpikan sosok ayah sepertinya? Ayolah Abigail jangan bermimpi terlalu tinggi karena jika terjatuh itu akan terasa sangat sakit,  Abigail berusaha membujuk hatinya. Dia sungguh-sungguh bingung dengan mimpinya itu.

Abigail beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Entah mengapa dia teringat kembali pada pria tua itu lagi.

Abigail teringat akan senyuman pria itu dan saat manik kecoklatan pria itu beradu dengan maniknya seakan ada rasa kerinduan yang lama ingin disentuhnya. Bukan, itu bukan nafsu tapi sebuah rasa yang tidak pernah ditemukan saat dia bersama orang-orang yang berada di lingkungannya. Dia merasakan sebuah kasih sayang yang terpancar dari mata itu. Ya, kasih sayang seorang ayah yang sangat didambakannya.

 

"ABIGAIL!" teriak seorang lelaki memanggil namanya dari balik tirai kamarnya.

Gadis muda itu tersentak dari lamunannya. Dirinya segera membukakan pintu kamarnya.

"Kau Diego, ada apa?"

"Hari ini ada pelanggan. Cepat kau layani dia," titah lelaki itu padanya.

 

Abigail hanya menghembuskan nafas berat. Entah mengapa, hari ini dia begitu tak ingin melakukannya. Tidak seperti hari-hari biasa yang dia lalui, Abigail akan segera menghampiri pelanggannya dan memberikan service terbaiknya.

 

***

Lelaki yang bersama Diego itu kini tengah bersama Abigail di dalam kamar itu.

Abigail masih saja memunggungi lelaki itu tanpa mau menatap ke arahnya.

"Hm, apa kau sudah siap?" tanyanya sambil menatap ke tubuh gadis yang berada dihadapannya dari atas kepala hingga ujung kaki.

Abigail membalikkan tubuhnya dan betapa terkejutnya dia saat melihat sosok dihadapannya itu, seorang lelaki tampan yang berwajah blasteran. Tidak seperti biasanya yang datang padanya pastinya lelaki paruh baya atau para lelaki mata keranjang, tapì kali ini yang dilihatnya seperti lelaki baik-baik. Tapi kenapa lelaki itu berada ditempat ini? Apakah dia tersesat?

"Kau? Apa kau yakin akan melakukannya bersamaku disini?"

"Apa kau meragukanku?" Lelaki itu mulai mendekat ke arah Abigail.

Abigail sedikit memundurkan tubuhnya. Lelaki itu merasa tertantang dan terus mendekatinya.

"Jangan mendekat!" Teriak Abigail padanya.

Lelaki muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu semakin mendekatinya hingga membuat Abigail semakin terpojok. Bahkan tubuh rampingnya itu telah tersandar ke tembok dan pria itu semakin mendekatinya membuatnya semakin gugup.

Tanpa sadar Abigail menikmati perbuatan pria itu padanya dan tanpa butuh waktu lama merekapun saling betukar peluh.

Lelaki yang tengah terbakar dengan gejolak hasrat ditubuhnya itupun dengan mudahnya melakukan permainannya. Tidak butuh waktu lama sang wanita merasakan getaran hebat ditubuhnya.

Sekelabat Abigail melihat sosok yang berada disisinya. Seketika nasihat dari pria tua yang bertemu dengannya beberapa hari yang lalu terngiang ditelinganya. Wanita muda itu tersadar, dirinya baru saja ingin melepas pekerjaan ini tapi mengapa dia melakukannya lagi? Matanya mengerjap untuk menyadarkan dirinya.

Namun, lelaki tampan dihadapannya itu telah tersenyum smirk dan masih tetap mendekatinya. Abigail mencoba menolaknya tapi semua telah terlambat, lelaki itu terlalu kuat untuk dia singkirkan bahkan untuk mendorong tubuh lelaki itu dirinya sudah tak sanggup, karena yang ada saat ini dia benar-benar mendambakannya.

Tak perlu waktu lama lelaki itu menghujamkan hasratnya pada wanita dihadapannya. Keduanya kini tengah terbakar dalam api yang menghangatkan malam panas mereka.

 

***

Pagi harinya, Abigail terjaga lebih dulu. Dia mengejapkan matanya dan menoleh ke samping. Dapat dia temukan lelaki tampan berwajah blasteran itu masih pulas dalam tidurnya. Abigail segera bangkit dari tidurnya untuk segera membersihkan diri.

 

Saat keluar kamar, dia mendapati tak seorangpun berada dirumah itu. Ya, seperti biasanya saat dia sedang bersama tamunya. Hany dan Diego pasti akan meninggalkannya berdua bersama pelanggannya.

 

Abigail segera menyiapkan spagethi instan yang ada di dapur. Tak lupa dirinya membuat kopi hangat untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan.

 

Tiba-tiba saja, sosok lelaki menghampirinya.

"Kau ... kau sudah bangun?" Abigail cukup terlonjak kaget melihat lelaki itu tiba-tiba ada dihadapannya.

"Maaf aku terlambat bangun, tadi aku baru saja mencium bau masakanmu yang membuatku merasa lapar," ujarnya sambil melihat makanan dan minuman yang tersedia dimeja.

"Makanlah jika kau merasa lapar, aku sudah mempersiapkannya tadi," Abigail melepaskan apronnya kemudian duduk di dekat lelaki itu.

"Apa ini termasuk servicemu pada pelangganmu?" cicit lelali itu padanya.

Lelaki itu cukup merasa terhormat karena gadis yang baru saja dikencaninya tadi malam menyiapkan makanan dan minuman untuknya. Mana ada service tambahan seperti itu setelah mengakhiri cinta satu malam.

Lelaki itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya kemudian mengambil makanan yang telah disediakan.

"Anggap saja sepertu itu," jawab Abigail datar kemudian menyuapkan spagethi kemulutnya.

"Oh iya, namamu siapa?" Lelaki itu menatap manik mata Abigail sekilas.

"Abigail,"

"Nama yang cantik seperti pemiliknya," rayu lelaki itu padanya.

Abigail hanya tersenyum mendengar ucapan lelaki itu.

"Apa kau tidak tertarik mengetahui namaku?"

"Ah, maaf aku pikir kau tak peduli tentang itu."

"Tentu saja aku perduli. Jika tidak untuk apa aku menanyakan namamu?"

"Baiklah, siapa namamu?" Abigail mulai tertarik bicara dengan lelaki dihadapannya.

"Panggil saja aku Oricon," ucap lelaki itu sambil menyantap makanannya.

Terlihat piringnya sudah mulai kosong dalam waktu singkat.

"Apa  malam tadi membuatmu begitu melelahkan sehingga membuatmu begitu lapar?" Ejek gadis belia itu pada Oricon.

"Hm, mungkin. Tapi menurutku masakanmu benar-benar enak," lelaki itu sedikit malu dengan sindiran gadis belia yang berada dihadapannya. Dia segera melanjutkan suapan terakhirnya dan benar-benar menghabiskan makanannya.

"Aku akan mencuci piringnya," tukas lelaki itu sambil membawa piring kotornya kemudian mencuci piring bekas makannya.

Selesai membereskan semuanya, Oricon segera berpamitan pada Abigail. Tak lupa dirinya memberikan kontaknya pada Abigail.

"Jika kau butuh bantuanku hubungi aku."

Setelah beetukar kontak dirinya segera pergi.

Rencana Pernikahan

Siang itu pertemuan keluarga di sebuah rumah mewah di kawasan real eastet. Terlihat dua keluarga sedang bercengkrama dan sangat bahagia.

Pertemuan antara keluarga Emilio Arsava dan Edison Ravandra yang merupakan orang tua dari Oricon Arsava dan Emily Ravandra.

Kedua keluarga itu merencanakan pernikahan anak-anak mereka karena memang Oricon dan Emily telah lama saling mengenal,  hubungan kedua orang tua mereka yang cukup dekat ditambah lagi Oricon juga menjalin hubungan dengan Emily.

"Kebetulan sekali kau datang nak, ayo kemarilah duduk sini," Edison mengajak sang anak yang baru saja masuk ke rumah duduk didekatnya.

"Ada apa ini pa, mengapa seluruh keluarga berkumpul?" Oricon menatap kepada seluruh keluarganya begitu juga keluarga Emily yang hadir saat itu.

 

Oricon memang belum mengetahui tentang rencana pernikahan antara dirinya dan Emily, namun memang dirinya telah merencanakan akan segera menikah dengan kekasihnya itu.

 

"Begini nak, kedatangan kami ke sini untuk menentukan rencana pernikahan kalian. Rencananya bulan depan kami ingin kalian berdua bertunangan," jelas Mariana ibu dari Emily.

"Mengapa mendadak sekali tante? Bukankah aku dan Emily memang sudah merencanakannya? Hanya saja memang belum kami wujudkan dalam waktu dekat," sela Oricon merasa tak setuju.

Bukan tidak ingin menikah, hanya saja saat ini dirinya memang belum siap untuk menikah. Jika dia menikah secepat itu bukankah akan membuat langkah dan petualangannya harus terhenti?

 

"Ya, kalau memang bisa dipercepat mengapa harus diperlambat? Bukankah niat baik itu harus disegerakan?" Tukas Adriana.

"Yang dikatakan mamamu itu benar. Lagian kau itu kapan bisa menjadi lelaki bertanggung jawab kalau setiap hari kau harus pergi pagi pulang pagi?" Sindir sang ayah.

Oricon hanya membuang muka dengan wajah malas mendengar sindiran sang ayah yang membuat panas telinganya. Dia tahu betul dengan apa yang dimaksud sang ayah.

 

Orang tua Oricon ini sangat tahu persis bagaimana sepak terjang sang anak. Jelas saja mereka mengenal betul apa yang dilakukan Oricon diluar pekerjaannya karena mereka telah menyediakan mata-mata untuk mengawasi anaknya. Bahkan ketika Oricon dalam tak sadarkan diri karena perbuatan nakalnya, para orang sewaan sang ayah akan segera melaporkannya. Jadi takkan ada celah bagi Oricon untuk bersembunyi. Bahka  ke lubang semut sekalipun.

 

Emily yang melihat perdebatan antara orang tua dan anak itu hanya memperhatikan Oricon dengan harapan lelaki itu takkan menolak rencana pertunangan itu.

"Bagaimana nak Oricon?" Desak Mariana, yang benar-benar sudah tak sabar untuk mengikat Oricon dengan putrinya.

 

"Hm, terserah kalian saja. Aku akan mengikut saja," Oricon menyandarkan tubuhnya menyerah tak mau banyak berdebat.

"Terimakasih sayang, aku senang mendengarnya," ujar Emily sambil tersenyum manis pada lelaki muda itu.

 

Banyak hal yang akan direncanakan kedua keluarga itu, mengapa mereka begitu tergesa-gesa untuk melanjutkan hubungan antara kedua anak mereka dalam ikatan pernikahan. Bukan untuk menjalin hubungan kekeluargaan saja, tapi dengan menyatukan kedua keluarga artinya mereka juga akan menjalin kerja sama dalam bisnis dan itu akan sangat menguntungkan pada kedua belah pihak.

 

***

Ditempat berbeda Hany dan Diego tengah berbincang-bincang.

"Bagaimana menurutmu Diego? Anak pungut itu benar-benar telah memberikan keuntungan untuk kita bukan?" suara Hany terdengar jelas pada Diego.

 

DEG!!!

"Anak pungut?, jadi aku hanya anak pungut?" Gumam Abigail yang baru saja keluar dari kamarnya. Dirinya tak sengaja mendengarkan percakapan kedua orang yang sedang berada diruang tamu itu.

 

"Oh tentu sayang, untung saja kau tidak membiarkan aku membuangnya ke tong sampah saat itu. Ternyata dia bisa menjadi aset berharga kita," suara mencemooh itu terlontar dengan jelas dari pria paruh baya itu.

 

Seketika tubuh Abigail bergetar mendengar ucapan demi ucapan yang dikatakan oleh wanita paruh baya dan lelaki paruh baya yang telah membesarkannya itu.

Abigail tak pernah menyangka dirinya adalah anak yang tak diinginkan oleh orang tuanya. Dia pikir, dia telah dibesarkan oleh orang tua kandungnya namun ternyata itu semua salah.

"Hei, pelankan suaramu bodoh! Jika anak itu mendengarkan perkataanmu  akan menjadi masalah besar," Hany memukul pelan kepala Diego.

Mulut lelaki itu memang terlalu lemes. Sehingga setiap ucapannya tak pernah dipikirkan ataupun difilter dahulu sebelum berucap.

"Ups, maaf aku lupa anak pungut itu ada disini," Diego menutup mulutnya dengna kedua telapak tangannya.

 

Abigail yang tidak tahan mendengarkan ucapan yang menyesakkan dadanya itu berusaha kembali ke kamar. Namun, dirinya tak sengaja menyenggol vas bunga yang ada disudut meja tempat dia berdiri sehingga menimbulkan suara gaduh akibat pecahan vas bunga itu.

 

Gadis belia itu terkejut begitu juga dengan dua orang yang sedang membicarakan dirinya. Dengan wajah ketakutan Abigail melihat pecahan vas bunga itu, tak ingin ketahuan sedang menguping dirinya segera masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamar.

 

"Oh, ternyata gadis kecil itu mendengarkan pembicaraan kita," senyum seringai dari bibir Hany terlihat jelas.

"Apa aku harus memberikan pelajaran padanya?" Diego segera bersiap untuk menunggu perintah Hany untuk menyiksa gadis itu.

"Tidak perlu. Kau tidak perlu menguras tenagamu untuk itu, karena setelah dia mengetahui tentang statusnya bukankah akan membuatnya lebih tahu diri lagi?"

Hany meremas tangannya dengan kuat. Entah rencana apalagi yang akan dilakukannya pada gadis malang itu.

Sementara Diego yang memperhatikannya hanya tersenyum penuh arti.

Sebenarnya lelaki itu cukup tertarik pada gadis belia itu. Walaupun dia masih terlalu muda tapi Abigail mempunyai daya pikat sendiri hingga membuat lelaki yang pernah mengenalnya dan tak mau melepasnya begitu saja.

Apalagi seorang lelaki suruhan seperti Diego, membayangkan bisa bersama gadis itu saja sudah membuatnya tak bisa berhenti memikirkan keindahan tubuh gadis itu.

"Hei, bodoh apa yang kau pikirkan? Jangan harap kau bisa menyentuh pionku. Kau tahu gadis itu aset dan juga pionku jangan pernah berpikir untuk menyentuhnya dengan tangan kotormu," Hany memberikan peringatan pada lelaki itu.

Sial! Ternyata wanita itu mengetahui isi kepala Diego. Diego hanya terhenyak mendengar peringatan Hany. Dia paham sekali dengan ucapan wanita itu, mucakari seperti Hany tidaj pernah main-main dengan ucapannya, jika dia salah melangkah sedikit saja, anak-anak buah Hany pasti akan menghabisinya tanpa perlu bertanya.

Abigail yang sedari tadi didalam kamar hanya menagis tanpa suara meratapi nasibnya, yang ada didalam benaknya kini hanyalah bagaimana agar dia bisa keluar dari tempat terkutuk itu, kemudian mencari orang tua kandungnya. Jika benar yang baru saja didengarnya diluar kamar tadi, bahwa dirinya adalah anak pungut, ia harus menemukan orang tua kandungnya dan pasti dirinya bisa mengakhiri penderitaan panjang ini.

Gadis malang itu, sedang mencari cara bagaimana bisa keluar dari tempat itu dengan aman.

Tiba-tiba saja dia teringat akan seorang temannya. Ya, mengapa Abigail tidak menghubungi orang itu saja? Mungkin saja orang itu bisa membebaskannya dari belenggu ini.

Abigail segera mengambil ponselnya yang tergeletak diatas nakas. Gadis muda itu mencari kontak seseorang didalam ponselnya, dan dapat. Dirinya segera medial nomor itu. Masuk, tapi lama sekali dan telah beberapa kali dihubungi tidak dijawab. Mungkin sudah terlalu malam, orang itu mungkin sedang beristirahat.

"Hm dia tidak mengangkat telponku, aku harus menghubungi siapa lagi?" Keluh gadis itu dalam hatinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!