NovelToon NovelToon

Ikhlas

Mengambil Milikku

Assalamu'alaikum 🙏

Aku hadir kembali dengan kisah baru 😍

Semoga kalian syuka dan mengikuti cerita ini sampai selesai 🥰

Terima kasih bagi kalian semua yang udah setia mendukungku selama ini 🤗 Salam sayang 😘

Yuk, cuss and happy reading ...

🌹🌹🌹🌹🌹

"Rubi. Kamu lagi haid, 'kan? Besok temani aku ke pasar, ya. Aku mau belanja keperluan untuk acara khitbah Gus Fattah dan Ning Naili," pinta Ning Kuni, ketika Rubi, salah satu santri abahnya sedang membereskan dapur di kediaman Kyai Hambali.

"Da-dalem, Ning. Ke-keperluan khitbah Gus Fattah?" tanya Rubi, memastikan rungunya.

"Iya. Kamu bisa 'kan, Bi? Umi menyuruhku untuk mengajak teman. Kebetulan kamu sedang halangan dan tidak ngejar setoran hafalan. Jadi, bisa 'kan?" desak Ning Kuni, putri pertama Kyai Hambali.

"Nggih, Ning. Sa-saya bisa," balas Rubi, gugup.

"Ya, sudah. Silakan kalau kamu mau melanjutkan pekerjaan. Aku ke kamar dulu, takut Naura bangun," pamit Ning Kuni seraya tersenyum manis pada santri sang abah.

"Jadi, Gus Fattah sudah memiliki calon istri?" gumam Rubi sendu, setelah bayangan Ning Kuni menghilang di balik pintu.

'Hah ... siapa kamu, Rubi? Berani-beraninya kamu menyimpan harap pada putra kyaimu? Kalian bahkan ibarat langit dan bumi. Jauh, Rubi! Perbedaan kalian sangatlah jauh!' batin Rubi, menertawakan diri sendiri.

Gadis berkulit kuning bersih itu menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir bayangan Gus Fattah yang seringkali hadir dan tak mau pergi. Rubi menyadari siapa dirinya yang tak mungkin dapat bersanding dengan putra sang kyai. Dia sungguh menyesali karena sudah melambungkan asa, begitu tinggi.

Semua bermula, ketika Nyai Aisyah sedang sakit, dan Rubi disuruh untuk memijat istri sang kyai. Saat itu, di kediaman kyai Hambali hanya ada umi nyai dan dirinya sehingga Rubi tidak sungkan melepas hijab karena merasa gerah saat memijat istri Kyai Hambali. Lagipula, Nyai Aisyah pula yang menyarankan kepada Rubi.

"Tolong buatkan bubur untuk umi, ya, Nok. Sedikit saja," pinta Nyai Aisyah dengan suaranya yang lemah, setelah Rubi selesai memijat seluruh badannya.

"Nggih, Umi. Rubi akan buatkan." Rubi mengambil hijab yang tadi disimpan di atas kursi untuk dia kenakan kembali karena hendak keluar dari kamar Nyai Aisyah.

"Ndak usah pakai hijab juga ndak apa-apa, Nok. Kamu masih sumuk, tho? Ndak ada orang juga, selain kita berdua. Abah baru akan kundur nanti malam."

"Oh, gitu nggih, Mi. Tapi ...."

"Sudah, sana! Umi keburu ngantuk, lho. Habis pijatan kamu enak, Nok. Umi jadi pengin langsung tidur." Wanita paruh baya itu tersenyum hangat pada Rubi.

"Baiklah, Umi. Umi ampun sare dulu, nggih. Tunggu bubur dari Chef Rubi sebentar," pesan Rubi dengan candaan yang berhasil membuat wanita paruh baya tersebut tertawa.

"Iya-iya. Chef Rubi yang pintar," tutur Nyai Aisyah, masih dengan tawanya.

Ya. Rubi memang gadis periang. Dia juga sangat dekat dengan Nyai Aisyah. Istri Kyai Hambali itu menyayangi Rubi karena gadis yang berperawakan mungil tersebut cerdas, juga rajin.

Tanpa mengenakan hijab, Rubi bergegas keluar dari kamar Nyai Aisyah menuju dapur. Kebetulan, di dapur tidak ada santri lain yang bertugas karena pekerjaan mereka sudah selesai. Rubi dengan cekatan membuat bubur permintaan istri sang kyai, seraya menyenandungkan sholawat Nabi.

Asyik mengaduk bubur di atas panci, Rubi sampai tidak menyadari kehadiran seseorang. Pemuda itu mengamati Rubi dengan seksama bahkan netra teduhnya sampai tidak berkedip. Sedetik kemudian, pemuda tampan itu tersadar lalu buru-buru mengalihkan pandangan.

"Kamu Rubi, 'kan?"

Mendengar suara seseorang yang sangat dia kenali, Rubi menoleh ke arah sumber suara. "Astaghfirullah!" seru Rubi ketika menyadari dirinya tidak mengenakan hijab.

Gadis itu nampak panik dan bingung sendiri meski Gus Fattah tidak sedang melihat ke arahnya. Dia menoleh ke kanan ke kiri, mencari-cari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menutupi kepala. Namun, dia tidak menemukan apa pun di dapur milik bu nyainya.

Sementara Gus Fattah, mengulas senyuman yang sulit diartikan. "Cantik," gumam pemuda berhidung mancung tersebut, seraya mendekati Rubi.

"Pakai ini." Gus Fattah yang baru pulang dari kota tempatnya menuntut ilmu lalu mengangsurkan handuk yang hendak dia pakai untuk mandi.

"Terima kasih, Gus. Maaf, saya ndak tahu kalau Gus Fattah kundur," kata Rubi yang tidak berani menatap putra bungsu sang kyai. Suara gadis belia itu terdengar penuh penyesalan.

Tanpa berkata apa pun, pemuda yang digandrungi oleh para santri putri itu lalu kembali masuk ke dalam dan mengurungkan niat untuk ke kamar mandi. Menyisakan Rubi yang masih terbengong seorang diri.

"Tadi, Gus Fattah bilang apa, ya? Cantik? Benarkah, tadi dia memujiku?" gumam Rubi bertanya-tanya pada diri sendiri.

Rubi lalu melanjutkan memasak bubur dengan perasaan tak karuan. Tidak berapa lama kemudian, buburnya sudah matang. Gadis itu membawa mangkuk bubur yang masih mengepulkan asap panas melangkah dengan gamang, sambil celingak-celinguk melihat keadaan sekitar.

Dirasa aman, Rubi bergegas menuju kamar Nyai Aisyah. Dia tidak mengetuk pintu terlebih dahulu karena Rubi yakin, sang nyai pasti masih menunggu. "Bubur buatan Chef Rubi sudah siap, Umi," kata Rubi tanpa melihat ke dalam kamar.

Nyai Aisyah yang duduk di atas ranjang, terkekeh pelan yang diikuti oleh Gus Fattah. Menyadari ada pemuda yang tadi memergokinya tanpa hijab, Rubi semakin malu pada putra sang kyai.

"Maaf, Rubi ndak tahu kalau ada Gus Fattah di kamar Umi." Gadis itu buru-buru memundurkan langkah seraya menunduk, setelah menyimpan bubur di atas nakas.

"Maaf, Umi. Jika Umi sudah tidak membutuhkan sesuatu, Rubi pamit kembali ke pondok." Gadis belia itu berbicara masih sambil tertunduk dalam.

"Ya, sudah, Nok. Sudah ada Gus Fattah juga. Biar nanti dia yang membantu umi, kalau umi butuh sesuatu," tutur Nyai Aisyah.

"Nggih, Umi. Assalamu'alaikum," pamit Rubi, hendak berlalu dari kamar luas milik bu nyainya.

"Nok. Kerudungmu ketinggalan, itu," panggil Nyai Aisyah, ketika langkah Rubi sudah sampai di ambang pintu.

"Oh, MasyaAllah ... Rubi lupa, Umi, kalau Rubi masih memakai handuknya Gus Fattah." Rubi yang merasa grogi setengah mati, kembali ke dalam lalu mengambil hijabnya yang tersampir pada sandaran kursi yang diduduki Gus Fattah.

"Nyuwun sewu, Gus. Rubi mau ambil ini," izin Rubi dengan kepala menunduk dalam. Dia sama sekali tidak berani menatap pemuda yang sering dibicarakan oleh teman-teman santri.

Setelah mengambil hijab dengan tangan gemetaran, Rubi segera berlalu. Namun, langkah gadis belia itu kembali terhenti ketika suara berwibawa Gus Fattah terdengar di rungunya.

"Aku butuh handukku, Rubi." Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya lalu mendekati Rubi. Gadis belia tersebut semakin salah tingkah hingga keringat dingin bercucuran, membasahi keningnya.

"Maaf, Gus. Biar handuknya Rubi cuci dulu, nggih. Sudah kena keringat Rubi sewaktu masak tadi," tolak Rubi, sembari mengelap keringat yang mengucur dengan handuk milik Gus Fattah. Gadis itu lalu segera keluar dari kamar Nyai Aisyah.

"Tidak perlu, Rubi. Hanya terkena sedikit keringatmu, tidak mengapa," kekeuh putra sang kyai yang ternyata mengekor langkah Rubi. "Ayo, sini!" pinta Gus Fattah, memaksa.

"Tapi, Gus ...." Perkataan Rubi terhenti kala gadis belia itu memberanikan diri menatap Gus Fattah dan ternyata pemuda kharismatik itu berjalan mendekatinya dengan tatapan lekat.

Melihat tatapan pemuda di hadapan, Rubi merasakan ada gempa di dadanya yang berkekuatan lebih dari enam scala richter. Debarannya terasa sangat kencang hingga membuat gadis cantik itu salah tingkah lalu buru-buru menunduk dalam.

"Gus Fattah ma-mau apa?" tanya Rubi gugup, ketika melihat ujung jari kaki putra sang kyai semakin mendekat. Debaran di dada Rubi semakin cepat.

Rubi memegang dadanya sendiri. 'Apa aku mengidap penyakit jantung?'

Pemuda yang sudah mengalihkan pandangan ke arah lain itu tersenyum dan semakin menambah pesona di wajahnya yang tampan. Sayang, Rubi tidak dapat melihat senyuman Gus Fattah yang menawan. "Aku hanya mau mengambil milikku," jawab Gus Fattah ambigu.

🌹🌹🌹 tbc ...

Dermaga Lain

Rubi tetap menolak mengembalikan handuk milik Gus Fattah karena merasa bahwa itu tidaklah sopan. Mengingat, dia sudah memakai handuk tersebut untuk mengelap keringatnya. Namun, Gus Fattah kekeuh dengan pendirian dan tetap menginginkan handuknya sekarang.

"Ja-jangan, Gus! Saya ndak enak," tolak Rubi sangat pelan.

"Serahkan padaku, Rubi. Tidak mengapa. Sungguh," kekeuh putra bungsu Kyai Hambali.

"Ba-baiklah, Gus. Tapi maaf, tolong jenengan hadap sana dulu. Saya mau memakai jilbab," pinta Rubi, akhirnya mengalah karena tidak ingin berlama-lama berada pada situasi seperti sekarang.

Gus Fattah menurut dan segera berbalik badan. Rubi lalu mengenakan jilbab segi empatnya dengan cepat. Sebab, dia tidak ingin membuat putra sang kyai menunggu terlalu lama.

"Ini, Gus, handuknya. Maaf, Rubi tidak bermaksud kurang ajar. Gus Fattah sendiri yang memaksa." Rubi menyodorkan handuk tebal berwarna merah hati kepada putra bungsu sang kyai, tanpa berani menatap pemuda di hadapan.

Gus Fattah menerima handuk miliknya, masih dengan tersenyum. Senyuman yang benar-benar menambah pesona di wajahnya yang tampan dan meneduhkan. Sayang, Rubi melewatkan pemandangan yang langka tersebut.

Tentu saja pemandangan seperti itu langka karena Gus Fattah terkenal minim senyuman. Dia juga terkesan dingin jika bertemu dengan para santri putri di pesantren sang abah. Selain itu, di kalangan santri putri, Gus Fattah juga terkenal irit bicara.

"Terima kasih, Rubi," sindirnya kemudian, ketika melihat Rubi sudah membalikkan badan.

Rubi mengurungkan niat untuk melangkah lalu kembali berbalik. Gadis belia itu tersenyum malu, senyuman yang masih dapat dilihat oleh Gus Fattah meskipun gadis itu menunduk. "Terima kasih, Gus," kata Rubi dengan suaranya yang lembut.

"Apa begitu caramu berterima kasih, Rubi? Kamu tidak mau menatap orang yang telah memberimu bantuan." Gus Fattah tersenyum dikulum.

Gadis belia itu terpaksa mendongak lalu menatap pemuda yang tidak pernah berani Rubi impikan. Dahi gadis belia itu berkerut dalam, mendengar Gus Fattah sudah berbicara banyak padanya dan senantiasa mengumbar senyuman. Namun, Rubi tidak mau berpikir terlalu jauh.

"Terima kasih, Gus," ulang Rubi seraya tersenyum. Senyum yang mampu membuat para pemuda, meleleh melihatnya.

"Kembali kasih, Rubi," balas Gus Fattah, masih dengan senyumannya yang memikat, membuat Rubi benar-benar terpikat.

Gadis belia itu sampai melongo, mendengar suara Gus Fattah yang menggetarkan hatinya. Serta, melihat senyuman putra sang kyai yang mampu membuat Rubi melupakan dunia dan seisinya. Cukup hanya dengan memandang Gus Fattah tersenyum seperti itu, Rubi merasa telah memiliki segalanya.

'Ya, Tuhan. Ternyata makhluk ciptaan-Mu ini benar-benar sempurna. Dia lebih tampan dari yang kubayangkan,' batin Rubi, terpukau melihat pesona Gus Fattah.

Putra bungsu Kyai Hambali itu tersenyum, melihat ekspresi santri sang abah di hadapan. "Hai." Gus Fattah mengibaskan tangan di hadapan Rubi hingga membuat gadis belia tersebut tersadar.

"Ma-maaf." Rubi buru-buru menunduk. "Assalamu'alaikum," pamitnya kemudian yang bergegas meninggalkan ndalem sang kyai. Menyisakan Gus Fattah yang masih senyum-senyum sendiri.

Waktu bergulir begitu cepat. Pagi ini, Rubi yang telah menyanggupi ajakan Ning Kuni, telah bersiap. Gadis belia yang biasanya mengenakan sarung dan baju kurung itu, kini mengenakan stelan busana muslimah.

Rubi terlihat sangat anggun dan memesona. Wajahnya nampak semakin bersinar dalam bingkai hijab pasmina berwarna ungu muda. Gadis belia itu berjalan perlahan menuju ndalem sang kyai dengan menundukkan kepala.

"Bi, sudah siap?" tanya Ning Kuni, melihat kedatangan Rubi dari arah dapur dan gadis belia itu mengangguk memberikan jawaban.

"Sudah sarapan, belum?" tanya Ning Kuni kembali.

"Sudah, Ning."

"Sungguh? Tapi kenapa wajahmu nampak pucat?" Putri sulung Kyai Hambali itu nampak khawatir, ketika mendapati wajah Rubi sedikit pucat.

Tentu saja wajah Rubi terlihat pucat karena semalaman dia tidak dapat mengistirahatkan jiwanya yang lelah. Gadis belia itu terus saja memikirkan perkataan Ning Kuni yang telah membuat hatinya menjadi patah. Namun, Rubi hanya bisa menyesali kepercayaan dirinya yang begitu tinggi dan meratapi nasib yang harus patah hati, dalam diam.

"Sarapan dulu, Bi. Aku enggak mau kalau sampai kamu jatuh sakit," saran Ning Kuni kemudian, tetapi Rubi tetap menggeleng.

"Ya sudah, kalau begitu. Ayo, kita berangkat!" ajak Ning Kuni yang bergegas keluar menuju mobil, sambil menggendong sang putri. Rubi lalu mengekor langkah putri sulung sang kyai.

"Tapi kamu beneran kuat 'kan, Bi?" tanya Ning Kuni, ketika mereka sudah sampai di halaman dan lagi-lagi Rubi hanya mengangguk memberikan jawaban.

Ning Kuni sampai mengerutkan dahi melihat perubahan sikap Rubi. Dia yang biasanya selalu ceria, kini jadi minim bicara.

"Kamu beneran enggak apa-apa, Bi?" selidik Ning Kuni ketika Rubi telah membukakan pintu untuknya.

Rubi tersenyum. "Saya ndak apa-apa, Ning."

Ning Kuni mengedikkan bahu lalu segera masuk ke dalam mobil yang diikuti oleh Rubi. Gadis itu sangat terkejut, ketika baru saja duduk dan melihat sosok Gus Fattah sudah duduk dengan nyaman di bangku pengemudi.

'Kalau tahu bukan kang santri yang nyetir, aku pasti menolak ajakan Ning Kuni kemarin,' sesal Rubi yang tidak bertanya dulu, mereka akan pergi bersama siapa.

Rubi yang sedari semalam berusaha menyingkirkan bayangan Gus Fattah, justru pergi bersama pemuda yang ingin dia lupakan. Luka hati yang semalam berusaha dia obati sendiri, kini kembali menganga karena orang yang menjadi penyebabnya ada di depan mata. Hal itu membuat gadis belia tersebut, tidak mampu berkata-kata.

Sepanjang perjalanan menuju pasar, Rubi tidak banyak mengeluarkan suara. Dia hanya berbicara seperlunya saja, ketika Ning Kuni bertanya.

Begitu pula dengan Gus Fattah, pemuda yang biasanya senang menggoda Rubi itu, sepanjang perjalanan juga diam saja. Hanya suara Ning Kuni dan sang putri yang terdengar mendominasi, di kabin mobil sedan milik putri Kyai Hambali.

"Kalian berdua, lagi pada sariawan, ya?" tanya Ning Kuni, mengurai kebekuan. "Biasanya, kalian kalau bertemu suka rame," lanjutnya seraya menatap sang adik dan santri sang abah, bergantian.

"Ada apa, Bi?" Wanita beranak dua tersebut masih menatap Rubi dengan lekat.

"Mbak. Kita parkir di depan, apa di belakang saja?" tanya Gus Fattah, menyelamatkan Rubi dari tatapan sang kakak.

"Belakang saja, Dik."

Rubi segera turun, setelah mobil terparkir dengan sempurna. Gadis belia itu lalu mengambil Naura dari pangkuan Ning Kuni.

"Rubi. Berikan Naura pada pamannya. Kita masuk ke dalam," pinta Ning Kuni.

Rubi nampak kebingungan. Gadis berhijab ungu muda itu hendak memberikan Naura kembali pada Ning Kuni. "Maaf. Sebaiknya, Ning Kuni saja yang ...."

Melihat kebingungan Rubi, Gus Fattah tersenyum. "Sini, Cantik! Sama paman." Gus Fattah lalu mendekati Rubi, membuat gadis belia itu semakin salah tingkah.

Ragu, Rubi lalu memberikan Naura pada Gus Fattah. Tangan gadis berhidung mungil tersebut gemetaran. Apalagi ketika tidak sengaja, tangan mereka berdua bersentuhan.

"Ma-maaf, Gus." Rubi buru-buru memundurkan langkah seraya menunduk. Dia tidak mau melihat ekspresi Gus Fattah yang tengah tersenyum padanya.

"Mbak tinggal dulu, Dik. Takutnya kesiangan, Fatir keburu pulang sekolah nanti," pamit sang kakak yang bergegas menuju pintu masuk pasar sambil menggandeng tangan Rubi.

Gus Fattah masih menatap kepergian sang kakak dengan senyuman yang masih terukir jelas di bibir. Bukan, bukan menatap punggung Ning Kuni, tetapi memandangi punggung Rubi hingga tubuh mungil gadis itu menghilang di kejauhan.

"Aku memang bisa memilih ke mana kapalku hendak berlabuh, tapi aku juga tidak dapat menolak ketika arah angin menggiringku untuk berlabuh di dermaga lain." Gus Fattah menghela napas, gusar.

'Tapi, aku akan terus berusaha agar kapalku bersandar di dermaga yang kupilih dengan sadar,' lanjutnya bergumam dalam hati.

Sambil menunggu sang kakak, pemuda itu memangku sang keponakan yang baru saja bangun tidur dan masih malas-malasan, sambil membuka ponselnya. Iseng, dia membuka-buka sosial media lalu terbersit keinginan untuk mengintip akun milik Ning Naili.

Wajah Gus Fattah yang tadinya datar, kini nampak serius. Sesekali, dahi pemuda itu berkerut ketika membaca komentar di setiap postingan gadis yang akan dijodohkan dengan dirinya tersebut. Sedetik kemudian, senyuman kembali terbit di wajahnya yang teduh.

"Aku semakin yakin dengan perasaanku sekarang," gumamnya kemudian seraya menutup layar ponsel.

🌹🌹🌹 tbc ...

Bersanding dengan Gadis Lain

Di dalam pasar, Ning Kuni masih asyik berbelanja. Rubi dengan setia mengekor langkah putri sulung Kyai Hambali, seraya membawakan sebagian barang belanjaan.

"Sepertinya sudah semua ya, Bi?" tanya Ning Kuni, memastikan.

Wanita cantik yang memiliki dua orang anak itu meneliti kembali barang-barang yang ada di tangannya dan di tangan Rubi. Sementara Rubi hanya mengangguk karena sedari tadi, dia memang tidak dapat berkonsentrasi. Raganya memang menemani Ning Kuni berbelanja, tetapi pikiran Rubi entah pergi kemana.

Terdengar suara Ning Kuni memanggil seorang kuli panggul pasar dan berhasil menyeret Rubi dari lamunan.

"Bi. Kamu saja ya, yang antar Bapak ini ke mobil. Aku mau naik sebentar. Ada keperluan Naura yang harus dibeli." Ning Kuni menepuk lembut pundak Rubi, seraya tersenyum. Kakak sulung Gus Fattah itu kemudian segera berlalu, meninggalkan Rubi bersama kuli panggul yang sedang menata barang belanjaan agar lebih mudah dibawa.

Rubi lalu menuntun laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun tersebut menuju mobil. Dari kejauhan, Rubi melihat Gus Fattah berusaha mendiamkan sang keponakan. Sepertinya, Naura sedang rewel dan menangis dalam gendongan sang paman.

Ketika melihat Rubi datang bersama kuli panggul pasar yang membawakan barang belanjaan, Gus Fattah nampak tersenyum lega.

"Rubi. Mbak Kuni, mana?" tanya Gus Fattah, melihat Rubi datang tanpa sang kakak.

"Ning Kuni masih mau belanja barang keperluan untuk Naura, Gus," balas Rubi, seperti yang dikatakan oleh Ning Kuni padanya tadi.

Gadis berhijab pasmina itu menjawab tanpa melihat ke arah Gus Fattah, tetapi tatapan Rubi tertuju pada Naura yang berwajah sembab. Sepertinya, gadis kecil itu sudah cukup lama menangis dalam gendongan Gus Fattah.

"Terima kasih, Pak," kata Rubi pada kuli panggul pasar, setelah semua barangnya dimasukkan dalam bagasi.

"Maaf, Gus. Biar Naura sama saya saja," pinta Rubi kemudian seraya mengulurkan tangan. Tentu saja Gus Fattah sangat senang karena sudah cukup lama sang keponakan rewel dan berada di gendongannya.

"Kebetulan, Bi. Tanganku rasanya juga sudah pegal. Dia rewel dari tadi," keluh pemuda kharismatik tersebut seraya memberikan Naura pada Rubi. "Dia nangis terus, nyari uminya," lanjut Gus Fattah.

"Mungkin, Naura haus, Gus. Nyuwun sewu, apa di mobil ada minuman?"

Gus Fattah menggeleng. "Tidak ada, Bi. Yuk, kita minum di sana saja," ajak Gus Fattah seraya menunjuk warung bakso.

Pemuda berhidung mancung itu segera berlalu menuju warung bakso, tanpa menunggu persetujuan Rubi. Sementara Rubi masih terdiam di tempatnya semula. Gadis belia itu sepertinya enggan mengikuti langkah Gus Fattah

Gus Fattah menghentikan langkah ketika menyadari Rubi tidak mengikutinya. Pemuda yang diam-diam disukai oleh Rubi itu lalu menoleh ke belakang. "Rubi. Ayo!"

Ragu, Rubi akhirnya melangkah mengikuti keinginan putra sang kyai. Dia berjalan dengan sangat pelan hingga jarak keduanya, cukup jauh. Gus Fattah tersenyum ketika menoleh ke arah Rubi. "Mau kugendong, biar cepat sampai?'

Rubi seketika menunduk. Gadis berwajah imut itu lalu mempercepat langkah agar bisa segera menyusul Gus Fattah. Senyuman di wajah Gus Fattah semakin lebar ketika jarak keduanya sudah dekat, membuat Rubi berdebar ketika sempat mencuri pandang pada putra bungsu sang kyai.

Gus Fattah segera memesan minuman untuk sang keponakan. Dia juga memesan bakso dan minuman untuk dirinya dan Rubi. Pemuda yang memiliki tatapan teduh itu memesan tanpa bertanya terlebih dahulu, apakah Rubi setuju atau tidak makan bareng dengannya di warung seperti ini.

"Bi. Duduk sini," pinta Gus Fattah seraya menepuk bangku kosong di sebelahnya, ketika melihat Rubi masih berdiri mematung. Kebetulan, hanya ada dua bangku itu yang kosong.

"Ndak usah, Gus. Nanti kalau minuman untuk Naura sudah jadi, biar saya bawa ke mobil saja dan Naura bisa minum di sana," tolak Rubi dengan halus.

"Hai. Kita mau makan bakso dulu, Bi. Aku sudah memesan dua mangkuk untuk kita dan kamu tidak boleh menolak."

Rubi nampak bingung dan dia masih berdiri mematung. Namun, ketika melihat bakso sudah tersaji di hadapan Gus Fattah dan pemuda itu menatap dirinya tanpa mau dibantah, Rubi hanya bisa pasrah. Dia lalu melangkah menuju bangku yang tadi ditunjuk Gus Fattah dan mendudukkan diri di sana dengan hati yang resah.

"Mau aku suapi?" goda Gus Fattah ketika melihat Rubi hanya diam saja dan tidak segera memakan bakso. Sementara Bakso di mangkuk pemuda itu, tinggal separuh.

"Ndak perlu, Gus. Saya bisa sendiri," tolak Rubi.

"Tapi kamu lagi mangku Naura, Bi. Kamu pasti kesulitan. Aku suapi saja, ya."

Rubi menggeleng cepat.

"Maaf, Bi. Aku hanya bercanda. Aku tahu, kita belum boleh melakukan hal itu."

Hening, sejenak menyapa meja tempat mereka makan. Gua Fattah belum memulai makan kembali. Sementara Rubi juga belum menyentuh mangkuk bakso miliknya.

"Tapi kalau kita sudah jadi mahrom, aku pasti akan menyuapimu." Suara Gus Fattah, mengurai keheningan.

Bukan, bukan hanya mengurai keheningan yang sejenak tercipta, tapi juga mampu memorak-porandakan perasaan Rubi. Gadis belia itu tidak mengerti, mengapa Gus Fattah berbicara demikian padahal lusa pemuda tersebut akan mengkhitbah gadis lain.

"Bisa, kok, Gus. Rubi 'kan bukan anak kecil," balas Rubi seraya tersenyum canggung, mendengar perkataan Gus Fattah yang membuatnya menjadi bingung.

Mereka berdua lalu makan bakso dalam diam. Tidak ada lagi yang bersuara. Gus Fattah yang biasanya pandai mencandai Rubi, kini seperti kehilangan kata-kata. Begitu pula dengan Rubi yang biasanya ceria, gadis belia itu lebih banyak diam, dan terlihat seperti menyimpan beban.

"Lusa, kamu bisa ikut, 'kan?" tanya Gus Fattah, kembali mengurai keheningan.

"Eh, iya, Gus. Maaf, tadi jenengan tanya apa?" Rubi yang larut dengan pikirannya sendiri, tidak dapat mendengar dengan baik pertanyaan putra sang kyai.

"Lusa keluarga kami akan sowan ke ndalem Kyai Bashori. Kamu bisa ikut 'kan, Bi?" ulang Gus Fattah menjelaskan.

"Maaf, Gus. Saya ndak bisa. Bukankah itu acara keluarga? Masak, saya yang orang lain ikut segala." Rubi tersenyum getir.

"Ndak apa-apa, Bi. Kamu 'kan, sudah biasa ikut pergi dengan keluarga kami. Aku senang, kok, jika kamu ikut," kekeuh Gus Fattah.

Ya. Rubi memang sering diajak bepergian oleh Nyai Aisyah. Terutama, jika ada pengajian di tempat lain yang mengundang uminya Gus Fattah tersebut. Sesekali, Nyai Aisyah juga mengajak Rubi berbelanja, atau kondangan ke tempat sahabat, atau kerabat.

'Tapi saya yang ndak senang, Gus, dan saya bersedih kalau harus melihat jenengan mengkhitbah gadis lain,' kata Rubi yang hanya berani dia ungkapkan dalam hati

"Bagaimana, Rubi? Kamu ikut, ya," paksa Gus Fattah.

Belum sempat Rubi menjawab, Ning Kuni sudah datang dan menyelamatkan Rubi dari permintaan Gus Fattah. "Kalian mbak cari-cari, ternyata di sini," protes Ning Kuni yang kemudian mengambil alih sang putri dari pangkuan Rubi.

"Maaf, ya, Bi. Kamu jadi kesulitan makan karena sambil momong Naura."

"Ndak apa-apa, Ning. Masih panas juga kalau langsung dimakan."

"Mbak mau bakso juga?" tawar Gus Fattah dan dibalas sang kakak dengan gelengan kepala.

"Kalian saja yang makan. Mbak takut gendut," balas Ning Kuni seraya terkekeh. "Mbak tunggu di mobil saja, ya. Enggak ada tempat duduk di sini," pamitnya kemudian dan segera berlalu meninggalkan warung bakso.

Menyisakan mereka berdua yang kemudian segera menyelesaikan makan agar Ning Kuni tidak kelamaan menanti.

Sore harinya, Rubi tiba-tiba pamit pada Nyai Aisyah. Dia bermaksud pulang ke rumah sang nenek, rumah tempat di mana dia dibesarkan oleh neneknya.

"Kenapa tiba-tiba kamu mau pulang, Bi? Ini 'kan, ndak ada libur hari besar atau apa?" cecar sang nyai.

"Nggih, Umi. Rubi juga ndak tahu, tiba-tiba pengin pulang. Perasaan Rubi dari semalam ndak enak, Mi, dan Rubi pengin ketemu emak," balas Rubi sejujurnya.

Ya. Dari semalam, setelah mengetahui bahwa Gus Fattah akan mengkhitbah wanita lain, perasaan Rubi memang tidak nyaman. Rubi juga tiba-tiba merindukan neneknya yang dia panggil emak. Sore ini, setelah tadi dia mendengar permintaan Gus Fattah agar Rubi ikut ke rumah gadis yang akan menjadi istri pemuda tersebut, gadis belia itu memantapkan hati pamit pulang ke kampung sengaja untuk menghindar.

"Ya sudah, kalau begitu. Jika sudah suci, segera kembali ke pondok," pesan sang nyai dan Rubi mengangguk dengan ragu.

Ya. Rubi merasa ragu, apakah dia sanggup balik ke pondok atau tidak setelah ini. "InsyaAllah, Mi," balas Rubi. 'Rubi akan kembali ke sini jika Rubi sudah benar-benar siap melihat Gus Fattah bersanding dengan gadis lain,' lanjutnya dalam hati.

🌹🌹🌹 bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!