NovelToon NovelToon

Pria Idiot Itu, Suami Ku!

Bab 1

"Apa? Aku harus menikah dengan tuan muda idiot itu?" aku menatap ibu tiriku tidak percaya.

"Iya, kau harus memikirkan juga berapa sudah usiamu sekarang? Bapakmu sakit-sakitan. Dengan menerima pinangan keluarga pak Darmawan, kau akan membantu perekonomian keluarga kita."

Aku meranggas.. Kenapa harus aku yang menjadi tumbal? Padahal dia sendiri punya anak gadis, Salsa adik tiriku.

"Lalu kenapa harus aku? Kenapa tidak Salsa Saja?" aku memandang adik tiriku yang sedang memainkan ponsel di tangannya.

"Aku? Iihh.. Ogah, ah. Masa ratu kecantikan ini mau menikah dengan pangeran idiot? Kan nggak lucu." jawabnya bergidik.

"Kau jangan banyak berpikir, Salsa masih lebih muda, dia masih punya banyak kesempatan untuk memilih jodohnya, sedang kau?"

Ibu memang selalu memojokkan ku dengan kalimat satu itu. "Belum menikah"

Memang usiaku saat ini sudah menginjak dua puluh tujuh tahun. Dan itu di anggap aib oleh ibu tiriku.

Bukannya aku tidak laku, bukan pula aku jelek. Bahkan kata orang-orang, wajahku sangat cantik, mirip mendiang ibuku. Tubuhku juga proposional. Tapi entah mengapa, aku susah tertarik pada lawan jenis ku. Apalagi setelah banyak ku saksikan

pasangan yang cekcok karna tidak ada kecocokan. Hal itu membuat aku semakin ilfil pada mahluk yang namanya laki-laki.

Kata orang aku tomboy karna lebih suka berteman dengan cowok-cowok ketimbang gadis seusiaku.

Aku bergaul dengan mereka setiap hari, mungkin karena hal itu pula yang membuat aku tidak bisa menaruh perasaan yang spesial pada lawan jenis ku.

Aku menatap lurus pada ibu tiriku itu.

"Kalau usiaku di jadikan alasan, aku bisa mendapatkan jodohku sekarang juga!" ucapku menantang.

"Bisa tidak,tidak membangkang sekali ini saja, Ibu tidak percaya. Sudah sering ibu beri kesempatan, tapi apa? Mana teman pria yang mau melamar mu?"

  "Jangan kan melamar, kencan saja tidak pernah. Atau jangan-jangan Nara punya punya kelainan, Bu." Salsa ikut memanas manasi Bu Marni.

Aku mendelik kearahnya.

"Jangan membantah lagi. Lagi pula kau harus ingat, selama ini ibu yang menanggung hidupmu, juga ayahmu. Sekarang lah waktunya kau membalas budi!"

Sepasang netraku mulai memanas.

Aku sangat tidak berdaya kalau sudah menyangkut nama ayah. Ayah yang tak berdaya karena penyakitnya. Dan memang aku akui, ibu Marni lah yang menjadi tulang punggung keluarga kami semenjak ayah sakit sakitan.

"Tidak ada waktu lagi, nanti sore mereka akan datang. Kau harus berdandan seperti layaknya seorang gadis. Ibu sudah menyiapkan pakaian yang pantas untukmu." Wanita yang bergelar ibu tiri itu meninggalkan kamarku dengan angkuh di ikuti oleh anaknya.

Tidak ada jalan lain lagi. Ucapannya adalah perintah untuk ku. Demi ayah, aku harus menerimanya.

Sore itu aku sempatkan mengunjungi ayah di kamarnya.

Ayah hanya bisa menatapku dengan perasaan bersalah. Memang selalu itu yang terjadi. Ia menyalahkan dirinya karna memberiku seorang ibu tiri yang kejam.

Dulu, Bu Marni adalah wanita baik hati dan lembut. Ia yang hidup terlunta-lunta dengan anaknya membuat ayahku iba.

Ia mempekerjakan Bu Marni di toko kain yang ayahku kelola.

Sampai Saat ibu meninggal dan ayah menjadikannya sebagai istri, dengan harapan bisa menjadi ibu yang baik buatku. Namun baru dua bulan setelah menjadi istri ayah. Sifat aslinya terkuak. Ia menguasai harta ayah. Hingga akhirnya ayah mengalami kebangkrutan dan terkena struk. Sejak saat itu aku dan ayah harus bergantung padanya.

 Aku tak pernah perduli dengan perlakuannya padaku, tapi yang kadang membuat darahku mendidih kalau dia sudah mulai menghina ayahku.

"Nara...!!". Suaranya yang menggelegar sampai menggetarkan daun pintu di rumah kami , itu sudah menjadi hal yang biasa.

"Masih asik asik disini rupanya, cepat bersiap, sebentar lagi tamunya datang!" ucapnya dengan wajah masam.

Ayah berusaha bicara walau tak karuan, ia bermaksud mencegah rencana ibu.

"Sudah! Jangan ikut campur, Mas! Sudah jadi beban saja masih sok ngatur." ucapnya membentak ayah. Hati ku terasa sakit, tapi tidak bisa merubah keadaan.

"Harusnya kau senang, dengan menikahnya Nara, bebanku jadi berkurang!" omelnya dan menutup pintu dengan keras.

Ayah hanya bisa mengelus dadanya.

"Sabar, ya Ayah... Kalau Nara sudah mampu, Nara akan bawa ayah keluar dari neraka ini. Nara janji!" aku mencium tangannya dengan Hidmat.

Aku lihat airmatanya menetes haru.

Aku pasrah saja saat seorang suruhan Bu Marni mendandani ku. Memakaikan dres pink yang panjangnya sampai bawah lutut dan atasannya memperlihatkan belahan dadaku.

Sekalipun aku tomboy, tapi kulitku putih mulus bak porselen. Itu kata orang.

Lagi -lagi kata orang.

Ayah dan ibu memberiku nama ' Naradita widjaya' dan biasa di panggil Nara. gabungan dari nama ayah dan ibuku.

Dita dari nama ibu,, dan Widjaya dari ayah.

Aku kembali menatap diriku di cermin.

Memang cantik, tapi aku merasa tidak nyaman dengan kostum yang ku kenakan.

Aku lebih suka memakai kaos dan celana pendek dalam keseharian ku.

Tiba-tiba Salsa datang ke kamarku.

Seperti biasa, ia tidak akan lega kalau belum sempat menjatuhkan ku dengan kata-katanya.

"Ciee... Yang mau ketemu calon mertua!" ucapnya meledek.

Aku tidak memperdulikan ucapannya.

"Nara, kau dengar apa tidak sih?" tanyanya keki saat Aku pura-pura tidak menyadari kehadirannya.

Salsa berniat meledek ku lagi, tapi ia terkejut saat melihat ku yang yang berdandan modern seperti dirinya.

"Kenapa kau diam? Kau terkejut melihat ku? Cantik, bukan? Kau pikir hanya kau saja yang bisa tampil cantik...?" aku sengaja membuat nya marah agar segera minggat dari kamarku.

"Kaya gitu kau bilang cantik? Yang ada norak tau, nggak? Kayak ondel-ondel!" ucapnya dan langsung meninggalkan kamarku.

Di depan, Bu Marni sedang menyambut kedatangan keluarga pak Darmawan.

Dengan wajah yang se ramah mungkin, ia mempersilahkan tamunya masuk.

Ia sudah menyiapkan skenario nya.

Aku harus muncul membawa minuman untuk keluarga kaya itu.

"Jaga sikapmu, harus lembut dan sopan santun, jangan lupa tersenyum. kau dengar?" teriaknya sampai gendang telingaku hampir pecah rasanya.

"Bu, Marni, langsung saja, saya tidak sabar ingin melihat calon menantu kami..." ucap Bu Surya dengan anggun.

"Tentu, tentu... Dia akan segera datang kemari." ucap Bu Marni dengan ramah.

Setelah itu ia memanggil ku dengan lembut.

"Nara... Keluarlah..!"

Bu Marni kembali menghadap para tamunya.

Mata Pak dan Bu Darmawan terus memandang ke pintu. bahkan saat aku melewati pintu itu sambil membawa minuman.

Mereka masih menunggu seorang gadis yang anggun yang muncul dari pintu itu.

Bu Marni melotot kearah ku yang menyajikan minuman.

Bagaimana tidak? aku keluar dengan penampilan yang jauh dari harapannya.

Aku sengaja hanya mengenakan kaos dan celana, namun cukup sopan. Rambut yang sebahu aku gerai begitu saja. Wajah, ku biarkan polos tanpa polesan make up sedikitpun.

"Mana anaknya, Bu?" Bu Surya terus menunggu dengan ekor matanya.

"Maaf, Pak, dan Bu Darmawan. Anak yang saya maksud adalah dia...!" ucap Bu Marni menunjuk ku dengan ragu. Wajahnya merah padam, ia sangat kesal pada ku karena sudah mempermalukan nya.

Mata Pak dan Bu Darmawan serentak memandangku, aku hanya tersenyum dan mengangguk hormat.

"Ini? Ini anak gadis yang ibu maksud?" mereka terlihat kaget. Aku tidak perduli dengan penilaian orang kaya itu. Sukur-sukur kalau mereka tidak suka dan menolak ku.

"Maaf, kalau kalian tidak berkenan. Tidak apa-apa, saya masih punya anak gadis satunya lagi." ucap Bu Marni dengan rasa bersalah.

"Sebentar, ya Bu.."

Bu Marni masuk tergopoh, ia bermaksud memanggil SalSa.

Sementara itu, aku hanya diam menunggu apa yang akan terjadi.

Tak ku sangka pak Darmawan menyapaku.

"Berapa usiamu, Nak?"

"Saya, usia saya dua puluh tujuh tahun, pak." jawabku tanpa malu sedikitpun. bahkan aku ingin mereka ilfil dan menolak ku menjadi menantunya.

"Tapi dari keterangan ibu mu, usiamu baru dua puluh empat tahun. Ah sudahlah, masalah usia tidak jadi masalah." ucapnya kemudian.

Aku masih diam menunggu.

Namun saat itu perhatian tertuju pada Bu Marni yang memaksa Salsa keluar. Lebih tepatnya menyeret, Bu Marni menyeret Salsa kehadapan Bu Darmawan.

Dalam hati aku bersorak dan berharap mereka memilih Salsa. tentu saja, kriteria menantu yang mereka cari ada pada Salsa.

Cantik, feminim dan cewek banget.

"Ibu, aku tidak mau menikah dengan pria idiot..!" ucap Salsa terus terang. Wajah Bu Darmawan berubah kecewa. Begitupun Bu Marni. Ia merasa takut membuat tamunya kecewa.

"Maaf, Bu. Anak saya kurang sopan." ucapnya berkali-kali.

Aku hanya menyaksikan adegan itu dengan senyuman kecil.

Aku merasa perjodohan ini akan gagal.

Hingga akhirnya mereka mohon diri.

Aku menarik nafas lega saat mereka berpamitan.

"Jangan lupa persiapkan semuanya, dua hari lagi acara pernikahan kita adakan secara besar-besaran..." kata pak Darmawan. Aku yang sudah mengangkat kaki hendak masuk, terpaksa aku urungkan.

Aku lihat Salsa menangis.

"Aku tidak mau, Bu!" ucapnya sambil menangis bersimpuh. Bu Marni masih tercengang.

Aku melenggang masuk dengan hati tenang. Tapi suara pak Darmawan menghentikan langkahku.

"Saya mau, Nara yang menjadi menantu kami!" sangat jelas di telingaku.

Semua terdiam tak percaya. Begitupun diriku.

Aku berbalik menghadap pak Darmawan seolah ingin memastikan apa yang ku dengar barusan.

"Iya, kamu yang akan menjadi menantu kami." Aku masih diam mematung saat pak Darmawan mengelus kepalaku.

💞Kak, mampir dong kesini. Tolong ramaikan ya...

.

Bab 2

Aku tidak bisa berkata-kata. Lidahku terasa kelu. Begitupun saat Salsa mulai mengejek ku. Aku hanya diam.

"Untung saja pak Darmawan memilihmu. Kalau tidak, hancur sudah duniaku." ucapnya sambil tertawa lebar.

Tiba-tiba saja emosiku tersulut, aku menghardik adik tiriku itu dengan keras. Hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.

Dia pun mundur perlahan dari hadapanku.

Kini tinggal aku sendiri di kamar yang lumayan besar ini.

Aku mendekap photo almarhum ibu.

"Bu, restui aku, bimbinglah selalu diriku..!" tanpa terasa airmata ini keluar juga.

Tapi ada yang membuatku sedikit lega. sikap pak Darmawan yang tenang dan sopan menjadi angin segar dalam masalah yang sedang ku hadapi. Aku sendiri sempat membayangkan, seorang pak Darmawan yang punya harta dan kuasa seperti beliau pasti akan bersikap sombong dan arogan. Tapi ternyata dia berhati lembut.

Hari yang di tunggu-tunggu oleh ibu tiriku pun tiba.

Jujur, sampai menjelang akad, aku belum pernah melihat pria yang akan menikah denganku itu. Aku tak begitu perduli. Toh sama saja, yang akan ku nikahi itu seorang pria dewasa yang mentalnya masih anak-anak.

Aku juga sering bermimpi seperti gadis pada umumnya, akan menikah dengan seorang pria yang tampan, gagah seperti pangeran dalam dongeng-dongeng.

Tapi nasib berkata lain, aku mencoba menerima takdir yang sudah tergaris di tanganku.

Entahlah, apakah aku bisa berperan sebagai istri atau lebih tepatnya, pengasuh buat suamiku nantinya.

"Nar.. Calon suami mu sudah datang, lihatlah, dia datang seperti pangeran yang menunggangi kuda putihnya..."

Aku tau, Salsa hanya ingin meledek ku, tapi saat ku coba melirik keluar dari jendela kamarku, benar, sebuah mobil sport warna putih berhenti di halaman. Yaa .. Memang bukan kuda putih seperti yang di katakan Salsa.

Tak urung hatiku penasaran juga dengan sosok calon suami ku itu.

Ia terlihat turun dari mobil dengan di gandeng ibunya, sesekali Bu Darmawan membisikkan sesuatu di telinganya.

"Mari silahkan...!" wajah Bu Marni terlihat sumringah.

Dia sudah berdandan seperti layaknya seorang ibu dari calon mempelai dari pihak wanita.

Saat aku keluar, tampak pria itu tersenyum senang sambil bertepuk tangan.

"Dia istriku, Ma?" bisiknya pada Bu Darmawan.

"Iya, dan masih ingat kan apa yang harus di ucapkan nanti?"

Pria itu mengangguk senang.

Aku tak begitu jelas melihat wajahnya. Akupun tidak tertarik untuk sekedar meliriknya.

Ayahku duduk dengan menahan rasa harunya, ia paksakan diri untuk bisa menjadi wali ku.

Acara ijab pun di mulai.

Aku tak menyangka pria idiot itu mampu mengucapkan kalimat ijab dengan lancar.

"Saya terima nikah dan kawinnya Naradita widjaya binti Widjaya dengan maskawin yang tersebut di bayar tunai..!" semua tercengang. Dalam bayangan semua orang, acara itu akan memakan waktu karna kondisi mempelai pria. Namun ternyata tidak.

"Bagaimana, sah?" penghulu menoleh pada saksi di belakangnya.

"Sah...!" suara bergemuruh dari hadirin yang. ada di situ.

Kulihat pria itu, suami idiotku begitu senang. Ia menepuk nepuk kedua lututnya persis seperti anak kecil yang baru mendapat mainan baru.

"Sekarang berikan tanganmu pada istri mu!" bisik Bu Darmawan

Sambil cengengesan suamiku itu mengulurkan tangannya.

"Aku menyambutnya, dan mencium punggung tangannya. Tak ada perasaan apapun , hatiku seperti beku.

Bu Darmawan memeluk putranya dengan linangan airmata.

Kemudian dia beralih memeluk ku.

"Sekarang Mama serahkan Wisnu padamu." bisiknya di telingaku.

Aku tidak menjawab sepatah katapun.

Tapi aku mencium tangannya, pak Darmawan dan juga ayahku.

Ayah merangkulku dengan erat.

"Sekarang kau sudah menikah, sudah bukan tanggung jawab Ayah lagi, jangan lihat siapa suami mu, tapi pahami lah apa makna dari pernikahan itu sendiri." tak urung aku ikut tersedu.

Sore itu juga, aku di boyong ke istana mereka. Ayah melepas ku dengan linangan air mata.

Bu Marni menggamit tangan Ayah.

"jangan lebay gitu, Mas. Kayak yang di tinggal jauh saja. kan masih ada Salsa di rumah ini."

"Iya, nih Yah. Pilih kasih banget!" protes Salsa.

Ah,baku tidak akan pernah lagi mendengar perdebatan yang mewarnai keseharian kami.

Tiba-tiba baku merasa sedih meninggalkan kenangan ku disini.

Lain dengan Bu Marni dan Salasa. Mereka terlihat gembira dengan kepergian ku. seolah selama ini aku adalah beban yang begitu berat buat mereka.

"Namaku Wisnu pramudja...!"

Tiba-tiba tangan itu terulur padaku.

Aku menoleh dan menatap wajahnya, ia tersenyum manis memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi.

"Kakak siapa?" tanyanya lagi.

"Aku Naradita." jawabku acuh.

Kami memang duduk semobil. Hanya kami bertiga. Aku, dia dan sopir. Sedangkan bapak dan ibu Darmawan di mobil yang satunya.

"Ayo kak, ke kamarku, aku punya banyak mainan.." ucapnya sambil menyeret tanganku ketika kami sampai di rumah besar itu.

Beberapa pelayan dan tukang kebun menyambut kedatangan kami. mereka menunduk hormat.

"Nu'... Tidak begitu caranya memperlakukan Nara, dia istrimu, bukan temanmu." Bu Darmawan mengingatkan putranya.

Wisnu terlihat berpikir.

"Baiklah... Dia adalah istri.. bukan teman." ia mengulang kata-kata itu berulangkali sambil pergi ke kamarnya.

"Nara, kami mau bicara sebentar.. duduklah!" Pak Darmawan menuntunku duduk di sebuah kursi mewah.

"Begini, kau pasti sudah tau dari Bu Marni tentang suami, mu. Iya, kan? Kami mencari gadis yang berhati tulus untuk mendampinginya, karna itulah Papa memilihmu. Papa tau, kau gadis baik yang berhati lembut. Jangan sungkan bicara kalau ada apapun keluhan mu selama disini."

"Benar, jangan sungkan -sungkan, ini rumahmu juga." Bu Darmawan ikut menimpali.

Aku hanya mengangguk.

Lalu aku di antar ke kamar Wisnu.

"Ini kamar kalian sekarang, oh ya.. Wisnu sangat suka main mobil-mobilan, dari sekian banyak mainannya.. Hanya mobil- mobilan yang paling dia sukai."

"Mama tinggal, ya..!"

Aku hanya bisa mengangguk. Mulutku terasa terkunci.

Setelah kepergian Mama mertua.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang mewah dan besar itu.

Ranjang yang besar dan empuk sudah di hias sebagai mana ranjang pengantin.

Aku menelan ludah dengan susah payah.

Mereka menyiapkan kamar pengantin untuk ku? Apa yang akan terjadi kalaupun harus melewatkan malam pertama dengan pria yang masih berjiwa anak-anak itu.

Aku melepas pantat di ranjang empuk itu.

Tapi kemana anak kecil itu? Dari tadi aku tidak melihatnya. Saat aku kebingungan. Tiba-tiba ada suara mengagetkan ku.

"Dar..!!" Wisnu sudah berdiri di belakangku.

Aku merasa sedikit kesal. "Dasar anak kecil!"

Omel ku dalam hati.

 "Nara terkejut, ya?"

Dia masih berusaha bersikap ramah pada ku.

Namun kali ini tidak ada embel-embel kakak dalam panggilannya.

Anak kecil itu langsung membuka toksedo yang di pakainya. melemparkan nya ke ranjang pengantin.

"Mau mandi, ah...!" ucapnya cuek seolah tidak menganggap kehadiranku.

Hampir saja dia melepaskan celana bokser yang di pakainya. hanya itu pakaian terakhir yang melekat di tubuhnya.

"Tunggu!" ucapku sambil menutup mata.

"Jangan buka disini!" ucapku lagi.

"Tapi kata Mama, Nunu tidak usah malu sama istri. istri juga tidak boleh malu pada suami. Nunu, kan suaminya Nara..?" ucapannya begitu polos.

"Tapi nggak pake telanjang di depanku juga!" suaraku agak meninggi.

Wajahnya berubah sedih.

Aku sadar, menghadapinya harus sepert menghadapi anak kecil.

"Eeum... maaf!" ucapku sambil memegang kedua telingaku.

Senyumnya kembali muncul.

"Ya, sudah nggak papa... Nunu maafin. Tapi lain kali jangan bentak Nunu lagi, ya!" ucapnya polos.

"Kalau begitu, Nunu mau mandi dulu. Nara mau mandi juga? Asik lho kalau mandi bareng." ucapannya membuat aku kaget.

"Iya, Nunu sering kok mandi bareng. Sama Rivan, Tono dan teman-teman Nunu yang lain." ucapnya kembali cengengesan.

Aku menggeleng cepat.

"Ya Allah, beri hamba mu ini kesabaran menghadapi tubuh besar yang berjiwa kecil ini." doaku dalam hati.

Wisnu sudah masuk kedalam kamar mandi mewah itu.

Tapi yang membuatku gagal fokus, bentuk tubuhnya sangat atletis. Hanya mentalnya saja yang terganggu. Sedangkan fisiknya mengalahkan atlet internasional.

Bab 3

Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku alami. Menikah dan harus satu kamar dengan seorang pria yang berjiwa anak-anak.

Tak berapa lama, Wisnu keluar dengan pakaian yang sudah rapi.

Senyum tak pernah lepas dari bibirnya.

"Nara mau temani Nunu main ?" tanyanya penuh harap.

Aku tidak mengindahkan pertanyaannya

Aku malah sibuk dengan ponsel di tanganku.

Arya, teman akrab ku mengirim pesan padaku,

(Nikah tidak ngundang-ngundang kita Nar...)

Aku merasa cukup bersalah karna tidak bercerita padanya tentang pernikahan yang mendadak ini.

(Maaf, aku juga tidak menyangka, Ar. Salam buat teman-teman kita) aku balas pesan Arya.

Tapi tanganku berhenti mengetik saat ku lihat

bayi tua itu sedang menatapku penuh harap

Aku menatapnya jengah.

"Napa sih, ngeliatin kaya begitu!?" tanya ku tidak suka.

"Nara temani Nunu main, ya!" matanya begitu memelas.

Sebenarnya aku ingin menolak. Tapi entah kenapa hati kecilku menyuruhku mengangguk.

Dia langsung melompat kegirangan.

Dia mengeluarkan mainan mobil-mobilan kesayangannya.

Seperti anak kecil yang bermain pada umumnya dia berimajinasi menjadi juki mobil balap yang handal.

Suara pintu di ketuk dari luar.

saat aku buka pintunya, seorang pelayan sedang menunduk hormat.

"Mba dan tuan muda di tunggu nyonya untuk makan malam..." ucapnya masih menunduk.

Dalam hati aku tertawa, disini mereka begitu hormat padaku, padahal di rumah sering diremehkan ibu dan adik tiriku.

"Iya... Kami segera datang."

Aku kembali mendekati Wisnu.

"Nyonya memanggil kita untuk makan malam.." menyapanya.

Matanya menatap aneh padaku.

"Mama...?" ia menegaskan.

"Sorry, Mama."

Ia tidak lagi menyahut. Tapi langsung keluar menuju meja makan.

Aku menatap mainan yang masih berantakan.

"Ayo...!" panggilnya saat aku masih berdiri mematung.

Aku bergegas menutup pintu dan mengganti pakaianku. Saat membuka pintu kembali, dia masih berdiri menungguku dengan tak sabar.

Senyumnya mengembang saat melihatku.

Kami berjalan menuju meja makan yang besar.

Disana sudah ada bapak dan ibu Darmawan, bersama mereka juga sudah ada tiga orang lainnya. pria dan wanita. juga seorang pemuda.

"Nara, kau belum mengenal anggota keluarga kita yang lain.

"Ini Om Ridwan beserta istri dan putranya Yudis." ujar Pak Darmawan. Aku hanya mengangguk hormat dan tersenyum kearah mereka.

"Selamat datang di keluarga besar kami, Nara.." kata istrinya Om Ridwan.

Mereka tersenyum menyambut kami.

Yang membuat aku risih, bayi tua itu terus memegang tanganku dengan erat, seolah kami pasangan normal yang sedang bahagia.

"Waah, sudah terlihat segar, ayo kita makan bersama." Bu Darmawan menarik kursi untuk ku tepat di samping Wisnu.

"Biasanya, Wisnu makan di kamar di layani Mba nya. Tapi mulai malam ini kau harus biasakan nya untuk duduk bersama kami disini." kata pak Darmawan.

Aku hanya mengangguk. Entah kenapa, disini aku begitu irit bicara, padahal saat bersama teman-teman ku, aku lah yang paling cerewet.

Bu Darmawan menyendok kan nasi untuk suaminya. Setelah itu dia menatapku.

"Sekarang giliranmu, kau coba seperti Mama..."

Aku mulai mengambil piring Wisnu. Dan mengisinya seperti Mama mertua.

"Nunu mau lauk apa?" tanya Mamanya.

"Terserah Nara saja..." ucapnya sambil menatapku dengan senyum dan tanpa kedip.

aku merasa risih.

Aku juga melihat Yudis melirik Wisnu dengan pandangan tidak suka.

"Istri Nunu, cantik..." celetuknya tiba-tiba. Membuat aku tersedak. Ternyata bayi ini bisa membedakan wanita cantik juga.

"Makanya, Nunu harus bisa melindungi Nara dari bahaya apa pun, jangan pernah membuatnya bersedih." nasehat Mamanya.

Wisnu mengangguk senang.

Acar makan malam itu akhirnya selesai juga.

Wisnu kembali menggandeng tanganku menuju kamar.

Setelah merasa mereka tidak melihatku lagi.

menyentak kan tanganku.

Wisnu menoleh padaku dengan raut wajah kaget.

"Tidak usah pakai gandeng tangan segala, aku bisa jalan sendiri." ucapku pelan.

Wisnu mengikuti langkahku. Dia terus diam bahkan sampai ketempat tidur, dia langsung memiringkan tubuhnya kearah tembok.

Ada rasa menyesal saat melihatnya ngambek seperti itu.

Bahkan rasa menyesal ku semakin besar saat tau di tidur sambil menangis.

"Nu... Nara minta maaf, ya?" ucapku sambil bahunya.

Tidak ada jawaban.

"Kalau begitu, aku mau pulang saja, ah!"

"Mendengar itu, Wisnu langsung berbalik badan.

"Jangan pergi, Nara tidak boleh pergi. Nunu akan sendirian. Nunu tidak punya teman.." ucapnya memohon.

Aku mengamati bayi tua di depanku itu,

Sebenarnya wajahnya tidak jelek, bahkan kalau di bandingkan dengan Yudis atau teman- ku yang lain, Wisnu jauh di atas rata-rata. Mungkin karna penampilan culunnya itu yang membuat ketampanannya tidak menonjol.

"Nara mau janji? Jangan pernah tinggalkan Nunu!" ucapnya serius.

Aku mengangguk saja dan pasrah saat dia menggenggam tanganku.

"Aku janji, akan selalu menjadi temanmu" jawabku seadanya.

"Janji? Teman?" aku tidak menyangka tiba-tiba dia memeluk ku erat.

Ada getaran aneh yang kurasakan saat itu.

Aku cepat menepis perasaan yang tak wajar itu.

"Ayolah Nara... Dia hanya bayi yang di bungkus tubuh dewasa. Jangankan tau artinya cinta, bahkan tujuan menikah dan malam pertama pun dia tidak tau!" ucapnya menghibur diri.

Wisnu juga terlihat menikmati pelukan itu.

"Enak.. Nunu mau lagi..! Ucapnya cengengesan saat aku mengurai pelukannya.

Mataku melotot kearahnya..

"Boleh, kan Nunu peluk istrinya Nunu?" ulangnya lagi

"Uh, dasar bocah gemblung, pake ngingetin

Tentang status kita lagi?

Aku terpaksa mengangguk, memang benar, kan. Secara aturan Wisnu adalah suamiku, dia berhak atas diriku.

Dia kembali memeluk ku dengan cengengesan.

Aduuh...!" Aku menepuk kepalaku sendiri saat membayangkan sesuatu yang membuatku bergidik sendiri.

Masa aku mengkhayalkan malam pertama dengan Wisnu?

Setelah selesai acara peluk memeluk, Wisnu minta tidur di pangkuanku.

"Nara nyanyiin lagu Nina bobok, ya!" ucapnya lugu.

Sambil menghembuskan nafas panjang, aku mulai bernyanyi dengan suara serak ku.

Aku lihat bayi itu tertidur pulas. Suara dengkurnya yang halus mengusik telingaku.

Aku memindahkan kepalanya ke bantal.

Sedikitpun aku tidak bisa memejamkan mata.

Sesekali aku melirik wajah yang yang terlelap di sampingku. Sangat tenang seperti tidak ada beban hidup. Tentu Saja, dia kan masih anak-anak.

"Sungguh kasian nasibnya, dia bergelimang harta, pewaris tunggal l kekayaan ayahnya, tapi dia juga kurang beruntung karna memilki kekurangan, tidak seperti pemuda pada umumnya.

Pagi harinya, aku tidak mendapati tuan muda itu di sampingku.

Dengan malas aku melangkah ke kamar mandi. Sambil mengeringkan rambutku yang hanya sebahu. Iseng aku berdiri di balkon.

Dari sana aku jelas melihat Yudis sedang menggoda Wisnu.

Bahkan Wisnu hampir terjerembab karna di lempari sesuatu oleh Yudis.

Aku tidak tau apa yang mendorongku untuk berlari kebawah.

"Hentikan! Apa yang kau lakukan? Dia sudah ketakutan seperti itu." ucapku sambil menolong Wisnu untuk berdiri.

Yudis terlihat tidak suka.

Matanya jahatnya mulai menelisik dari ujung rambut sampai kaki ku.

"Kau sangat cantik, apalagi dengan rambut yang setengah basah itu..." Yudis mengelus pipiku.

Aku menepis nya dengan marah.

"Jaga sikapmu!"

Wisnu masih ketakutan karna di lempari ular mainan tadi.

"Jangan sentuh istri Nunu!" pekik Wisnu.

"Si idiot ini sudah berani rupanya, ya!"

Matanya melotot kearah Wisnu sambil memegang kerah kaosnya.

Namun tiba-tiba sikapnya menjadi lembut membuat ku merasa heran.

"Makanya, Kak Wisnu jangan lari-larian, jadi kotor, kan." ia mengibas- ngibaskan kearah Wisnu.

"Kenapa pada ngumpul disini? Ayo kita sarapan..! Nara, ayo!" wanita yang sudah menjadi mertua ku itu menuntun ku.

Wisnu mengikuti kamu dengan wajah masih ketakutan.

Aku mengerti sekarang, Yudis bersikap baik pada Wisnu kalau di depan papa mamanya saja. Mungkin selama ini dia sering menyiksa Wisnu diam-diam.

Tapi kenapa Wisnu tidak melapor saja?

Sebuah pertanyaan besar buatku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!