NovelToon NovelToon

The Miracle

BAB 1

Butuh waktu sekitar dua jam sepuluh menit untuk Rimba dan Lentera tiba di DKI Jakarta, jam menunjukan pukul 14.00 siang ketika Rimba menyetir mobil yang membawa mereka menuju hunian eksklusif di pusat kota tempatnya tinggal.

Rimba mengendarai lamborghini putih, mewah dan keren. Saat mobil yang Rimba kendarai melewati gerbang rumah bergaya American klasik, Lentera melihat rumah itu berdiri mewah dan megah. Rumah itu nampak seperti mansion. Warnanya putih dan terlihat misterius, seperti menyimpan semua rahasia di balik dindingnya, dan hanya memperlihatkan sisi depan yang megah dari balik gerbang yang menjulang tinggi.

Memasuki serambi rumah yang luas, Lentera mengira ia masuk ke taman surga. Tempat itu begitu indah dan memancarkan kedamaian. Lentera masih terdiam diselimuti kekaguman saat bunyi sepatu hak tinggi berketok cepat di lantai menyita perhatiannya, dan saat memutar kepala Lentera melihat wanita sekitar lima puluh tahunan. Rambutnya hitam lurus sebahu, matanya berwarna coklat teduh, romannya terlihat bagitu tegas mirip sekali dengan Rimba. Tetapi, sayang tak ada senyum diwajahnya, hal itu terlihat dari tatapannya yang tampak gusar dan marah. Lentera bisa menebak, jika wanita itu adalah Ibunda Rimba.

“Rimba!” panggil wanita itu dengan suara rendah tapi murka. “Ke mana kau selama dua hari ini? Berani-beraninya kau pergi meninggalkan Pelangi dalam kondisi seperti ini, lalu muncul lagi dengan membawa... Seorang wanita."

Lentera membuka mulut untuk memberitahu yang sebenarnya kepada wanita itu, tapi Rimba sudah terlebih dahulu menanggapi dengan halus.

“Namanya Lentera Bentang Nirbatas,” ucap Rimba sambil menatap Ibunya lekat-lekat. "Aku menggunakan jasanya sebagai terapis baru Pelangi. Dua hari ini aku pergi ke Surabaya untuk menjemputnya, kemudian terbang kembali ke sini. Maaf Mom, aku tidak menceritakan kepergianku pada siapa pun karena tidak ingin rencanaku diperdebatkan. Sekarang aku sudah resmi menggunakan jasanya, itu saja. Kurasa itu menjawab semua pertanyaan Mommy,” ujar Rimba dengan tegas.

Semburat merah menjalari pipi Senja, ia menoleh pada Lentera dan berkata terus terang, “Aku minta maaf, aku pikir kau pacar baru putraku. Dia tidak seharunya meninggalkan putrinya untuk bersenang-senang sendirian."

“Aku mengerti, Nyonya.” Lentera tersenyum. “Kalau berada dalam posisi Nyonya, aku juga akan mengira seperti itu."

Senja balas tersenyum, lalu maju mendekat ke arah Rimba. “Rimba, kau tahu kau hanya membuang-buang waktu. Pelangi tidak akan mau di terapi, dan selama ini sudah banyak terapis yang gagal membujuknya untuk terapi."

“Tidak untuk kali ini, Nyonya,” sahut Lentera dengan percaya diri.

Senja menatap Lentera tajam. “Aku tetap berpikir kau hanya membuang-buang waktu. Cucuku menolak melakukan apa pun yang disuruh terapis terakhir yang menanganinya, dan dia tidak akan terbujuk oleh rayuanmu."

“Kalau begitu mari kita coba, bisakah aku bertemu dengan Pelangi untuk membuktikannya?"

"TIDAK!" Kali ini Senja terang-terangan menolak Lentera. "Aku tidak akan mengizinkan kau membujuknya atau mengiming-iminginya dengan khayalan bahwa dia akan bisa berjalan, lalu kemudian kau memberinya terapi yang menyakitkan tapi semua itu hanya sia-sia, pada akhirnya Cucuku tetap duduk di kursi rodanya dengan perasaan yang lebih hancur dari sebelumnya."

Lentera sangat mengerti perasaan Senja yang begitu protektif pada Cucunya, sebab saat seseorang mengalami kecelakaan parah, merupakan hal lazim jika anggota keluarganya terlalu ketat melindunginya.

"Aku sudah melihat seluruh hasil pemeriksaannya, Cucu Anda memiliki banyak peluang untuk bisa berjalan kembali. Jadi tolong, beri aku waktu paling tidak enam bulan, Nyonya akan melihat Cucu Anda bisa berdiri dengan kakinya sendiri."

"Jadi selama enam bulan kau akan menyiksa Cucuku?" Senja melotot ke arah Lentera. "Enyahlah kau dari sini, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Cucuku!" bentaknya.

"Mommy tidak bisa mengusir Lentera dari rumah ini," Rimba mencoba meyakinkan Ibunya bahwa putrinya membutuhkan terapi agar bisa berjalan lagi. "Aku ingin putriku bisa berjalan lagi, mengejar mimpinya menjadi seorang balerina."

"Tapi Rimba, selama ini yang terjadi adalah para terapis yang kau bawa hanya menyakiti Pelangi, dan itu justru membuatnya semakin terpuruk dan hilang harapan. Mommy tidak ingin melihat Pelangi kembali mengurung diri."

"Aku memang tidak bisa mengatakan jika proses terapi ini tidak menyakitkan. Pelangi harus mengeluarkan segala kemampuannya untuk bisa berjalan lagi, tapi aku yakin dengan dorongan semangat dan motivasi dari kita semua, Pelangi akan bisa jalan lagi," sahut Lentera.

"Kalau kau sebegitu yakinnya hingga bisa memberi jaminan kepada kita, bahwa enam bulan lagi Pelangi bisa berjalan. Lakukan-lah!" ucap Pria paruh baya yang berjalan mendekat ke arah mereka.

Senja menoleh ke arah suaminya. "Lintang, mengapa kau setuju wanita ini menyakiti Cucu kita? Apa kau sudah tidak sayang lagi dengan Pelangi?"

"Rasa sayang yang sesungguhnya adalah membiarkan Pelangi berproses, dengan rasa sakit yang dia alami. Tugas kita semua memberikan semangat dan motivasi kepadanya," Lintang menatap istrinya lekat-lekat.

Rimba tersenyum mendengar ucapan ayahnya, ia setuju akan hal itu dan kini adalah saat yang tepat untuk putrinya bangkit “Pelangi ada di kamarnya,” ucap Rimba sambil meraih tangan Lentera. “Sebelah sini.”

“Rimba!” Pipi Senja kembali memerah karena marah. “Pelangi sedang tidur siang! Setidaknya biarkan dia beristirahat dengan tenang hingga dia turun. Kau kan tahu jika putrimu menderita insomnia, jadi biarkan dia beristirahat ketika dia bisa tidur.”

“Berapa jam putrimu tidur siang?” tanya Lentera pada Rimba.

"Setelah makan siang, sekitar dari jam satu hingga jam lima sore."

"Sebetulnya untuk anak seusia Pelangi, tidur siang cukup satu sampai dua jam saja. Jika Pelangi tidur sepanjang siang, tidak heran anak itu tidak bisa tidur malam hari," terang Lentera

“Pelangi mencoba untuk tidur, tapi biasanya kondisinya tampak lebih buruk setelah bangun dari tidurnya," sahut Senja.

“Kalau begitu, tidak masalah kan jika kita sedikit mengganggu waktu tidurnya? Toh sekarang sudah hampir jam tiga sore.” tanya Lentera, sekaranglah waktunya menunjukkan kewewenangannya sebagai seorang terapis.

Lentera memergoki bibir Rimba tersenyum, setelah itu Rimba mengarahkan Lentera ke tangga lebar melandai sambil memegang siku Lentera dengan tangannya yang hangat dan kuat.

Di belakang mereka berdua, Lentera bisa merasakan tatapan tajam Senja kepada dirinya, namun ada Lintang yang terus menenagkan istrinya.

BAB 2

Sesampainya di lantai dua, Rimba mengetuk ringan sebuah pintu kamar, lalu membukanya. Lentera seketika melihat kamar luas yang di dominasi dengan warna merah muda, ia merasakan kerongkongannya tersekat saking terkejutnya melihat seorang bocah duduk di atas kursi roda dengan mata yang tampak suram dan seolah tanpa kehidupan.

Pelangi amat sangat kurus, rambutnya kusam dan berantakan. Kulitnya pucat, tulang pipinya menonjol runcing, dan pipinya cekung.

Lentera berdiri tegak, padahal batinnya seolah retak, hancur menjadi ribuan kepingan rapuh. Tanpa bisa dihindari, ia terlibat ikatan batin dengan bocah itu, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Lentera merasa dirinya seakan mau mati, ia tidak pernah merasakan amarah melihat ketidakadilan itu, kondisi yang mengerikan yang merampas tubuh bocah itu dan membuatnya tidak berdaya.

Penderitaan dan keputusasaan terpahat di wajah lesu Pelangi, struktur tulangnya tersingkap begitu jelas. Lingkaran hitam tampak di bawah matanya yang segelap malam.

Pelangi menatap Lentera tanpa minat sedikit pun, setelah itu pandangannya beralih pada papanya. Seolah Lentera tidak ada. “Papa dari mana saja?” tanya Pelangi dengan sedih.

“Papa habis menjemput Kak Lentera, sayang,” sahut Rimba, suaranya begitu hangat ketika ia berbicara dengan putrinya.

“Papamu begitu ngotot, sayang.” Senja mengembuskan napas sambil berjalan ke sebelah cucunya. “Dia sudah mempekerjakan terapis baru untukmu. Namanya Lentera Bintang...."

“Lentera Bentang Nirbatas,” Lentera mengoreksi namanya.

Pelangi kembali mengarahkan pandangan tak acuhnya pada Lentera dan mengamati wanita itu tanpa berkata sepatah pun. Lentera tahu apa yang Pelangi lihat, untungnya ia mengenakan pakaian santai agar menciptakan kesan bersahabat pada Pelangi dan gadis kecil itu mau bekerja sama dengannya.

Setelah keheningan panjang, Pelangi menggeleng lambat-lambat sebagai isyarat penolakan terhadap Lentera. “Tidak perlu, Pah. Suruh saja dia pulang, aku tidak ingin terapi."

Lentera melirik Rimba sekilas, lalu maju, mengambil alih situasi dan memaksa Pelangi berfokus padanya. “Aku sedih melihat kesanmu padaku seperti itu, Pelangi,” ucap Lentera dengan lembut. “Tapi aku akan tetap ada di sini, karena aku sudah menyetujui kontrak kerja sama, aku tidak ingin terkena denda karena membatalkan kontrak itu secara sepihak."

“Kau tidak perlu membayar denda, Papaku tidak akan memintanya," gumam Pelangi, lalu memalingkan wajah dan kembali menatap ke luar jendela.

“Wow kamu sungguh anak yang sangat baik, tapi sayangnya kontrak itu begitu mengikat dan sah, jadi sulit sekali untuk dibatalkan. Sederhananya, kontrak itu menyatakan aku dipekerjakan sebagai terapismu, dan akan tinggal di rumah ini sampai kamu bisa berjalan kembali.” Lentera membungkuk dan menumpangkan tangannya di lengan kursi roda Pelangi, mendekatkan wajahnya ke wajah bocah kecil itu dan memaksanya mengalihkan perhatian kepadanya.

“Satu-satunya cara agar aku segera bisa keluar dari rumah ini adalah kau berjalan sendiri ke pintu dan membukakannya untukku," ucap Lentera.

"Anda bertindak keterlaluan, Lentera!” seru Senja dengan tajam, matanya yang menyipit dikuasai amarah. Dia mengulurkan tangan dan menyingkirkan tangan Lentera dari kursi roda cucunya. “Cucuku sudah mengatakan dia tidak ingin kau di sini.”

“Maaf sekali Nyonya, tapi ini tidak ada hubungannya dengan Anda. Di kontrak itu hanya ada aku dan Rimba selaku Papanya,” sahut Lentera, suaranya masih lembut.

“Tentu saja ada! Aku Eyangnya. Kau pikir aku akan begitu saja mengizinkanmu pindah ke rumah ini? Tentu saja tidak. Jangan-jangan kau malah berpikir kau mendapatkan tempat tinggal gratis di sini!”

“Tentu saja tidak! Aku akan membuat cucu anda bisa berjalan kembali Desember ini, dan dia bisa ikut pentas balerina pada bulan Februari mendatang. Jika Anda meragukan kemampuanku, jangan sungkan memeriksa catatan profesiku. Tapi sementara itu, dengan hormat aku meminta Nyonya untuk berhenti ikut campur.” Lentera berdiri setegak mungkin dan menatap Senja tanpa gentar, kekuatan tekadnya seolah menyala di matanya.

“Kakak, kau sungguh tidak sopan dengan Eyangku,” ucap Pelangi dengan tajam.

Akhirnya! Ada respons, meskipun berupa kemarahan! Meski Lentera gembira karena respons tersebut, ia terus menyerang ketidakacuhan Pelangi yang mulai retak. “Maaf sekali Pelangi, tapi aku akan berbicara seperti itu kepada siapa pun yang mencoba menghalangiku memberikan terapi pada pasienku," ucap Lentera.

Lentera berkacak pinggang dan mengamati Pelangi. “Lihat dirimu, Pelangi! Kondisimu begitu menyedihkan, padahal seharusnya anak seusiamu berlari ke sana kesini, dan mengikuti latihan balet dan mengejar mimpi."

Pelangi mengerutkan keninggnya mendengar ucapan pedas Lentera. “Kau jahat, Lentera,” ucap Pelangi “Kau tidak tahu, bagaimana sulitnya bergerak saat kondisi tubuh seperti ini!"

"Semua itu bisa di latih, Pelangi. Bekerja samalah denganku, maka kau akan bisa jalan dan menari lagi. Kau akan bisa meraih mimpi-mimpimu kembali."

“Kalau begitu lambaikan saja tongkat sihirmu lalu buat tubuhku kembali berfungsi seperti semula,” ejek Pelangi.

Lentera tertawa. “Tongkat sihir? tentu tidak seperti itu, kita akan latihan sama-sama Aku pasti bisa membuatmu berjalan lagi, Pelangi. Dan kau akan bisa pentas balet lagi!!" ucapnya dengan penuh semangat.

“Tidak, kita tidak akan melakukan itu,” ucap Pelangi dingin. “Aku tak peduli kontrak seperti apa yang kau tandatangani dengan Papaku, tapi yang jelas aku tidak ingin melihatmu di rumahku. Jika Papa tak mau membayarmu sekarang, Eyang akan membayar berapa pun untuk menyingkirkanmu.”

“Aku takkan menerima bayaran apa pun, sebelum kau bisa berjalan sendiri!!"

“Terserah!!"

Lentera melihat sekeliling, matanya menemukan sebuah congklak di meja dekat jendela. Kemudian Lentera menatap Pelangi lekat-lekat. “Dengar, Pelangi!!! kita takkan mencapai kemajuan apa pun kalau terus berdebat seperti ini. Bagaimana jika kita buat kesepakatan saja? Anak-anak seumuranmu biasanya senang bermain, bagaimana jika kita adu congklak. Kalau aku menang, aku tinggal di sini dan kau setuju menjalani terapi. Kalau kau menang, aku keluar dari pintu rumahmu dan takkan kembali lagi. Jadi jawabanmu?”

Pelangi mendongak, matanya menyipit memandangi Lentera. Lentera hampir bisa membaca pikiran Pelangi, apakah bocah itu mau atau tidak menerima tantangannya.

“Jangan lakukan itu, Lentera!” ucap Senja dengan suara tajam.

Pelangi menoleh dan menatap neneknya dengan tidak percaya. “Apa Eyang berpikir dia bisa mengalahkanku? permainan itu sungguh sangat mudah, tak ada satu pun teman di kelasku yang bisa mengalahkanku dalam permainan itu." Pelangi memutar kursi roda dengan menekan singkat satu tombol. Lentera mengikuti ketika Pelangi berjalan lebih dulu ke meja dan menghentikan kursi roda di sampingnya.

“Kau seharusnya tidak memakai kursi roda bermesin.” Lentera mengamati Pelangi. “Kursi roda manual akan menjaga kekuatan tubuh atasmu. Kursi ini mahal, tapi tidak memberikan manfaat apa pun untukmu.”

Pelangi melemparkan tatapan kesal ke arah Lentera, tapi ia tidak menanggapi komentar Lentera. “Duduklah, Kak!!” ucap Pelangi sembari memberi isyarat ke meja.

Lentera menuruti permintaan Pelangi dengan santai. Ia tidak merasakan kebahagiaan atau pun bangga saat ia tahu bahwa dirinya pasti menang. Ini sesuatu yang harus ia lakukan, agar biasa membuat Pelangi mau ikut terapi.

Rimba, Senja dan Lintang berdiri di kiri-kanan mereka berdua saat mereka mengambil posisi. Lentera menghitung biji sama rata di setiap lubang. “Semuanya sudah beres, bisa kita mulai?"

Pelangi mengangguk, kemudian Rimba memberi aba-aba untuk mereka adu suit. Dalam adu suit kali ini di menengkan oleh Pelangi, sehingga dia terlebih dahulu memulai permainan.

Satu, dua, tiga.. Perlahan tapi pasti Pelangi mulai mengisi lumbungnya dengan bijo-biji congklak. Tiga menit pertama permainan di kuasai oleh Pelangi, bocah itu mulai tersenyum senang, sementara Lentera berusaha tetap mempertahankan ekspresi wajahnya tetap tenang, tidak memperlihatkan betapa gusarnya ia melihat lumbung Pelangi yang mulai penuh.

Masuk ke menit ke empat, wajah Pelangi menjadi putus asa sebab biji di tangannya telah habis semua, dan kini giliran Lentera yang memulai permainannya, ia mengeluarkan seluruh kemampuan dan strategi yang di milikinya, ia harus bisa memasukan semua biji-biji di lubang-lubang kecil ke lumbungnya karena dengan begitu jumlah isi lumbungnya melebihi milik Pelangi.

Lentera terus mengitari lubang-lubang congklak tanpa henti, karena mengetahui ia berhasil mengalahkan Pelangi, ia cepat-cepat menyelesaikan permainannya dengan mengmabil seluruh biji yang tersisa di satu lubang dan memasukannya ke lumbungnya sesuai dengan perhitungannya.

Pelangi memandangi congklak itu dengan perasaannya dan wajah Senja yang seperti terkoyak antara keinginan menghibur cucunya dan keinginan kuat melempar Lentera keluar dengan tangannya sendiri.

Lentera cepat-cepat berdiri. “Hasilnya sudah jelas,” ucap Lentera dengan santai. "Sekarang aku akan menyimpan barang-barangku di sebelah kamar ini ”

“Tidak,” potong Pelangi ketus tanpa menatap Lentera. “Bik Sore, akan menyiapkan kamar tamu untukmu."

“Tidak bisa,” balas Lentera. “Aku ingin berada cukup dekat denganmu supaya bisa mendengar jika kau memanggil. Kamar sebelah sudah memadai." Lentera beralih ke Rimba. "Bagaimana dengan peralatan dan ruang olahraga yang aku minta?"

“Peralatan khusus apa?” desak Senja.

Lentera memaparkan garis besar rencana terapi yang akan ia berikan kepada Pelangi, “Kolam renang wajib ada. Aku juga akan membutuhkan alat olahraga, sauna dan lain sebagainya. Ada yang keberatan?”

“Kau gila, Lentera. Kau ingin menyiksa cucuku!"

“Air adalah media yang sangat berguna untuk melatih otot tubuh,” papar Lentera penuh semangat. “Pelangi perlu melatih otot-ototnya agar bisa menopang tubuhnya saat berdiri dan berjalan.”

“Kau tidak boleh melakukan itu kepada cucuku!" teriak Senja.

“Silakan baca kontrakku, Nyonya. Pak Rimba sudah menyetujui semua programku.” Lentera tersenyum. “Ruang olahraga beserta alat-alatnya tercantum di sana," kata Lentera dengan jujur. “Di awal tadi aku sudah bilang, ini tidak bisa di bilang tidak menyakitkan, tapi silakan jika kau mau pertaruhkan semua uangmu untuk keberhasilan ini, Pelangi akan bisa berjalan lagi di bulan Desember dan Februari dia akan bisa ikut pentas balerina.”

Pelangi mengangkat tangannya yang kurus untuk memijat dahi, ia napak pusing dengan perdebatan eyang dan Lentera. “Bisakah kalian pergi dari kamarku? Aku ingin istirahat."

"Tentu, aku juga ingin membongkar barang-barangku." Lentera pun meninggalkan Pelangi tanpa berkata apa-apa lagi, di ikuti oleh anggota keluarga lainnya, terkecuali papanya.

BAB 3

Lentera tersenyum ketika memasuki kamar Pelangi, setelah mengetuk singkat di pintu. “Selamat pagi, Pelangi.” sapa Lentera dengan riang, lalu ia menyibak tirai, hingga kamar bocah itu dibanjiri cahaya matahari.

“Selamat pagi,” ulang Lentera.

Pelangi tidak membalas sapaannya. “Jam berapa sekarang?” tanya Pelangi ketus.

“Sekitar pukul lima tiga puluh.”

“Sedang apa Kakak ada di sini?”

“Memulai terapi,” sahut Lentera dengan tenang dan lembut.

“Tapi ini terlalu pagi dan tidak ada orang yang bangun sepagi ini,” gerutu Pelangi sambil kembali memejamkan mata.

“Ada. Aku, Papamu sudah bangun. Tadi aku melihat Papamu sedang olahraga, dan aku sudah meminta izin kepadanya untuk membangunkanmu." Lentera memaklumi Pelangi jadi sering bangun siang, sebab ia sudah tidak lagi sekolah reguler seperti anak-anak lainnya, saat ini Pelangi menjalani home schooling. "Sekarang kau juga sudah bangun, jadi Ayo! Banyak hal yang harus kita lakukan hari ini.” Lentera mendorong kursi roda ke sisi ranjang dan menyibak selimut, menyingkap kaki Pelangi yang kurus dan menyedihkan, terbungkus piama pink pucat, ujung kakinya dibungkus kaus kaki putih.

"Kakak mau apa?” bentak Pelangi sambil mengulurkan tangan untuk menarik selimut menutupi tubuhnya lagi.

Lentera kembali menarik selimut, dan dengan cekatan meraup kaki Pelangi hingga menggelantung di pinggiran tempat tidur. “Bangun, Nak!” ucap Lentera dengan lembut. “Kau mandi dulu sebelum kita mulai latihan, aku akan membantumu mandi."

Kemarahan memercik dari mata Pelangi. “Tidak,” geramnya, begitu jengkel hingga hampir tak bisa bicara. “Aku tidak mau di mandikan oleh Kak Lentera! Aku mau Bik Sore.”

“Okay, aku akan memanggil Bik Sore," Lentera mengalah, ia meraih HT di meja samping tempat tidur Pelangi, kemudian meminta Bik Sore untuk membantu Pelangi mandi.

Tak lama kemudian Bik Sore datang dan langsung membantu Pelangi mandi. Tiga puluh menit berselang Pelangi keluar dengan wajah yang jauh lebih segar dan rambut yang sudah rapih.

"Tinggalkan kami berdua, Bik," pinta Lentera, wanita itu keluar dari kamar Pelangi.

Lentera kembali mengambil alih Pelangi. "Untuk permulaan, aku ingin memijat tubuhmu. Aku izin membuka bajumu," Lentera mengulurkan tangannya untuk membantu Pelangi membuka pakaiannya, namun Pelangi menepisnya. "Aku tidak mau."

"Tapi ini bagian dari terapi, ayolah ini hanya sebentar saja. Aku berani jamin, setelah ini tubuhmu akan lebih enakan."

Pelangi pasrah, ia membiarkan Lentera membuka bajunya. Setelah semua pakaian Pelangi di tanggalkan, Lentera membantu Pelangi naik ke tempat tidurnya. “Telungkup, Nak!” perintah Lentera dengan lembut, lalu dengan cekatan ia menggulingkan tubuh Pelangi.

“Iiih!” protes Pelangi, wajahnya terbenam di bantal.

“Tenang saja, ini tidak akan sakit, percayalah padaku." Lentera mulai memijat bahu dan punggung Pelangi. "Pijatan ini tujuannya untuk sirkulasi darah, agar tubuhmu tidak dingin lagi."

"Lalu, apakah setelah menerima pijatan ajaib ini, aku akan seketika bisa berdiri?”

Lentera tertawa. “Mana bisa, pijatan ini hanya metode dasar. Untuk bisa berjalan kau harus tetap butuh latihan.”

Tangan Lentera bergeser ke kaki Pelangi, ia mencopot kaus kaki Pelangi dan memijat kakinya yang lunglai dengan cepat, merasakan sebagian hawa dingin di kaki bocah itu sirna.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi Rimba mengawasi mereka. Ia amat terkesan dengan cara Lentera memberikan terapi kepada putrinya. Lentera begitu lembut tapi tegas sehingga putrinya sulit untuk tidak menurut perintah Lentera.

Menit demi menit berlalu, Lentera bekerja tanpa berkata sepatah pun. Sesekali Pelangi menggerutu protes karena tubuhnya bercampur keringat dan minyak, sehingga membuatnya jijik.

“Berapa lama lagi kau akan melakukan ini?” tanya Pelangi tak sabar.

Lentera mendongak dan melihat jam. Sudah satu jam lebih sedikit. “Kurasa sudah cukup untuk saat ini,” sahutnya. “Sekarang kita latihan.”

Lentera mengangkat satu kaki Pelangi, lalu satu lagi, menekuknya hingga lutut Pelangi menyentuh dada, lalu mengulangi gerakan itu berkali-kali. Pelangi menerima semua perlakuan itu dengan membisu kira-kira selama lima belas menit, kemudian tiba-tiba dia berguling dan mendorong Lentera.

“Hentikan!” teriaknya. “Ini hanya buang waktu! Pergi dari rumahku!"

Lentera menanggapi dengan heran. “Membuang waktu? Kita baru saja mulai, semua itu butuh proses nak."

“Aku tidak suka diperlakukan seperti ini, terapis lain tidak ada yang seperti ini!”

“Ya sudah, bagaimana kalau kita sarapan?”

“Aku tidak lapar,” ucap Pelangi, kemudian ekspresi tercengang melintas di wajahnya saat mendengar bunyi di perutnya.

"Ternyata kau bohong," Lentera membantu Pelangi berpakaian kembali, meski wajah bocah itu terus cemberut hingga masuk ke lift, bahkan ketika mereka tiba di ruang makan.

"Morning, baby." Sapa Rimba yang sudah siap dengan pakaian kantornya, ia tidak sendiri di meja makan. Ada Jagat, saudara, sahabat sekaligus rekan bisnis Rimba yang ikut sarapan bersama mereka, dia juga ikut menyapa Pelangi.

"Keponakan uncle tumben sekali bangun sepagi ini." Sejak kecelakaan yang menimpa Pelangi dan ibunya, Jagat tak pernah sekali pun melihat Pelangi sarapan bersamanya.

"Ini semua karena Kakak galak yang ada di belakangku," matanya melirik ke arah Lentera yang mendorong kursi rodanya menuju makan.

"Kok Kakak galak?" tanya Rimba, matanya menatap putrinya yang sudah tiba di meja makan dan duduk di sebelahnya.

"Habis nyebelin sih," ucap Pelangi. Lentera sama sekali tidak keberatan dengan sebutan itu, ia sangat memaklumi jika Pelangi belum terbiasa dengan rutinitas barunya.

“Sampah apa ini?” geram Pelangi ketika melihat piring makannya berisi telur rebus, sayur, dan dada ayam rebus, ia pun langsung melempar piring tersebut.

"Sayang, kau tidak boleh seperti itu. Makanan ini baik untukmu," bujuk Rimba.

Lentera memberi kode kepada Bik Sore untuk mengambilkan makanan yang sama. "Bagaimana jika kamu minum vitamin dulu?” sahutnya dengan nada membujuk.

“Aku tidak mau!”

“Tubuhmu membutuhkannya, sayang," bujuk Rimba kembali.

"Kamu tidak akan dapat makanan apa pun sebelum menelan pil-pil itu,” Lentera kembali bersikap tegas kepada Pelangi

Dengan terpaksa Pelangi meminum semua vitamin yang di berikan Lentera. "Sudah," ucapnya ketus.

“Anak pintar,” Lentera mengelus kepala Pelangi dengan lembut.

"Sekarang aku mau pancake," pinta Pelangi

“Maaf,” sahut Lentera. “Bukan itu menu makananmu sekarang, makanan itu terlalu manis. Bagaimana kalau kau makan anggur dulu?” Sembari menunggu Bik Sore membawa kan kembali makanannya.

“Aku tidak suka anggur.”

“Tapi anggur mengandung banyak vitamin C,” ucap Rimba.

“Tapi aku baru saja minum vitamin, Pah."

"Begini saja, siang nanti kau akan mendapatkan satu ice cream sebagai reward jika kamu mau memakan makanan ini," Lentera mencoba memberikan solusi, dan ia bernapas lega karena Pelangi setuju.

Setelah Bik Sore kembali dengan makanan sehat seperti yang tadi, Pelangi langsung menyantapnya meski ia terlihat makan dengan setengah hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!