Seorang laki - laki tampan mengenakan pakaian santai tampak berbaur dengan masyarakat di pinggiran kota. Beberapa kali dia berbincang ringan tentang perekonomian saat ini, sesekali dia memborong barang yang dijual oleh pedagang kecil lalu membagi - bagikannya.
Saat tiba di Ambrose City, sebuah kota kecil di pesisir pantai yang indah, laki - laki bernama Jerome itu bermain sepak bola dengan beberapa anak nelayan. Setelah puas bermain, Jerome mengajak anak - anak kecil itu ke mini market.
"Kalian boleh memilih makanan dan minuman yang kalian suka. Jangan lupa berikan oleh - oleh untuk adik atau kakak, ayah atau ibu kalian. Ok?" serunya dengan mata bersinar.
Dia mengedarkan pandangan keluar minimarket, sore hari di Ambrose terlihat ramai. Pelabuhannya merupakan salah satu pintu utama keluar masuk barang terbesar di Kerajaan Sigrid. Rasanya begitu menyenangkan bisa berbaur dengan masyarakat dan melakukan tindakan nyata dari pada berada di ruang rapat mendengarkan laporan dari setiap kepala daerah. Beberapa kali, Jerome mendapati laporan mereka tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
"Tuan, Tuan, terima kasih." seru anak - anak kecil itu bersahut - sahutan. Tangan mereka yang penuh dengan makanan dan minuman namun wajah mereka terlihat cerah.
"Hari sudah sore, pulanglah ke rumah kalian. Hati - hati di jalan! Belajar yang baik dan semoga kelak kalian menjadi orang yang hebat." pesan Jerome sambil mengusap kepala bocah - bocah yang masih polos itu satu per satu.
Setelah membayar tagihan, Jerome kembali menyusuri jalanan dengan seulas senyum puas tersungging di bibir. Tidak sia - sia dirinya kabur dari acara ramah tamah di istana. Lebih baik berbagi dari pada menghamburkan uang untuk makan - makan dengan para bangsawan.
Deretan ruko di daerah pantai dengan cat warna cerah seakan menyambutnya dengan ramah. Samar - samar alunan musik menarik perhatiannya, langkah kaki Jerome pun terhenti. Dia melihat ke deretan rumah makan dan cafe yang di hadapannya, Jerome memejamkan mata, berusaha mendengarkan baik - baik dari mana asal musik tersebut.
Saat membuka mata, Jerome menjatuhkan pilihan ke sebuah coffee shop kecil dengan desain bangunan unik. Bisa saja permainan musik ini digunakan untuk menghibur pengunjung, beberapa coffee shop di negeri ini menyediakan live music sebagai teman minum.
Suara musik terdengar kian jelas saat Jerome memasuki sebuah coffee shop. Matanya langsung tertuju ke sudut ruangan. Disana ada seorang gadis sedang duduk di hadapan sebuah piano usang. Beberapa pengunjung tampak menikmati kopi mereka sambil mendengarkan musik yang mengalun lembut.
Penasaran dengan lagu dan juga pemain piano itu, Jerome mencari tempat duduk paling dekat dengan piano. Tanpa sadar, Jerome tak bisa melepaskan pandangan dari gadis pemain piano itu. Penampilannya sederhana dengan rambut di kepang satu khas gadis desa. Namun yang menarik adalah kulitnya tergolong sangat bersih untuk gadis pesisir pantai. Saat menunduk terlihat bulu matanya yang lentik. Benar - benar memukau!
Tiba - tiba saja musik berhenti, lalu gadis itu mengulang lagu yang sama dari awal. Berpikir kalau gadis itu ingin memainkan musik dengan style-nya sendiri, Jerome memesan secangkir kopi dan mulai mendengarkan permainan piano dengan penuh perhatian. Anehnya, hal yang sama terus terulang. Gadis itu selalu berhenti dibagian yang sama dan mengulangnya dari awal.
"Kenapa terus diulang dari awal? Bukankah lagunya belum selesai saat kamu mengulang bagian tadi?" Protes Jerome heran. Lagu yang dimainkan adalah lagu kesukaannya, dia ingin mendengarkan hingga selesai.
Terkejut, gadis itu mendongak. Mata almond-nya yang indah bertemu dengan sorot mata teduh milik Jerome.
"Maaf, Tuan. Saya hanya bisa sampai sini saja." jawabnya dengan nada penuh sesal.
Sesuatu dari dalam hati Jerome mendorong dirinya untuk berdiri dan langsung duduk di sebelah gadis pemain piano itu, Jerome memandang gadis itu dalam - dalam lalu tersenyum lembut.
"Kali ini aku akan memainkannya untukmu, Nona." ujarnya lalu mulai memainkan lagu dengan penuh perasaan.
Malu - malu si gadis menggeser tubuhnya sedikit menjauh, memberi jarak antara dirinya dan laki - laki di sebelahnya. Degup jantungnya mendadak saja tak beraturan. Belum pernah selama ini dirinya duduk sedekat ini dengan laki - laki. Lengan blouse yang dipakainya bersentuhan dengan lengan kemaja laki - laki gagah di sampingnya. Ditambah lagi wangi maskuline Yang menguar dari tubuh Jerome, membuat gadis itu seakan melayang ke tempat yang paling indah di dunia.
"Sekarang giliranmu." pinta Jerome saat dia sudah memainkan lagu yang sama beberapa kali.
"S-saya, Tuan?"
"Hm-hm." Jerome mengangguk sambil tersenyum.
"HEY! Mainkan musiknya lagi! Aku ingin menikmati kopiku bersama permainan pianomu yang indah." seru seorang pria yang duduk di dekat jendela.
"Aku akan memberimu tips lebih kalau kamu memainkan lagu yang tadi." sahut orang yang lain, dengan nada suara yang tak kalah kencang.
"Jangan khawatir! Aku akan membantumu." bisik Jerome, tatapannya masih tak bisa lepas dari gadis cantik di hadapannya.
Berusaha mengabaikan debar jantung yang tak terkontrol, si gadis mulai memainkan jari - jarinya diatas tuts. Musik kembali mengalun, perlahan hatinya tenang dan matanya bersinar menikmati setiap nada yang dimainkannya. Dia sangat suka piano.
Saat lupa nada dan terpaksa berhenti, secara otomatis Jerome melanjutkan permainan piano dengan baik. Kolaborasi yang indah. Sesekali mereka bertukar pandang dan tersenyum. Tanpa sadar, gadis itu hafal dengan sendirinya dan Jerome membiarkannya memainkan lagu itu sendiri.
Dia memutuskan kembali ke tempat duduknya sambil mengamati gadis yang usianya kira - kira berusia tujuh belas atau delapan belas tahun itu. Dengan alat musik tua saja, gadis itu bisa memainkan tangga nada dengan indah. Andai saja dilatih dengan baik, Jerome mulai berandai - andai. Sementara hari kian malam, pelanggan cafe yang puas meninggalkan tips cukup banyak di dalam kaleng di atas meja kecil dekat piano.
Gadis pemain piano menghentikan pertunjukannya saat melihat toples kaca sudah terisi setengah. Dia mengeluarkan uang dari dalam toples dan membagi dua sama banyak lalu pergi ke tempat Jerome.
"Terima kasih atas bantuannya, Tuan. Aku mendapatkan lebih banyak uang hari ini berkat anda." Si gadis menyodorkan lembaran uang kepada Jerome. "Ini milik anda, Tuan." ucapnya lagi sambil mengulas senyum terbaik di wajahnya. Biar bagaimana pun laki - laki di hadapannya turut berperan dalam menambah penghasilannya hari ini. Clement dan Dorris, orang tua angkatnya, pasti senang menerima uang darinya hari ini.
Jerome memicingkan mata. "Anda benar - benar menghina saya!" ketus Jerome sambil melipat kedua tangan di depan dada.
"Maaf, Tuan... " Gadis itu menunduk, tanpa sadar melipat - lipat uang yang ada di tangan, tak tahu harus berbuat apa. Dia benar - benar tidak bermaksud menyinggung laki - laki baik hati hadapannya.
Melihat ekspresi bingung bercampur panik gadis di hadapannya, Jerome tidak bisa menahan tawa. Rasanya menyenangkan bisa menggoda gadis itu. "Siapa namamu, Gadis Cantik?" tanyanya kemudian.
Gadis itu mendongak dan mendapati mata Jerome sudah kembali melembut. Ada kilat jenaka di dalam sana. Dengan pipi memerah, gadis itu menjawab, "... Seraphina, Tuan." ucapnya pelan. Perasaan malu bercampur senang memenuhi dadanya, laki - laki asing ini menyebutnya cantik. Iya, cantik!
Ada desiran halus merayap di dada Jerome saat mendengar nama Seraphina keluar dari bibir merah gadis itu. Sesaat mereka terdiam dan berpandangan, suasana mendadak canggung.
Jerome berdehem, lalu berkata dengan tenang. "Aku tidak butuh uang itu. Sebagai gantinya aku mau kamu!"
"Aku?" tanya Seraphina bingung dengan jari telunjuk mengarah ke wajahnya sendiri.
"Hm-hm. Aku mau kamu jadi temanku. Setiap kali datang ke kota ini, aku pasti akan menemuimu." ucap Jerome lagi. Kali ini nada suaranya lebih mirip seperti perintah.
Herannya, Seraphina sama sekali tidak keberatan. Hati kecilnya merasa aman dan nyaman setiap kali melihat mata cokelat gelap Jerome yang teduh. Mungkinkah dirinya sudah jatuh dalam pesona Jerome?
"Baiklah, Tuan... ?!" Seraphina baru sadar kalau dia belum tahu nama pria di hadapannya.
"Yus. Panggil saja aku dengan sebutan Yus." sahut Jerome cepat.
"Baiklah, Tuan Yus."
"Yus! Tanpa embel - embel tuan, bukankah kita berteman?" tuntut Jerome.
"Ehm, baiklah. Aku pulang dulu, Yus. Orang tuaku pasti sudah menunggu." pamit Seraphina.
"Tunggu!"
"Ya?"
Jerome terdiam beberapa detik, mencoba mencari alasan untuk berlama - lama dengan Seraphina. Tingkah laki - laki berusia dua puluh empat tahun ini seperti siswa SMA yang baru jatuh cinta. Perasaan tak rela untuk berpisah kini menyeruak di dada, dia ingin tahu segalanya tentang gadis ini.
"Aku akan mengantarmu ke rumah." ajaknya sambil menggandeng tangan Seraphina keluar dari coffee shop.
Seraphina melongo. Tatapannya berganti - ganti antara tangan dan wajah tanpa dosa milik Jerome. Sementara di dalam dada, jantungnya tak mau berhenti berdentam.
"YUS!" pekik Seraphina nyaring. Baru saja mereka keluar dari coffee shop, Seraphina merasakan tubuhnya tersentak ke belakang, genggaman tangan Jerome pun terlepas karena tak siap dengan serangan yang tiba - tiba.
Jerome terkejut dan menoleh. "Siapa kalian?" geramnya.
Merasakan tangan Seraphina terlepas dari genggamannya, Jerome langsung menoleh. Di hadapan mereka ada tiga orang laki - laki yang berperawakan besar dengan penampilan seperti tukang pukul. Ketiga orang itu kini berdiri mengelilingi Seraphina dengan tatapan tajam seperti seekor anak domba sedang dikelilingi oleh tiga serigala jahat. Seraphina tampak menelan ludah dengan susah payah.
"Seraphina?" tanya salah seorang pria itu dengan wajah garang.
Seraphina mengangguk, mulutnya terbuka tapi tak bisa mengeluarkan suara. Takut dan gemetar. Dia tahu apa yang diinginkan oleh ketiga pria dihadapannnya ini.
"Kami datang untuk menagih cicilan hutang!"
Seraphina kembali mengangguk - angguk, dengan tangan gemetar mengambil uang yang berhasil dikumpulkan dari bermain piano tadi. Dia meraih semua yang ada di dalam kantong tanpa sisa, lalu memberikan uang - uang tadi kepada si penagih hutang. Dalam hati, Seraphina berdoa semoga penagih hutang bisa segera pergi.
Laki - laki itu menerima setumpuk uang kertas di tangan, meski pun terlihat banyak tapi nominalnya tergolong kecil. Dia menghitung lembaran demi lembaran dan memasukkannya ke kantong baju, wajahnya terlihat sama sekali tidak puas.
"Kamu pikir uang segini cukup untuk melunasi hutang orang tuamu, hah? Untuk membayar bunganya saja masih kurang!" gertaknya sambil mendorong kepala Seraphina dengan telunjuk.
Jerome mengepalkan telapak tangannya. "Hey! Hey! Kenapa kalian begitu kasar terhadap wanita?" tegurnya.
"Kami tidak ada urusan dengan anda. Asalkan gadis ini membayar hutang, maka kami akan pergi." angkuh penagih hutang dengan tompel di pipi.
"Hutang apa? Berapa?" tanya Jerome dengan tenang.
Salah satu penagih mengamati Jerome dari atas hingga ke bawah. "Siapa anda? Sepertinya anda bukan penduduk sini. Apa anda saudaranya?"
"Aku adalah teman Seraphina. Sedikit saja kalian menyakitinya, maka kalian akan berurusan denganku." ucap Jerome dingin.
Salah satu penagih mengeluarkan secarik kertas dari saku celana dan memberikannya kepada Jerome. "Orang tuanya telah meminjam uang sebesar seratus juta rupiah kepada kami. Pembayaran cicilan ketiga sudah lewat dua puluh hari dari tanggal jatuh tempo."
"Seratus juta?" Tanya Seraphina bingung. Hutang awalnya hanya sebesar lima puluh juta. Dan mereka juga sudah dua kali mencicil dengan menjual beberapa barang. Kenapa tidak berkurang dan justru bertambah?
"Kapan kami meminjam uang sebanyak ini? Kalian pasti salah." protes Seraphina.
"Buktinya ada di tangan teman anda. Baca saja. Itu hanya salinan. Yang asli ada di tuan kami. Anda juga bisa memeriksa apakah tanda pengenal dan data pribadi yang tercantum adalah benar."
Seraphina mendekat ke Jerome dan ikut membaca tulisan pada kertas tersebut. Namanya benar, begitu juga foto tanda pengenal disana. Setiap identitas pribadi yang tertera semuanya benar. Seratus juta. Dia tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Mungkin bagi sebagian orang angka lima puluh bahkan seratus juga adalah kecil. Tapi bagi petani seperti mereka, nilai segitu sangatlah banyak.
Matanya membelalak melihat ke deretan angka kematian yang menunjukkan jumlah cicilan setiap bulannya lalu bunga harian apabila cicilan tidak dibayar tepat waktu. Apa Dorris dan Clement tidak membaca ini? Dia hanya tahu orang tua angkatnya itu berhutang senilai lima puluh juta. Mengapa mereka tidak memberitahukan ketentuan ini kepadanya? Pendapatannya dari bermain musik saja tidak akan pernah cukup untuk mencicil.
Tangan Seraphina terasa dingin. Dia menarik napas panjang, jantungnya berdetak dengan cepat dan dia merasakan keringat dingin menetes di pelipis. Dia tak tahu harus bagaimana, Clement dan Dorris juga sudah mengerjakan apa saja untuk menghasilkan uang yang tentu saja habis untuk kebutuhan sehari - hari.
"Aku akan membayar cicilannya secara bertahap. Kalian sudah menyita barang berharga dari rumah kamu sebelumnya, lalu pendapatanku hari ini juga sudah kalian ambil semuanya. Setidaknya beri kami waktu lagi." Seraphina memohon pada mereka, otaknya bekerja keras menemukan pekerjaan apa yang kira - kira bisa dia dapat untuk menambah penghasilan.
"Barang yang kami sita adalah mesin bekas, tidak bernilai tinggi. Apa kamu tidak membaca jumlah uangnya?" Laki - laki itu menunjuk kertas yang dipegang oleh Jerome. "Jumlah itu akan terus bertambah beberapa kali lipat setiap harinya. Sebaiknya kamu bayar sekarang juga!"
"Aku sudah tidak punya uang lagi saat ini. Aku akan mencari pekerjaan tambahan besok. Beri waktu untuk mengumpulkan sisa uangnya." ujar Seraphina dengan suara bergetar. Dia teringat pada Dorris dan Clement yang sudah mulai beruban, mereka tidak lagi muda. Rasanya tak tega membiarkan kedua orang tua angkatnya menanggung semua ini.
"Kamu pikir ini main-main? Itu uang yang besar dan kamu menyuruh kami memberi waktu lebih lama? Ini sudah hampir satu bulan kamu menunda pembayaran. Yang mengatur jadwal disini adalah kami, bukan kamu!" hardik pria itu sambil menunjuk hidung Seraphina.
Seraphina memejamkan mata untuk membantu menenangkan diri.
"Di cafe ini aku masih baru bekerja jadi tak mungkin aku meminta bantuan kepada pemiliknya. Uang yang kami pinjam habis untuk membeli bibit, pupuk dan keperluan tanam yang lain tapi panen gagal. Itu diluar kemauan kami. Kemudian semua mesin dan peralatan sudah kalian sita, orang tuaku tak bisa lagi bekerja. Memangnya apalagi yang bisa aku usahakan selain mencari pekerjaan lain diluar sana? Jadi, tolong beri aku waktu." ucapnya berusaha menjelaskan.
Pria berwajah tompel itu mendekat, Seraphina mundur satu langkah. Jerome maju dengan sikap siaga. Dari tadi dia tak banyak bicara, mencoba membaca situasi yang terjadi. Asalkan gerombolan pria ini tak menyakiti secara fisik, Jerome hanya akan mengamati.
Penagih hutang itu sengaja memperkecil jarak antara Seraphina dan dirinya supaya gadis itu merasa terintimidasi. Tubuh Seraphina yang munggil terlihat seperti seorang kurcaci menghadapi raksasa jahat.
Jerome menggeretakkan geraham dan tangannya mengepal erat, menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan ke pria kurang ajar di hadapannya. Dalam kasus ini pihak Seraphina melakukan kesalahan dengan tidak membaca secara teliti perjanjian yang tertulis. Tapi cara mereka menagih sangat tidak bisa dibenarkan. Laki - laki bertubuh besar di hadapannya itu menunduk, mendekatkan wajahnya ke arah Seraphina. "Kamu masih punya satu aset yang bisa dijual dengan harga bagus." Matanya dengan lapar menelusuri mulai dari wajah hingga ke tubuh Seraphina. "Wajah kamu cantik dan tubuh kamu bagus. Aku yakin boss-ku mau membayar sekitar sepuluh juta untuk satu malam. Sepuluh malam bersama,... HEGH!"
Suara laki - laki itu terhenti saat merasakan cengkeraman Jerome di kerah bajunya, lalu mendorong tubuh besar pria itu hingga menempel di tembok. Gerakan Jerome begitu tangkas dan terlatih, kemudian dia mengunci leher pria itu dengan lengannya.
"Jika kalian berani menyentuhnya sedikit saja, aku akan membuat perhitungan dengan kalian. Aku tidak pernah main - main dengan perkataanku." ancamnya, aura berwibawa memancar dari sorot mata Jerome.
Pria itu menatap Jerome sesaat, lalu saling bertukar pandang dengan temannya seperti memberi kode. Membaca gerakan lawan, Jerome kembali melanjutkan kata - katanya.
"Jangan berani mendekat, atau aku akan mematahkan leher temanmu. Tentu kalian ingin pulang hidup - hidup bukan? Aku akan membereskan hutangnya. Jadi, lebih baik kalian bekerja sama dan bersikap sopan."
Mereka yang tadinya memasang wajah geram kini berubah serius. Jerome benar, mereka masih ingin hidup dan membutuhkan uang untuk disetor kepada Boss. Lagipula, sepertinya Jerome tidak main - main. Tubuhnya memang tidak besar namun aura dominannya cukup menciutkan nyali mereka.
Jerome melepaskan pria tadi dan mengambil sesuatu dari saku celananya lalu memberikannya pada salah seorang penagih hutang. Pria itu terkesiap. Matanya melihat ke arah Jerome, lalu kembali ke kartu dan sekali lagi menatap Jerome.
"Siapa kamu?" tanya si penerima kartu nama. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan kartu nama Theodore. Sekali lagi pria itu melihat ke kartu nama yang ada di tangannya, logo kerajaan dalam bentuk sticker hologram ada disana. Kartu ini asli.
"Aku bukan siapa - siapa. Hanya kebetulan mengenal dengan baik orang yang namanya ada di kartu. Datangi dia! Katakan padanya Yus yang menyuruhmu datang. Beritahu dia jumlah hutang gadis ini, maka dia akan mengerti harus melakukan apa."
Pria itu terlihat berpikir. Siapa yang tidak kenal Theodore di kerajaan Sigrid ini? Laki - laki paruh baya itu terkenal dengan loyalitasnya terhadap raja dan ratu, dia juga merupakan tangan kanan putera mahkota. Dia mengamati Jerome baik - baik. Laki - laki muda di hadapannya terlihat seperti orang yang mempunyai pengaruh kuat di kerajaan, namun sepertinya tidak ada wajah seperti Jerome di dalam silsilah keluarga kerajaan. Mungkinkah orang ini kerabat atau kenalan dari keluarga kerjaaan?
Melihat penagih hutang itu termangu, Jerome tahu kalau mereka tak mengenali dirinya. Selama ini, dia jarang muncul di media. Saat terakhir muncul usianya. masih sekitar lima atau enam belas tahun. Setelah itu kebanyakan Matteo yang mewakili dirinya untuk menghadiri acara - acara dengan tamu negara atau para bangsawan. Dengan begini, dirinya lebih mudah membaur dengan rakyat.
"Pergilah! Pastikan kamu mengatakan hal - hal baik sehingga bisnis illegalmu tidak diusut." titah Jerome dengan tenang. Mulutnya mengulas senyum, tapi matanya berkilat tajam seperti pedang yang siap menebas kepala lawan. Tersirat ancaman dari setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Sekali lagi ketiga pria itu bertukar pandang, saling berbicara tanpa kata untuk memutuskan tindakan mereka selanjutnya. Masing - masing sadar kalau lawan mereka bukan orang sembarangan. Sekali saja salah langkah, bisa - bisa tuntutan pemerasan atau tuntutan melakukan perbuatan tak menyenangkan dilayangkan kepada mereka. Tiba - tiba bayangan jeruji besi terlintas di kepala mereka.
Setelah beberapa saat, salah seorang dari mereka berbicara dengan sopan. "Kami akan merundingkannya dengan Boss kami lebih dahulu. Untuk kasus seperti ini, biasanya Boss kami akan memberi keringanan dengan menghapuskan bunganya." ucap salah seorang dari mereka dengan nada rendah.
Jerome tersenyum puas. Tangannya kembali meraih tangan Seraphina lalu menariknya mendekat seolah berkata, 'Kamu aman sekarang!'
Seraphina mendongak dan Jerome tersenyum sambil menatapnya lembut. "Jangan datang mencarinya, apalagi mengganggunya kalau kalian masih ingin hidup dengan baik!"
"Seraphina! Seraphina!" Terdengar suara seorang wanita memanggil. Dia menyeruak di antara gerombolan laki - laki bertubuh besar dan Seraphina.
"Kenapa kalian selalu mengganggu puteriku? Sudah aku bilang berkali - kali kalau hutang itu urusan kami!" serunya sambil berkacak pinggang.
Detik berikutnya, seorang laki - laki memakai celana jeans dan kemeja motif kotak kusam muncul. Dia mendorong bahu laki - laki yang berdiri di posisi terdekat dengan istrinya, Dorris.
"Ini urusan laki - laki. Kalian boleh memukul, memenjarakan aku atau apa pun itu tapi jangan ganggu puteriku." ujar Clement sambil menepuk dadanya. Dia menggunakan tubuh kurusnya sebagai tameng bagi Seraphina dan Dorris.
Tadi salah seorang pegawai coffee shop memberitahu Dorris kalau segerombolan laki - laki menghadang Seraphina di depan cafe. Serta merta Dorris memberitahunya dan mereka langsung berlari kemari. Saking khawatirnya pada Seraphina, Dorris bahkan lupa tidak melepas celemek masaknya.
"Tolong beri aku waktu. Aku berjanji akan melunasi hutang dan tidak akan kabur. Kamu tahu dimana kami tinggal, datangi saja rumah kami. Jangan menakuti puteriku!"
Serempak penagih hutang melihat ke arah Jerome yang langsung meresponnya dengan tatapan yang mematikan. Laki - laki muda itu mengibaskan tangan, memberi tanda supaya mereka semua pergi tanpa banyak bicara.
Si tompel tersenyum kecut. "Tidak masalah. Kami tidak akan mengganggu kalian. Anggap saja lunas." ucapnya pelan sambil membalikkan tubuh dan berjalan menjauh. Kedua temannya juga melakukan hal yang sama. Mereka memutuskan untuk menagih pokok hutang saja kepada Theodore. Anggap saja Seraphina dan orang tua angkatnya sudah membayar bunganya.
"Hey, apa kamu bilang? Lunas? Apa maksudmu?" seru Clement pada punggung kekar ketiga laki - laki tadi. Tapi dia tak mendapatkan jawaban, para penagih hutang itu masuk ke mobil mereka dan pergi begitu saja.
Tinggalah Clement dan Dorris saling bertukar pandang. "Dorris, dia bilang hutang kita dianggap lunas?" tanyanya untuk memastikan kalau pendengarannya tidak salah.
Dorris menganggukkan kepala pelan. Sesaat mereka bertatapan satu sama lain, sama - sama tak percaya. Harus ada alasan yang jelas kenapa hutang mereka lunas begitu saja. Setahu mereka seorang rentenir tidak akan melunaskan hutang kalau tidak ditukar apa pun.
Tiba - tiba saja Dorris merasakan tubuhnya merinding, pikiran buruk melintas begitu saja di kepalanya. Reflex wanita bertubuh subur itu menoleh ke arah Seraphina, memindai puteri kesayangannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan, tatapannya berhenti di tangan Seraphina yang sedang bertautan dengan tangan Jerome. Kemudian Dorris menatap wajah asing laki - laki berpenampilan menarik di hadapannya. Memang wajahnya terlihat lembut dan baik hati, tapi Dorris tak bisa percaya begitu saja.
"Jangan sembarangan menyentuh puteriku!" ketusnya. Dia mengusap tangan Seraphina dengan celemeknya, seakan gadis itu baru memegang sesuatu yang kotor.
"Apa mereka berbuat kasar padamu, Nak?" tanyanya kemudian sambil menangkup pipi Seraphina dengan kedua telapak tangannya yang lembut.
"Mereka mengatakan kalau hutang kita sudah lunas. Apa mereka menawarkan pekerjaan yang tidak benar kepadamu?" Clement mendekat dan ikut bertanya, matanya menatap tajam kearah Jerome seakan laki - laki itu yang menyebabkan keributan ini.
"Tidak, Dorris, Clement. Jangan berpikir macam - macam. Kondisi kita memang sedang terjepit, tetapi aku lebih memilih mati dari pada harus melayani mereka, bos mereka atau siapa pun di tempat tidur." tegas Seraphina.
Diam - diam Jerome menghela napas. Tidak salah rasanya dia mengagumi gadis berbakat dan cerdas ini, terlebih lagi Seraphina bisa memegang prinsipnya.
"Lalu, bagaimana bisa hutang kita lunas?" tanya Dorris dan Clement hampir berbarengan. Hanya ada mereka bertiga, tidak ada saudara atau pun kenalan kaya raya yang mampu melunasi hutang mereka. Kalau bukan Seraphina, lalu siapa?
"Saya yang akan mengurusnya hingga beres." Jerome yang dari tadi hanya diam akhirnya bersuara.
Serempak tiga pasang mata menatap Jerome dengan ekspresi yang berbeda. Seraphina menatapnya dengan pandangan penuh rasa terima kasih, sebaliknya sepasang petani yang mengadopsinya menatap Jerome penuh waspada. Pengalaman mengajarkan pada Dorris dan Clement bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini, terutama hal - hal yang berkaitan dengan hutang piutang.
Jerome tertawa kecil dan melanjutkan kalimatnya. "Tentu saja, semua ini tidak akan cuma - cuma. Aku tetap meminta kompensasi yang menguntungkan bagi diriku."
"Kurang ajar!?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!