"Ma ... sakit," lirih Alena, satu kata sakit yang membuat duniaku seolah runtuh. Alena masih berusia 5 tahun tapi dia harus berperang dengan rasa sakit untuk bisa bertahan hidup.
Sejak lahir Alena mengalami gagal jantung. Dia mudah merasa lelah bahkan ketika beristirahat. Wajah, tangan dan kaki nampak biru. Dan kini Alena merasa sesak nafas yang membuatnya kesakitan.
Anak dengan kelainan jantung kompleks membutuhkan berbagai operasi untuk mengembalikan sirkulasi jantung ke tingkat normal. Hingga membutuhkan waktu beberapa tahun, seperti halnya Alena.
Hingga akhirnya dokter mengambil keputusan untuk melakukan transplantasi jantung.
Tapi sekarang aku sudah tidak punya apapun untuk biaya operasi tersebut. Keputusan ku pergi dengan membawa Alena justru membuat anakku tersiksa.
"Tunggu sebentar sayang, setelah malam ini kamu tidak akan sakit lagi," jawabku tak kalah lirih, terus memberikan semangat meski entah ada hasilnya atau tidak.
"Sakit, Ma," kata Alena lagi.
"Anin," panggil ibuku--Ibu Husna.
Di ruang rawat ini memang tidak hanya ada aku dan Alena, tapi juga ada ibuku yang sejak tadi duduk di sofa. "Maafkan ibu Nak, ibu belum berhasil mencari pinjaman," ucap ibu, aku hanya mampu mengangguk lemah.
Sejak tadi aku tau ibu mengajukan pinjaman hutang kemanapun, tapi tak ada satupun yang memberi.
"Tidak apa-apa Bu, aku juga akan mengusahakannya," jawabku kemudian, seraya menahan sesak di dada.
Aku pernah gagal jadi manusia, tapi aku tidak ingin gagal jadi seorang ibu. Jadi kini apapun akan aku lakukan untuk Alena.
Ya Allah, aku harus bagaimana?
Malam ini Alena harus menjalani operasi, aku harus melakukan apapun untuk mendapatkan uang itu.
Tapi apa yang harus aku lakukan?
Sibuk membatin akhirnya aku teringat akan seorang pria, pria yang selama ini sengaja aku jauhi. Pria yang sejatinya adalah ayah kandung Alena.
Pak Harris.
Aku melepaskan pelukan pada Alena. "Mama pergi sebentar ya, sebentar saja. Saat mama kembali nanti, Alena akan langsung menjalani operasi," kataku.
Alena mengangguk kecil, sementara ibu hanya nampak menghela nafas berat. Seolah ragu dengan ucapanku.
"Bu, aku titip Alena sebentar ya. Sebelum jam 7 malam akan aku usahakan kembali," pamitku.
"Iya, ibu doakan semoga semua urusanmu lancar. Semoga ada jalan untuk Alena di operasi."
Aku mengigit bibir bawahku kuat, menahan diri agar tidak menangis. Secepat yang aku bisa, ku ambil tas di meja dan keluar dari ruang rawat tersebut.
Pak Haris adalah CEO di perusahaan Pratama Kingdom. Dulu aku adalah sekretarisnya, sampai satu malam kami melakukan kesalahan fatal. Malam dimana Alena akhirnya ada. Aku hamil di luar nikah.
Saat itu aku memutuskan untuk pergi tanpa pamit, ku pikir dengan kepergian ku ini semua akan berakhir. Tapi siapa sangka semuanya terjadi diluar kendali.
Alena sakit dan satu-satunya yang bisa ku mintai pertolongan adalah pria itu.
"Tidak apa-apa, Anin. Kamu tidak punya pilihan untuk mundur," gumamku, seraya mempercepat langkah.
Tiba di area parkir rumah sakit aku segera naik ke atas motor dan mengemudikannya. Menuju rumah seseorang yang alamatnya masih ku inget jelas.
Saat ini waktu sudah menunjukkan jam 5 sore, harusnya pak Harris sudah berada di rumah. Dan sekarang aku telah berdiri tepat di depan gerbang rumah megah tersebut.
Kabar terakhir yang ku dengar tentang pak Harris adalah tentang pertunangannya. Tapi ku abaikan semua hal itu, kini yang ada di dalam benakku hanyalah Alena.
"Pak, boleh saya masuk?" tanya ku pada penjaga keamanan di sana.
"Maaf, tapi anda siapa? Ada keperluan apa?" jawabnya dan membuat aku gelagapan.
Bingung harus menjawab apa. "Saya Anindya Putri, saya ingin bertemu dengan pak Harris Pratama. Saya mantan sekretaris beliau."
Ku lihat jelas penjaga pria paruh baya itu menatapku dengan intens, memeriksa penampilan ku dari atas sampai bawah.
Aku sadari, penampilanku jelas berbeda dari 6 tahun lalu. Kini tak nampak seperti seorang sekretaris, tapi ibu yang lusuh.
"Tunggu sebentar, saya hubungi pak Harris dulu," jawab penjaga tersebut dan seketika membuatku bernafas lega.
"Terima kasih, Pak," jawabku dengan cepat.
3 menit aku menunggu dan akhirnya penjaga itu kembali datang. "Silahkan masuk, pak Harris mengizinkan anda untuk masuk."
Deg!
Gerbang tinggi itu akhirnya terbuka dan sang penjaga mempersilahkan aku untuk masuk.
"Motornya tinggal di sini saja tidak apa-apa, Mbak," ucap penjaga itu lagi.
"Baik Pak, terima kasih sebelumnya," jawabku. Ku lihat dia mengangguk dan akhirnya aku putuskan untuk segera pergi dari sana. Berjalan dengan langkah kaki cepat menuju pintu utama rumah megah tersebut.
Dulu aku juga sering datang ke sini, hanya sekedar untuk mengantarkan beberapa dokumen. Andai tak ada kesalahan satu malam itu mungkin hidupku akan baik-baik saja. Tidak seperti ini.
Ya Allah, apa yang aku pikirkan. Alena adalah segalanya untukku. Tak ada yang aku sesali tentang masa lalu.
Tadi semuanya terasa baik-baik saja, namun saat sudah berdiri tepat di depan pintu rumah ini ternyata tubuhku gemetar. Kedua tanganku sudah basah dengan keringat dingin.
"Jangan ragu Anin, lakukanlah," ucapku pada diri sendiri. Jadi dengan tangan yang gemetar, ku tekan bell rumah ini.
Ting Tong! Suara yang tak mampu ku dengar namun seperti bisa ku rasakan. Suara yang akan jadi signal orang-orang di dalam sana bahwa ada tamu di luar.
Aku mundur satu langkah, mengambil jarak yang bagiku aman. Hingga akhirnya aku melihat pintu itu terbuka secara perlahan.
Deg! jantungku makin berpacu dengan cepat, angin sore itu membuat rambut ku yang lusuh jadi terombang-ambing. Aku membenahinya diantara rasa gugup yang mendera.
Pria yang berdiri di hadapan ku sekarang adalah pak Harris.
"Anindya," ucap pak Harris seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Aku bisa memakluminya, bahkan sejak tadi pagi aku belum sempat membasuh diri. Sebab Alena mengeluh sakit dan tak ingin ku tinggalkan. Tubuhku juga sudah tidak segar seperti dulu, lebih kurus dan tak terurus.
Sementara pak Harris masih sama seperti dulu, wajahnya masih tetap saja tampan. Bulu-bulu kasar memenuhi rahangnya yang tegas.
"Be-benar Pak, saya Anin," jawabku saat ingat aku tak punya waktu untuk gugup.
"Silahkan masuk," tawarnya dengan ramah, mungkin dia pun bertanya-tanya kenapa aku datang.
"Ti-tidak Pak, sa-saya tidak punya banyak waktu," jawabku dengan kepala yang menunduk.
Lalu aku bersimpuh. "Maafkan saya Pak, tapi saya datang untuk meminta bantuan anda," kataku dengan kedua mata yang sudah terasa panas. Aku jelaskan bahwa 6 tahun lalu setelah malam itu aku dinyatakan hamil.
Malam itu adalah kesalahan, jadi aku tidak meminta pertanggungjawaban apapun. Aku pikir aku bisa membesarkan Alena seorang diri.
Tapi ternyata aku tidak bisa.
"Alena harus dioperasi malam ini, tapi saya sudah tidak punya biaya. Maafkan saya Pak, saya mohon bantu saya," pintaku.
Namun tidak ku dengar suara apapun dari pria di hadapan ku iki. Aku tidak berani mengangkat wajah, jadi hanya mampu menatap kedua kakinya. Kaki yang kemudian mundur 1 langkah, menandakan bahwa pria itu begitu terkejut.
"Jadi Alena adalah anakku?" tanya pak Harris dengan suara yang terdengar gemetar, namun terasa berat sekaligus.
Mana bisa aku menjawab pertanyaan ini dengan kata-kata, jadi aku hanya mampu mengangguk.
"Kenapa? Kenapa baru sekarang kamu katakan tentang hal ini Anin?! Kenapa?!!" bentaknya dengan suara yang tinggi, sementara aku sudah menciut dalam ketakutan.
Tak ku pungkiri, aku pantas mendapatkan kemarahan ini. Setelah pergi begitu saja, kini aku datang dengan kabar tidak mengenakkan.
Aku hanya mampu terdiam, saat pak Harris mengguncang pundakku dengan kuat.
"Bodoh kamu!" makinya dengan begitu kuat.
Aku tau, pak Harris sangat terkejut.
"Ayo bangun! Bawa aku segera menemui Alena!" ucap pak Harris dengan suara yang masih terdengar tinggi di telingaku. Dia pun mengangkat pundakku hingga akhirnya aku kembali berdiri.
"Harusnya kamu katakan hal ini sejak awal! jadi Alena tak perlu menderita sampai bertahun-tahun!" katanya, dia nampak geram sekali dari nada bicaranya. Menatapku dengan tajam.
"Ayo cepat! Temukan aku dengan Alena!"
Tunggu dulu, apa ini artinya pak Harris mau menerima Alena? Dia mau membantu pengobatan Alena?
Aku ingin mempertanyakan itu semua tapi tanganku sudah lebih dulu di tarik untuk meninggalkan rumah tersebut.
"Sa-saya akan naik motor Pak," ucapku ketika pak Harris membawaku masuk ke dalam mobilnya.
"Sudah tidak ada waktu!" balas pak Harris, dan sejak dulu hingga sekarang aku tetap tak pernah berani membantah ucapannya.
Pada akhirnya aku duduk dengan kaku di samping beliau.
Terpaksa ku tinggalkan motor ku begitu saja di dekat pos keamanan. Besok aku harus kembali ke sini lagi untuk mengambil motor itu.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, ku lihat pak Harris mengemudi mobil dalam diam. Wajahnya nampak tidak tenang, kadang aku masih bertanya-tanya benarkah pak Harris bersedia mengakui Alena sebagai anaknya? Apakah dia tak ingin meragukan aku lebih dulu.
Entahlah, sekarang ini semua tidak penting. Yang penting adalah pak Harris telah bersedia membayar semua biaya pengobatan Alena.
Sebelum jam 6 malam akhirnya aku benar-benar telah kembali ke rumah sakit tersebut, tapi sekarang aku tidak datang sendiri. Melainkan bersama seorang pria yang jelas akan nampak asing di wajah Alena.
"Silahkan, Pak. Ini adalah rang rawat Alena," ucapku meski ragu. Aku pun membuka pintu dan masuk lebih dulu, lalu memberi ruang agar pak Harris bisa masuk juga.
"Ma," panggil Alena langsung, memanggil dengan suara yang lirih.
"Mama sudah kembali sayang," jawabku pula seraya berjalan mendekati ranjang.
Ku lihat pak Harris nampak terpaku, dia pasti sangat terkejut melihat wajah Alena. Tak bisa dipungkiri, paras Alena begitu mirip dengan pak Harris.
"Dia siapa, Nin?" tanya ibu dengan suara berbisik.
"Dia pak Harris Bu, ayahnya Alena," jawabku tak kalah lirih.
Ibu seketika terdiam, dia memang telah tau semua cerita. Namun ini adalah pertemuan pertama keduanya. Ibu tak bisa marah ataupun berontak, karena semua yang terjadi di dalam hidupku adalah keputusan ku sendiri.
Ibu hanya mundur, seolah tak sanggup melihat semua kenyataan.
"Ma, oom itu siapa?" tanya Alena pula. Suara kecil yang akhirnya menarik pak Harris untuk semakin mendekati ranjang.
Sampai akhirnya pak Harris duduk di tepian.
"Papa, maafkan Papa Alena," ucap Harris, entah pergulatan batin seperti apa yang saat ini menguasai pak Harris. Tapi tiba-tiba dia mengucapkan kalimat tersebut pada Alena.
Dan Alena yang terkejut langsung menyentuh dadanya yang sesak, nafasnya semakin tidak karuan.
"Tenang sayang, tenang, Mama ada di sini. Tenang, Tenang," ucapku bertubi, terus bicara Agara Alena bisa mengendalikan diri.
Sementara pak Harris ku lihat kedua matanya sudah merah, menggenang cairan bening di dalam sana.
"Tenangkan Alena, aku akan mengurus semua biaya administrasi," kata pak Harris. Dengan langkah kaki yang nampak terhuyung dia keluar dari ruangan ini.
Aku juga ingin menangis, tapi sekuat tenaga ku tahan.
Ya Allah, beri aku kesempatan kedua untuk bisa membahagiakan Alena.
"Sayang, papa akan membantumu sembuh. Alena bahagia kan?" tanyaku lirih. "Alena akhirnya bisa bertemu dengan papa, Jadi ayo kita semangat lagi, sekali lagi, setelah ini kita akan berkumpul." Kataku.
Lalu mengucapkan Aamiin di dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!