Dia segera mematikan panggilan tanpa beban, kembali menemui teman-temannya.
Tapi begitu dia masih sedikit risih. Untuk menekan perasaan itu, Dante menyalakan mode pesawat.
"Siapa Bung?" tanya Matthew. Mereka memang cukup bebas, untuk saling bertanya hal pribadi seperti itu.
"Tidak ada. Sepertinya salah sambung."
Lucas sambil membuka kaleng soda, menanggapi ... "Mungkin saja salah satu wanita yang menjadi korbannya."
Matthew menanggapi ucapan Lucas dengan tawa, tidak jauh berbeda dengan Dante.
"Awalnya suara seorang anak laki-laki, lalu kemudian seorang perempuan yang menangis."
"Menangis?" tanya keduanya serentak.
"Ya, menangis. Katanya dia adalah Ibuku. Konyol!"
Lucas dan Matthew sontak bertatapan, lalu menatap Dante lagi.
"Dan, bagiamana kalau itu memang Ibumu?"
Dante mengernyit, tidak setuju.
Lucas mengangguk, menyetujui ucapan Matthew.
"Hei, Don Juan ... apa kau mau mencoba kelas akting? sepertinya peranmu lumayan juga!"
"Ya, peran untuk memainkan seorang anak yang menyangkal Ibunya." timpal Matthew.
Dante akhirnya menyadari sesuatu, di tengah tawa kedua sahabatnya itu.
Ya, mereka benar. Dia masih memiliki Ibu, walau wanita itu tidak tinggal dengannya saat ini.
Dante tidak tahu kapan dan bagaimana tepatnya. Tapi yang di dengar dari Ayah serta Neneknya yang sudah meninggal, kedua orang tuanya telah bercerai saat dia berusia 3 tahun.
Ibunya telah kembali ke negera asalnya, di suatu provinsi kecil. Sementara dirinya dan sang Ayah hidup jauh di padatan megapolitan terbaik.
Semenjak perceraian itu, Dante sudah tidak pernah memiliki komunikasi apapun. Jadi wajar saja, jika dia melupakan soal Ibunya.
Tapi nampaknya ... para sahabat yang mengetahui semua tentangnya, tidak melupakan hal itu.
"Hei Dan, kenapa wajahmu tegang begitu! Come on bung, kami cuman bercanda."
Dante menggeleng, "Tidak! mungkin saja kalian benar!"
Pria itu pun kembali berjalan menjauh untuk mengecek ponselnya.
Sementara Lucas dan Matthew hanya bisa saling bertatapan, sebelum memulai latihan golf mereka, tanpa Dante.
Sementara itu, Dante membuka mode pesawatnya dan benar saja ada banyak panggilan tak terjawab.
Dia sudah siap untuk menelpon lagi, ketika diingatnya bahwa itu panggilan luar negeri. Setelah menimbang-menimbang hal yang tak seharusnya, Dante akhirnya pergi ke resto di area golf situ.
Ketika dilihatnya seorang wanita yang nampak beberapa tahun lebih tua darinya, sedang duduk sendirian. Dante melihat baik-baik nomor telepon tadi, sebelum mematikan ponselnya.
Akhirnya dengan begitu alami, dia mendekati wanita itu. Karena bagi Dante, mungkin saja selain dia! semua orang di tempat ini memiliki uang yang cukup.
"Permisi!"
Wanita yang tadinya sibuk dengan ponsel itu terkejut dengan sapaan Dante. Suara pria di depannya itu, begitu berat namun lembut di saat yang bersamaan.
"Ah, ada apa?"
Dante tersenyum, "Maaf ponselku kehabisan baterai, tepat saat sedang bicara dengan Ibuku. Dia mungkin khawatir, "... apakah anda memiliki charger?"
Wanita yang sempat dibuat linglung oleh senyuman Dante, tiba-tiba merasa khawatir. Penampilan Dante dikombinasikan situasinya, membuat sang wanita merasa bersalah jika tidak membantu.
"Um, sayang sekali aku tidak membawa."
Wanita itu menggigit bibirnya tatkala melihat raut kekecewaan Dante.
"Kalau begitu tidak---"
"Bagaimana kalau telepon? um, maksudku bagaimana kalau kau telepon saja Ibumu."
"Ah, tidak usah." Tolak Dante. "... Ibuku sedang diluar negeri. Aku tidak bisa menjadi kurang ajar, dengan menggunakan biayamu untuk menelpon kesana."
Wanita itu tertawa pelan mendengar penjelasan Dante. "Tidak! jangan katakan hal seperti itu, kau bisa menggunakan ponselku ... semuanya tersedia di dalam. Pakailah! jangan membuat Ibumu khawatir."
Wanita itu bahkan menyodorkan ponselnya. Dengan sedikit keengganan yang tentu saja hanya akting, Dante mengambil ponsel itu.
"Kalau begitu aku permisi sebentar."
Dante menjauh sedikit dari meja itu, sementara yang punya ponsel sibuk menatap pria itu.
Dia sudah sering melihat Dante dan teman-temannya bermain di klub ini. Menurutnya Dante memang sangat menarik mata! sudah lama dia memperhatikan, tapi tentu saja hanya sebatas itu.
Lagi pula para pria itu, tampak berusia awal dua puluhan. Sementara dia sendiri sudah berusia awal tiga puluhan. Hanya masih tidak menyangka, akan menyapa pria muda seperti Dante lebih dekat.
"Ah, dia tampak baik dilihat secara langsung."
•••
Sementara Dante memasukkan nomor yang berusaha dihafalnya dalam waktu singkat.
Ketika panggilan terhubung, jantung Dante berdetak lebih dari biasanya. Dia tidak pernah melihat wanita dikatakan sebagai Ibunya, dan sebenarnya dia juga tidak tahu, akan mengatakan apa.
"Halo?" Suara laki-laki yang pada awalnya, pikir Dante. Jika di dengar seksama, nampak seperti suara remaja.
"Ini kau yang menelponku tadi kan?"
Sedikit terdiam barulah ada balasan, "Ya!"
"Hei, ada apa kau menerorku? dan mana wanita tadi? kenapa dia mengaku-ngaku sebagai Ibuku."
"Enam panggilan tak terjawab, tidak bisa disebut teror. Dan wanita yang kau tanyakan itu, adalah Ibumu. Josephine Lea!"
Dante mematung, Ya benar ... Ibunya adalah Josephine Lea. Walaupun dia tidak pernah melihatnya, tapi bukan berarti dia tidak tahu.
Ayahnya cukup sportif untuk tidak menyembunyikan apapun darinya.
"Lalu dimana dia?"
"Apa kau ingin bicara?"
Dante bingung sendiri. Entah apa dia benar ingin bicara atau tidak.
"Kau bisa bicara! tapi bicaralah dengan baik. Ibu sedang sakit."
Dante sampai menjauhkan ponsel dari wajahnya. Gaya bicara anak itu cukup to the point, walaupun terdengar sedikit kekanakan.
Dan apa itu tadi 'Ibu?' Anak itu memanggil Ibu. Yang artinya, mungkin saja remaja laki-laki itu anak Ibunya juga. Dante tidak tahu perasaan asing apa yang menghinggapinya, sehingga begitu tak tertahan dia hendak mematikan ponselnya ...
"Halo? Dante? Itu kau nak?" Suara ringkih itu terdengar lagi, membuat Dante tidak nyaman. Namun begitu, dia segera menguasai dirinya.
"Ada apa? kau menelpon begitu banyak, tidak hanya untuk menangis bukan?"
Wanita itu mulai terisak pelan, tapi terdengar juga berusaha untuk tenang. "Dante, aku Ibumu Josephine Lea. A-aaku tidak tahu, apa ayahmu mengatakan atau tidak! tapi yang---"
"Dia mengatakannya!" potong Dante.
Dalam pendengarannya, wanita itu mencoba membuat penilaiannya kabur.
"... tidak, tidak bukan begitu." Wanita itu menangis lagi.
"Dengar cukup. Aku tidak memiliki banyak waktu. Jika ada yang ingin kau katakan! katakan segera."
"Dante, Dante!! Ini Ibu, aku tahu ini terlambat untuk mengatakannya, tapi aku harap aku bisa bertemu denganmu!"
Dante tersenyum getir, ternyata benar itu Ibunya.
"Datang dan temui aku jika kau ingin. Masih kota yang sama."
TITT ~~~
Dante mematikan panggilan begitu saja. Dia sedih tanpa tahu untuk apa.
"Sudahlah Dante!" katanya seolah menghipnotis dirinya.
Dia berbalik dan menuju ke meja wanita tadi. Ekspresinya mendamai dengan cepat.
"Maaf memakai terlalu lama."
"Tidak, tidak apa."
"Ini ponselmu. Terimakasih Nona ...?" Dante mengangkat sebelah alisnya.
"Ah, Helena."
"Nona Helena." Dia tersenyum sedikit, "... nama yang indah. Dengan perpaduan wajah itu, orang-orang yang berkenalan tidak akan pernah melupakanmu."
Helena tertawa dengan kata-kata Dante, dia tahu pria itu membual. Tapi mungkin disinilah perbedaannya! Dante adalah pria tampan, jadi tidak memuakan mendengarnya berbicara seperti itu.
Lagipula cara Dante menyanjung, terdengar alami dan tak terlalu di paksakan. Membuat Helena menarik nafas panjang yang diakhiri senyuman.
"Ibu, bukankah sudah katakan tidak usah!"
"Dazen, ini adalah yang terbaik. Dia adalah Kakakmu! lebih aman untuk tinggal dengannya, dari pada Ayahmu!"
Dazen menarik nafas frustasi,
"Darimana? darimana Ibu tahu bahwa lebih aman bagiku untuk dengannya dari pada sendirian? aku yakin Ibu sendiri tidak mengenalnya dengan baik!"
"DAZEEENNN, Uhukk ... Uhukk!!"
Melihat Ibunya terbatuk, Dazen menjadi panik.
"Ibu, Ibu tidak apa?" tanyanya khawatir.
Melihat batuk itu sulit mereda, dia pun mulai mengusap punggung ringkih wanita itu.
"... sini, Ibu duduklah. Maafkan aku," katanya pelan.
Remaja tujuh belas tahun itu, segera mendudukkan Ibunya.
Dazen sapaannya, tidak bermaksud untuk bicara hal menyakitkan seperti itu pada Ibunya. Hanya saja, Dazen masih tidak bisa menerima, keputusan sepihak Ibunya.
Keduanya hanya tinggal bersama, di sebuah kota kecil berbudaya. Saking berbudaya nya, saat sang Ibu di pukuli habis-habisan oleh Ayahnya ... orang-orang malah menyuruh Ibunya intropeksi diri, sebagai seorang wanita. Hal yang sesat menurut Dazen.
Tatkala itu, sempat ada kebahagiaan di hati Dazen, manakala Ayahnya pergi meninggalkan mereka. Tapi kini, masa sulit lainnya kembali. Sang Ibu dinyatakan mengidap kanker darah, dan sudah berada pada tahapan lanjut.
Hati Dazen sangat hancur, saat mendengarnya pertama kali. Ternyata itu adalah alasan, kenapa tubuh Ibunya semakin kurus dan lemah kian hari.
Sementara bagi Sang Ibu, keadaan Dazen adalah segalanya. Dia tidak ingin saat dia tiada nanti, akan datang hari dimana suaminya kembali. Dia takut, pria kejam itu akan menghancurkan Dazennya yang lemah.
Anaknya ini, memang memiliki penampilan yang sedikit berbeda dari teman-teman sebayanya. Menggunakan kacamata besar dan tubuh yang selalu membungkuk, menjadi ciri khas Dazen, yang membuat orang-orang selalu mengejeknya.
'Entah bagaimana dia bisa salah memilih dalam pernikahan keduanya.' Pikir Josephine sang Ibu.
Pemikiran dan kekhawatiran ini terus berlarian di kepala Josephine. Hingga suatu hari ... dia tidak tahan lagi. Hal yang telah lama disimpannya sendiri, tidak kuat lagi untuk Josephine tahan. Dengan harapan anaknya mau mengerti, dia akhirnya memberitahukan kebenaran itu pada Dazen.
Sementara Dazen yang menerima kebenaran itu, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Kebenaran mengenai pernikahan pertama Ibunya, benar-benar diluar dugaan. Selain itu, fakta baru mengenai dia yang memiliki Kakak laki-laki, benar-benar canggung baginya.
Dazen telah berusaha menjadikan dirinya sangat kuat karena berpikir dia adalah satu-satunya anak sang Ibu. Untuk itu, walaupun dia melewati berbagai kesulitan mulai dari kekejaman sang Ayah, hingga pembulian baik disekolah maupun lingkungan bermain, Dazen menahan semuanya sekuat hati.
Dia tidak menyesali menahan semuanya sendirian, hanya saja membayangkan dia memiliki Kakak laki-laki ... entahlah. Karena Dazen sendiri tidak tahu harus bagaimana menjelaskan perasaannya saat itu.
Tapi kini, Sang Ibu ingin dia mencari sang Kakak. Dazen awalnya menolak, namun begitu dia sendiri sangat penasaran.
Dituntun oleh keinginan dan penasaran, Dazen akhirnya mulai mencari informasi sang Kakak.
Dante Juan Zios, nama pria itu akhirnya terbayang-bayang berhari-hari dibenaknya. Penampilan pria itu sangat tampan pikir Dazen. Awalnya, dia bahkan mengira sang Kakak adalah model atau aktor.
Penampilan dan gaya hidup Dante yang terpampang di media sosialnya, sangat berkelas. Mulai dari meminum wine, bermain basket, pergi ke klub golf, naik kapal pesiar, hingga belajar di Universitas ternama. Membuat Dazen sangat rendah diri.
Entah bagaimana bisa, Ibunya berpikir untuk mengantar dia pada Sang Kakak ... bahkan jika pria itu menerimanya, Dazen takut dia hanya akan menjadi beban dan mempermalukannya.
"Dazen??"
"Mm, Ya Bu!"
"Kenapa melamun?"
Dazen menggeleng, tidak bisa menyatakan kekhawatirannya.
"Dengar, persiapkan dirimu ... tiga hari lagi kita akan berangkat ke negara Z."
"Tapi, bagiamana---"
"Jangan khawatir, tanah peninggalan Kakekmu telah Ibu jual! dengan uang itulah kita akan berangkat."
Dazen semakin tidak memahami Ibunya, "Ibu bagaimana kalau dia tidak ingin aku disana?"
Josephine menggeleng, "Tidak. Dia anak yang baik! dia di asuh ayahnya, jadi dia adalah orang yang baik."
Dazen menggaruk kepalanya, "Bagaimana dengan alamat? apa Ibu tahu alamatnya?"
Josephine tersenyum, "tentu saja kau yang akan menemukannya!"
Mendengar jawaban Ibunya, Dazen terdiam.
Ya, Josephine memang tidak salah. Alasan kenapa kacamata Dazen sangat tebal, karena dia menghabiskan banyak waktunya di depan komputer.
Istilah populernya, adalah nerd.
Dazen semakin sakit kepala, entah mungkin efek karena sakit, sehingga Ibunya lebih sulit dihadapi.
Maksud Dazen adalah seperti ini, dia juga seorang laki-laki, jadi setidaknya baik dia dan Dante, pasti memiliki sudut pandang yang sama.
Siapa orang di dunia, yang ingin menerima kedatangan Ibunya setelah pergi selama dua puluh tahun? Sudahlah soal Ibunya, tapi bagaimana dengan saudara tiri, yang tiba-tiba dititipkan??
Dazen yakin, Dante pasti keberatan.
"Akkhhh!!" Semakin Dazen pikirkan, semakin sakit saja kepalanya.
•••
Hari-hari berlalu dengan cepat.
"Ibu, sudahlah ... biar aku yang membawakan tas ini!" ucap Dazen yang mulai kesal.
Selain pakaian dan barang-barang mereka, kini dia juga harus menenteng satu tas besar kue kelinci.
"Tidak, apa ... kue kelinci ini biar Ibu yang bawa! saat kecil Kakakmu suka sekali dengan kue ini."
Oh, sungguh rasanya Dazen ingin memarahi Ibunya. Bukannya kenapa, hanya saja kue kelinci hampir seperti makanan bayi. Dazen, sangat yakin ... Dante tidak akan menerima hal itu.
"Apa ini benar alamatnya?"
"Yaa!"
"Kalau begitu ayo kita cari kakakmu. O yah, pakai jaketmu dengan benar. Ini bukan negara kita, iklim disini bisa membuatmu sakit."
Dazen segera membenarkan posisi jaketnya. Saat ini mereka ada di salah satu negara terbesar dengan gedung-gedung pencakar langit terbaik.
Hiruk pikuk perkotaan benar-benar hal yang baru bagi Dazen. Namun di saat bersamaan, dia berusaha keras untuk menjaga dirinya tidak terlalu bersemangat.
Karena saat ini mereka tidak memiliki tempat tujuan tetap. Jika Dante menolak, bisa saja mereka tidur diluar malam ini, mengingat uang mereka yang pas-pasan.
"Ayo, gedungnya sudah dekat."
Kedua orang itu mulai melangkahkan kaki mereka lagi. Ya, karena keterbatasan ... mereka hanya bisa menaiki bus satu arah dan berhenti di stasiun. Selanjutnya mereka lanjutkan berjalan kaki.
Cukup lama berjalan kaki, mereka akhirnya tiba disebuah gedung apartemen mewah.
Josephine menatap bangunan itu dengan takjub, "Kakakmu sepertinya menjalani kehidupan yang baik. Jika kau memiliki kesempatan, belajarlah darinya."
Dazen menahan nafas kesal, mereka bahkan belum bertemu tapi Ibunya sudah memberikan nasihat perpisahan.
"Maaf, ada yang bisa dibantu?" tanya sang penjaga pintu.
"A-aku datang menemui putraku, dia tinggal disini."
Sang penjaga menatap keduanya dari atas kebawah dan merasa ragu. "Bisa saya tahu, siapa nama putra anda?"
"Dante! Dante Zios." Ada kebanggaan dalam suara Josephine tatkala menyebutkan nama anaknya itu.
Tentu saja sang penjaga mengenal Dante, pria paling ramah dalam gedung ini.
"Permisi sebentar."
Sang penjaga itu masuk kedalam dan mencari resepsionis yang bertugas.
"Hubungi Tuan Zios, nomor 11-a! Tanyakan apa benar ibunya datang?"
•••
Dante yang baru saja mematikan panggilan video dari salah satu donatur keuangannya, di kagetkan dengan panggilan telepon apartemen.
"Ada apa?"
"Tuan, apakah benar Ibu anda datang berkunjung?"
Satu detik, dua detik, tiga detik ...!
"APA?? DIA BENAR-BENAR DATANG??" teriak Dante.
Dante menatap kaca berulang-ulang, memastikan reaksi seperti apa yang akan dia berikan. Saat ini wanita yang ternyata tidak sendirian itu, akan segera sampai di depan pintunya.
"Ayo, Dante! ayo pikirkan sesuatu." Tapi terlalu banyak berpikir jelas tidak menghasilkan apa-apa.
"Argh sudahlah." Dante mengacak rambut frustasi. Dia kemudian kembali menatap kaca dan mengatur rambutnya. "Sudahlah, semua sudah terjadi bukan. Mari kita lihat saja, apa yang di perlukan wanita itu?"
Tepat setelah kata-kata itu jatuh, bunyi bel terdengar. Sedikit tertegun, Dante akhirnya pergi kearah pintu. Tangannya sudah di gagang pintu tapi terhenti, 'Mungkin tidak usah bereaksi adalah jalan keluar.' Putus Dante akhirnya.
Klek, pintu dibuka.
Mata Dante bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang nampak kurus dan lemah. Tidak ada perasaan apapun yang muncul, meski melihat wanita itu mulai berkaca-kaca.
Di sebelahnya ada seorang remaja laki-laki, dengan kacamata dan terus menatap lantai. Membuat Dante tanpa sadar juga menatap lantai, bertanya-tanya apa yang dilihatnya.
Sedikit lama terdiam, "jadi ada apa?" kata Dante dengan suara rendah. Dia bahkan tidak mempersilahkan mereka masuk. Bersikap seolah dia bisa menjadi jahat.
"Halo Tuan!" Tiba-tiba suara perempuan lembut memasuki telinga Dante.
Matanya segera menangkap wajah Tera, salah satu pegawai disini. Wajah kaku Dante segera berubah hangat.
"Saya, membantu mengantar Ibu anda kemari." kata Tera malu-malu. Sebenarnya tidak ada yang meminta bantuannya. Tapi karena mendengar ini adalah Ibu Dante, Tera ingin mengambil kesempatan.
Mendengar hal itu, Dante tiba-tiba tertawa canggung. "Haha, terimakasih banyak. Terimakasih banyak Tera. Aku tadinya ingin menjemput mereka langsung, tapi perutku sedang tidak enak dan beberapa kali harus kebelakang."
Tera yang mendengar hal itu, langsung merasa kasihan. "Yaampun, apa anda memiliki obat? jika tidak aku akan mengambilnya."
Dante tersenyum kali ini, "Kau sangat baik Tera. Tapi tidak apa, lagipula Ibuku sudah ada disini. Bukan begitu Ibu?" kata Dante dengan mata hampir melotot.
Melihat hal itu, Josephine mengerti. Dia pun membantu Dante, berpikir wanita ini mungkin saja disukai Dante, karena sikap anaknya yang tiba-tiba berubah lembut.
"Ya, jangan khawatir Nona."
Dante sangat lega bahwa Josephine bersedia menyetujuinya. Tanpa Josephine tahu, bahwa semua wanita yang membantunya, sebisa mungkin akan Dante jaga perasaan mereka dengan lembut.
"Ah baiklah kalau begitu! saya permisi dulu." Ucap Tera sebelum pergi. Dia bahkan memberikan sedikit gestur menunduk pada Josephine. Membuat Dazen yang melihatnya merasa heran.
Setelah melihat wanita itu akhirnya memasuki Lift, "Cepat! cepat masuk kalian." Dante setengah panik. Hampir saja dia menakuti Tera tadi.
Kalau sampai Tera merasa takut, siapa lagi yang akan membersihkan apartemennya secara sukarela.
Melihat banyaknya barang dengan tas-tas plastik, Dante merasakan sakit kepala. Tapi begitu, dia tetap membantu memasukan sebagian barang.
Kini ketiga orang itu sedang duduk dengan canggung di sofa. "Hey, kau? apa kau memiliki masalah tulang leher? kenapa hanya menunduk terus?"
Dazen yang mengerti itu dirinya, mengangkat kepala secara perlahan. Tatapan kedua Kakak-adik itu bertemu untuk pertama kali.
Bagi Dazen, Dante bahkan terlihat lebih baik secara langsung. Untuk seseorang seperti dia, yang memiliki masalah kepercayaan diri, itu cukup membuat iri.
Sementara bagi Dante, Dazen sebenarnya memiliki fitur wajah yang bagus, hanya saja tersembunyi di balik tebalnya kaca dan model rambut usang.
Bukan tanpa alasan, Dante menilai penampilan. Dia adalah seorang yang narsis, terbiasa merasa lebih baik.
Sementara untuk wanita di sampingnya, Dante tahu bahwa hampir tujuh puluh persen ketampanannya, telah di sumbang oleh wanita itu. Hanya diam-diam merasa bersyukur.
Dengan kedua tangan terlipat di dada, Dante memulai percakapan ... "Jadi, apa maksud untuk kedatangan ini?"
Josephine merasakan penolakan Dante, tapi dia tindak ingin menyerah. Walaupun dia berkata, dia datang untuk menitipkan Dazen! nyatanya yang paling dia inginkan adalah bertemu Dante.
"Dante anakku, sudah lama sekali kita baru bisa bertemu ... kau tahu, Ibu sangatlah merindukan mu. Ibu hanya ...," perkataan Josephine terhenti karena dia mulai menangis lagi.
Sementara Dante, menelan ludah kasar. Dia tidak terbiasa dengan hal-hal emosional seperti ini. Dia mungkin tahu, cara menenangkan wanita. Tapi dia tidak tahu, cara menenangkan seorang Ibu.
Dante tiba-tiba saja berdiri. Dazen pikir, pria itu tidak suka dan akan meninggalkan mereka. Tapi yang nyatanya terjadi, Dante malah mengambil sekotak tisu di bufet TV.
Meskipun tanpa bicara, dia tetap memberikan tisu dengan menaruh di depan Josephine. Hal ini membuat Dazen tertegun. Pembawaan Dante tampak arogan, tapi mungkin seperti yang Ibunya katakan ... 'Dia adalah pria yang baik.' Pikir Dazen.
Hal ini tanpa sadar, membawa sedikit harapan bagi Dazen. Mungkin saja dia memang bisa tinggal bersama pria itu.
"Oke, apa kau sudah bisa bicara dengan tenang?" Penggunaan kata pengganti oleh Dante, memperjelas hubungan mereka yang sudah sangat jauh.
Josephine menyeka pipinya sekali lagi, sebelum mulai bicara. "Dante, ini Dazen adikmu. Dia anak Ibu dalam pernikahan kedua."
Meskipun Dante tidak ingin memanggilnya Ibu, Josephine bersikeras tidak ingin kehilangan statusnya.
Dante yang mendengar hal itu, mengangkat sebelah alisnya. "Langsung saja! tolong."
"Dante ... Ibu ingin menitipkan Dazen padamu."
Dante memundurkan kepalanya karena kaget. Saking kagetnya dia sampai tertawa. "Ada apa ini? apa aku adalah tempat penitipan anak?"
Dazen sebenarnya sudah tidak enak hati mendengar percakapan ini. Apalagi yang dibicarakan adalah dirinya. Tapi dia sadar, dia tidak boleh menyela diantara mereka.
"Dante, Ibu tahu kau tidak akan menyukainya hal ini! hanya saja---"
"Kalau kau tahu? kenapa kau tetap memaksakan hal ini?" Ada sedikit getaran dalam suara Dante. Bagi dia wanita didepannya ini sangat kasar. Pergi selama dua puluh tahun, dan kembali untuk menitipkan saudara tiri. 'Kekurang-ajaran apa ini?' pikir Dante.
"Dante bersama denganmu dia akan aman. Lagi pula, kota ini akan memberikan lebih banyak peluang bagi---"
"Bagi apa? Lalu jika dia tinggal disini! apa dia akan membayar makanannya sendiri? apa dia akan mengambil bagian membayar tagihan? apa kau akan menyokong uangnya, di negara sebesar ini?"
Josephine terdiam. Dia tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Dia hanya melihat kehidupan Dante cukup mampu, jadi mungkin dia bisa sedikit membantu adiknya.
"Sudah cukup! hentikan omong kosong ini. Kalian bisa tinggal disini karena sebentar lagi akan malam. Tapi kembalilah besok pagi-pagi." Dante pun berdiri. Mengambil jaket dan kunci mobil, dia keluar tanpa menatap sedikitpun.
Sementara Josephine langsung terduduk, lemas. Ya, Dante benar! dia sangatlah egois. Dia tidak memberikan tanggung jawab apapun pada Dante, tapi berani meminta sesuatu darinya.
Air mata Josephine keluar, tatkala didengarnya Dazen yang mencoba membujuk. "Ibu, sudah tidak apa. Kita masih punya uang untuk kembali. Tidak apa! jangan menangis. Dia benar! hidup tidaklah mudah, apalagi di Kota besar dan maju seperti ini."
Josephine menatap Dazen sendu, di tangkupnya pipi putra bungsunya itu. "Maafkan Ibu. Menjadi begitu egois untuk kalian. Harusnya Ibu mendengarmu! tapi Ibu terlalu ingin melihat Kakakmu, jadi memaksa. Maafkan Ibu Dazen ... Ibu juga tidak bisa menyediakan tempat aman bagimu."
Air mata Josephine semakin deras, begitu pula dengan Dazen yang ikut menangis. Tidak ada yang bisa disalahkan, semua orang memiliki alasannya masing-masing.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!