[ Notifikasi Baru: Saatnya terkoneksi dengan semua orang di dunia. Download aplikasi dan dapatkan pengalaman baru bersama tipe impianmu! ]
Zaleanna yang sedang merebahkan diri di ranjang empuknya itu harus sedikit terganggu dengan notifikasi yang muncul di ponselnya. Dengan enggan, dia menggulir layar dan membuka notifikasi itu.
Menarik.
Tanpa berniat menimang-nimang lagi, dia mendapatkan aplikasi yang cukup menarik perhatiannya itu dan membuatnya terpasang di ponsel pintarnya.
Cukup membosankan ketika harus terlibat dengan orang-orang yang tidak dia sukai di kehidupannya yang sekarang, mungkin akan menarik jika dia bisa mendapatkan teman baru di dunia maya, dengan hanya saling membalas pesan saja melalui ponsel.
Namun tanpa dia ketahui, keputusannya itu justru membawanya ke sebuah dunia yang begitu asing baginya dan membuatnya tetap harus terlibat dengan orang-orang untuk menjalankan misi.
Dengan antusias dan penuh harapan, dia memulai aktivitas pertamanya di aplikasi itu, dengan mencari teman untuk saling bertukar pesan.
Berhasil mendapatkannya.
Kegiatan berkirim pesan cukup berjalan lancar pada awalnya, dia juga terlihat senang bisa menemukan seseorang yang cukup menyenangkan. Hingga pada akhirnya sesuatu yang tak terduga terjadi.
Semuanya telah berubah.
Tidak ada lagi kamar yang menjadi singgasana kenyamanannya selama ini, juga ponsel digenggamannya telah hilang.
Dia menyadari perubahan itu, akan tetapi tidak mengetahui mengapa itu bisa terjadi padanya. Kini, di depannya adalah sesuatu yang cukup terlihat menyeramkan.
Tempat berdirinya saat ini benar-benar asing baginya.
Dia sendiri tidak begitu membenci sesuatu yang berbau horor, hobinya adalah membaca novel horor dan menonton film horor. Untuk itu, aktivitas mistis yang terjadi di dalamnya terbiasa dia lihat, jadi saat melihat bangunan itu dan menyadari dirinya berada di tempat yang terlihat aneh dia hanya cukup menyadarinya dan menerima itu.
Lebih dari itu, hal yang paling mengejutkan lainnya adalah..
Sejak kapan lima orang itu berdiri di tempat yang sama dengannya?
Zaleanna tidak sempat memikirkan banyak hal, yang jelas dia menyadari bahwa ini bukanlah dunia asalnya!
Mungkin saja nasib baik sedang menunggunya di depan, begitulah pikirnya.
Tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi pesan masuk selayaknya di ponsel disertai dengan sebuah layar transparan muncul di depannya, disana tertulis...
[ Nama Lengkap : Zaleanna ]
[ Nama Panggilan : Alea ]
[ Status : Anggota Tim ]
Kemudian layar itu menghilang.
Dia merasa, ini saatnya untuk keluar dari zona nyaman.
Terdapat sebuah bangunan besar yang tampak kosong dan tidak terawat, bangunan itu sepertinya sudah sangat lama tidak berpenghuni. Terlihat dari bagaimana dindingnya sudah mengelupas, tiang-tiang yang terbuat dari besi sudah berkarat, dan lantai yang begitu kotor.
Mereka perlahan membawa langkahnya memasuki bangunan tua itu, tidak ada yang bersuara diantara mereka hingga akhirnya sampai pada area belakang bangunan itu. Disana, dia merasakan perasaan tidak nyaman dan merasa ada sesuatu yang mendesak rasa penasarannya. Dia melihat teman-temannya yang tengah sibuk memenuhi rasa penasaran mereka dengan menelusuri area sekitar. Saat pandangannya berkeliaran pada setiap sudut area belakang bangunan itu, pandangannya berhenti pada satu buah pohon tua yang berukuran besar yang berada tidak jauh di depannya. Perlahan, dia menghampirinya dan berhenti beberapa langkah dari letak pohon itu berada. Sesuatu sedang berusaha berbicara padanya, dia yang segera menyadari itu seketika memejamkan matanya dan menajamkan telinganya.
Setelah cukup lama mendengarkan suara yang mendesak memasuki pendengarannya, dia menghampiri teman-temannya. “Jangan ada yang menyentuh barang-barang disini”
Dia mengatakan itu sambil menatap mata teman-temannya satu persatu, berusaha meyakinkan mereka untuk mendengarkan himbauannya.
Salah seorang dari mereka menghampirinya, “Al, ada apa?”
Dia menatapnya dan menggeleng pelan lalu menatap kembali teman-temannya. “Kalian bisa melanjutkan perjalanan, tapi ingat untuk berhati-hati”
Ravel mengela nafas lega begitu mengetahui Zaleanna baik-baik saja.
Sebagai seorang ketua, dia memiliki tanggungjawab untuk anggota timnya. Begitu melihat ada anggota yang terlihat sedang tidak dalam keadaan baik, dia akan menjadi orang pertama yang mengkhawatirkannya.
Di bagian belakang bangunan itu, terdapat beberapa bilik toilet yang cukup luas. Anehnya lantai-lantai disana tidak terdapat keretakan sedikitpun, hanya kotor dan berdebu saja, berbeda dengan lantai yang berada di depan bangunan yang sudah retak dan terlihat berantakan. Hanya Zaleanna yang menyadari itu.
Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar dan mendapati tangga yang sudah rapuh dan berkarat yang menghubungkan ke bangunan di atasnya.
Rasa penasarannya membuatnya perlahan melangkah mendekati tangga itu. Setelah menapaki satu-persatu anak tangga namun tidak sampai setengah tangga itu, dia menghentikan langkahnya dan merasakan perasaan aneh yang tidak nyaman yang membuatnya enggan untuk melanjutkan langkahnya menaiki tangga itu.
“Al, hati-hati! Tangga itu kelihatannya sudah rapuh”
Teriakan Ravel membuat teman-temannya memusatkan perhatiannya padanya dan pada Zaleanna yang sedang melangkah turun dari tangga.
Karena akses untuk ke lantai atas hanya melalui tangga itu, mereka tidak memaksakan diri untuk naik ke sana. Bagaimanapun keselamatan tetap menjadi yang utama sebelum mengambil resiko apapun yang akan merugikan keselamatan diri sendiri maupun orang lain.
Saat itu, mereka berniat mengelilingi lantai satu dari arah belakang lalu kemudian sampai di depan gedung untuk kemudian langsung melanjutkan pulang. Namun, sebuah keanehan telah terjadi yang membuat mereka saling menatap satu sama lain. Mereka masih mengingatnya dengan jelas bahwa yang membuat mereka berada di bagian belakang gedung adalah melalui akses pintu depan, namun alih-alih menemukan kembali pintu depan itu mereka kembali berada di bagian belakang gedung. Dan itu tepat di area toilet yang terdapat pohon besar.
“Kenapa kita kembali kesini?”
“Kamu bertanya ke siapa? Semua orang disini juga merasakan kebingungan yang sama denganmu”
Para anggota saling berdebat.
Mereka semua terlihat lelah dan frustasi, pasalnya ini sudah ketiga kalinya mereka kembali berada di tempat yang sama dan tidak berhasil menemukan pintu keluar. Bangunan itu begitu luas, sehingga berkeliling sebanyak tiga putaran sudah cukup menguras tenaga.
Dia dengan cepat menyadari ada sesuatu yang sedang mempermainkan dirinya dan teman-temannya, tetapi itu bukan sesuatu yang berbentuk objek dan dapat terlihat. Untuk itu, dia perlahan membawa langkahnya berjalan-jalan kecil di area itu sambil melihat-lihat sekitar dengan hati-hati. Berharap apapun yang ada disana bisa memberikan jalan keluar.
Pandangannya menangkap sesuatu yang berada jauh di atas tempatnya berdiri. Saat itu dia baru menyadari bahwa ‘sejak kapan ada bukit di depannya?’. Dan tempat dimana dia berdiri menjadi dataran rendah sehingga dapat melihat apapun yang terjadi di atas bukit itu.
Dia melangkah untuk lebih mendekat, dan menajamkan penglihatannya untuk melihat sesuatu yang cukup membuatnya penasaran dan bertanya-tanya.
Mengapa dua orang itu duduk di depan perapian yang membara?
Disana, terlihat dua orang yang tengah duduk santai di depan api yang berkobar. Api itu sangat merah dan terlihat mengepulkan asap panas. Tetapi, ekspresi orang-orang itu terlihat biasa saja, seakan panasnya api tidak berarti apa-apa untuk mereka. Padahal cuaca sedang tidak dalam keadaan mendung atau hujan tetapi begitu terik karena sinar matahari tepat berada di atasnya.
Disisi lain, teman-temannya sudah mengerubunginya yang sedang berdiri melamun mendongkakkan kepalanya jauh ke depan.
“Alea!”
Lagi-lagi, Ravel terlihat begitu mengkhawatirkannya. Dia menepuk-nepuk pipi Zaleanna, dan satu temannya yang lain mengguncang-guncangkan pelan tubuhnya.
Entah itu dapat dikatakan sadar atau tidak, dia mengatakan sesuatu yang berhasil membuat teman-temannya bingung sekaligus terkejut.
“Bukannya itu sangat panas”
Ravel yang kebingungan bertanya padanya, “Apa?”
“Di depan sana, apa kalian tidak melihatnya?”, dia mengatakan itu sambil menunjuk ke arah bukit yang hanya dia yang bisa melihatnya.
Pertanyaan Zaleanna seketika membuat bulu kuduk teman-temannya berdiri. Rasa takut telah benar-benar menghantui mereka. Sebab apa yang dikatakan Zaleanna tidak dapat dilihat oleh mereka. Dalam pandangan mereka tidak ada apapun disana, hanya ada gerbang besi berkarat yang sudah terlihat rusak dan ditumbuhi semak belukar. Tidak ada objek lain yang berada disana selain itu.
Sesaat kemudian setelah menyadari bahwa penglihatannya berbeda dengan penglihatan teman-temannya, dia menatap nanar teman-temannya dan membuang nafas perlahan.
Hari sudah semakin gelap, dan bangunan itu pun semakin terlihat menyeramkan. Hanya mengandalkan bantuan pencahayaan dari senter yang di bawa masing-masing oleh mereka untuk menerangi sekitar.
Atas arahan dari Ravel, semua orang berkumpul di tengah ruangan. Mereka duduk berdekatan, membentuk sebuah lingkaran. Beberapa orang sedang menggenggam tangan satu sama lain, saling memberi kekuatan ditengah-tengah ketakutan, yang lainnya ada yang memeluk lututnya seraya menenangkan diri dengan memeluk tubuhnya sendiri, sisanya terlihat menggosok-gosokan kedua telapak tangan seraya membuat kehangatan untuk menghalau dinginnya malam yang semakin menusuk kulit.
“Kita mau sampai kapan berada disini?”
Salah seorang dari mereka yang bernama Aurevy menatap teman-temannya, mengharapkan solusi atas pertanyaan yang saat ini sulit menemukan jawabannya.
“Mengapa mereka suka sekali membuat manusia tersesat seperti ini”
“Karena memang itulah tugasnya”
Ravel menimpali pertanyaan yang Danzel lontarkan, seketika membuat suasana diantara mereka hening seketika. Danzel yang memang terkenal suka becanda, hanya menanggapinya dengan cengengesan. Dia tau pertanyaannya itu hanya iseng, tapi dia tidak menduga akan di respon secepat itu oleh Ravel yang notabenenya terkenal serius dan tegas.
Ravel mengalihkan pandangannya pada Zaleanna, dia melihat gadis itu yang kini tengah memeluk lututnya dan menelungkupkan setengah wajahnya.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu, kemudian memposisikan dirinya dengan siap untuk berbicara dengan mereka.
“Kita akan segera mendapat jawaban untuk masalah yang saat ini kita hadapi”
Seketika teman-temannya menatapnya, ada sebuah harapan di wajah mereka namun juga ada kekhawatiran disana.
“Alea, apa kamu ingin menyampaikan sesuatu?”
Teman-temannya spontan melirik Zaleanna, setelah Ravel mengatakan itu padanya.
Dia memposisikan dirinya untuk duduk bersila, raut wajahnya masih terlihat datar. Zaleanna menatap Ravel seakan meminta persetujuannya untuk bercerita, Ravel mengangguk.
“Sesuatu telah terjadi di bangunan ini, beberapa tahun yang lalu”
Mereka menegang.
“Tapi aku tidak bisa mengetahui itu. Jika bukan mereka sendiri yang menginginkan untuk mengatakannya, aku tidak bisa berkomunikasi lebih dulu”
“Itu artinya, selama mereka tidak mau mengatakan apapun, kita tidak akan bisa keluar dari tempat ini?”
“Hanya ada satu cara”
Mereka menantikan itu.
“Salah satu dari kita harus mengorbankan diri”, meski dia ragu-ragu mengatakannya tetapi itulah yang harus dia katakan. Karena suara yang dia dengar itu mengatakan demikian.
“Shit! kenapa harus mempertaruhkan nyawa?”, Elzilio terlihat emosi, dia tidak terima dengan itu.
“Ravel, ini sudah tidak benar. Kita harus keluar dari sini sekarang juga, atau mereka akan membunuh kita”
Mereka berhamburan tak tentu arah. Berlarian mencari pintu keluar, namun naas mereka tetap kembali ke tempat semula. Mereka mulai frustrasi dan menyalahkan satu sama lain.
Ravel kembali menginterupsi, menenangkan situasi yang berubah kacau itu.
“Jika kita seperti ini, itu akan membuat mereka senang dan semakin bermain-main dengan kita. Untuk itu, dalam situasi seperti ini penting bagi kita untuk tetap menjaga akal sehat”
Meski sedikit enggan, perlahan mereka mendengarkannya.
“Dengarkan dulu Alea bicara, kita sudah hampir mendapatkan jawaban dari petunjuk yang penunggu disini katakan pada Alea”
Zaleanna menghela nafas berat, melihat teman-temannya yang sedang dikuasai emosi menatapnya tajam, perasaannya sedikit tak terima. Tentu bukan keinginan dia untuk mengatakan hal itu, tetapi dia sendiri tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan apa adanya, dan juga tidak menduga situasi akan dengan cepat berubah kacau seperti itu.
“Aku akan mencoba cara lain. Kalian hanya perlu berada di sekitarku dan memegang tanganku jika nanti tubuhku mulai bereaksi”
Dengan setengah tidak percaya namun juga ada setitik harapan, teman-temannya menyetujui hal itu dan menghampirinya untuk lebih dekat berada di sekitarnya.
Dia memejamkan mata, nafasnya begitu tenang. Saat pikirannya sudah terkendali, perlahan dia mulai memasuki pintu tak kasat mata.
Terlihat orang-orang berhamburan dan berlarian ke luar dari sebuah bangunan. Begitu banyak orang yang memenuhi gedung itu hingga saling berdesak-desakkan dan membuat keributan. Seseorang terlihat berlari tergopoh-gopoh dari dalam dan mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah terbangun dan akan membuat kekacauan. Mendengar itu, semakin paniklah mereka.
Dalam perjalanan lintas dimensi itu dia mendengar desas-desus bangunan tua ini. Di ceritakan sebelum bangunan ini ditinggalkan, terakhir kali dipakai untuk sebuah pertunjukkan teater dan semacamnya, tiba-tiba ada seseorang yang mengatakan bahwa sesosok makhluk aneh terbangun dan mencoba menerkam mereka, rumor itulah yang menyebabkan orang-orang keluar dari gedung dan berhamburan keluar meninggalkan teater yang masih berlangsung itu.
Tubuhnya menegang, teman-temannya lantas memegang tangannya sesuai dengan arahannya sebelumnya.
Dalam kerusuhan itu, tubuhnya turut berdesakan dengan orang-orang. Namun dia tidak ikut berlari seperti mereka, dia hanya diam dan menatap gedung di depannya itu.
Begitu langkahnya perlahan berjalan memasuki gedung itu, dia semakin bisa merasakan dorongan yang begitu kuat, seakan menariknya untuk masuk namun juga berusaha menendangnya keluar.
Dalam kekalutan itu, dia bisa melihat sebuah tangan berwarna hitam pekat dan menampakkan urat nadinya, perlahan memanjang keluar dari dalam gedung itu, seperti berusaha mencapai sesuatu namun tertahan oleh sesuatu di belakangnya sehingga tangan itu hanya bergerak-gerak dan diam di tempat, tidak maju juga tidak mundur.
Matanya berusaha meneliti dengan baik apa yang sedang dia lihat itu, dan begitu fokusnya benar-benar sudah berada lebih dekat pada objek mengerikan itu, seakan ada energi yang mendorongnya menjauh. Alhasil, tubuhnya terdorong ke belakang.
Saat itu juga dia membuka mata, dan pandangannya menegang. Teman-teman disekelilingnya menatapnya khawatir dan gelisah.
“Bagaimana?”, tanya Ravel hari-hati begitu melihatnya telah sadar.
“Ada sesuatu yang berusaha keluar dari tempat ini”, hanya itu yang bisa dia sampaikan pada teman-temannya, karena jika dia mengatakan semua yang terjadi dalam perjalanan lintas dimensi itu dia rasa teman-temannya akan sulit memahaminya, jadi dia hanya menyimpulkan garis besarnya tentang sesuatu yang terasa begitu janggal.
Zaleanna memijat kepalanya karena rasa sakit yang begitu kuat tiba-tiba menyerangnya. Ravel yang dengan cekatan menyadari itu meminjamkan bahunya untuk Zaleanna bersandar, kemudian dia beralih mengambil air mineral dari dalam tasnya.
Ravel membuka tutup botol itu dan memberikannya padanya, “Minumlah”
Lantas Zaleanna meraih air itu dan meminumnya perlahan.
Dia menyadari energinya telah habis setelah melakukan perjalanan lintas dimensi itu, kini tubuhnya terasa begitu lemas.
Akhirnya, Ravel membantu membaringkannya dengan posisi yang lebih nyaman.
Melihat kondisinya yang seperti itu muncul perasaan khawatir dalam hatinya, dia begitu menyesal karena membiarkan salah satu anggota timnya melakukan sesuatu yang berbahaya bahkan mengancam keselamatan.
Hidup di tengah-tengah keluarga yang masih menghargai tentang hal-hal spiritual, membuat Ravel tentu saja memahami bagaimana konsekuensi yang akan di alami setelah berkomunikasi dengan makhluk di dunia lain. Kakek dan neneknya yang telah memberitahunya.
Membiarkan Zaleanna beristirahat, dia beralih pada teman-temannya dan menangkap gerak-gerik Danzel yang terlihat sedang mencari sesuatu.
“Danzel, apa yang sedang kamu lakukan?”
Danzel yang mendengar panggilan itu langsung menghampiri Ravel, di wajahnya tergambar jelas ekspresi serius sekaligus penasaran, “Sesuatu berusaha keluar dari tempat ini. Tidakkah kamu penasaran dengan itu?”
Pemuda yang terkenal karena gemar becanda itu kini nampaknya sedang serius, terlihat dari bagaimana dia sudah beralih duduk kembali bersama teman-temannya yang lain.
“Lalu apa yang barusan kamu lakukan?”
“Tentu saja mencarinya, aku pikir itu akan tersembunyi di sudut-sudut ruangan”
Kini, teman-temannya merasa sia-sia karena telah mengira Danzel berhenti bermain-main dan berubah serius. Nyatanya dia masih sudi menggunakan energinya untuk melakukan lelucon yang kekanak-kanakkan di situasi seperti ini.
“Ey, kalian tidak mempercayaiku?, dia terlihat tidak terima karena respon yang ditunjukkan teman-temannya di luar ekspektasinya.
“Aku rasa itu sesuatu yang tidak terlihat, jadi tidak akan bisa ditemukan hanya dengan mencarinya di sudut ruangan”, Mavin menimpalinya.
Mavin memiliki sedikit kepekaan terhadap hal-hal misterius yang memiliki korelasi dengan hal lainnya yang cukup logis, dia yang selalu bertindak logis mencoba berpikir lebih mendalam, menyambungkan petunjuk yang telah diperoleh Zaleanna dengan situasi yang ada.
“Sesuatu yang tidak terlihat? Apa itu?”
“Danzel, berapa umurmu? Haruskah di usiamu yang sekarang perlu diberikan pemahaman mengenai hal itu? Sudah jelas itu adalah hantu, apa lagi yang kamu harapkan?”, Elzilio yang sangat tidak bisa toleran dengan sesuatu yang memicu tingkat kesabarannya itu akhirnya bersuara.
Semua tatapan mata mengarah padanya, bagaimana bisa Elzilio mengatakan kata ‘hantu’ dengan begitu santai.
Danzel yang sepertinya menganggap malam ini adalah hari sialnya, hanya bisa berpasrah diri ketika teman-temannya menyerangnya secara verbal.
Adapun Ravel, dia hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap teman-temannya itu. Sebagai yang paling tertua, dia cukup terbiasa dengan karakteristik masing-masing dari mereka. Tak sedikit dirinya dibuat marah karena ulah sembrono mereka, namun lagi-lagi dia tak sampai hati memarahi mereka, yang biasa dia lakukan adalah memberinya teguran dengan penuh pengertian. Seperti itulah seharusnya seorang ketua bersikap.
Malam sudah begitu larut saat Zaleanna terbangun dari tidurnya. Setelah rasa sakit yang hebat di kepalanya itu, secara naluriah dia mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur. Begitu terbangun, meski kepalanya masih sedikit terasa sakit namun itu tidak seburuk sebelumnya.
Dia melihat sekitar, namun betapa terkejutnya dia saat menyadari bahwa teman-temannya tidak ada disana.
Kemana mereka semua pergi?
Zaleanna tidak berpikir mereka meninggalkannya, karena tas dan perlengkapan lainnya milik mereka masih berada disana.
Dia bangkit, sambil dengan menyesuaikan tubuhnya yang sedikit limbung, penglihatannya perlahan dia sesuaikan selaras dengan pemandangan sekitar yang remang-remang dan berdebu.
Langkahnya terus berjalan, mencari keberadaan mereka. Karena posisinya masih ada di belakang area gedung, lebih tepatnya dekat area bilik toilet, dia berniat mencarinya disana.
Namun dia tidak menemukan apapun.
Perasaannya kian berkecamuk, berbagai kekhawatiran menghantui pikirannya, namun Zaleanna tidaklah begitu lemah untuk mengontrol dirinya sendiri. Setelah mendapatkan kekuatan berkat dari kegiatan tidur yang dia lakukan, energinya cukup untuk melawan desakan negatif di sekitarnya.
Dia mencoba berpikir dengan hati-hati, menemukan cara yang tetap, namun tiba-tiba...
Bunyi notifikasi terdengar di depannya disertai dengan layar transparan bercahaya yang menampilkan beberapa teks disana.
[ Nama Lengkap : Zaleanna ]
[ Nama Panggilan : Alea ]
[ Informasi tambahan : Berteman dengan orang asing tapi baik atau berteman dengan orang yang sudah di kenal tapi jahat ]
Apa maksudnya?
Dia begitu bingung sekarang, kepalanya berusaha mencerna apa yang tertulis di layar itu. Tiba-tiba sebuah ingatan terlintas di kepalanya.
Bukankah itu teks yang pernah dia kirim kepada salah seorang teman asing yang dia temui di aplikasi chatting itu?!
Dia kembali berpikir dengan keras, berusaha mencari jawaban dari kebingungannya saat ini.
Dan berhasil.
Setelah layar itu hilang dari pandangannya, saat itu pula dia berlari mencari keberadaan teman-temannya.
Pencarian itu dia lakukan hingga ke semak belukar, juga mengelilingi bangunan itu. Saat kembali tiba di belakang, entah dari mana asalnya tiba-tiba asap tebal melingkupi area sekitar. Pandangannya seketika terganggu, dia tidak bisa melihat dengan jelas area di sekitarnya.
Sayup-sayup dia mendengar suara dari arah belakang, sontak dia berbalik untuk melihatnya. Meski masih terhalang oleh kabut, dia berusaha menghalaunya dengan mengibas-ngibaskan mengunakan tangannya.
Dia terbatuk karena asap yang semakin tebal itu menyelimuti dirinya, nafasnya sedikit tersenggal tetapi dia berusaha untuk mengontrol dirinya tetap dalam keadaan sadar.
Pendengarannya menangkap suara rintihan seseorang, lantas dibawanya tubuhnya menerobos kabut tebal itu.
BOOM!
Lemari kaca tiba-tiba saja meledak, pecahan kacanya mengenai tubuhnya dan membuat beberapa luka disana. Dia mendesis menahan rasa sakit yang menusuk itu.
Hanya beberapa luka kecil seperti itu tidak lantas membuatnya menyerah ataupun menangis, dia terlahir sebagai anak tunggal yang terbiasa mandiri, sehingga dia menghiraukan dirinya yang terluka dan melanjutkan mencari keberadaan teman-temannya.
Tolong, aku hanya ingin menemukan orang-orang asing yang baik itu. - Suara hatinya
Meski dia berusaha kuat, dengan apa yang dia alami, cukup membuatnya frustrasi.
Kabut itu perlahan menghilang, kegelapan kian terasa saat dengan seketika area sekitar kembali seperti keadaan semula.
Saat itulah dia bisa melihat mereka dalam keadaan terikat dengan tampilan yang sangat menyakitkan.
Dengan tidak sabar dia membuka tali yang mengikat mereka, tali itu begitu kuat hingga dia harus menggunakan tenaga ekstra untuk membukanya.
“Alea..”, rintih Ravel dengan lesu, karena telah di ikat cukup lama.
Dengan tertatih-tatih mereka saling memapah satu sama lain untuk kembali ke ruangan yang mereka singgahi sebelumnya. Dan Zaleanna memapah Ravel dengan hati-hati.
Disana mereka kembali berkumpul. Itu cukup membuatnya lega karena tidak ada yang kurang apapun dari mereka. Hanya beberapa luka yang meninggalkan goresan, namun itu tidak sampai begitu parah.
Dengan sisa persediaan air yang ada, Zaleanna memberikan pada mereka secara bergantian.
Dilihat dari luar, itu jelas bahwa wajah mereka pucat dengan beberapa lebam disana. Zaleanna meringis melihat itu, namun dia lupa bahwa dirinya sendiri juga tengah terluka.
Namun, saat ini hanya Zaleanna yang secara keseluruhan masih dalam keadaan sadar dan baik-baik saja, untuk itu dia dengan inisiatif membantu membersihkan luka mereka.
Setelah keadaan dirasa cukup membaik, dengan hati-hati dia bertanya pada mereka.
“Apa yang terjadi?”
Ravel yang masih dalam posisi bersandar, kini beranjak untuk berusaha duduk. Zaleanna yang melihat itu pun membantunya.
"Luka mu juga harus diobati", dengan salah satu tangan yang sudah menggenggam alkohol, dia membawa satu tangan lainnya mengusap lembut luka di tangan Zaleanna menggunakan selembar tisu.
Tindakan itu, sedikit membuat Zaleanna terpaku ditempatnya.
Setelah selesai dengan itu, Ravel kembali memposisikan dirinya untuk menjawab pertanyaannya.
Nampak raut wajah teman-temannya sedikit ketakutan, seperti tidak siap dengan apa yang nanti akan Ravel katakan.
Setelah kejadian tiba-tiba itu, cukup membuat mereka trauma. Saat bagaimana makhluk itu dengan paksa menyeret tubuh mereka ke semak-semak dan membantingnya dengan kasar, menyakiti hingga sempat tak sadarkan diri kemudian mengikatnya.
“Di bangunan ini, ada sesosok makhluk aneh”
“Seperti apa?”, dengan ragu-ragu Zaleanna bertanya, ingin memastikan sesuatu.
Sejujurnya Ravel tidak ingin menjelaskan secara rinci perwujudan makhluk itu, dia hanya tidak ingin Zaleanna mengetahuinya. Meski dia tau Zaleanna adalah individu terpilih yang bisa melihat makhluk-makhluk seperti itu tetapi tetap saja ada perasaan tidak ingin gadis satu-satunya di tim nya itu merasakan ketidaktenangan karena terus membayangkan sosok mengerikan itu. Lantas, Ravel hanya menunduk.
Zaleanna menyadari perubahan itu.
Danzel yang gemar becanda, namun saat ini juga sedang terluka dan tidak memiliki kekuatan untuk membuat lelucon apapun, mengatakan dengan rasa takut yang masih tertinggal di dalam dirinya, “Itu benar-benar mengerikan. Bukan makhluk seperti hantu yang sudah jelas bentuk dan statusnya, tapi lebih seperti monster tanpa kulit dengan tubuh yang melengkung. Anggota tubuhnya berserat seperti terbentuk dari lilitan akar pohon yang sudah sangat tua, begitu cokelat namun juga hitam pekat. Tangan dan kakinya elastis, bisa memanjang juga bisa kembali seperti keadaan semula. Hanya ada sedikit helaian rambut di kepalanya selebihnya itu terlihat seperti tengkorak hidup, dengan kedua bola mata menonjol dan memerah”, Danzel berhenti sebentar untuk membuang nafas, mengerucutkan ekspresi wajahnya dan menggeleng, “Aku tidak sanggup untuk menjelaskannya lagi”
Zaleanna membeku.
Kini, bukan hanya dirinya yang telah melihat makhluk itu tetapi teman-temannya juga telah diperlihatkan wujud makhluk yang tidak pernah ingin dia lihat ataupun ceritakan pada mereka itu. Tetapi setelah mengetahui bahwa sosok itu juga menampakkan wujud pada teman-temannya, sejenak membuatnya berpikir bahwa dugaannya benar, makhluk itu sengaja menyesatkan mereka dan mempermainkan mereka.
Tepat setelah dia melakukan perjalanan lintas dimensi beberapa jam yang lalu, itu adalah kali pertamanya dia melihat sosok makhluk yang baru saja Danzel jelaskan.
Sekarang dia mengerti, sosok itu adalah jawaban dari terjebaknya dia dan teman-temannya di bangunan kosong ini.
Malam hari yang terasa begitu panjang, bahkan sudah dia lewati dengan tertidur tetapi mentari pagi tak kunjung menyinari tempat ini.
Jelas ini aneh.
Dia mencoba mengingat kembali semua yang telah dia lalui di bangunan tua ini dan mengaitkannya satu sama lain, mencoba mencari titik jawaban untuk bisa keluar dari jebakan ini.
Api digunakan untuk membakar, dan meski bilik toilet ada begitu banyak tetapi tidak sedikitpun terlihat air di dalamnya, lantai yang hancur dan retak hanya terdapat di area belakang dan toilet, bangunan yang di design melingkar seakan berusaha membuat seseorang sulit menemukan jalan keluar dan terpaksa kembali ke tempat semula, pohon tua yang semua akarnya menonjol ke luar seakan berusaha menjerat sesuatu untuk masuk ke dalamnya. Semua kebetulan itu begitu tersusun dengan rapi dan saling keterkaitan satu sama lain, semakin menyadarinya semakin itu terasa aneh.
Sontak Zaleanna melebarkan matanya, tubuhnya sedikit mengejang, bibirnya terasa kelu untuk mengeluarkan suara.
Semua ini jelas menggambarkan pada aktivitas pembakaran, dan sesuatu yang di bakar tersebut berlari ke dalam toilet untuk menghentikan api yang menyelimuti tubuhnya, kemudian entah apa yang terjadi setelahnya pada akhirnya membuat begitu banyak kekacauan di toilet hingga menyebabkan lantainya retak dan hancur. Ada alasan dibalik tubuh sosok itu yang terlihat seperti akar yang melilit tubuhnya, itu menjelaskan bagaimana sesuatu itu telah keluar dari tempatnya. Apakah ini alasan mengapa pohon tua itu mengatakan bisikan padanya bahwa jangan ada yang menyentuh benda-benda disini.
Zaleanna menatap nanar teman-temannya, tepat di sorot mata mereka.
“Apa ada diantara kalian yang menyentuh barang-barang di tempat ini?”, itu adalah sebuah pertanyaan akan tetapi terdengar seperti sebuah perintah yang menuntut seseorang yang melanggar himbauannya itu mengatakan yang sejujurnya.
Masih tidak ada yang bersuara, mereka saling menatap satu sama lain.
Hingga akhirnya seseorang terlihat mengangkat tangannya dengan sedikit ragu-ragu.
Semuanya membeku.
Tidak ada yang berani bersuara ataupun mengangkat kepalanya untuk menghadap ke depan, setelah Mavin mengangkat tangannya dengan kepala yang tertunduk.
Seakan ada dorongan negatif di belakangnya, Zaleanna melangkah mendekati Mavin, dan berdiri tepat di depannya.
Dia berusaha menghalau energi negatif yang berusaha untuk masuk ke dalam tubuhnya, dia tau bahwa sesuatu sedang berusaha membuatnya melukai Mavin sebagai akibat dari larangan yang sudah dia langgar. Setelah berhasil, dia menetralkan kembali perasaan dan emosinya.
“Mavin, barang apa yang kamu sentuh?"
Itu adalah sebuah guci antik peninggalan kuno berukuran kecil yang terdapat huruf yunani yang terukir dengan rapi disana. Jika bukan karena guci itu akan terlihat jatuh, Mavin tidak akan menyentuhnya. Karena dia juga masih mengingat himbauan Zaleanna untuk tidak menyentuh apapun. Akan tetapi pada akhirnya bukan hanya menyentuhnya, Mavin membawa benda itu bersamanya.
Dia mengeluarkan itu dari dalam tasnya.
“Kita dalam masalah”, Zaleanna harus mengatakan itu dengan menyesal.
“Gila! Apa kamu mau kita semua mati?”, Elzilio yang tersulut emosi langsung naik pitam melihat fakta itu dan menyambar kerah baju Mavin. Dia yang paling membenci tempat ini dan begitu sering mengatakan keinginan untuk pulang, harus menerima kenyataan bahwa keinginannya terpaksa kembali terhambat.
Elzilio melepaskannya dengan kasar. Dia mengusak rambutnya gusar dan berlalu dari hadapan mereka.
“Elzilio!”, Aurevy mengejarnya.
Zaleanna meminta Mavin untuk berbicara dengannya untuk menjelaskan semuanya.
Setelah mendapatkan keterangan itu, dia tau bahwa itu tidak sepenuhnya kesalahan Mavin.
Ketidaksengajaan memang sering dilakukan manusia, karena manusia tidak pernah bisa memprediksi apa yang akan terjadi di waktu berikutnya. Adapun mengenai guci itu dibawa bersamanya, tentu saja itu karena manusia menyukai keindahan secara visual, dan Mavin telah menggunakan kesempatan itu untuk bisa memiliki keindahan yang ditangkap panca indranya.
Dengan penuh pengertian dia membuat Mavin untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri, dan dia akan membantu menyelesaikan masalah ini.
Adapun Mavin, tidak mempedulikan jika dirinya mendapatkan kesialan karena mengambil benda itu, tetapi yang membuatnya semakin merasa bersalah adalah ketika Zaleanna dengan sikapnya yang dewasa mencoba mengatasi masalah yang telah dilakukan olehnya dengan tetap tenang.
Detik ini, Mavin menyadari bahwa Zaleanna adalah seseorang yang benar-benar membuktikan bahwa menjadi dewasa dalam mengatasi masalah itu sangat penting.
Dengan membuat sosok itu kembali ke sarangnya, maka harus melakukan sesuatu untuk mewujudkan itu. Sesuai arahan Zaleanna kini mereka semua tengah mempersiapkan kayu bakar untuk menyalakan api.
Api itu dengan cepat melahap kayu bakar kering yang sudah mereka susun dengan teratur, kobarannya menghangatkan dinginnya malam yang terasa begitu panjang.
Tiba-tiba terdengar jeritan yang menyeramkan dari balik bangunan itu. Meski berdurasi sebentar tetapi itu cukup membuat mereka semua terperanjat, bahkan Danzel sempat memaki. Hanya Ravel dan Mavin yang terlihat tetap tenang, tidak bergitu terpengaruh dengan suara yang tidak jelas keberadaannya itu.
Zaleanna mengedarkan pandangannya menerawang sekitar, “Sepertinya ini cukup berhasil”
Dari buku yang pernah dia baca, itu mengatakan bahwa perapian dapat memicu entitas negatif. Meski tidak benar-benar menghilangkannya tetapi itu cukup mampu menghalau keberadaannya.
Beberapa dari mereka terlihat menghangatkan tubuh dengan berdiri di sekitar api sambil menunggu proses selanjutnya dilakukan. Kecuali Zaleanna, yang kini sedang memandangi guci yang berada ditangannya.
Mavin mendekatinya dan turut melihat guci itu, “Apa ada sesuatu?”
Zaleanna menggeleng lesu, dia sudah memeriksa keadaan guci itu dan mencoba berkomunikasi dengannya jika memang tersimpan energi negatif, akan tetapi tidak ada entitas negatif di dalamnya. Sejenak dia bingung, mengenai alasan tidak diperbolehkannya menyentuh barang-barang di gedung ini yang padahal itu tidak terdapat apa-apa.
Sekilas, guci itu terlihat biasa saja seperti guci pada umumnya. Hanya terdapat retakan kecil namun tidak sampai membuatnya pecah.
Dengan sedikit kecewa dia menaruh kembali guci itu dan beralih menghampiri yang lainnya.
Zaleanna menangkap pemandangan itu. Teman-temannya terlihat lelah, terpatri jelas di wajah mereka sebuah harapan untuk pulang namun juga terdapat semburat keputusasaan yang tak dapat dijelaskan.
Dia bertekad bahwa ritual yang cukup aneh ini harus dilakukan dengan baik. Mungkin ini merupakan salah satu jalan keluar untuk saat ini, setelah apa yang energi tempat ini perlihatkan padanya.
Zaleanna mengambil tempat, dia menginstruksikan yang lainnya untuk duduk. Kini mereka duduk melingkari perapian itu.
Hanya ada enam orang disana namun bayangannya lebih dari itu, Zaleanna yang menyadari itu hanya diam agar tidak membuat kepanikan.
Tetapi...
Mengapa perasaan ini terasa familiar baginya, Zaleanna menautkan kedua alisnya. Perlahan matanya terpejam. Dan akhirnya dia menemukan apa yang dia pertanyakan.
Situasi sekarang ini, di depan perapian yang panas itu...
Jarak mereka cukup dapat dikatakan dekat dengan letak perapian itu, namun tidak sedikit pun dia ataupun yang lainnya merasakan tidak nyaman karena api besar yang berkobar itu yang sesekali menyembur ke arah mereka.
Situasi ini seperti...
Sekarang dia paham maksud dari penglihatannya pada bukit yang tinggi itu, ketika orang-orang itu tidak merasakan panas padahal api sedang membara di dekatnya.
Karena, saat ini dia sendiri telah merasakannya. Udara di tempat itu benar-benar berbeda.
Zaleanna mengeluarkan suara, “Aku tidak bisa menjamin keberhasilan dari aktivitas ini”, dia menjeda kalimatnya sejenak, “Tapi aku yakin kita bisa melewatinya”
Mereka menaruh harapan padanya, semburat harapan itu terpancar dari balik cahaya api yang menerangi wajah mereka.
Pemandangan yang tidak terduga itu cukup membuat Zaleanna menelan ludah. Betapa dirinya kini tengah menjadi pusat tatapan dari sorot mata teman-temannya.
Di tatap seperti itu seketika perasaan asing menjalar ke seluruh tubuhnya.
Zaleanna kembali fokus, kemudian dia menyuruh teman-temannya untuk menggenggam tangan satu sama lain.
“Aku akan melakukan perjalanan lintas dimensi, dan mencari keberadaan monster itu untuk aku arahkan ke tempat asalnya”
“Dimana tempat asalnya?”, Danzel bertanya dengan polos.
“Itu baru akan dimulai pencariannya. Ada apa dengan pertanyaanmu?”, Elzilio yang begitu mudah terdistraksi melayangkan kalimat sinis untuk menyadarkan si penanya.
Zaleanna menanggapi itu dengan tersenyum, membuat agar Danzel tidak merasa sia-sia dengan pertanyaannya, “Aku akan mencarinya”
Danzel mengangguk.
“Seperti sebelumnya, jika aku mulai bereaksi kalian hanya perlu menggenggam tanganku. Dan jika nanti ada suara-suara aneh jangan sampai terpengaruh, tujuan mereka adalah mengganggu kita, maka tugas kita untuk tetap fokus pada tujuan kita. Dan ingat, jangan lepaskan pegangan tangan kalian selama aku belum bereaksi”
“Kami mengerti”, Aurevy mengangguk dengan penuh keyakinan di hati, seraya mewakili teman-temannya.
Lantas, Zaleanna mempersiapkan dirinya sebelum akhirnya memejamkan mata. Saat baru saja dia akan melakukan itu, seseorang bersuara.
“Alea, hati-hati..”, Ravel menatapnya, terpancar kekhawatiran disana.
Zaleanna meresponnya dengan anggukan lembut.
Kapan terakhir kali seseorang mengatakan hal-hal seperti itu padanya? Ah, dia rasa ini pertama kalinya.
Zaleanna tersenyum hangat dalam hatinya.
Dalam perjalanan yang cukup tenang itu, dia melihat-lihat sekitar, pandangannya tidak berhenti pada satu titik saja tetapi menyebar ke segala arah.
Lagi-lagi dia kembali dibawa ke tempat dimana dia melakukan perjalanan lintas dimensi, saat pertama kali ke bangunan terbengkalai itu bersama teman-temannya.
Dia melihat memang sedang ada pertunjukan teater, yang diperankan oleh objek bernama manusia. Awalnya tidak ada yang aneh namun begitu sampai pada adegan yang memperlihatkan beberapa orang tengah mengelilingi satu orang sambil mengeluarkan nyanyian yang sama sekali tidak dia mengerti, cukup mengeluarkan rasa penasarannya. Setelahnya adegan berlanjut pada tungku perapian dengan bentuk memanjang itu dinyalakan dan orang yang dikelilingi tadi diangkat dan di taruh diatas perapian itu. Meski itu hanyalah adegan rekaan dan semua properti terbuat dari bahan yang lunak dan tidak berbahaya akan tetapi itu terasa begitu nyata.
Ekspresi orang-orang yang memerankan terlihat datar dan biasa saja, bahkan tidak ada sedikit pun rona merah di wajah pucat mereka.
Itu membuatnya bergidik ngeri.
Melihat para penonton yang masih tenang menyaksikan teater itu membuatnya sedikit yakin bahwa itu hanyalah teater biasa. Namun semua itu seketika berubah saat seseorang dari balik layak keluar dengan terbirit-birit dan keringat yang sudah membasahi wajahnya.
Dia berlari ke arah penonton dan mengatakan sesuatu yang membuat penonton seketika panik dan berhamburan keluar, hingga menciptakan kegaduhan di dalam ruangan pertunjukkan teater itu.
Sesuatu telah bangun dan berusaha menyerang!
Begitulah teriakan orang itu.
Zaleanna membeku di tempatnya. Sesuatu seperti apa itu?
Tak ingin lama-lama berpikir, dia bergegas berlari. Ke belakang panggung itu, tempat seseorang yang berlari itu berasal.
Karena itu di dunia lain, maka dia akan dengan mudah melewati orang-orang yang berdesakan itu.
Para pengunjung teater itu beragam, anak kecil hingga orang tua semuanya ada dalam tangkapan penglihatan Zaleanna.
Apakah pihak teater tidak membatasi umur dalam menonton pertunjukkannya? Kenapa anah kecil di suguhkan tontonan yang terkesan men-trigger itu.
Menghiraukan pemikiran itu, dia melanjutkan langkahnya.
Tempat itu begitu gelap dan tidak ada orang disana, dia terus mencari kemungkinan yang terasa janggal.
Dalam pencariannya, dari balik kegelapan yang begitu pekat itu, sesosok makhluk terlihat keluar dari sana. Dengan memperlihatkan bayangannya terlebih dahulu sebagai pertanda kemunculannya, sosok itu berjalan perlahan memunculkan wujud aslinya.
Zaleanna tidak bisa berkata-kata saat dia menyadari sepenuhnya bahwa sosok itu adalah monster yang mengganggu dia dan teman-temannya di bangunan tua itu. Adapun ciri-cirinya, persis seperti yang Danzel jelaskan.
Lalu beberapa orang datang di belakangnya dan menarik paksa monster itu menggunakan tali pengikat yang mereka lemparkan tepat ke leher berurat monster itu.
Itu tidak berhasil.
Mereka semua terpelanting menjauh.
Zaleanna kalut, apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia tidak memiliki kekuatan untuk melawan monster itu. Apalagi dirinya terlihat sangat kecil dibandingkan wujud monster itu.
Namun semakin melihat bentuk tubuh monster itu semakin dia teringat sesuatu.
Pohon itu!
Ya, dia meningatnya, monster itu seperti tumbuh dan terbentuk dari lilitan akar pohon tua.
Seketika dia berlari ke area pohon tua yang berada di belakang bangunan itu.
Tepat setelah dia menjejakkan kakinya disana, saat itu pula dia terkejut setengah mati. Jika tidak segera mengontrol dirinya, mungkin dia akan kehilangan kesadaran saat itu juga.
Betapa tubuh dari monster itu tersambung dengan akar-akar pohon tua itu dan memanjang ke dalam gedung teater.
Disini dia melihat dua kemungkinan. Pertama, jika dia membuat monster itu kembali ke tempat asalnya, pohon tua itu, maka keberadaannya akan tetap ada dan hanya terperangkap saja. Kedua, adalah kemungkinan yang sudah pasti merupakan jawabannya, pohon tua itu harus di tebang.
Dia hendak segera kembali ke dunia nya namun begitu berbalik, monster itu berada tepat di depannya.
Zaleanna terperanjat, jantungnya berpacu begitu cepat.
Teman-temannya yang senantiasa berada di sekitarnya melihat tubuh Zaleanna mengejang, sesuai arahannya, mereka menggenggam tangan Zaleanna.
Mereka panik melihat Zaleanna tidak kunjung membuka mata, ini tidak seperti saat dia melakukannya sebelumnya. Tangannya yang sedang digenggam itu berbalik menggenggam kuat tangan teman-temannya hingga meninggalkan kemerahan disana.
“Aarrgh!”, Danzel berteriak karena tangannya di cengkeram begitu kuat.
Kembali ke Zaleanna yang sedang bertarung dengan monster itu, setelah dengan susah payah merabut salah satu akar pohon tua itu, cukup membuat monster itu kelimpungan, itu adalah kesempatannya untuk melarikan diri.
Dia berlari secepat mungkin, mengerahkan semua kekuatannya.
Kini dia merasa ada bagusnya juga pernah menjuarai kompetisi lari cepat, karena itu akan terpakai bahkan di dimensi lain.
Adapun mendapat ide untuk mematahkan akar itu adalah, karena ketidaksengajaan yang dia lakukan, menginjak akar pohon itu dan ternyata membuat monster itu mengeluarkan jeritan.
Zaleanna telah kembali kepada kesadarannya.
Setelah membuka mata betapa kagetnya dia melihat teman-temannya yang sepertinya telah melewati suatu hal.
“Apa yang terjadi?”, dia panik.
Lalu dia melihat Danzel yang memegang salah satu tangannya, dan melihat kemerahan yang sedikit mengeluarkan luka disana.
Dengan tatapan nanar dia melihat bekas cengeraman ditangan Danzel, pasti itu menyakitkan.
Dia menghampirinya dan meraih tangannya perlahan.
“Apa aku mencengkeramnya?”
Mereka diam, enggan mengatakan iya ataupun tidak. Karena mereka tau itu adalah ketidaksengajaan yang tanpa perencanaan tiba-tiba terjadi, diluar kendali.
Melihat respon mereka membuat Zaleanna yakin bahwa dia secara tidak sadar telah melukainya saat dalam perjalanan lintas dimensi. Dia menyesal akan hal itu.
Hal seperti ini memang terkadang bisa terjadi dalam perjalanan lintas dimensi, karena apa yang tubuh lakukan di dunia asal adalah respon dari apa yang sedang dilakukan di dimensi lain.
Dia telah mematahkan salah satu akar pohon tua itu, dan ternyata di dunia asal dia sedang mencengkeram tangan seseorang.
Melakukan perjalanan lintas dimensi begitu beresiko.
“Aku akan mengobatimu”, diraihnya tangan Danzel dan mengobatinya dengan hati-hati.
Danzel yang diperlakukan seperti itu hanya diam dan patuh.
Melihatnya yang dengan telaten mengobati lukanya dengan penuh kelembutan, dan tanpa banyak bicara, Danzel merasakan sesuatu yang berbunga dalam dirinya. Itu adalah hatinya.
Bagaimana mungkin Alea melakukannya dengan tenang seperti itu di hadapan teman-temannya yang kini sedang menatapnya dingin.
Diam-diam dia tersenyum, ternyata saingannya bukan hanya satu orang.
Setelah selesai dengan itu, Zaleanna kembali berkumpul dengan mereka, dan menjelaskan semua yang terjadi selama perjalanan lintas dimensi itu.
Untuk kali ini dia menjelaskannya semuanya, tanpa terlewat. Karena dia rasa itu cukup logis untuk di pahami teman-temannya, tidak seperti saat pertama kali dia harus menjelaskan perjalanan lintas dimensi sebelumnya, yang mana mereka semua belum terbiasa dengan itu, dan kini dia rasa dengan semua yang sudah mereka lewati, mereka akan paham dengan apa yang terjadi.
Untuk menebang pohon itu di butuhkan alat yang mumpuni yang mampu melakukannya, mengingat bahwa pohon itu cukup besar dengan akar yang menjalar kemana-mana.
Dia saja harus mengerahkan seluruh kekuatannya hanya untuk mematahkan satu akar pohon, dia tidak bisa membayangkan bagaimana kuatnya pohon itu.
Segera setelah mendengar itu, mereka semua berpencar mencari peralatan untuk digunakan dalam menebang pohon. Namun sayangnya di lantai yang mereka singgahi saat ini tidak ada sesuatu seperti itu, disana hanya terdapat barang-barang kecil yang sudah rusak dan kotor.
Dalam peralatan yang mereka bawa juga tidak ada perkakas atau semacamnya yang bisa digunakan untuk menebang pohon.
Mereka frustrasi.
Jauh disana, seseorang terlihat akan menaiki tangga ke lantai atas. Dan seseorang lain terdengar berteriak memanggilnya.
“Aurevy!”
Aurevy berhenti dipersimpangan tangga yang menyambungkan ke lantai atas.
“Apa kamu akan naik ke atas?”
Danzel memposisikan dirinya tepat di depannya, “Lebih baik jangan. Ravel sudah melarangnya”
Dia terlihat cemas saat Aurevy hanya diam dan tidak menghiraukannya, tetapi memandang ke lantai atas itu, dari bawah tangga.
Aurevy menatapnya, “Kita tidak menemukan alat untuk menebang pohon itu di lantai satu. Aku ingin mengeceknya di lantai atas, siapa tau menemukannya. Dan bukankah belum pernah ada yang mencoba kesana?”
Danzel menghela nafas, “Baiklah jika kamu tetap bersikeras, aku akan mengatakannya terlebih dahulu pada Ravel. Lalu, kita bisa pergi ke sana bersama-sama”
Kemudian dia menyentuh pundak anggota termuda, “Tunggu disini dan jangan kemana-mana”
Danzel meninggalkannya, dan bergegas menemui yang lain.
Di area belakang, mereka masih sibuk mencari sesuatu. Sangat sulit untuk menebang pohon besar itu jika tidak menggunakan alat yang memadai. Disana hanya terlihat bebatuan dan potongan kayu yang sudah kering.
Begitu mustahil menebang pohon menggunakan kedua benda itu.
Danzel menghampiri mereka dan menyampaikan keinginan Aurevy yang ingin pergi ke lantai dua gedung itu. Meski itu sedikit mengejutkan, terutama bagi Ravel yang sudah memberi himbauan untuk tidak pergi kesana, karena melihat tangga itu sudah rapuh dan berkarat, mereka akhirnya bersama-sama menemui Aurevy.
Namun begitu sampai disana, tidak terlihat keberadaan Aurevy.
Mereka semua belum bereaksi seterkejut yang dialami Danzel saat ini.
Bagaimana Aurevy bisa melupakan pesan yang dia amanatkan padanya, bahwa jangan pergi kemana-mana dan cukup menunggunya disana.
Semuanya menatap Danzel.
“Dimana dia?”, tanya Ravel memastikan
“Aku sudah mengatakan padanya untuk tetap berada disini, tetapi sepertinya dia tidak menghiraukannya”, sungguh, Danzel benar-benar tidak menyangka ini akan terjadi.
Selama ini dia merasa Aurevy cukup penurut dan baik, itu cukup membuatnya terkejut mengetahui Aurevy berbeda dengan kepribadiannya yang sebelumnya.
Kepanikan mereka bukan hanya tertuju pada suara-suara yang aneh yang saat ini sudah terdengar, tetapi juga tertuju pada Aurevy yang tiba-tiba menghilang.
Mereka berhamburan mencari keberadaannya, akan tetapi Aurevy tidak ditemukan di lantai satu gedung itu. Bahkan meski sedikit ketakutan, Danzel dan Elzilio berkeliling di bangunan itu seraya mencari keberadaanya, siapa tau Aurevy sedang berada di luar.
Namun nihil.
Mereka tidak lagi menghiraukan jam, yang pasti di tempat ini hari akan selalu malam. Seberapa pun mereka mengharapkan melihat sinar mentari pagi dengan embun yang membasahi dedaunan di tempat itu, begitu mustahil, hanya ada kegelapan disekitarnya.
Setelah pencarian cukup lama, mereka kelelahan. Bahkan Zaleanna saat ini sudah benar-benar tidak memiliki tenaga, mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia telah berusaha menahannya agar tidak menunjukkan kehilangan energi setelah melakukan perjalanan lintas dimensi, karena dia tidak ingin kembali merepotkan teman-temannya.
Dia tidak ingin kejadian saat itu terulang kembali, ketika dia terbangun namun tidak melihat keberadaan teman-temannya, yang ternyata mereka telah di lukai oleh monster itu.
Namun kini, sisa energinya telah benar-benar habis. Pertahanannya untuk tetap dalam keadaan baik-baik saja telah lenyap, yang akhirnya membuatnya hampir tak sadarkan diri.
Kemudian dia menjadi sepenuhnya tak sadarkan diri saat balok kayu yang tidak diketahui darimana asalnya itu, terjatuh dari atas dan mengenai tubuhnya.
“Alea!”
Ravel dan Mavin yang saat itu sedang bersamanya seketika terkejut melihat tubuhnya yang limbung, untung saja itu segera ditahan oleh Ravel. Mereka membawa Zaleanna untuk beristirahat.
Sedangkan Danzel dan Elzilio masih berada di luar, mencari Aurevy.
Diam-diam Ravel kembali menyalahkan dirinya sendiri. Dia sudah tau dampak dari perjalanan lintas dimensi yang Zaleanna lakukan tetapi dia tidak melarangnya saat Zaleanna akan kembali melakukan itu untuk kedua kalinya.
Sebagai ketua, dia merasa dirinya tidak berguna. Karena membiarkan anggotanya terluka hanya karena dia tidak tanggap dalam menganalisis keputusan yang ingin diambil oleh mereka.
“Kamu disini, jaga Alea. Aku akan pergi ke lantai atas”
“Tidak”, sontak saja Ravel menolak permintaan Mavin yang ingin naik ke lantai atas, yang belum benar-benar diketahui ada apa disana.
Tatapannya beralih pada tangga yang sudah rapuh dan berkarat itu.
“Kita akan pergi bersama-sama setelah semuanya berkumpul”
“Ravel, kita tidak memiliki banyak waktu. Monster itu kapan saja bisa kembali melukai kita, dan aku rasa menemukan sesuatu untuk menebang pohon itu semakin cepat semakin baik. Aku pergi”
Ravel tidak bisa menahannya lagi, jika Mavin sudah bersikeras maka dia hanya bisa memahami itu. Kepribadiannya yang tak kenal takut, membuatnya tampil sebagai sosok yang tegas dan pemberani.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!