Lelaki itu mengaduh ketika Aisha membersihkan luka-luka di badannya dengan rivanol, lalu mengoleskan betadin setelahnya. Sebenarnya Aisha tak berani membuka baju lelaki itu, tapi melihat ada rembesan darah dari punggungnya, mau tak mau Aisha memberanikan diri membuka kemeja sekolah lelaki itu yang hampir tak putih lagi.
Entah bagaimana tadi Aisha terjebak dalam tawuran ketika ia pulang sekolah dengan mengendarai mobilnya. Tetiba seseorang sudah memasuki mobilnya dan memintanya segera menjauh dari jalan itu. Aisha sudah terlanjur panik dan segera mencari jalan memutar untuk segera tiba di rumahnya. Lalu kemudian tersadar ada orang asing ikut serta di mobilnya.
Lelaki itu terluka di beberapa bagian tubuhnya, Aisha hendak memutar balik mobilnya untuk mencari rumah sakit terdekat, tapi lelaki itu meraih tangannya. "Jangan bawa aku ke rumah sakit," ucapnya parau.
Akhirnya Aisha kembali memasukkan mobilnya ke garasi dan berusaha memapah lelaki itu ke dalam rumahnya. Ia membaringkan lelaki itu di sofa dan berusaha mencari kotak P3K di ruang keluarga. Tanpa banyak bicara ia berusaha membersihkan luka-luka di tubuh lelaki itu dan mengobatinya dengan betadin.
Ayah dan Ibunya tak tampak terlihat, mereka sepertinya belum pulang dari kantor. Sejenak Aisha berpikir apa yang akan dijawabnya jika orangtuanya datang dan melihat lelaki itu.
BRAAKKK!!!
Pintu tiba-tiba terbuka dari luar, disusul masuknya orang-orang ke dalam rumah. Aisha terperanjat, namun semua mata memandangnya jijik.
Belum habis kekagetan Aisha, seorang ibu bertubuh gempal menunjuknya dengan sinis.
"Tuh kan apa kata saya, Pak RT, anak ini memang nggak bener. Berani-beraninya berzina di lingkungan komplek kita!"
Aisha berusaha meluruskan keadaan, tapi kemudian matanya dihadapkan pada sosok ayah ibunya yang baru datang dari kantor.
"Aisha!!!" belum sempat Aisha mengeluarkan sepatah kata pun, ibunya sudah menariknya ke dalam rumah.
Plak! Plak!
Dua tamparan di pipinya tak hanya membuat kulitnya terasa perih, tapi hatinya jauh lebih hancur lagi. Bahkan ibunya pun tak bertanya dulu apa yang terjadi.
"Ini tak seperti yang Ibu kira, Aisha tak segila itu, Bu!" Aisha berteriak semampunya, tapi Ibunya segera memasukkannya ke kamar dan menguncinya dari luar.
Aisha tak tahu apa yang terjadi di rumahnya setelah itu. Yang ia tahu hatinya terasa remuk dengan amarah dan kesedihan yang menyesakkan dadanya.
Pukul delapan malam pintu kamarnya terbuka, Ibunya masuk dengan wajah masam. "Tuan Paul sudah memutuskan kamu dan anaknya akan menikah lusa! Jangan bikin malu keluarga ini lagi!"
Setelah badai tadi sore, malam ini pun Aisha harus memenuhi kisahnya dengan petir yang tak disangkanya.
"Ibu harusnya mendengarkan Aisha dulu, kejadian tadi sore tak seperti itu, Bu!" Aisha merasa kalap. "Aisha mau sekolah, Bu, Aisha tidak mau menikah dulu!"
"Sekolah kamu akan tetap berjalan, Tuan Paul sudah mengaturnya!" Aisha merasa tubuhnya semakin lemas. Apalagi kemudian Bi Tini masuk ke kamarnya dengan membawa makanan. Ayah dan Ibu bahkan meminta Bi Tini menginap disini sepertinya, padahal tadi sore Aisha bahkan tak melihat kehadirannya.
Aisha benar-benar dikunci di kamarnya. Semua keperluan makannya diantar oleh Bi Tini. Meskipun begitu tak sedikitpun ia ingin menyentuh makanan itu. Yang ia inginkan hanyalah kesempatan untuk bisa melarikan diri.
Tapi akhirnya ia mencoba memakan sedikit nasi dan lauk yang dibawa oleh Bi Tini, setelah ia berpikir tak mungkin ia kabur jika ia tak punya tenaga untuk berjalan.
Menjelang shubuh, Aisha mencoba membuka pintu kamarnya.
Ceklek!
Aisha terlonjak kaget, ternyata pintu kamarnya tak terkunci.
Ia segera membuka pintu kamarnya pelan-pelan dan berusaha keluar dengan mengendap-ngendap. Namun baru saja ia berbalik, dua pasang tangan sudah mencengkeram tangannya dan menggusurnya kembali ke kamar.
Aisha berupaya menepiskan tangan-tangan itu, tapi mereka sudah lebih dahulu membanting Aisha ke atas kasur.
"Sebaiknya nona tak mencari masalah dengan Tuan Paul!" ucap salah satu diantara dua lelaki berbadan kekar yang kini berdiri di depan Aisha.
"Kalian siapa?!" Aisha berteriak kesal.
"Tak perlu banyak tanya, kami hanya bertugas menjaga nona disini!" ucapnya lagi lalu mereka berdua keluar dari kamar Aisha.
Aisha hanya bisa memeluk bantalnya dan menumpahkan semua tangis yang sudah memenuhi matanya.
Aisha hanya bisa menurut ketika kemudian ada seorang MUA masuk ke kamarnya dan meminta Aisha mengganti pakaiannya dengan kebaya pengantin lalu ia segera mendandani Aisha. Tak pernah sekalipun momen seperti ini akan dialaminya secepat ini.
Ia merasa bersyukur ketika mendengar ucapan dari luar kamarnya, "pengantin wanita tak usah turun dulu. Nanti saja setelah selesai akad," setidaknya ia tak perlu menyaksikan lelaki asing yang ditolongnya kemarin mengucapkan ikrar sebagai suaminya. Namun tak urung air matanya turun kembali.
Sang MUA tampak panik dan kembali membantu Aisha menghapus air mata dan membetulkan riasan yang tergerus air mata. "Sabar dong, neng, nanti juga ketemu sama cowoknya," gerutu sang MUA gemulai itu. Tangis Aisha makin tak terbendung.
"Yaa Allah, gini ya kalau bocil yang kawin. Kagak sabaran bener. Dipingit sebentar aja udah kejer," ucapnya lagi.
"Neng, kalau udah kawin, lu bakal keluar dari rumah ortu lu ini. Terus ngikut sama suami lu. Lu bakal kangen sama ortu. Tar nangis lu beda lagi," tak urung ucapan MUA ini membuat Aisha merenung.
Keluar dari rumah ini, sepertinya tak terlalu buruk. Memikirkan Ibunya, lebih tepatnya ibu tirinya, keluar dari rumah ini berarti tak lagi harus melihat ular bermuka dua itu dan tak perlu lagi harus memasang wajah pura-pura bahagia di depan ayahnya.
Bahkan Aisha begitu ingat bagaimana kemarin ibunya merampas kunci mobilnya dan mengatakan bahwa ia tak akan lagi diizinkan membawa mobil sendiri. Padahal mobil itu adalah hadiah ulang tahun yang diberikan Bundanya setahun sebelum beliau meninggal dunia.
Baiklah, mungkin pernikahan mendadak ini adalah cara Tuhan mengeluarkannya dari drama kehidupannya selama ini. Aisha menarik nafas dalam-dalam dan perlahan menyeka air matanya.
"Nona Aisha diminta keluar," ucap lelaki tinggi besar yang tadi shubuh menarik tangan Aisha.
Aisha melangkahkan kaki keluar dari kamar, diikuti oleh dua bodyguard yang terus menjaganya. Ruang tamu rumahnya tampak lebih ramai dengan kehadiran beberapa orang. Ayahnya tampak juga disana, dengan pandangan penuh sesal pada Aisha.
"Aisha, mulai hari ini, Paul adalah suamimu. Ayah serahkan kamu untuk dijaga oleh Paul. Kamu harus bersyukur, ketika Juno kabur pagi ini dan melarikan diri dari pernikahan kalian, Paul mau menggantikan anaknya dan mengambil kewajiban untuk menikahimu," Ucapan Ayahnya seolah petir yang kembali mengambil kesadaran dari pikiran Aisha. Ia masih sempat melihat senyum misterius di bibir lelaki dewasa berjas formal yang disebut Paul itu sebelum akhirnya ia ambruk dalam kegelapan.
******
Wangi kayu putih menusuk memenuhi hidung Aisha ketika perlahan ia melihat cahaya memenuhi kembali matanya. Ruangan yang kini dilihatnya berbeda dengan rumahnya. Disini semua tampak putih, termasuk juga bedcover yang menyelimutinya. Apakah ini di surga? Aisha bertanya dalam benaknya.
Suara deheman membuat kesadaran Aisha kembali ke level sempurna. Lelaki itu, Tuan Paul, duduk di seberang ranjang , di sebuah kursi yang menghadap meja kerja . Tampak ketampanannya dibalut aura misterius yang membuat Aisha merasa merinding.
"Kamu akhirnya sadar juga," ucapnya. Ia menyulut sebatang cerutu dan menghisapnya. Aisha terbatuk segera ketika asap cerutu sampai ke penciumannya. Ia sangat alergi dengan tembakau, bahkan hal itu juga yang membuat Ayahnya dulu berhenti merokok.
Paul mematikan cerutunya. "Jangan bilang kamu alergi rokok!" serunya gusar. Aisha hanya tertunduk, menahan rasa takut dan juga sedih yang terasa menyesakkan hati.
"Kamu bisa turun untuk makan kalau lapar. Jangan khawatir, aku juga tidak tertarik dengan anak kecil sepertimu. Aku hanya berusaha menjalankan kewajibanku menyelamatkan harga diri anakku," ucap lelaki itu sebelum keluar dari kamar dan meninggalkan Aisha sendiri.
Aisha hanya menghabiskan waktu dengan merebahkan diri hingga akhirnya ia merasa perutnya lapar. Ia berusaha menahan rasa lapar itu dan berjalan-jalan di sekitar kamarnya. Ia perlahan mendekati meja kerja di seberang ranjang, ada laptop yang tertutup dan sebuah komputer yang dalam mode sleep.
Kamar itu begitu luas, tak seperti kamarnya di rumah. Sebuah lemari besar ada di sana. Aisha penasaran dengan isinya. Ia membuka salahsatu pintunya, tampak banyak pakaian wanita tergantung disana. Aisha dapat mencium aroma pakaian baru dari semua baju itu.
Ia lalu berjingkat ke pintu kaca besar yang menuju balkon. Ia membukanya dan merasakan semilir angin sore menyibak helaian rambutnya. Dari balkon ini ia dapat melihat matahari yang hampir tenggelam. Ia menurunkan pandangannya, tampak pagar tinggi mengelilingi rumah ini dan beberapa bodyguard di hampir tiap penjuru yang terlihat.
"Siapa sebenarnya Tuan Paul?" Aisha bertanya sendiri. Harapannya untuk bisa kabur semakin menciut, juga harapan untuk bisa hidup bebas dan bahagia. Aisha menarik nafas perlahan, air matanya turun kembali.
Kruuukkkk...
Suara perut Aisha kembali terdengar, kali ini ia merasa perutnya tak lagi bisa menahan lapar yang kian melilit.
Ia berjalan menuju pintu keluar dan menemukan sebuah tangga melingkar dengan ukiran sepanjang pegangan pagarnya. Ia menuruni tangga itu dan menemukan sebuah ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu.
Rumah sebesar itu terasa begitu sepi dan Aisha berusaha mencari letak dapur seorang diri. Akhirnya ia menemukannya, sebuah dapur yang biasanya ia lihat dalam drama. Terdapat sebuah meja makan minimalis tanpa sedikitpun makanan diatasnya. Ada pantry dengan mini bar di seberangnya yang tersambung dengan bagian dapur masak.
Di dekat meja makan terdapat sebuah kulkas besar, begitu juga di bagian dapur untuk memasak. Aisha mengernyit, apa isi semua kulkas itu sedangkan rumah ini seolah tanpa penghuni.
Aisha memilih membuka kulkas yang dekat tempat masak. Ia terkekeh melihat isi kulkas sebesar itu. Ada sebungkus sosis, sebungkus nugget, beberapa potong ayam dan sedikit sayuran. Ternyata isi kulkas di rumahnya masih lebih baik.
Di kitchen set bagian atas, Aisha menemukan harta karun, banyak mie instan aneka merek dan rasa. Senyumnya mengembang. Ia segera mengambil sebungkus mie dan memasaknya, tak lupa menambahkan potongan sosis dan sawi. Ia segera membawa makanannya ke meja makan dan mulai menikmatinya.
"Hanya membuat satu mie untuk sendiri? Egois sekali!" sebuah suara membuat Aisha hampir tersedak. Tuan Paul, lelaki itu tampak sudah duduk di seberangnya. Entah kapan lelaki itu duduk disana, sepertinya Aisha begitu lapar sehingga sibuk dengan mie-nya tanpa menghiraukan keadaan sekitar.
"Belajarlah untuk menjadi istri yang baik. Bukankah kamu bisa sekalian memasak mie untuk suamimu?" Ucapnya lagi dengan tatapan dingin yang terasa menusuk hati Aisha.
Aisha segera bangkit dan menuju kompor untuk membuatkan mie. Tapi lelaki itu segera bangkit dan menarik tangan Aisha. "Aku sudah tak ingin makan mie, aku ingin makan di luar!" ucapnya sambil menarik Aisha keluar dari rumah dan memaksanya masuk ke dalam mobil.
Lelaki itu segera mengemudikan mobil tanpa melihat ke arah Aisha sedikitpun. Aisha merasakan jantungnya berdebar kencang, rasa takut, khawatir dan sedih bercampur di hatinya. Tapi ia tak berani bertanya kemana lelaki itu akan membawanya.
Sebuah restoran fine dining, disinilah kini Aisha dan lelaki itu. Aisha merasa sangat risih karena ia merasa memakai pakaian yang tak sesuai. Bayangkan, kebaya pengantin dan kainnya masih melekat di badannya dengan dandanan yang sudah tak beraturan. Tapi lelaki itu seolah tak peduli.
Ia sibuk memilih menu dan kemudian menyerahkannya pada pramusaji. Sejenak ia menyalakan cerutu, tapi kemudian segera mematikannya. "Kenapa kamu alergi dengan tembakau," desisnya sambil menatap Aisha tajam. Aisha hanya menunduk takut.
Untungnya makanan pembuka sudah datang. Ia menatap makanan itu dengan ragu. "Aku tak meminta mereka meracunimu!" ucap lelaki itu. Lebih tepatnya berbisik sehingga Aisha merasa telinganya memerah. Akhirnya ia memakan itu dengan pelan.
Hidangan utama dan penutup datang berturut-turut kemudian. Aisha merasa perutnya begitu sesak, apalagi sebelumnya ia sudah makan mie instan. Tapi ia tak berani untuk tidak memakan semua hidangan, karena pandangan Tuan Paul seolah akan membunuhnya ketika ia tak segera menyentuh makanan yang dihadirkan.
Sepulangnya dari restoran, Aisha sudah tak mampu menahan rasa mual dan sesak di perutnya sehingga ia segera berlari ke wastafel dan mengeluarkan kembali isi perutnya.
"Apa Juno sudah menghamilimu?" Tanya Tuan Paul ketus. Aisha merasa ribuan sembilu kembali menyayat hatinya. Kenapa tak ada yang percaya bahwa tak ada apapun yang terjadi antara dia dan Juno?
"Semua tak seperti apa yang anda pikirkan, Tuan," ucap Aisha dengan segenap amarah lalu berlari menuju kamar. Ia membanting pintu kamar dan menguncinya. Entah kenapa ia merasa muak dengan Tuan Paul dan bahkan seisi dunia ini. Ia hanya bisa melemparkan bantal-bantal dan memukuli kasurnya, menumpahkan semua amarah dan kekecewaan yang sekian lama menumpuk di hati. Tangis dan teriakannya tak mampu ia sembunyikan. Semuanya ia tumpahkan hingga lelah dan kantuk menghampirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!