NovelToon NovelToon

Bad Ending

Dendam

Suara guntur kembali datang, kali ini suaranya lebih keras. Rasanya seperti sang langit sedang marah dan melampiaskannya dengan mendatangkan guntur tersebut. Dengan sangat berisik, hujan deras segera datang. Suasana menjadi sangat dingin dan mencekam. Sudah hampir satu jam penuh, seorang pria duduk diruang tengah dengan cahaya lampu yang remang. Ditangannya, ia memegang sebuah figura dan menatapnya dengan lekat.

Ia tersenyum miris ketika melihat foto sang Kakak didalam figura tersebut yang tersenyum manis sembari menggendongnya. Umurnya masih 10 tahun waktu itu, namun siapa sangka sang Kakak akan meninggalkannya seperti ini?

Rasanya tidak adil, ia yang dimanja dan dicintai oleh sang Kakak dengan sepenuh hati secara tiba-tiba harus mengikhlaskan sang Kakak pergi ke tempat yang tidak bisa ia tuju. Alasan penyebab kematian sang Kakak membuatnya merasa dendam sampai saat ini. Ia berjanji akan membalaskan dendam kepada siapa saja yang merenggut nyawa Kakaknya.

“Sagara,” Panggilan dari sang Ibu membuyarkan lamunan pria tersebut, “Bobo atuh, Jang. Besok kan harus kuliah.”

Terjemahan: Tidur, dong, nak. Besok kan harus kuliah.

Mendengar hal tersebut, Sagara segera tersenyum dan menyimpan figura yang ada ditangannya ketempat semula. Ia berdiri dan menghampiri Ibunya, “Mama ge naha can bobo atuh?”

Terjemahan: Mama juga kenapa belum tidur?

“Gimana mama mau tidur, anak mama satu-satunya diem diruang tengah sambil ngelihatin foto si aa.” Tangan Ibu Sagara mengelus pelan pipi putranya, “Ikhlasin atuh Jang …. Ikhlasin si aa nya, ya?”

Terjemahan: Gimana mama mau tidur, anak mama satu-satunya diem diruang tengah sambil ngelihatin foto si abang. Ikhlasin ya nak. Ikhlasin si abangnya, ya?

Fyi :

Aa \= abang

Jang/ujang \= nak

Senyuman Sagara sedikit mengembang dan tangannya meraih telapak tangan sang Ibu yang menyentuh hangat pipinya, “Sagara masuk kamar dulu ya, Mah. Mama langsung tidur, lampunya dimatiin biar tidurnya nyenyak.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut pada Ibunya, Sagara segera masuk kedalam kamarnya. Senyuman yang sempat mengembang diwajahnya, yang ia tunjukkan pada Ibunya, seketika berubah menjadi garis lurus dan tegas. Tidak ada sedikitpun lengkungan dibibirnya. Ia membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur dan menghela nafasnya dengan berat.

Beberapa menit kemudian sebuah tawa miris berhasil keluar dari mulut Sagara, ia menutup matanya dengan punggung lengannya, “Gimana Sagara bisa lupa sama kasus pembunuhan si aa Mah?” Seketika hening. Sagara menggigit pipi bagian dalamnya, dengan sekuat tenaga ia menahan tangisnya dan air mata yang memaksa untuk keluar dari kedua kelopak matanya. Namun hal itu sia-sia, karena air mata itu berhasil lolos dari kedua kelopak matanya hingga membasahi telinganya. Sebuah isakan kecil juga berhasil lolos dan menemani air mata yang keluar kedua kelopak mata Sagara.

“Si aa harusnya ada disini, nemenin Sagara tidur, nganter Sagara pergi sekolah,” Sagara menghentikan kalimatnya sebentar karena isakannya yang semakin kuat, “Soalnya si aa udah janji mau ngelihat pertumbuhan Sagara, si aa udah janji bakal terus ada disamping Sagara.” Semakin Sagara mengingat mendiang Kakaknya dan mengeluhkan semua isi hatinya, semakin ia terisak. Rasanya sangat sakit. Sesak di dadanya kembali hadir dan ia merindukan sang Kakak.

“A Rigel …. A Rigel gak kangen gitu sama Sagara?”

Hujan yang semakin deras disertai dengan petir menjadi pendukung untuk Sagara melampiaskan emosinya dan rasa rindunya kepada mendiang Kakaknya. Suaranya bergetar ketika memanggil nama sang Kakak, siapapun yang mendengar keluhan Sagara saat ini akan ikut merasakan kesedihan yang Sagara rasakan.

Isakan Sagara menjadi lebih kuat. Ia sangat bersyukur hujan datang sangat deras malam ini, hal itu membuat Sagara bisa menangis dan terisak dengan kuat tanpa khawatir sang Ibu akan mendengarnya. Namun sayangnya Sagara salah, sang Ibu yang sedari tadi berdiri dibalik pintu kamarnya, mendengarkan semua keluhan Sagara.

Dada sang Ibu sangat sesak ketika mendengar Sagara menangis dan merindukan Rigel, anak pertamanya. Jujur, sang Ibu tidak bisa melakukan banyak hal selain mengkihlaskan anak sulungnya. Namun berbeda dengan Sagara, anak bungsunya itu tidak bisa memaafkan penyebab kematian Rigel.

Kasus perkelahian antar geng motor yang membuat Rigel menjadi bagian dari korban salah sasaran, berhasil merenggut nyawanya. Kasus ini menjadi mimpi buruk terbesar bagi Keluarga Sagara.

Beasiswa

Suara deruman motor dipagi hari yang memasuki area kampus menjadi pusat perhatian bagi siapa saja yang mendengarnya. Kampus yang terlihat asri dan damai menjadi riuh karena padatnya mahasiswa. Empat motor Kawasaki Ninja segera berjejer dengan rapih di parkiran kampus. Keempat pengendara dari motor tersebut segera turun dan melepaskan helm mereka.

“Wah, aing masih gak nyangka bisa kuliah disini euy!” Pria dengan kaos hitam dan celana putih, lengkap dengan jaket kulit menatap kagum tempat kuliahnya.

Terjemahan: Wah, gue masih gak nyangka bisa kuliah disini!

“Alay maneh Nu. Eh—” Pria dengan tubuh yang lebih kecil dari ketiga temannya seketika oleng ketika ia akan turun dari motor.

Terjemahan: Alay lo Nu. Eh—

Dengan sigap pria yang dipanggil Nu—Janu Gyanav— segera menahan beban motor agar pria kecil dihadapannya tidak jatuh. “Kan aing udah bilang, maneh mending dibonceng aja sama aing Nayaka Rafanial. Udah tau pendek gini malah maksain bawa motor gede.” Oceh Janu pada temannya.

Terjemahan: Kan gue udah bilang, lo mending dibonceng aja sama gue Nayaka Rafanial. Udah tau pendek gini malah maksain bawa motor gede.

“Suka-suka ainglah! Lagian kan Mas Kaivan ngasih motor ini buat aing biar dipake, bukan buat dipajang nyet!” Rafa yang tidak terima diberi ocehan oleh Janu segera memberikan ocehan balik dengan memberikan panggilan kesayangan untuk Janu.

Terjemahan: Suka-suka guelah! Lagian kan Mas Kaivan ngasih motor ini buat gue biar dipake, bukan buat dipajang nyet!

“Bocil emang susah anjir dikasih taunya.” Ucap Janu segera pergi meninggalkan ketiga temannya.

“Bocil?? Siapa bocil anjir!? Mulut sia harus di geprek sama aing!” Meskipun memiliki tubuh yang paling pendek dan mungil diantara teman-temannya, Rafa tidak akan segan-segan untuk memukul atau memarahi siapapun orang yang membuatnya kesal. Seperti sekarang, ia sedang mengejar Janu dan siap untuk memberikan satu bogeman kepada temannya.

Terjemahan: Bocil?? Siapa bocil anjir!? Mulut lo harus gue geprek!

“Gar, mau nyebat dulu gak?” Pria yang memiliki tatapan tegas segera bertanya kepada Sagara yang sedari tadi hanya memperhatikan kedua tingkah temannya, Janu dan Rafa.

Sagara mengangguk, “Boleh Mas.”

Kedua pria itu segera berjalan menuju rooftop kampus. Sagara memasukkan kedua lengannya kedalam saku hoodienya ketika ia berjalan. Ia menggunakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana hitam, ia membiarkan kupluk dari hoodie tersebut menutupi kepalanya. Berbeda dengan temannya, pria itu menggunakan kaos putih dibalut dengan jaket denim yang membuat pria itu sangat tampan dan bersinar, Kaivan namanya.

Dari semua temannya, Kaivan Bawana merupakan satu-satunya turunan Jawa. Sedangkan keempat temannya asli orang Bandung. Hal inilah yang menjadi alasan ketiga temannya memanggil ia dengan sebutan ‘Mas Kaivan’. Kaivan tidak bisa berbicara bahasa sunda, namun ia mengerti percakapan dari teman-temannya dan orang lain yang menggunakan bahasa sunda.

Saat sampai di rooftop, Sagara dan Kaivan melihat ada beberapa mahasiswa yang sedang merokok disana. Namun ketika mereka melihat Sagara dan Kaivan muncul di rooftop, mereka segera mematikan rokok mereka dan meninggalkan rooftop.

Samar-samar Sagara dan Kaivan mendengar bisikan-bisikan dari mahasiswa tersebut, “Ngapain sih anying pagi-pagi udah di rooftop, jadi harus nyari tempat baru buat nyebat.”

“Perlu saya kejar?”

Sagara yang mendengar hal tersebut segera menggelengkan kepalanya dan memberikan kode jika Kaivan tidak perlu mengejar mahasiswa tersebut.

“Padahal saya butuh pemanasan.” Kaivan menghembuskan nafasnya pelan, tangannya segera merogoh satu bungkus rokok, ia menyalakan rokok tersebut dan menghisapnya dengan kuat. “Nih.” Kaivan memberikan rokok beserta korek api kepada Sagara. Tangan Sagara segera menerima rokok tersebut, menyalakan dan menghisapnya sehingga kepulan asap keluar dari mulutnya hanya dengan satu kali tarikan nafas.

Cuaca dingin dipagi hari memang lengkap jika ditemani dengan rokok seperti ini. Asap mengepul keluar dari mulut keduanya dan menikmati sensasi dari rokok tersebut. Siapapun yang melihat mereka berdua, pastinya akan terpesona. Namun jika diberikan pilihan untuk mendekat, para wanita tidak akan berani mendekati mereka karena aura tajam dan dingin dari mereka sangat kuat dan membuat siapapun akan merasa takut dengan mereka.

Diatas rooftop mereka menikmati pemandangan kampus yang lumayan luas dan besar. Kedua pasang mata tersebut memperhatikan para mahasiswa yang berlalu lalang, entah itu mahasiswa baru seperti mereka atau kakak tingkat mereka.

“Udah dapet info lain, Mas?”

Mendengar pertanyaan dari Sagara, Kaivan menghisap kuat rokok yang diapit dikedua bibirnya dengan jari telunjuk dan jempolnya. Pria itu menggeleng pelan sembari menghembuskan nafas yang membuat kepulan asap kembali keluar dari mulutnya.

“Susah emang. Tapi saya masih tetep nyari-nyari kok.” Jawabnya.

“Iya, pelan-pelan aja. Waktu kita masih banyak.”

“Mereka apik banget nyembunyiin identitas, saya susah nyarinya.”

Sagara tertawa pelan, “Kalo gampang mah, dari dulu juga udah ketemu tuh mereka.”

“Iya juga.”

“Udahlah, aing mau ke ruangan dosen dulu.” Sagara segera mematikan rokok dan membuang puntungnya kedalam tempat sampah.

Terjemahan: Udahlah, gua mau ke ruangan dosen dulu

“Lah, mau kemana Gar?”

“Aing kan anak beasiswa, disuruh kumpul dulu katanya. Paling wejangan biar bisa dapetin nilai bagus.”

Terjemahan: Gua kan anak beasiswa, disuruh kumpul dulu katanya. Paling wejangan biar bisa dapetin nilai bagus.

“Padahal kamu tuh gak usah maksain belajar kayak gitu, biar saya yang tanggung semua biayanya.”

Tangan Sagara menepuk pundak Kaivan beberapa kali, “Maneh udah ngebiayain kuliah tuh dua curut, masa harus ngebiayain aing juga?” Mata Sagara tertuju pada dua temannya yang mendekati mereka.

Terjemahan: Lo udah ngebiayain kuliah tuh dua tikus, masa harus ngebiayain gue juga?

“Aing bukan curut ya, anjing!” Ucap Rafa dengan kesal sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Terjemahan: Gue bukan tikus ya, anjing!

“Maneh udah beliin kita motor, aing cuma mau meminimalisir pengeluaran maneh karena ngebiayain kita terus.” Sagara tersenyum, “Minimal kalo aing gaada duit, aing masih punya otak.” Pria itu segera berlari kecil setelah mengucapkan kalimat tersebut, karena ia tau akan mendapatkan olokan dari teman-temannya.

Terjemahan: Lo udah beliin kita motor, gue cuma mau meminimalisir pengeluaran lo karena ngebiayain kita terus. Minimal kalo gue gaada duit, gue masih punya otak.

“Sia aja yang otaknya gabut anying!” Maki Janu pada Sagara yang sudah menjauh.

Terjemahan: Lo aja yang otaknya gabut, anjing!

“Tapi kalo dipikir-pikir kita bikin maneh ribet ya, Mas?” Tangan yang terlipat didepan dadanya segera ia turunkan dan mendekati Kaivan, “Ajarin aing belajar dong, biar aing juga dapet beasiswa sama kayak si Sagara.” Ucap Rafa sembari menatap mata Kaivan dengan lekat.

Fyi:

Aing \= gue

Maneh/sia \= elo

“Waduh, saya lebih baik bayarin uang kuliah kalian daripada harus ngajar kalian.”

Wajah Rafa seketika berubah menjadi kesal, ia berdecak pelan dan memukul lengan Kaivan, “Setidaknya aing mau usaha ya bangsat! Gak kayak si Janu yang otaknya nol besar!”

Merasa namanya dipanggil, Janu segera menjawab, “Kalo Mas Kaivan gamau ngajar kita berdua, itu artinya kapasitas otak kita sama ya bocil!”

“Jangan panggil aing bocil!”

Ketika melihat Rafa yang akan bertengkar dengan Janu, Kaivan segera melerai kedua temannya dengan merangkul mereka berdua dengan kuat, “Udahlah, saya kan ngebiayain kalian ikhlas. Kalo perlu apa-apa jangan sungkan bilang sama saya. Saya gak masalah kalo kalian gak bener-bener belajar kayak Sagara.”

Kedua pasang mata dari Janu dan Rafa bertautan. Bukan apa-apa, Kaivan merangkul mereka berdua dengan kuat sehingga leher mereka tertekan dan membuat mereka kesakitan.

“Mas! Leher aing, anying!” Lengan Janu memukul-mukul lengan Kaivan, agar ia mau melepaskan rangkulan tersebut.

“Sia nyadar awak dong anying, Mas Kaivan!” Merasa kesulitan bernafas, Rafa ikut memukul-mukul lengan Kaivan yang merangkulnya.

Terjemahan: Lo harus sadar kalo badan lo tuh gede anjing, Mas Kaivan!

“Jangan berantem dan banyak ngomong, saya pusing dengernya, oke?”

Mendengar suara Kaivan yang halus namun serius, membuat kedua pria yang ada dirangkulannya mengangguk dengan cepat. Kaivan segera melepaskan rangkulannya dan memberikan rokok pada mereka berdua, “Mau?”

Rafa dan Janu hanya menerima rokok yang diberikan oleh Kaivan. Mereka berdua menatap Kaivan dengan sinis. Dari mereka berempat, Kaivan adalah satu-satunya orang yang memiliki pukulan yang sangat kuat. Jika ia ingin mencengkram tanganmu sampai remuk, pria itu bisa melakukannya. Kaivan adalah algojo di dalam Geng Aodra.

“Kenapa? Mau saya rangkul lagi?”

...****************...

Ada 6 mahasiswa yang berada dalam ruangan dosen. Mereka sedang duduk santai sembari mendengarkan arahan dan penjelasan dosen mengenai syarat apa saja yang harus mereka lakukan agar layak mendapatkan beasiswa di universitas tersebut. Sagara menjadi satu-satunya mahasiswa yang ada diruangan tersebut, sedangkan sisanya adalah mahasiswi.

Mahasiswa yang mendapatkan beasiswa adalah mahasiswa yang mendapatkan nilai paling tinggi ketika melaksanakan ujian masuk. Tidak semua jurusan layak mendapatkan beasiswa, hanya jurusan-jurusan tertentu yang mendapatkan beasiswa. Sagara menebak, jika ia adalah satu-satunya mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari jurusan manajemen bisnis.

Mata Sagara dengan tajam menatap mereka satu-persatu, menyelidik dan menebak bagaimana caranya agar mereka tidak bisa mengalahkannya. Dari semua mahasiswi, hanya ada satu wanita yang membuat ia tertarik dan ingin menyelidikinya lebih lama. Tidak seperti mahasiswi lainnya yang menggunakan kemeja, wanita ini menggunakan hoodie untuk menutupi tubuh kecilnya.

“Saya selaku dosen yang bertanggung jawab penuh mengenai mahasiswa yang mendapatkan beasiswa, akan memberikan informasi apa saja yang kalian butuhkan, termasuk lomba dan pelajaran tambahan ketika kalian mengikuti lomba. Perlu di ingat, mahasiswa yang mendapatkan beasiswa tidak dapat menolak lomba yang harus mereka ikuti. Jika kalian menolak, beasiswa otomatis akan dicabut. Setidaknya kalian harus berguna untuk universitas, bukan hanya ingin dibiayai.”

Pertemuan para mahasiswa yang mendapatkan beasiswa, dengan para dosen segera berakhir. Semua mahasiswa yang ada didalam ruangan tersebut segera meninggalkan ruangan kecuali Sagara. Pria itu dengan sengaja duduk lebih lama agar mahasiswa yang lainnya pergi terlebih dahulu. Mata tajam pria itu menatap pada tempat pensil berwarna hitam yang tergeletak diatas meja karena sang pemilik lupa untuk mengambilnya. Tangan kirinya mengambil tempat pensil tersebut dan memasukkannya kedalam saku jaketnya, lalu ia meninggalkan ruangan tersebut.

Teman-teman Sagara segera menyapanya ketika ia masuk kedalam kelas dan duduk disalah satu kursi kosong yang ada disamping Janu. Tangan Sagara mengeluarkan kotak pensil hitam yang ia bawa dari ruangan dosen dan menyimpannya diatas meja.

“Maneh punya tempat pensil?” Tangan Janu mengambil tempat pensil tersebut, menyelidiknya dan memberikan tatapan heran pada Sagara, “Sejak kapan anjir?”

Kepala Sagara menggeleng pelan, tangannya segera merogoh buku dan alat tulis dari dalam tasnya lalu ia meletakkannya diatas meja, “Itu bukan punya aing.”

“Terus punya siapa?”

Janu tersentak ketika seseorang menarik dengan paksa tempat pensil yang ia genggam. Mata Janu segera menatap pada sosok wanita yang mendekatinya dengan tatapan kesal.

“Lo dapet darimana tempat pensil gue?”

“Wow, santai manis…” Bukannya menjawab, Janu malah menggoda wanita tersebut. Rasanya seperti kurang jika ia tidak menggoda wanita cantik yang tiba-tiba ada dihadapannya. Pria itu tersenyum miring dan segera berdiri dari duduknya, “Kenalin, nama saya Janu Gyanav biasa dipanggil Janu.” Janu mengulurkan tangannya untuk berkenalan.

“Sinting!”

Setelah mengumpat, wanita itu segera meninggalkan Janu tanpa membalas uluran tangan Janu sembari membawa tempat pensil tersebut. Janu tertawa kecil dan membuka sedikit mulutnya karena terkejut mendapatkan perlakuan kasar seperti itu, terlebih dari seorang wanita cantik. Mata tajamnya menangkap kemana arah wanita itu pergi, ternyata ia duduk di kursi paling depan.

“Lain orang Bandung etamah, Nu. Jakarta cigah na mah.” Melihat Janu yang terdiam, Rafa segera bersuara dan menebak sosok wanita yang baru saja bersikap kasar pada Janu. “Emang kitu sih cigah na mah orang Jakarta mah.”

Terjemahan: Bukan orang Bandung itu, Nu. Orang Jakarta kayaknya. Emang gitu kayaknya orang Jakarta tuh.

“Galak pisan anying.” Guman Janu pelan dan kembali duduk dikursinya.

Terjemahan: Galak banget anjing.

“Matakna tong sok iye, kabeh awewe di deukeutan.”

Terjemahan: Makanya jangan sok iye, semua perempuan di deketin

“Bersisik sia bocil!”

“Lain lauk aing mah!”

Terjemahan: Gue bukan ikan!

“Tapikan kabeh awewe nu di deukeutan ku urang tidak pernah gagal.”

Terjemahan: Tapikan semua cewe yang gue deketin gak pernah gagal

“Heeh awewe Bandung, da ieu mah lain awewe Bandung.”

Terjemahan: Iya cewe bandung, kalo ini kan bukan cewe bandung

“Pasti bisalah, da sama-sama perempuan.” Ucap Janu percaya diri yang mendapatkan tatapan sinis dari Rafa.

“Kok kamu bisa dapet tempat pensilnya, Gar?” Tidak menghiraukan perdebatan Janu dan Rafa, Kaivan segera bertanya kepada Sagara untuk mengetahui asal-muasal tempat pensil tersebut bisa ada ditangan Sagara.

“Dia salah satu anak beasiswa juga sama kayak aing. Tadi tempat pensil dia ketinggalan, yaudah aing bawa aja. Eh ternyata satu kelas.” Ucap Sagara menjawab pertanyaan dari Kaivan.

“Anjir, berarti pinter.”

“Moal kaotakan sia mah lamun menangkeun eta jelma.”

Terjemahan: Otak lo gak akan nyampe kalo mau dapetin tuh cewe

“Sia Rafa, bisa diem gak anying!? Komen mulu hidup aing.”

“Aingmah ngasih tau fakta.”

“Fakta tai ucing!” Umpat Janu kesal sembari mengacungkan jari tengahnya pada Rafa.

Terjemahan: Fakta tai kucing!

Sagara dan Kaivan sudah terbiasa mendengarkan perdebatan tidak jelas dari kedua temannya, Janu dan Rafa. Mereka bagaikan kucing dan anjing yang tidak pernah bisa akur. Sagara tidak mempedulikan perdebatan tersebut, mata tajamnya segera menatap wanita yang duduk didepannya. Wanita yang sama-sama mendapatkan beasiswa seperti dirinya. Ternyata prediksi mengenai ia satu-satunya mahasiswa jurusan manajemen bisnis yang mendapatkan beasiswa salah, ada orang lain juga yang secara tidak langsung akan menjadi lawan Sagara.

Kelemahan

Riuh pikuk di kantin saat jam makan siang tentunya tidak akan terasa aneh lagi untuk setiap tempat makan, termasuk kampus dimana tempat Geng Aodra belajar. Butuh waktu 23 menit bagi mereka untuk mengantri dan membeli makanan yang mereka inginkan ketika mengisi perut mereka. Selesai memesan, mereka segera duduk dengan damai dan menikmati makanan mereka. Dari keempat orang tersebut, Janu dengan tergesa-gesa menghabiskan makanan yang ia pesan. Hal ini membuat Rafa kesal dan memukul belakang kepala Janu.

“Sia bisa santai gak sih makannya? Ganggu fokus orang lain anying!”

“Pelan-pelan aja, Nu. Kamu tadi gak sempet sarapan ya?” Kaivan ikut bersuara ketika melihat Janu tersedak karena pukulan Rafa dan memberikannya satu gelas air minum.

“Rafa anying!” Umpat Janu dengan kesal ketika ia berhasil mencerna makanan yang membuatnya tersedak.

“Sia kayak yang gak makan dua tahun, Nu.” Sagara yang sedari tadi memperhatikan tingkah temannya hanya bisa meledek sembari melahap satu sendok mie kedalam mulutnya.

“Rusuh anying, emang mau kemana sia teh?”

Mendengar pertanyaan Rafa, Janu segera menghabiskan makanannya dan matanya menatap satu-persatu orang-orang datang ke kantin kampus. Pria itu celingukan seperti sedang mencari seseorang.

“Kenapa? Ada target?” Melihat Janu yang celingukan membuat Kaivan menghentikan makannya dan matanya melirik orang-orang yang berada didalam kantin. Pertanyaan Kaivan berhasil membuat Sagara dan Rafa ikut celingukan mencari siapa orang yang dimaksud oleh kedua temannya.

“Bukan anjir!” Janu segera berdiri dan mengelap mulutnya dengan selembar tisu, “Berantakan gak mulut aing?”

“Sia mau kemana?”

“Mau nyari cewe tadi, kan lumayan anying.”

Rafa menghela nafasnya dan menyesal karena sudah bertanya kepada temannya. Karena ia sudah berpikir jika Janu memiliki hal penting. Ternyata pria itu hanya ingin menemui perempuan dan menargetkannya sebagai pacar barunya. Sedangkan Janu tidak menghiraukan Rafa yang sudah menatapnya dengan sangat kesal. Ia segera merapihkan bajunya dan menatap Kaivan dengan Sagara secara bergantian.

“Gimana? Udah rapih belum aing?”

Sagara dan Kaivan hanya mengangguk dan melanjutkan makan siang mereka.

“Oke. Doa’in aing sukses ya!” Janu segera meninggalkan ketiga temannya. Namun sebelum itu, ia melemparkan tisu bekas kepada Rafa dan melarikan diri sebelum Rafa kembali mengumpatnya.

“Janu tai!”

...****************...

“Sendirian aja neng.”

Seorang wanita yang sedang berdiam diri diatas rooftop sembari memakan satu buah roti terkejut ketika melihat seorang pria mendekatinya. Ia berdecak pelan dan memutar bola matanya dengan malas ketika ia harus melihat sosok pria yang mencuri tempat pensilnya tadi pagi.

“Danica Amberley, namanya bagus.”

Sumpah, didalam hidupnya, Danica tidak ingin berususan dengan siapapun kecuali keluarganya sendiri. Namun sekarang ia malah dihadapkan dengan seorang pria yang tidak tau asalnya dari mana dan dengan tidak sopan menyebutkan nama lengkapnya, bahkan Danica pun sangat enggan dan tidak ingin mengenalkan namanya pada pria tersebut. Mendengar namanya diketahui oleh pria tidak jelas itu, membuat Danica kesal.

Sedangkan Janu, ia bisa tau nama wanita tersebut karena tempat pensil tadi. Di sisi tempat pensil berwarna hitam tadi ada tulisan kecil ‘Danica Amberley’ dan pria itu menebak jika tulisan kecil tersebut adalah nama wanita yang kini ada disampingnya. Melihat wanita itu yang hanya diam ketika ia menyebutkan ‘Danica Amberley’ membuat Janu yakin jika itu memang benar namanya.

“Kok diem aja neng, kamu udah tau nama saya kan?”

“Mau lo yang pergi atau gue yang pergi?” Tentu saja pertanyaan ini membuktikan jika Danica benar-benar tidak menyukai sosok pria yang ada dihadapannya. Daripada harus berususan, Danica lebih baik mencari tempat lain untuk melanjutkan makan siangnya.

“Gak baik atuh makan roti doang di jam siang kayak gini.” Janu menatap satu buah roti yang sudah terbuka dan tersisa setengah lagi di tangan kanan Danica. Pria itu memberikan sebuah kotak makan kepada Danica, “Ini nasi uduk saya beli di kantin, kamu harus coba.”

Danica terdiam kaku ketika melihat apa yang pria itu ulurkan padanya. Ia menatap mata pria itu dengan bingung, sedangkan tatapan yang diberikan oleh pria itu adalah tatapan tulus.

“Lihat aja dulu, kalo gak suka kamu kasih ke orang lain aja.” Tangan Janu meraih tangan Danica dan memberikan kotak makan tersebut agar Danica memegangnya. “Kamu suka diem disini?”

“Gue gak butuh.” Pertanyaan Janu membuat Danica tersadar dari diamnya dan kembali memberikan kotak makan tersebut, “Gue udah biasa makan roti doang jam segini.” Danica kembali melahap rotinya.

“Okay.” Pria itu menerima kembali kotak makan yang ia berikan kepada Danica dan terdiam memperhatikan Danica yang sedang sibuk memakan rotinya.

“Lo ngapain kesini?” Merasa kikuk karena diperhatikan, Danica mengajukan pertanyaan untuk menghilangkan rasa canggung yang menyeruak di dalam dirinya.

“Nyari kamu.”

“Bacot.”

Tawa renyah Janu mengisi rooftop yang sepi dan membuat wajah Danica terlihat semakin kesal. Danica sudah tau betul maksud kedatangan pria ini padanya. Ia sudah terbiasa di dekati seperti ini, namun satupun tidak ada yang bisa menarik perhatiannya. Karena ada hal yang lebih penting dibandingkan mengisi asmara dalam hidupnya. Ini berhubungan dengan hidup dan matinya.

“Saya serius.” Ucap Janu ketika ia sudah selesai tertawa.

Butuh waktu 45 menit bagi Janu untuk mencari keberadaan Danica. Ia pikir, wanita itu akan berada di perpustakaan atau taman kampus, karena biasanya mahasiswa yang mendapatkan beasiswa akan berdiam diri ditempat tersebut kecuali Sagara. Namun siapa sangka ia akan menemukan Danica di atas rooftop seperti ini. Ketika Janu berhasil menemukannya, ia berniat untuk segera menyapa, namun Janu melihat jika Danica hanya memakan satu buah roti. Hal ini membuat Janu kembali turun dan berlari menuju kantin untuk membeli nasi uduk. Meskipun uang yang ia pakai adalah uang Kaivan dan ia menerima umpatan dari Rafa, ia tidak peduli. Ia hanya ingin menemui Danica.

“Kurang kerjaan lo?”

“Lebih ke harus effort kalo mau dapetin cewe cantik kayak kamu.”

Kalimat yang Janu lontarkan membuat Danica menggelengkan kepalanya pelan, “Terus kenapa lo gak maksa gue buat makan tuh makanan, lo udah jauh-jauh kesini.”

“Kamu suka dipaksa?”

“Gak sama sekali.” Danica terdiam dan meremas bungkus roti yang ada ditangannya, “Cowo kan emang kayak gitu. Kalo dia ngelakuin sesuatu dan orang lain nolak buat ngelakuin hal yang dia mau, mereka biasanya maksa. Kekerasan juga bisa mereka lakuin, asal apa yang mereka inginkan terwujud.”

Mata Danica berkaca-kaca ketika ia mengatakan hal tersebut. Janu bisa melihat jika emosi Danica meluap.

“Ah sial, kenapa gue malah ngomong gak jelas sama lo.”

Melihat Danica yang penuh dengan emosi, tangan Janu segera mengelus puncak kepala Danica dengan lembut, “Maaf kalo gak sopan. Tapi kalo orang lagi emosi, enaknya di usap kayak gini kepalanya.”

Hanya beberapa detik Janu dapat mengelus surai rambut milik Danica, karena sang pemilik tiba-tiba saja menghempaskan tangannya dan tidak menerima perlakukan lembut yang Janu berikan.

“Maaf.”

“Gak perlu. Gue emang gak suka dikasih perhatian kayak gitu.”

“Gak suka atau gak pernah?”

Pertanyaan Janu membuat jantung Danica tertohok dan emosinya semakin tersulut, “Lo mau apa sih kesini?”

“Kamu beneran orang Jakarta?” Janu mencoba mengalihkan pertanyaan agar Danica tetap merasa nyaman untuk mengobrol dengannya meskipun sedikit.

“Gak jelas tiba-tiba nanya itu.” Danica membuang bungkus rotinya kedalam tempat sampah dan segera pergi meninggalkan Janu.

“Saya cuma penasaran,” Janu mengejar dan menyamakan langkahnya dengan Danica. “Kalo iya, kenapa jauh banget kuliah di Bandung? Jakarta kan punya banyak kampus yang bagus juga.”

“Bukan urusan lo.”

Janu tidak menyerah, ketika Danica mempercepat langkahnya ia tetap menyamakan langkahnya dengan wanita tersebut. Danica berdecak pelan melihat hal tersebut, ia tidak ingin memberitahukan apapun dan menceritakan hal apapun pada pria yang ada disampingnya. Ia tidak ingin pria ini tau dan masuk kedalam kehidupannya.

“Janu!”

Teriakan Rafa membuat langkah Janu terhenti, begitu juga dengan Danica. Ketiga teman Janu berada dibelakang Janu beberapa meter, mendengar hal itu Janu segera membalikkan badannya dan menatap ketika temannya. Tangan Rafa bergerak dan memberikan isyarat jika ia mengajak Janu untuk merokok dibelakang kampus. Hal itu tidak bisa Janu tolak, ia mengangguk pelan dan memberikan isyarat kepada mereka untuk menunggu.

“Saya harus pergi sama temen-temen saya, nih buat kamu. Makan sore aja, gimanapun juga makan nasi itu perlu.”

Setelah memberikan kotak makan, Janu berniat untuk segera melangkah meninggalkan Danica dan menyusul ketiga temannya. Namun Danica memanggil nama Janu dan membuat Janu menghentikan langkahnya dan kembali menatap Danica.

“Kenapa?”

“Mereka temen lo?”

Janu menganggukkan kepalanya ketika mendengarkan pertanyaan dari Danica, “Iya, mereka temen saya. Oh iya,” Janu mendekati Danica, “Soal tempat pensil kamu yang tadi pagi, bukan saya yang ambil. Tapi Sagara, tuh yang pake hoodie.”

Ketika Janu menunjuk Sagara, mata Danica ikut menatap kemana arah jari Janu. Sialnya Danica malah menatap mata pria itu. Tatapannya sangat tajam dan dingin, rahangnya juga terkesan sangat tegas.

“Namanya Sagara. Sama kayak kamu mahasiswa yang dapet beasiswa di kampus ini.” Jelas Janu pada Danica.

“Dia juga satu-satunya cowo yang dapet beasiswa.” Gumam Danica pelan.

“Masa sih? Wah keren gini euy temen saya. Dia gak bilang apapun tadi setelah ngobrol sama dosen.”

“Kelemahan dia apa?”

Mendengar pertanyaan dari Danica, kedua alis Janu terangkat dan sedikit terkejut. Setelah itu Janu tersenyum dan menatap Sagara, “Kelemahan Sagara ya?”

“Lo tau?” Danica menghapus jarak diantara keduanya. “Gue harus bisa ngalahin dia.”

Janu tertawa kecil dan merangkul Danica, “Kalo kamu pengen tau, jadi pacar saya dulu. Gimana?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!