Di suatu bangunan yang berada di sepanjang jalan area distrik Galata, kota Istanbul. Cahaya lampu gantung menyinari seluruh ruangan bergaya klasik modern tersebut. Di tempat inilah orang-orang Istanbul sering meluangkan waktu mereka, meskipun hanya sekedar duduk mengobrol sambil menikmati pemandangan daerah Galata.
Suara hiruk pikuk tersebut mendadak hening, ketika suara alunan musik romantis yang menyentuh hati memasuki jiwa mereka. Permainan melodi itu berasal dari sebuah piano besar berwarna putih yang ada di salah satu sudut ruang Kafe Istanbul.
Seorang laki-laki sedang memainkan jari jemarinya dengan lincah di atas bilah-bilah papan berwarna hitam dan putih. Dengan memejamkan kelopak matanya, pianis itu memainkan pianonya sambil menyanyikan sebuah lagu yang berjudul Incomplete milik Backstreet Boys.
Empty spaces fill me up with holes
(Ruang hampa lingkupi ku dengan lubang menganga)
Distance faces with no place left to go
(Wajah-wajah nan jauh dan tidak ada tempat tujuan)
Without you within me. I can't find no rest
(Tanpamu di hatiku, jiwaku tak bisa istirahat)
Where I'm going is anybody's guess
(Kemana ku pergi, tak ada yang tahu)
Reff:
I tried to go on like, I never knew you
(Telah ku coba tuk lanjutkan hidup seolah tak pernah ku mengenalmu)
I'm awake but my world is half a sleep
(Aku terjaga tapi duniaku setengah terlelap)
I pray for this heart to be unbroken
(Aku berdoa agar hati ini terobati)
But without you all I'm going to be is incomplete
(Tapi tanpamu jiwaku pasti takkan utuh)
Voices tell me I should carry on
(Suara-suara memberitahu ku untuk terus bertahan)
But I am swimming in an ocean all alone
(Tapi aku berenang di samudra sendirian)
Baby, my baby
(Kasih, kekasihku)
It's written on your face
(Tertulis di wajahmu)
You still wonder If we made a big mistake
(Kau masih bertanya-tanya apakah kita telah melakukan kesalahan besar)
Don't mean to drag it on, but I can't seem to let you go
(Bukan maksudku tuk berlarut-larut, tapi rasanya aku tak bisa melepas mu)
I don't wanna make you face this world alone
(Aku tak ingin membuatmu hidup sendirian di dunia ini)
I wanna let you go (alone)
(Aku ingin melepaskan mu)
Setelah selesai menyanyikan lagunya, pianis itu membuka kembali kelopak matanya dan disambut suara tepuk tangan dari beberapa pengunjung yang memenuhi kafe tersebut. Rupanya pria itu tidak peduli dengan pujian yang dilontarkan kepadanya. Bukan pujian yang ia harapkan, karena saat ini ia hanya ingin mengeluarkan isi hatinya.
Pemain piano itu melayangkan pandangannya ke jendela. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat Menara Galata yang menjulang tinggi dengan tubuhnya yang terbuat dari bebatuan dan kepalanya yang berbentuk kerucut.
Kini aku kembali lagi ke kota ini. Kota kelahiranku, kota yang mempertemukanku dengan Hazal dan kota yang menolak kehadiranku....
Setelah mendengar suara sang pianis, pemilik kafe pun keluar dari dapurnya. Seorang pria berkulit gelap dengan perawakannya yang tinggi dan tegap menghampiri pria yang sedang duduk di kursi piano.
"Wow... lihatlah siapa yang datang mengunjungi Kafe Istanbul? Kenan Fallay?" Pemilik kafe itu tertawa kecil memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Mehmet?" Pianis itu rupanya terkejut ketika ia kembali bertemu dengan sahabat lamanya. Ia bangkit berdiri dan membetulkan letak jaket hitamnya.
Kedua pria bertubuh kekar itu saling menempelkan genggaman tangan mereka dan saling berpelukan. Lebih dari satu tahun kedua orang ini tidak saling bertemu.
"Rambutmu?" tanya Kenan sambil menunjuk kepalanya sendiri dan tertawa.
"Jangan tanya kenapa!" seru Mehmet dalam tawanya sambil mengusap kepalanya yang plontos.
"Kapan kau datang ke Turki?" Mehmet menepuk lengan berotot yang ada di depannya kemudian mengajak sahabatnya itu untuk duduk di salah satu sofa yang ada di sayap kanan.
"Dua hari yang lalu. Ini kafemu?" Pandangan Kenan mengitari interior kafe yang terlihat masih baru.
Mehmet hanya menganggukkan kepalanya kemudian berkata, "Baru setahun belakangan ini."
"Bagaimana dengan kehidupan backpacker mu? Apa kau menyukainya?" tanya Mehmet sambil meminta dua gelas minuman kepada seorang pelayan, kemudian mereka saling bertukar nomor ponsel.
"Menurutmu?" Kenan balik bertanya dengan memiringkan kepalanya dan kedua alisnya terangkat ke atas. Ia menekuk kedua lengannya ke dalam lipatan siku.
"Dasar pria bodoh! Ini sudah lebih dari satu tahun. Kau menyuruh Hazal untuk melanjutkan hidupnya. Sekarang giliranmu, lanjutkan hidupmu!" seru Mehmet sambil menatap penampilan sahabatnya.
Wajah tampan dengan kumis dan cambang yang tipis. Hanya tubuhnya sedikit lebih kurus dari setahun yang lalu.
"Well... aku sedang berusaha melanjutkan hidupku saat ini," kilah Kenan sambil mengusap wajahnya dengan satu tangan kemudian menatap manik mata hitam yang ada di depannya.
"Apa kau sudah mendapatkan tempat tinggal?" Mehmet mengambil salah satu gelas yang ada di atas meja kemudian meneguknya hingga tersisa setengah.
"Aku menyewa sebuah flat di dekat dermaga." Kenan mengaduk cangkir kopi Turkinya, menyesap cairan hitam itu sambil menghirup aromanya.
Sesaat ia terdiam dan memandang cangkir putih polos yang ada di depannya kemudian pandangannya beralih ke piano yang masih berdiri di sudut ruangan.
"Ckckck...," decak Mehmet sambil menggelengkan kepalanya.
"Bawalah mobilku yang ada di depan." Mehmet menunjuk sebuah mobil berwarna silver yang terparkir di depan kafe.
"Berkencanlah dengan wanita malam ini!" seru Mehmet. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci mobilnya. Pria berkulit gelap itu melangkahkan kakinya menuju ke dapur kafe.
Sebuah senyuman tipis terlukis dari wajah Kenan, setelah sahabatnya itu pergi meninggalkannya. Ia hanya menggelengkan kepalanya ketika manik matanya menatap anak kunci yang tergeletak di atas meja berserat kayu.
"Aku pergi!" teriak Kenan yang langsung mengambil kunci tersebut dan melangkah keluar meninggalkan Kafe Istanbul. Sebuah siulan mengiringi langkahnya.
Mehmet memandang kepergian sahabatnya itu sambil tersenyum manis. "Semoga kau beruntung, sobat," gumamnya.
Mobil berjenis SUV itu melaju membelah lalu lintas kota Istanbul sore ini. Lalu lintas padat merayap di sepanjang jalan. Sebuah mobil pengantin dan iring-iringannya melintas di depan mobil Kenan.
Mobil pengantin itu terus melaju hingga memasuki halaman Hotel Four Season yang ada di tepi Selat Bosphorus, Istanbul. Sebuah hotel mewah dengan bangunan arsitektur kuno khas kerajaan Ottoman.
Seorang petugas hotel membuka pintu mobil bagian belakang. Keluarlah seorang pengantin wanita dengan gaun putihnya yang panjang. Manik matanya memandang bangunan bertingkat tiga yang menjulang tinggi, seakan bangunan besar itu akan menjadi saksi eksekusinya malam ini.
"Buang wajah masammu itu! Tersenyumlah, karena sebentar lagi kau akan menjadi Nyonya Ferit Kozan," ujar sang mempelai pria kepada pengantinnya.
Pria itu menggandeng telapak tangan yang terbungkus dengan sarung tangan berbahan kain brokat putih bermotif bunga.
Pengantin wanita itu hanya tersenyum tipis bahkan hampir tidak tergambar seperti sebuah senyuman dari wajah cantiknya. Bulu matanya tersapu dengan tebalnya pulasan maskara dan sebuah polesan lipstik berwarna peach menghiasi bibirnya yang tipis.
Senja sudah memasuki peraduannya dan terlihat pancaran cahaya merah kekuningan di atas langit Hotel Four Season. Lampu kecil berwarna-warni yang tergantung di atas sebuah tali sudah mulai menyala. Puluhan pasang mata memandang sepasang pengantin yang berjalan di atas karpet merah yang membagi taman belakang hotel itu menjadi dua bagian. Di samping kiri dan kanan taman itu, berbaris puluhan kursi yang terbungkus kain putih dengan hiasan pita berwarna merah di bagian belakang.
Manik mata hijau itu memandang sekelilingnya, beberapa orang yang di kenalnya berada di sini. Tatapan matanya berhenti di sosok seorang pria paruh baya yang memakai setelan jas berwarna hitam dengan rambutnya yang mulai memutih. Ia sedikit mengendurkan genggaman tangannya, tetapi pria yang di sampingnya itu semakin menggenggam tangannya dengan erat. Seakan pria itu tidak akan pernah melepaskan dirinya.
Langkah sepasang pengantin itu berhenti di depan meja altar pernikahan. Di belakang meja altar itu sudah menunggu seorang perwakilan dari pemerintah kota Istanbul dan para saksi yang akan mengesahkan pernikahan mereka.
"Saudara Ferit Kozan, apakah Anda bersedia menerima saudari Ivy Eleanor sebagai istri Anda?" tanya seorang perwakilan dari pemerintah kota Istanbul yang berdiri diantara mereka.
Ferit mengambil mikrofonnya dan menatap manik mata hijau yang ada di depannya kemudian berkata, "Saya Ferit Kozan bersedia menerima Ivy Eleanor sebagai istri saya."
"Saudari Ivy Eleanor, apakah Anda bersedia menerima saudara Ferit Kozan sebagai suami Anda?" Tatapan mata perwakilan itu beralih kepada mempelai wanita.
Suasana menjadi hening menunggu jawaban yang keluar dari bibir tipis Ivy. Manik mata hijau itu menatap ayahnya yang sedang berdiri tidak jauh darinya. Sebuah guratan kecemasan dan kesedihan terlukis dari pria yang telah memberinya kehidupan. Kemudian pandangannya beralih ke seorang wanita cantik yang tersenyum bahagia, dan seorang gadis seusianya yang memandang dirinya tanpa ekspresi.
"Saudari Ivy Eleanor, apakah Anda bersedia menerima saudara Ferit Kozan sebagai suami Anda?" Perwakilan pemerintah itu mengulang kembali pertanyaannya.
Manik mata hijau itu tampak berputar ke kiri dan ke kanan. Kemudian berhenti tepat di manik mata coklat yang ada di depannya.
"Acara ini akan selesai setelah kau mengatakan ya!" seru Ferit yang berbisik tepat di depan wajah Ivy. Tapi calon istrinya itu membalasnya dengan tatapan matanya yang sangat dingin.
"Pernikahan ini tidak akan pernah terjadi!" seru Ivy yang langsung melempar buket bunga pengantinnya ke wajah Ferit.
Dengan menjinjing gaun pengantinnya, Ivy berlari keluar meninggalkan tempat pernikahannya menuju lobi hotel. Semua orang tampak tercengang begitu melihat tindakan Ivy.
Raut wajah Ferit memerah menahan amarah dan rasa malunya di hadapan para tamu. Pria berkumis itu menatap tajam wajah Victor Eleanor, Ayah Ivy. Seolah ia sedang meminta pertanggung jawaban dari laki-laki paruh baya itu.
"Cepat kejar wanita itu!" teriak Ferit kepada anak buahnya. "Bawa kembali pengantinku!"
Ferit berjalan menghampiri ayah Ivy. Beberapa orang yang berada di samping Victor segera memundurkan langkahnya begitu mereka melihat sebuah intimidasi yang akan mengancam mereka.
"Apa yang sudah di lakukan oleh putrimu, hah?" teriak Ferit sambil mencengkram kerah jas pria berusia enam puluh tahun itu.
"A...aku tidak tahu, Ferit," jawab Victor dengan gugup. "Aku akan mencari Ivy."
Ferit segera melepaskan cengkeramannya. Ia mengusap wajahnya dan rambutnya yang terikat ke belakang. Manik mata coklat itu menatap tajam altar pernikahannya. Impiannya untuk menikahi Ivy Eleanor, anak seorang pengusaha garmen itu kandas.
"Jika anak buahku tidak bisa menemukan putrimu, maka kau yang harus menanggung akibatnya!" teriak Ferit kepada Victor. Pria paruh baya itu semakin merasa tersudut.
Victor segera menghubungi orang-orang yang ada di rumahnya, untuk menanyakan keberadaan putrinya.
Ivy yang sudah berhasil keluar dari lobi hotel, meneruskan langkahnya menuju pintu keluar. Ia melepas sepatu high heels nya dan berlari menyusuri paving blok yang akan membawanya ke jalan raya.
Putri Victor itu mendengar teriakan orang-orang yang memanggil namanya. Tapi ia terus berlari tak peduli dengan tatapan beberapa pasang mata, hingga ia mencapai pintu gerbang hotel dan hendak menyeberangi jalan raya.
Sebuah pengemudi mobil SUV berwarna silver menginjak rem mobilnya secara mendadak, laki-laki itu terkejut begitu ia melihat seorang pengantin wanita berada tepat di depan mobilnya.
"Hampir saja...," gumam Kenan sambil menghela napasnya dalam-dalam.
Rasa terkejutnya tidak berhenti sampai di sini, Kenan kembali terkejut ketika pengantin wanita itu membuka pintu mobilnya.
"Cepat bawa aku pergi dari sini!" seru Ivy kepada laki-laki berjaket hitam yang duduk di belakang kemudi.
"Siapa kau?" tanya Kenan sambil memicingkan kedua matanya. Pandangannya beralih ke kaca jendela, ia melihat beberapa orang sedang berlari ke arahnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Cast visual para pemain. Ini hanya imajinasi ku untuk mempermudah aku menuliskan perawakan setiap tokoh. Jika kalian punya ke haluan yang beda dengan ku, silahkan pakai imajinasi teman-teman.
Kenan Fallay
Ivy Eleano
Ferit Kozan
Mehmet
Pesan Author...
Novel ini aku persembahkan untuk penggemar Kenan Fallay yang mengikuti novel Dangerous Love yang aku tulis pertama kali.
Untuk pembaca baru kalian bisa membacanya secara terpisah. Tapi kalau kalian ingin tahu cerita masa lalu Kenan, kalian bisa mulai membaca novel Dangerous Love terlebih dahulu.
* BERSAMBUNG *
Jangan lupa kasih like, komentar, rate bintang lima dan vote kalian 🤗 Terimakasih 🙏
"Jika takdir membuat kita berpisah dengan orang yang kita cintai, takdir jugalah yang akan mengirimkan seseorang untuk menggantikan dia yang terhilang**." - Oei Monica -
Bunyi klakson dari kendaraan lain membuat Kenan terpaksa menerima Ivy untuk masuk ke dalam mobil. Pria itu melihat dari kaca spion, orang-orang berhenti mengejar mobilnya.
Mungkin mereka mengejar wanita ini.
Kendaraan roda empat itu kembali menggelinding di atas jalan raya. Tidak ada seorang pun yang berniat untuk memulai percakapannya lebih dulu. Hanya terdengar suara mesin mobil dan bunyi kipas pendingin udara yang mengisi kekosongan malam ini.
Setelah berjalan sekitar sepuluh kilometer, Kenan menepikan mobilnya di depan sebuah toko yang menjual karpet tradisional Turki. Ia menyalakan lampu yang ada di atas kaca spionnya, membuatnya dapat melihat jelas wajah pengantin wanita itu.
"Aku akan mengantarmu pulang. Katakan dimana rumahmu?"
"Aku tidak ingin pulang ke rumah. Terserah kau membawaku kemana malam ini," jawab Ivy sambil menatap manik mata abu-abu gelap yang juga sedang menatapnya.
Mendengar jawaban Ivy, membuat Kenan mengernyitkan dahinya. "Aku tidak ingin bermasalah dengan keluargamu. Katakan dimana rumahmu atau kau turun sekarang juga dari mobilku!"
Mulut Ivy terbuka lebar membentuk huruf O setelah mendengar perkataan Kenan yang penuh dengan penekanan.
"Sudah aku katakan, aku tidak mau pulang!" teriak Ivy dengan melebarkan kelopak matanya.
Kenan mendengus kesal mendengar teriakan wanita yang tidak ia kenal. Beraninya wanita itu meneriakinya.
Dia pikir siapa dirinya? Hanya seorang wanita yang membutuhkan tumpangan.
"Oke, jika kau tidak ingin pulang ke rumah. Aku akan mengantarmu kembali ke hotel." Kenan hendak menyalakan kembali mesin mobilnya.
"Jangan! Kumohon jangan kembalikan aku ke hotel. Aku tidak ingin menikah dengan Ferit!" seru Ivy dengan spontan dan tanpa sadar ia memegang lengan jaket Kenan. "Please...."
Wajah cantik itu memohon belas kasihan kepada Kenan. Manik mata hijau itu bagaikan sebuah aquarium dengan ikan hias dan tanaman airnya.
"Baiklah. Lepaskan tanganmu! Aku tidak bisa menyetir!" seru Kenan. "Katakan siapa namamu?"
Perlahan Ivy melepaskan tangannya dari jaket hitam pria itu. Dengan keraguan ia mengulurkan tangannya kepada pria yang ada di sampingnya. "Ivy Eleanor. Kau?"
"Kenan," jawab Kenan singkat tanpa membalas uluran tangan Ivy. Telapak tangan yang masih terbungkus sarung tangan itu hanya berjabat tangan dengan hembusan angin.
Ivy menarik kembali tangannya kemudian menggigit bibir bawahnya. Ia mematikan lampu mobil yang ada di atas kaca spion. Suasana kembali gelap, hanya terlihat seberkas cahaya yang menerpa wajah mereka ketika melintas di bawah deretan lampu jalan raya.
Kenan melajukan mobilnya menuju daerah dermaga., tepatnya di distrik Balat. Tempat tinggalnya saat ini. Ia tidak peduli, wanita itu suka atau tidak. Jika Ivy tidak menyukai tempat tinggalnya, ia akan menurunkan wanita itu di tengah jalan.
Apa aku kurang baik? Aku sudah mencoba mengantarnya pulang, tapi ia menolak.
Sementara itu di taman Hotel Four Season, acara pernikahan Ferit dan Ivy benar-benar batal malam ini. Perwakilan pemerintah kota dan para tamu sudah menunggu hampir dua jam lamanya. Namun pengantin wanitanya tidak kunjung datang.
Petugas hotel mulai membereskan meja, kursi dan dekorasi taman sebelum dihancurkan oleh Ferit. Para tamu sudah mulai mengundurkan diri satu persatu dari acara itu. Ferit dan Victor tampak sibuk dengan ponselnya, mencoba menghubungi orang-orang yang bisa membantu mereka mencari Ivy.
"Kenapa kalian kemari? Dimana pengantinku?" teriak Ferit menatap tajam satu persatu anak buahnya yang berjumlah lima orang. Mereka masuk bersama-sama berbaris menghadap tuan mereka.
"Wanita itu masuk ke dalam mobil, Tuan. Ada seseorang yang sudah menunggunya di luar," jawab salah satu dari kelima orang itu.
"Siapa orang itu? Laki-laki atau perempuan?" tanya Ferit dengan wajah garangnya mendekati salah satu dari mereka.
"Kami tidak tahu, Tuan." Jawaban yang sangat tidak memuaskan bagi Ferit. Seorang pengusaha muda yang sangat berpengaruh di kota Istanbul.
Ferit kembali melancarkan intimidasinya kepada kepala keluarga Eleanor.
"Barusan anak buahku melihat Ivy kabur dengan seseorang. Ia menaiki mobil jenis SUV. Apa orang itu kekasih Ivy?" tanya Ferit sambil menatap satu persatu keluarga Ivy dan kemudian berhenti di depan Victor.
"Ivy baru saja pulang dari Prancis. Dia baru saja menyelesaikan studinya, tidak mungkin dia memiliki kekasih atau teman dekat di kota ini," jawab Victor.
"Lalu siapa yang telah membantunya kabur?" Ferit mendekatkan wajahnya di samping wajah calon mertuanya. Suaranya menggelegar tepat di depan telinga pria paruh baya itu.
"Aku tidak tahu. Aku bisa pastikan, bahwa putriku itu belum memiliki kekasih. Benar begitu, Cansu?" Putri tiri Victor itu tampak terkejut mendengar suara ayah tirinya yang menyebut namanya.
"I...iya. Ivy... tidak pernah menceritakan tentang teman prianya atau kekasihnya," jawab Cansu dengan terbata-bata.
Ferit memegang wajah Cansu dan menatap manik mata wanita itu dengan tajam. Dengan kasar, Ferit membuang wajah cantik itu ke samping.
Kau sangat berbeda dengan Ivy. Manik matamu tidak bersinar seperti pengantinku.
Ferit kembali berjalan mendekati Victor. Ia lebih suka menekan pria paruh baya yang tidak berdaya ini dibandingkan dengan anggota keluarga Eleanor yang lain. Ayah Ivy itu sudah seperti mainan bagi Ferit, yang bisa diinjak dan dibuang sesuka hatinya.
"Aku akan memberimu batas waktu sampai besok siang. Jika Ivy tidak di temukan, aku akan menarik kembali investasiku dari perusahaanmu!" ancam Ferit sambil mengarahkan telunjuknya di depan wajah Victor. Pria muda dengan rambutnya yang terikat itu terlihat sangat marah.
"Aku pasti akan menemukan Ivy. Kumohon kau jangan menarik bantuanmu, Ferit," ucap Victor yang menahan kepergian calon menantunya sekaligus penyelamat perusahaannya.
Ferit memegang erat tangan yang sudah mulai keriput dan meletakkannya di tempat yang semestinya.
"Itu tergantung putrimu, Ayah mertua tersayang." Ferit tertawa menyeringai bahkan terkesan mengejek pria paruh baya itu. Suara tawa itu mengiringi kepergian pemilik perusahaan Kozan.
Selepas acara pernikahan putrinya yang batal, Victor menggebrak meja yang ada di sudut kamarnya. Telapak tangannya terkepal erat. Manik mata tua itu menatap tajam foto keluarganya yang tergantung di dinding. Sudah beberapa jam Ivy menghilang tanpa ada kabar. Ia bahkan tidak bisa menghubungi ponsel putrinya.
"Ternyata putri kebanggaanmu itu tidak bisa menolong kita. Susah payah kita menyekolahkannya ke luar negeri, inikah balasannya?" sindir Sophia yang menambah amarah Victor.
"Tutup mulutmu!" pekik Victor. Pria paruh baya itu menatap tajam wajah istrinya.
Sophia berjalan mendekati suaminga. Ia mencoba mengendalikan dirinya di hadapan pria itu. "Apa kau belum memberitahu Ivy, tentang alasanmu menikahkan dia dengan Ferit?"
Victor menggelengkan kepalanya. Ia mendudukkan dirinya di atas ranjangnya yang berwarna coklat muda. "Bagaimana mungkin aku memberitahu Ivy, kalau dia akan menjadi tumbal untuk menyelamatkan perusahaanku?"
"Ya Tuhan, itu sebabnya dia berani kabur dan meninggalkan Ferit! Jika kau memberitahu Ivy sebelumnya, ia pasti akan menuruti perkataan mu!" pekik Sophia yang berdiri di samping Victor.
"Cukup, Sophia! Kau jangan terus-terusan menyalahkanku! Kepalaku hampir pecah karena masalah ini!" teriak Victor yang langsung bangkit berdiri dan pergi meninggalkan istrinya.
Sophia menatap tajam punggung suaminya yang sudah mulai membungkuk. Wanita itu kembali mondar-mandir di ruang kamarnya. Ia melipat kedua lengannya ke siku dalamnya. Pikirannya sedang memikirkan cara untuk menemukan Ivy. Hanya putri suaminya itu yang bisa menolong perusahaan Eleanor, dan menolong dirinya keluar dari ancaman kemiskinan.
Sebuah mobil SUV berhenti di depan rumah susun di Distrik Balat, Istanbul. Bangunan bertingkat lima itu tampak menjulang tinggi diantara bangunan sekitarnya. Rumah susun itu berwarna coklat dengan aksen abu-abu tua, sangat berbeda dengan ciri khas daerah Balat. Kebanyakan pemukiman di tempat ini menampilkan permainan warna-warni dalam setiap bangunannya.
Daerah tempat tinggal Kenan saat ini adalah daerah pemukiman padat penduduk dengan jalan raya yang tidak terlalu lebar. Jalan raya tersebut mampu menampung dua mobil sekaligus.
Ivy mengernyitkan keningnya dan melihat sekelilingnya. Ia melihat beberapa pakaian warna-warni yang dijemur di luar dengan seutas tali yang membentang dari bangunan satu ke bangunan lain yang ada di depannya. Jemuran pakaian itu seperti hiasan gantung di lingkungan tersebut. Hampir setiap penduduk menjemur pakaian mereka di luar, karena kurangnya halaman di tempat tinggal mereka.
Bau aroma sampah yang berasal dari sisa bekas makanan menusuk hidung Ivy. Tumpukan kardus, gerobak bekas penjual makanan, serta beberapa sudut bangunan dengan warna catnya yang kusam dan mengelupas menambah kesan kumuh daerah itu.
Mulai dari anak-anak hingga pria dewasa duduk dan bermain di atas bahu jalan. Mereka meneriaki Kenan yang membawa seorang pengantin. Mereka pikir wanita itu adalah istri Kenan. Tapi pria itu hanya menoleh sekilas kemudian tidak memperdulikan perkataan orang-orang itu.
Kenan mengajak Ivy untuk masuk ke dalam. Mereka menapaki beberapa anak tangga yang terbuat dari lantai keramik bercorak abu-abu. Langkah mereka berhenti di depan salah satu pintu kayu yang ada di lantai tiga.
"Apa kau tinggal di sini?" tanya Ivy ketika Kenan membuka pintu flatnya.
"Ya. Masuklah." Kenan dan Ivy melepaskan sepatu mereka dan meletakkannya di belakang pintu.
Wanita berambut coklat gelap itu melangkah masuk ke dalam. Manik mata hijaunya menjelajahi ruangan itu. Ia memperkirakan luas ruangan itu sebesar luas ruang keluarganya. Hanya terdapat satu kamar tidur dengan satu ranjang berukuran single, satu kamar mandi, dan dapur kecil.
"Aku akan mengantarmu pulang, jika kau tidak betah tinggal di sini," ucap Kenan yang sejak tadi berjalan di belakang Ivy. Ia memperhatikan gerak-gerik wanita itu yang sedang mengamati tempat tinggalnya. Ia berharap wanita itu tidak tinggal lama di rumahnya.
Ivy membalikkan badannya menghadap Kenan. "Apa boleh aku tinggal di sini semalam? Besok kau bisa mengantarku pulang ke rumah."
Kenan hanya mengangkat kedua bahunya dan membuka kedua tangannya. "Jika kau betah!"
Sebelum Ivy memintanya, Kenan telah memberikan kemeja dan celana pendeknya yang sudah kekecilan kepada Ivy. "Ganti pakaianmu! Orang-orang akan berpikiran negatif jika melihatmu berpakaian seperti itu!"
Ivy hanya terbengong, karena ia masih berpakaian lengkap meskipun ada beberapa bagian tubuhnya yang terbuka.
Kenan segera meletakkan pakaiannya di atas ranjang. "Aku akan menunggu di luar."
Sejak tadi sudah beribu pertanyaan berkecamuk di kepala Kenan tentang Ivy. Seseorang yang baru saja ia kenal tiba-tiba ingin tinggal bersamanya. Tapi ia tidak ingin bertanya langsung kepada pengantin wanita itu, karena ia tidak ingin ikut campur masalah Ivy. Masalahnya sendiri sudah cukup rumit.
Setelah berganti pakaian, Kenan memberikan ranjangnya kepada Ivy. Sedangkan ia sendiri memilih tidur di sofa di luar kamar.
*** Cast Visual tokoh tambahan ***
Victor Eleanor
Sophia Eleanor (Istri Kedua Victor Eleanor)
Cansu Eleanor (Anak tiri Victor Eleanor. Anak kandung Sophia. Saudara tiri Ivy dan Deniz Eleanor)
* BERSAMBUNG *
Halo para readers, semoga kalian menyukai cerita kedua ku ini. Jangan lupa kasih like, komentar, rate bintang lima dan vote kalian ya🤗 Terimakasih 🙏
Keesokan harinya di ruang makan keluarga Eleanor, makanan sudah lengkap tersaji di atas meja makan. Cansu, putri Sophia dari suami pertamanya sedang menopang dagunya dengan kedua tangannya yang menempel di atas meja.
Ayah kandungnya sudah lama meninggal sejak ia berusia sepuluh tahun. Tepat di usianya yang kedua belas, ibunya menikah dengan ayah Ivy. Usia Cansu dan Ivy sama, mereka hanya berbeda bulan kelahiran. Cansu lebih tua lima bulan dari Ivy.
Kini wanita berusia dua puluh dua tahun itu memandangi roti lapis dan yoghurt yang ada di depannya, tapi ia tidak benar-benar melihatnya. Pikirannya berputar kembali mengingat kejadian semalam. Memikirkan sebenarnya apa yang sedang terjadi di keluarganya saat ini.
Saudara tirinya yang baru saja kembali ke Istanbul minggu lalu, mendadak harus menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Laki-laki yang tidak mereka kenal, Cansu pernah bertemu dengan Ferit sekilas di kantor ayah tirinya.
Laki-laki yang tampan, berkuasa, kaya raya... Bukankah itu idaman semua wanita? Tapi kenapa Ivy menolaknya? Ivy... Ivy... kau terlalu naif sayang.
"Cansu, yoghurtmu!" seru Nur. Pelayan rumah yang berusia sekitar empat puluh tahun melihat anak majikannya menuang cairan kental dan berasa asam itu sambil melamun.
"Oh...!" pekik Cansu yang terkejut setelah menyadari cairan yoghurt nya sudah meluber hingga ke meja makannya.
"Aku akan membersihkannya." Nur segera mengambil kain serbet yang ada di dapur.
Sementara itu di ruang kamar Victor dan Sophia, sepasang suami istri paruh baya itu kembali terlibat pertengkaran yang sama seperti semalam.
"Jika saja anak-anakmu tidak menghabiskan biaya besar, kita tidak mungkin terlilit banyak hutang, Victor!" seru Sophia kepada suaminya.
"Semua itu bukan salah mereka. Aku bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan masa depan anak-anak!" sangkal Victor yang mengarahkan telunjuknya ke wajah istrinya.
"Akui saja... berapa banyak uang yang kita keluarkan untuk menyekolahkan Ivy ke Paris? Dan berapa biaya pengobatan untuk Deniz? Anak-anak mu penyumbang pengeluaran terbesar!" Sophia kembali memojokkan Victor.
"Cukup, Sophia!" teriak Victor dengan keras. Pria paruh baya itu mengusap wajahnya dengan kasar semetara tangan yang satu memegang teralis besi jendela kamarnya.
Pria paruh baya itu sudah tidak tahan menghadapi situasi seperti ini. Perusahaan yang di bangunnya sejak ia masih muda terancam bangkrut. Ia tidak bisa membayar hutang-hutangnya pada pihak bank. Ditambah lagi, ancaman Ferit yang tidak akan memberikan bantuannya jika pria itu tidak bisa menikah dengan Ivy.
"Ini uang untuk pengobatan Deniz, pihak rumah sakit sudah menagihnya. Aku akan segera ke kantor," ucap Victor setelah menurunkan emosinya, ia memberikan sebuah amplop kepada Sophia.
"Baiklah. Nanti aku akan ke rumah sakit." Sophia menerima amplop berwarna putih tersebut. Sebelum ia memasukkannya ke dalam laci, ia membuka isi amplop tersebut. Manik matanya bersinar melihat beberapa lembar uang kertas dengan jumlah yang cukup banyak. Garis bibirnya tertarik ke atas.
Bunyi hentakan sepatu terdengar menuruni anak tangga, membuat Cansu dan Nur menghentikan aktivitas mereka pagi ini.
"Cansu, apa Ivy sudah pulang?" tanya Victor yang belum melihat putri kandungnya berada di ruang makan. Raut wajahnya kembali tegang.
"Belum, Ayah. Semalam aku mencoba menghubungi ponselnya, tapi tidak tersambung," jawab Cansu yang masih duduk di kursi makannya.
"Cansu, sebaiknya kau mencari pekerjaan mulai sekarang. Siapa tahu kau bisa membantu perekonomian keluarga kita," ucap Sophia sambil memasukkan selembar daging asap ke dalam tumpukan rotinya.
"Memangnya apa yang terjadi dengan keuangan keluarga kita? Apa perusahaan Ayah ada masalah?" tanya Cansu yang di sambut tatapan tajam Victor kepada ibunya.
"Hanya masalah bisnis biasa. Tapi benar kata ibumu, mulailah mencari pekerjaan. Apalagi kau juga baru menyelesaikan kuliahmu," jawab Victor sambil mengangkat gelasnya yang berisi jus jeruk, kemudian meneguknya sampai habis.
"Aku akan mencari pekerjaan setelah Ivy berhasil di temukan. Hari ini aku akan keluar mencari Ivy." Cansu menatap wajah ayah dan ibunya secara bergantian.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Victor segera pergi ke kantor. Sementara Cansu pergi untuk mencari Ivy. Tinggal nyonya rumah dan seorang pelayan di dalam rumah itu.
Sophia mendatangi Nur yang ada di dapur. Wanita berambut merah itu memperhatikan pelayannya yang sedang membuat adonan kue.
"Untuk siapa kue itu?" tanya Sophia yang membuat Nur mematikan mesin pengocok telurnya.
"Ivy. Sejak ia pulang dari Paris, aku belum membuat kue kesukaannya," jawab Nur sambil menuangkan gula pasir ke dalam adonan kuenya yang berwarna kuning.
"Nur, aku tahu kau sudah bekerja cukup lama di rumah ini. Bahkan sebelum aku masuk ke dalam keluarga ini," kata Sophia yang menyandarkan dirinya di depan mesin oven yang besar.
Pelayan senior itu hanya menatap lurus wajah majikannya. Ia masih belum memahami alur pembicaraan wanita itu. Tapi ia mengenal watak Sophia, semua kata-kata wanita itu mempunyai makna yang terselubung.
"Apa yang ingin Anda bicarakan, Nyonya?" tanya Nur yang mengambil kain serbet untuk membersihkan tangannya yang terkena adonan tepung.
"Sebaiknya mulai hari ini, kau mencari pekerjaan lain!" seru Sophia dengan manik matanya yang menatap ke bawah tanpa memandang wajah Nur.
"Apa maksud, Nyonya? Apa Nyonya akan memecat saya?" Nur sedikit emosi mendengar dan melihat tatapan wajah majikannya yang seakan memandang rendah dirinya.
Sophia hanya menggelengkan kepalanya dan menutup mulutnya dengan jari telunjuknya.
"Bukan memecatmu. Tapi mungkin sebentar lagi, aku dan suamiku tidak mampu menggajimu lagi." Tatapan tajam dan senyuman Sophia membuat pelayan bertubuh gembul itu menjatuhkan spatula nya ke lantai.
Sophia hanya menatap spatula yang terjatuh tepat di depan kakinya, kemudian ia membalikkan badannya melangkah pergi meninggalkan Nur yang termenung memandangi spatulanya.
* BERSAMBUNG *
Halo para readers...
Gimana sudah baca sampai tiga bab? Apa kalian suka? Semoga cocok ya dengan selera kalian...
Jangan lupa kasih like, komentar, rate bintang lima dan vote kalian ya 🤗 Terimakasih 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!