NovelToon NovelToon

DESTINY

BAB I

HIDUPKU

AKU berlari di bawah sinar mentari yang mulai tenggelam. Langit senja seperti ini aman untuk kugunakan sebagai waktu berburu di hutan. Tatapanku menajam ke arah rusa yang sedang memakan semak belukar. Melangkah pelan, aku menghampiri rusa itu, namun pendengaran rusa yang sangat peka membuatnya berlari mejauh dari jangkauanku. Aku mengejarnya hingga masuk lebih dalam ke hutan. Tentu saja kecepatan kaumku lebih cepat dari hewan buruanku.

"Gotcha!" Kedua tanganku menyergap tubuh rusa malang itu. Dan dengan taring yang telah memanjang, aku menggigit tepat di urat nadi lehernya. Tak ada perlawanan dari mangsaku kali ini membuat senyum puas terukir di bibirku.

Aku menikmati rasa lega yang menghilangkan kelaparanku selama dua hari ini. Setidaknya dengan darah rusa yang telah habis kuminum, aku dapat bertahan untuk tidak makan selama seminggu.

Kresek kresek..

Beranjak, aku menatap sekeliling dengan waspada. Tiba - tiba kurasakan angin bergerak kencang dari belakang. Berbalik, aku menemukan seekor serigala besar melompat ke arahku. Aku segera mengelak dan melompat ke atas pohon. Dari sini, aku dapat melihat ada satu, dua, tiga, astaga ada lima serigala mengepungku!

Kujilat darah yang menetes dari taringku. Aku menyeringai dan membuat mereka menggeram marah. Serigala - serigala itu mulai menggoyangkan pohon dan ada yang melompat dengan niat mencakarku. Aku menghindar lagi dan mulai berlari melewati batang - batang pohon besar hutan ini. Kudengar langkah kaki mereka terus mendekat. Geez, mereka pantang menyerah rupanya. Kunaikkan kecepatan dan berhasil sampai di pinggir hutan. Segera kunaiki mobil dan melaju kencang meninggalkan kelima serigala yang berdiri di tengah jalan raya -menatap kepergianku dengan lensa hitam mereka.

"See you, wolves!"

●●●

Kuparkirkan mobil sport biru ini di garasi. Setelahnya aku dengan perut yang telah kenyang berjalan masuk ke dalam rumah.

"Darimana saja, kau?" tanya Arvel begitu aku sampai di ruang keluarga.

"Makan," jawabku lalu duduk di sampingnya yang tengah menonton reality show.

"Apa yang tadi kau dapat?"

"Seekor rusa dan lima ekor serigala."

"Apa?" Dia memekik dan langsung meraih kedua bahuku. "Kau? Astaga, kenapa kau mencari masalah lagi?"

Aku menepis tangannya lalu melipat kedua tanganku di depan dada. "Aku tidak mencari masalah, mereka saja yang tiba - tiba menyerangku saat aku makan."

Arvel mendengus, "Tetap saja."

"Apanya yang 'tetap saja'?" tanyaku kesal.

"Ave, Arvel," sebelum Arvel menjawab, suara Mom yang memanggil kami terdengar.

"Pasti Mom akan menyuruhku ke supermarket," ucap Arvel.

"Supermarket?" aku mengernyit. "Untuk apa ke sana?"

"Rekan bisnis Dad akan datang nanti malam."

"Avera, Arvel," teriak Mom sekali lagi membuat telingaku sakit. Salahkan pendengaran rasku yang terlampau tajam.

"Kau saja yang temui, Mom. Aku mau pergi ke rumah Bella," Arvel bangkit dan berjalan keluar rumah sambil menenteng kunci motornya.

Aku menghela nafas dan berjalan ke dapur. "Ada apa, Mom?"

Mom menoleh, "Mana Arvel?"

"Dia keluar menemui Bella."

"Oh. Mom mau minta tolong, ini daftar belanja untuk makan malam nanti. Kau bisa kan pergi ke supermarket sendirian?" Mom menyerahkan secarik kertas yang segera kuambil.

"Tidak masalah, tapi makan malam? Kita kan tidak makan makanan manusia, Mom."

Dia tersenyum menatapku, "Kau pasti sudah dengar dari Arvel, kan? Sudah sana, cepat ya belanjanya. Ini sudah jam enam, mereka akan datang jam delapan," Mom mendorong bahuku.

"Okay, Mom," aku pun barjalan dengan cepat menuju bagasi dan mengeluarkan Portia -nama mobil kesayanganku yang berwarna biru laut. Tentu saja, aku memilih mobil ini daripada mobil sport milik Arvel yang kugunakan untuk berburu. Bergegas, kutancap gas dan menuju supermarket.

Jalanan kota, tempat keluargaku menetap memang tak pernah sepi. Aku berhenti di depan High Supermarket dan turun dari mobil. Dengan berjalan 'normal' layaknya manusia, aku memasuki bangunan besar ini. Tak butuh waktu lama untukku membeli bahan - bahan yang dibutuhkan oleh Mom, karena setiap bulan sekali Mom akan memasak untuk anak - anak yatim, dia bersamaku pergi ke sini membeli bahan masakan juga keperluan sehari - hari.

Setelah semua terkumpul dalam troli yang kudorong, aku bergegas menuju kasir untuk membayarnya. Entahlah, aku merasa tak nyaman dan ingin segera pulang. Sejak awal aku menginjakkan kaki di sini, aku merasa seperti diawasi. Selain itu, demi Tuhan! aku bahkan mencium banyak aroma manusia serigala di sekitarku. Dan aroma vampir yang sangat jarang.

"Semuanya, 50 dolar 14 sen," ucap wanita yang merupakan petugas kasir.

"Baiklah." Aku merogoh sakuku dan panik melandaku. Aku lupa membawa dompet. Gawat!

Aku menggigit bibir bawahku lalu menengok ke arah antrian yang mulai memanjang.

"Dompet-" ucapku terpotong ketika sebuah tangan mengulurkan uang ke arah wanita itu. Aku menoleh ke samping dan menemukan pria bermata hitam pekat menatapku dalam. "Thanks," gumamku pelan.

Aku meraih kantong plastik yang telah membungkus belanjaanku. Berhenti di dekat pintu supermarket, aku menunggu pria yang menolongku tadi. Tak lama, tubuh tegapnya berjalan keluar melewatiku. Segera aku meraih lengannya dan aroma yang tak asing mengusik penciumanku. Sontak aku melepas peganganku pada lengannya dan menatapnya tak percaya.

"Wolf," bisikku.

Pria dengan kemeja hijau itu menatapku datar. Tatapan yang berbeda dengan saat di depan kasir. "Ada yang bisa kubantu, nona?"

"Berikan aku nomor rekeningmu, akan kutransfer uangmu secepatnya," ucapku dingin. Kenapa mahluk di depanku ini mau repot - repot menolong musuhnya?

"Tidak perlu." Dia berjalan meninggalkanku begitu saja.

"Ya sudah." Aku mengangkat bahu tak acuh dan masuk kembali ke dalam mobil. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Aku harus cepat.

●●●

"Mom, aku pulang." Aku berteriak heboh sambil meneteng dua kantong belanja.

"Tidak perlu berteriak, Ave. Kau membuat kepala Mom pusing," ucap Mom dari arah dapur. Aku berjalan menghampirinya.

"Sorry, Mom."

"Kau terlambat lima menit, dear," ucapnya.

"Tadi ada insiden kecil. Aku ke kamar ya, Mom."

"Eh," dia menarik lenganku. "Terlambat lima menit artinya kau harus membantu Mom memasak."

"Mom," aku merengek namun Mom tetap pada pendiriannya. "Oh, baiklah."

Dia tersenyum puas dan aku dengan malas mulai nembantu Mom menyiapkan makanan untuk tamu yang dapat menjadi 'makanan' kami, jika Dad tidak melarangku dan Arvel untuk minum darah manusia lagi. Yeah, semua ini gara - gara ulah ceroboh Arvel yang hampir membuka identitas kami sekeluarga di masyarakat. See, saudaraku satu - satunya itu memang menyebalkan.

"Jangan melamun, Ave. Cuci daging sapi ini, lalu potong - potong," ucap Mom.

Aku mengangguk patuh dan membawa daging sapi tersebut ke wastafel. Aku heran pada diriku sendiri dengan bakat memasakku. Dad, Mom dan Arvel yang kadang ikut makan bersama tamu selalu memberi komentar positif terhadap masakan yang kubuat. Beda denganku yang tak mau sedikitpun mencicipi makanan manusia. Aku berfikir bahwa makan makanan dari 'makanan asli' ku adalah sesuatu hal yang lucu.

Jika aku makan masakan ini, sama saja dengan aku makan semak belukar yang dimakan rusa maupun daging mentah yang dimakan harimau. Ewh. Membayangkannya saja membuatku ingin muntah. Merasa bingung, kenapa ketiga anggota keluargaku yang termasuk vampir murni mengatakan bahwa pizza dan nasi goreng lebih enak dari darah hewan. Aku tertawa mendengar lelucon mereka.

"Setelah itu, dagingnya di apakan Mom?"

"Direbus, buat semur daging saja," jawab Mom.

Aku mengerutkan dahi bingung, "Masakan Indonesia lagi ya, Mom?"

Mom mengangguk semangat, "Ya, masakan dari negara itu terkenal lezat. Mom ingin mencoba memasak lebih banyak lagi masakan asli sana."

Menggumamkan kata 'oh', aku memulai memasak sesuai panduan dari Mom. Satu jam berlalu, semua hidangan telah tersaji di atas meja.

"Akhirnya," aku menghembuskan nafas lega. "Mom aku boleh ke kamar, kan?"

"Tentu saja, dear. Thanks sudah membantu Mom hari ini."

"My pleasure, Mom."

●●●

Pagi ini aku telah siap dengan kaos lengan panjang motif garis berwarna merah - putih, dan celana jins panjang. Serta sepatu olahraga membungkus kedua kakiku. Im ready for school.

Aku mengambil jurusan design untuk yang ketiga kalinya selama 150 tahun eksistensiku. Bosan kerap datang menghampiri, namun mau bagaimana lagi jika Dad yang memberi perintah. Kalau aku tidak patuh, dia akan menyita semua fasilitasku. Aku bergidik ngeri ketiga 30 tahun yang lalu aku membuat Dad marah besar dengan perbuatanku yang meminum darah manusia.

Salahkan Arvel yang menyita waktu dan perhatianku hingga aku kelaparan. Dan Dad tanpa mendengar penjelasanku, dengan tega membakar butik yang sudah susah - payah kurintis. Sejak saat itu, aku bertekad tidak akan membuat Dad murka. Walaupun cobaan semakin besar ketika aku harus berbaur dengan manusia di tempat kuliah nanti.

"Aku berangkat, semua!" ucapku pada Mom, Dad dan Arvel yang tengah sarapan bersama dua orang asing.

"Kemarilah sebentar, dear," ucap Mom membuatku berbalik arah menghampiri meja makan. Seketika aku mencium bau aneh di sekitarku. Aku menatap curiga ke arah dua orang asing itu.

"Ada apa, Mom?" tanyaku yang telah berdiri di samping Mom.

"Kenalkan, mereka Airen dan Adrian. Anak dari sahabat Mom yang akan tinggal sementara di sini."

"Hai, aku Airen," gadis dengan rambut hitam tersebut bangkit dari duduknya dan menarik tanganku untuk di genggamnya. "Uh, tanganmu seperti es!" Dia memekik dan spontan melepaskan tanganku.

Aku tersenyum sinis, "Avera". Pandanganku beralih pada lelaki di samping Airen. Sepertinya aroma aneh ini berasal darinya. Aku menatapnya yang fokus menyantap sarapan -sekian detik sebelum beralih pada Mom lagi. "Mom, aku berangkat."

"Tunggu, dear. Kau bisa berangkat bersama mereka. Airen ada di jurusan yang sama denganmu," ucap Mom.

Aku mengangguk malas dan menunggu keduanya selesai sarapan.

"Ayo berangkat!" Airen meraih tasnya. Disusul Adrian. Dan kami pun melangkah menuju teras.

"Kita naik mobil ini?" tanya Airen semangat.

"Yeah," Aku mengeluarkan kunci dan membuka pintu mobil. Namun sebuah tangan menghentikanku.

"Biar aku yang menyetir," ucap Adrian.

Aku tersenyum remeh, "Apa kau sudah tahu lokasinya?"

"Sudah," jawabnya dan dia dengan cepat meraih kunciku.

Untuk sekali saja aku mengalah. Mungkin dia merasa sangsi jika wanita yag mengambil alih kemudi. Aku pun berjalan memutari mobil dan duduk di sampingnya. Dengan Airen yang duduk tenang di belakang, kami melesat membelah jalanan kota.

●●●

"Kau bisa pulang dahulu tanpa menunggu kami," ucap Adrian sambil melempar kunci mobilku.

"Dan Mom akan memarahiku," ucapku sakrastik.

"Tidak akan," Dia pun menggandeng Airen untuk melangkah bersamanya. Dasar menyebalkan.

Aku menyampirkan tasku di bahu dan berjalan memasuki gedung jurusanku. Uh, aroma para manusia di sini sangat mengganggu. Bersyukurlah kalian, aku sudah kenyang hingga senin depan nanti.

Aku berjalan dengan tenang di koridor, kelas akan dimulai pukul sepuluh dan sekarang masih pukul delapan. Kuputuskan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan saja.

Sesampainya di sana, aku berkeliling dari satu rak ke rak buku lainnya. Jujur saja, aku jadi tidak mood sekarang. Aroma werewolf tercium kuat olehku. Mungkin ada lima atau enam orang di sekitarku. Lebih baik aku keluar saja.

"Ave," Aku menoleh dan menemukan Airen berlari ke arahku. "Aku mencarimu sejak tadi."

Aku diam menunggunya berbicara lagi.

"Kau baru dari perpustakaan?" Dia melirik ruangan di belakangku. "Pantas saja aku tak menemukanmu tadi."

"Ada apa?" tanyaku akhirnya.

"Temani aku cari kelasku ya? Tadi Adrian langsung pergi begitu saja setelah dari ruang administrasi."

"Cih, saudara macam apa itu," aku mencibir.

"Dia bukan saudaraku," ekspresinya berubah sendu. "Setidaknya dia yang berfikir bahwa kami bukan saudara. Karena aku hanyalah anak adopsi. Rasanya menyakitkan, kan, Ave?"

Aku menatapnya datar, "Aku tidak peduli". Berbalik aku meninggalkannya.

"Avera, wait!" Dia berteriak dan menyusul langkahku. "Help me."

Langkahku berhenti di depan sebuah kelas. "Ini kelasmu," ucapku kemudian kembali melangkah.

"Thanks, Avera!"

●●●

Kelasku telah selesai, namun aku tidak bisa pulang. Karena tiba - tiba Airen muncul di depanku dan memintaku untuk menemaninya atau lebih tepatnya mengantarnya ke mall. Aku pasti menolaknya, jika saja Mom tidak mengirimiku pesan yang berisi ancaman. Terpaksa aku mengalah lagi hari ini.

"Aku tunggu di dalam mobil," ucapku. Dia mengangguk dan berjalan ke dalam mall.

Akhirnya aku bisa istirahat. Kurebahkan tubuhku di kursi dan memejamkan mata sejenak.

Bugh..

Aku tersentak ketika merasakan mobilku terdorong ke belakang. Kedua mataku melebar menatap sebuah mobil yang membentur bagian depan Portia. Sialan.

Bergegas aku turun dari mobil dan mengetuk pintu pengemudi dengan keras. Cukup membuat penyok sedikit. Sebenarnya aku mampu mengangkat mobil ini dan memecahnya menjadi dua tapi bayangan wajah Dad muncul otomatis di kepalaku.

"Hey, keluar kau!"

Dok dok dok.

Pengemudi itu keluar dengan gaya angkuh.

Aku menatapnya sengit, "Kau harus ganti rugi!"

"Fine. Berapa yang harus kubayar?" tanyanya dengan tersenyum miring.

"200 dolar."

Kulihat dia merogoh saku belakangnya dan mengeluarkan dompet.

"200 dolar. Selesai," Dia pun mengembalikan dompetnya ke tempat semula.

"Belum selesai." Aku menatapnya tajam. "Kau belum meminta maaf!"

"Minta maaf?" Pria itu bertanya dengan nada mencemooh. "Tidak ada dalam kamus hidupku, Nona."

"Jika begitu, aku yang akan menuliskannya di kamusmu." Aku menyeringai dan dia menatapku berani.

"Maafkan, aku," ucapnya kaku.

"Diterima."

Pria itu pucat seketika, dia terlihat bingung dan memandangku takut. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku tak melakukan apapun."

"Kau menghipnotisku!"

"Hey, bodoh. Kalau aku menghipnotismu kau tak akan sadar saat mengucapkan maaf," aku mencibir.

"Kau? Pasti penyihir jahat! Menjauh dariku!" Dengan cepat dia kembali masuk ke dalam mobil dan meninggalkan parkiran.

Aku memandang mobilnya yang melaju dengan heran, "Penyihir? Yang benar saja. Inilah salah satu kemampuan bangsaku, human."

●●●

BAB II

KECURIGAAN

MALAM yang sunyi dan tenang seperti sekarang membuatku ingin merebahkan diri di atas tempat tidur nyaman milikku. Namun, aku harus menelan pil kekecewaan karena suara gaduh dari lantai bawah membuatku bangkit dan keluar kamar.

"Arvel, jangan berisik!" Aku berteriak kesal dan melempar sandalku ke kepalanya.

"Aw!" pekik Arvel yang kemudian berhenti berdebat dengan Adrian dan melotot padaku. "Kenapa kau melempariku?"

Aku memandangnya tajam, "Suaramu membuat kepalaku pusing, Ar! Dan kau Adrian," aku menunjuk pria di depan Arvel yang memandangku datar. "Diamlah dan jangan menanggapi si 'cerewet' Arvel itu, okay?"

Dia mendecih lalu memalingkan wajahnya. Sialan.

Aku pun turun dengan kecepatan kaumku dan berniat melemparkan pukulan ke arah lengannya. Saat tanganku hampir menyentuhnya, kurasakan tubuhku membentur sesuatu yang cukup keras.

Bugh..

"Aw," pekikku ketika tubuhku terpental ke dinding rumah. Apa yang baru saja terjadi?

"Ave!" Arvel berlari ke arahku dan membantuku berdiri. "Sialan kau, Adrian"

Aku meringis merasakan punggungku yang sepertinya memar. Ya sudahlah, tak lama nanti sakitnya akan menghilang. Kulirik Arvel yang masih menegang di sampingku.

"Kubalas kau!" Arvel berteriak sebelum melesat ke tubuh Adrian. Namun kali ini, aku dapat menahan gerakannya dan dengan cepat aku membawanya ke dalam kamarku.

"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanyanya kesal dan berniat keluar dari kamarku. Dengan cepat aku berdiri di depan pintu.

"Don't," ucapku sambil menatapnya memohon. "He's not human."

Arvel memandangku heran. "Apa maksudmu?"

"Dia memiliki aroma yang aneh."

"Are you kidding me, huh?"

"No."

Arvel berdecak, "Aku tidak mencium apapun, Ave."

"Benarkah?" tanyaku terkejut.

"Ya," dia mengangguk. Namun kemudian keningnya berkerut. "Awalnya kupikir dia hanyalah seorang manusia, sama seperti Airen. Tapi.."

"Tapi?"

"Setelah kejadian tadi," Kedua iris Arvel berubah menjadi merah. "Aku juga ikut yakin dia bukan manusia."

"Arvel, calm down." Aku mengusap bahunya dan mengajaknya duduk bersamaku di atas tempat tidurku. "Lalu menurutmu dia dari spesies apa?"

"Entahlah," jawabnya acuh. "Aku ingin kembali ke kamar."

"Tunggu," aku mencegahnya yang akan berdiri. "Tell me. Kenapa kau bisa berdebat dengan Adrian?"

"Well. Urusan pria, little sister. Aku tidak bisa memberitahumu. Sudahlah, aku mau mengistirahatkan benakku."

Aku hanya diam dan menatap kepergiannya. Menghela nafas panjang, aku kembali merebahkan tubuhku. Semoga kali ini tidak ada gangguan lagi.

Namun baru setengah menit aku memejamkan mata, pikiranku melayang. Kubuka mata dan memandang langit - langit kamarku yang kupermak sehingga lukisan laut dan ikan menjadi fokusku. Adrian..

Siapa dia? Aroma asing, darahnya juga membuatku mual. Dan ada suatu dorongan dalam jiwaku yang ingin membuatnya pergi menjauh. Perasaan tak nyaman seolah dia adalah musuhku. Juga dia berbeda dengan Airen. Gadis itu hanya manusia biasa. Ada yang janggal di sini. Kucoba untuk memutar ulang setiap memori bersama dua bersaudara ini.

"Dia bukan saudaraku."

"Setidaknya dia yang berfikir bahwa kami bukan saudara. Karena aku hanyalah anak adopsi. Rasanya menyakitkan, kan, Ave?"

Aku ingat sekarang. Mereka tidak ada hubungan darah. Lantas Adrian masuk ke dalam kaum mana? Keningku berkerut, di dorong rasa penasaran, kuputuskan untuk turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah lemari bukuku yang lumayan besar. Jari - jariku meraba buku - buku berukuran tebal dari pinggir kiri dan berhenti di tengah. Tepat di sebuah buku berwarna merah. Kutarik sedikit buku itu dari tempatnya dan lemari buku milikku bergeser ke arah kiri.

Setelah berhenti bergeser, kedua kakiku melangkah ke dalam ruangan yang ada di baliknya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan menekan tombol sakelar di sisi kananku. Lampu menyala dan markas rahasiaku telah terlihat jelas sekarang.

"Mungkin buku sejarah pemberian kakek 75 tahun yang lalu akan bermanfaat," gumamku pelan sambil meneliti deretan buku yang berada di rak kecil di sudut ruangan.

Tatapanku berhenti pada buku usang berwarna cokelat kehitaman. Kuulurkan tangan dan mengambilnya.

"Journey of my life," ucapku membaca judul di muka buku. Jadi ini semacam buku harian? Aku meringis karena sebelumnya sempat mengira bahwa buku tersebut adalah buku sejarah.

Setelah meniup sisa debu dan membersihkan sarang laba - laba pada permukaannya, aku mulai membuka halaman pertama.

23 Januari 1760

Gadis itu cantik. Rambut cokelat dan mata berwarna hazel seakan menghipnotisku dalam pesonanya.

Aku terkikik geli tak menyangka bahwa kakek yang suka marah - marah gara - gara aku membuat masalah di rumahnya, memiliki sisi romantis dan puitis semacam ini. Tapi kenapa kakek memberiku hadiah ini? Bukannya sama saja dengan membuka kartu As nya?

Mengedikkan bahu tak acuh, aku kembali membacanya.

Hazella Nantha, nama yang cantik, sungguh. Werewolf memang mempunyai aroma yang kuat bahkan bertambah kuatnya karena dia adalah mateku.

Aku tersentak, jadi nenek yang telah meninggal sebelum aku lahir adalah seorang manusia serigala? Tidak. Aku menggeleng, keluarga kami adalah vampir murni. Dan seingatku -aku payah dalam mengingat nama - nama dari anggota keluarga 'besar'ku- nama nenek adalah Crystal. Yah, dia adalah seorang putri di kerajaan vampir dulu, sebelum perang yang terjadi 200 tahun yang lalu. Perang yang mengubah segalanya.

Hm.. sebaiknya aku membacanya dengan teknik melompati halaman saja.

10 Nopember 1763

Andreas, anak pertamaku akhirnya lahir. Zella begitu bahagianya hingga rona merah memoles wajahnya yang terlihat pucat setelah melahirkan.

Aku tersenyum membayangkan betapa bahagianya kakek saat itu. Andreas. Jadi Dad punya saudara selain A**unty Kate dan Uncle Hanser?

6 Mei 1775

Mereka mengetahuinya. Kami terancam. Bertahanlah Zella, Andreas. Dad menyayangi kalian.

Ada apa ini?

10 Desember 1776

Maafkan aku, sayang. Ini semua kulakukan demi kalian. Maafkan aku.

Dan aku ingat tanggal setelahnya. Di tanggal yang sama, dengan tahun berbeda, tepatnya 1778, Dad lahir. Itu artinya, kakek meninggalkan Zella dan menikah dengan nenek Crystal? Ah, harusnya aku membaca semua!

Tapi melihat halaman yang tertera di kertas, aku memilih untuk melanjutkan membaca ke halaman berikutnya.

8 Agustus 1815

Perang besar terjadi. Kaum kami berusaha mengalahkan kaum manusia serigala itu. Dan mereka licik. Witches ada di samping mereka untuk memenangkan pertempuran ini.

Witches? Penyihirkah? Apakah mereka ada? Kukira mahluk seperti mereka hanya mitos. Aku merenung sebentar sebelum menutup buku itu dengan kasar hingga membuat selembar kertas jatuh dari dalam buku. Kuambil kertas yang sudah kusam dan membacanya.

Untuk cucu kakek ternakal, Avera.

Kuputar bola mata kesal, sebelum kembali fokus pada kalimat berikutnya.

Kakek tau hidup kakek sudah tak lama lagi.

Jadi kakek sudah mempunyai firasat seperti ini? Lalu anganku melayang ke masa sehari setelah kakek memberiku hadiah, hari dimana aku melihat kakek meninggal tanpa sebab yang tepat. Hingga sekarang pun masih menjadi teka - teki di keluarga kami. Aku terdiam dan menutup mata sejenak mengenang kakek yang suka marah tetapi sangat menyayangiku. Aku pun fokus kembali pada tulisannya.

Kakek harap buku ini dapat membantumu menghadapi masa depanmu, Avera. Menemukan dirimu yang sesungguhnya.

Dan begitulah surat dari kakek berakhir. Namun aku kembali membaca kalimat terakhir. Diriku sesungguhnya? Apa maksudnya? Tentu saja aku vampir murni. Ah, kakek dengan kemampuan-membaca-masa-depan-yang-menyebalkan memang misterius. Lebih baik aku kembali tidur saja.

●●●

Flatshoes berwarna biru membungkus kedua kakiku yang tengah berjalan cepat melewati lapangan kampus. Sungguh mengesalkan! Dosen yang sudah kutunggu hampir dua jam, membatalkan janjinya untuk konsultasiku hari ini dan menundanya hingga minggu depan. Kenapa tidak bilang sejak awal?

Dert.. dert..

Tanganku merogoh ke dalam tas sambil terus berjalan, kuraih ponselku dan mengeluarkannya dari dalam tas.

Bugh..

"Aw," aku memekik dan terhuyung ke belakang.

Prak..

Ponselku! Aku menatap nanar pada benda pipih itu sebelum berjongkok memungutnya. Oh tidak, Arvel pasti akan memarahiku karena merusak hadiah darinya.

"Im sorry," suara bariton dari arah depanku membuatku mendongak. Aku menahan nafas saat lensa hitamnya menatapku intens. Pria supermarket!

"Let me help you," belum sempat aku menolak, kedua tangannya telah membantuku berdiri. "Aku akan mengganti ponselmu."

Aku mundur selangkah, sungguh aku tak tahan dengan aromanya! Seakan ada sesuatu yang bergejolak di dalam perutku. Aroma kayu manis bercampur anggur yang membuatku mual.

"Tidak perlu," ucapku sinis. "Anggap saja kita impas."

Dia menaikkan sebelah alisnya, "Impas?" Dia diam sejenak lalu terkekeh kecil. Ya ampun, kenapa tawanya begitu indah? Aku menggeleng memikirkan gagasan konyol seperti itu mampir di kepalaku. "Aku tidak mengharap imbalan dari membantumu, Nona."

"Well, terserah," aku menaikkan bahu tidak peduli. Lalu berjalan melewatinya.

"Tunggu," dia memegang lengan kananku. "Boleh aku tahu namamu?"

Kuhempaskan tangannya dariku, "Just call me Ms Vampire, Mr. Wolf."

Kulirik dirinya yang tersenyum miring, "Mengajakku bermain? Cukup mudah mendapatkan semua informasi tentangmu." Dia lalu mendekat dan berbisik lembut di telingaku, "Nice to meet you here, see you Avera Candance Foxter."

Setelah memberi kecupan ringan di pipi kananku, dia melangkah pergi menaiki mobil sport hitam yang berada di pinggir jalan.

Oh astaga, apakah dia baru saja menciumku?

●●●

"Kemana saja dirimu, Ave?" suara Arvel yang seperti menggeram -menyambutku yang memasuki rumah. Apakah dia marah?

"Maaf. Mobilku ada di kampus dan-"

"Kenapa ponselmu tak aktif? Demi Tuhan, Ave. Ini sudah jam dua pagi dan kau baru pulang."

Aku meringis, ini semua gara - gara mereka, Adrian dan Mr. Wolf.

"Ponselku rusak, lalu-"

"APA?" Arvel memekik membuat telingaku berdengung.

"Arvel, aku lelah. Biarkan aku istirahat. Aku berjanji, besok aku akan bercerita secara lengkap," ucapku dengan wajah memelas. Aku mengernyit ngilu saat luka- luka di punggungku masih berdenyut nyeri.

"Tidak bisa! Kau harus jelaskan sekarang,"

Aku berdecak dan berjalan tertatih menghampirinya. Setelah duduk dengan nyaman di sampingnya, aku menceritakan semua yang kualami mulai dari ponselku yang rusak dengan berbisik. Well, aku yakin dia masih bisa mendengar. Hal ini kulakukan agar tidak ada telinga lain yang mendengarnya.

"Lalu?" tanyanya semakin penasaran.

Lalu aku menceritakan bagian dimana aku melihat Adrian berjalan sendiri keluar area kampus. Tentu saja aku mengikutinya dari radius yang kupikir aman. Dia berjalan cukup jauh hingga saat sore berganti malam, langkahnya terhenti di depan hutan. Tak lama dia berjalan kembali memasuki hutan. Aku mengikutinya, namun tiba - tiba sosoknya menghilang.

Kutajamkan indra penciumanku dan menghirup aroma di sekitar. Tidak ada aromanya. Sial, aku kehilangan jejaknya! Kemana Adrian? Merasa gagal, kuputuskan untuk berbalik dan pulang. Selama setengah jam, aku terus berjalan dan sepertinya aku terus kembali ke tempat yang sama. Ini aneh, aku hafal benar hutan tempatku berburu ini. Namun, mengapa aku berjalan berputar - putar sepanjang waktu? Para serigala juga tak menunjukkan batang hidungnya.

"Sshh.. aku tidak mungkin tersesat," gumamku gusar. Kuputuskan untuk naik ke atas pohon dan ternyata aku benar - benar tersesat.

Setelah menimang - nimang berbagai ide yang muncul di otakku, kuputuskan untuk berlari menembus hutan dan well, aku semakin tersesat. Oh siapapun tolong aku!

Kusandarkan tubuhku pada pohon untuk beristirahat sejenak.

Kresek.. kresek..

Kedua mataku kembali membuka dan memandang sekeliling dengan waspada.

"Auu.. " terdengar suara para serigala melolong. Tak lama satu per satu serigala keluar dan muncul di depanku. Ada sekitar sepuluh werewolf yang memandangku dengan nafsu. Apakah mereka ingin membagi tubuh kecilku sebagai makan malam?

"Aw," aku melompat spontan ke atas pohon dan menatap malang pohon-tempatku bersandar telah roboh oleh cakaran serigala itu. Kurasakan perih di bagian punggung. Beraninya mereka merusak kaos favoritku! Aku menatap mereka marah dengan lensaku yang telah berubah merah.

"Kalian benar-benar.." Aku menerjang satu dari mereka dan menggigitnya hingga mati, tentu saja racunku bisa kugunakan di saat genting seperti ini. Dua serigala lain berlari ke arahku. Aku naik ke atas salah satunya dan menggigit punggungnya. Dia melolong keras sebelum menyusul temannya untuk mati. Kedelapan serigala yang tak terima itu berlari serempak ke arahku, serigala berwarna putih berhasil mendorongku tubuhku hingga terpental menubruk pohon hingga pohon tersebut ikut patah. Oh tulangku rasanya remuk.

Aku segera bangkit dan menghindar dari terjangan serigala berwarna cokelat. Mereka menyerangku lagi dan berkali - kali tubuhku terhempas ke sana - kemari. Pertarungan berlanjut hingga tersisa lima serigala di depanku saat ini. Aku sudah lelah dan bersiap melarikan diri, namun ternyata tulang pergelangan kakiku patah. Aku mendesis, dan menutup mata pasrah saat kulihat mereka berlima mulai mendekat. Rasa takut menjalar di hatiku dan tanpa sadar mulutku mengucapkan sesuatu yang membuat para serigala itu terpental dan mungkin pingsan atau mati. Aku tidak tahu dan hanya mengernyit bingung. Apa yang baru saja kulakukan?

"Auuu.." lolongan serigala kembali terdengar dan langkah kaki seseorang yang semakin dekat padaku membuatku mendongak. Pandanganku kabur saat melihat wajah yang sangat dekat denganku menatapku cemas. Kedua lensa hitamnya menatapku dalam, entahlah seperti ada berbagai emosi di dalamnya. Tangan kirinya mengusap pipiku lembut.

"Maafkan aku yang terlambat, kupastikan kau akan baik - baik saja," bisiknya yang masih sempat kudengar sebelum kegelapan meraihku masuk.

Saat aku sadar, aku telah berada di dalam mobil. Kulirik sekeliling dan menemukan seorang pria dengan wajah tegang tengah menyetir.

"Turunkan saja aku di sini," ucapku lirih.

"Tidak," dia menolaknya dengan tegas.

"Tsk. Apa susahnya untuk berhenti dan menurunkanku? Mr. Wolf, turunkan-aku-sekarang-juga!"

Citt..

Dia membanting stir dan berhenti mendadak hingga membuat tubuhku terpelanting ke depan. Syukurlah dia memakaikanku sabuk pengaman.

Kulepas sabuk pengamanku dan berniat turun, namun tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Lihatlah kondisimu, Nona. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah."

"Aku baik - baik saja, Tuan- "

"Adelaise Armond, kau cukup memanggilku Elias."

Aku menaikkan alis, nama panggilannya berasal dari mana? Adelaise-Elias, aneh. Dan aku lebih aneh karena memikirkan hal kecil tak penting itu.

"Oke, Elias. Kau tak perlu mengantarku, sungguh. Kaummu hampir membunuhku dan-"

"Aku bukan mereka, aku tak mungkin melukai *mate-*ku!"

Aku berjengit mendengar suaranya yang meninggi dan apa? Mate?

"Apa maksudmu? Aku bukan *mate-*mu. Jadi biarkan aku pergi sekarang!" Aku menyentak tangannya dan dengan cepat keluar dari dalam mobil. Aku memandang sekitar dan bersyukur bahwa daerah ini sudah dekat dengan rumahku. Hanya butuh lima menit berlari. Ah sial, mungkin lima belas menit dengan kondisi kakiku sekarang.

Aku mulai berlari dengan menahan rasa sakit di tubuh, namun tiba - tiba kurasakan tubuhku terangkat dan aku berada dalam gendongan seseorang. Kedua tanganku reflek melingkari lehernya agar tidak jatuh.

"Apa yang kau lakukan?" Aku berteriak kesal padanya.

Elias hanya tersenyum sekilas sebelum berlari cepat membawaku pulang.

"Aku tidak akan mengucapkan terima kasih kepadamu, wolf," ucapku datar setelah turun dan berdiri tegak di depannya.

"Tidak masalah," dia mengedikkan bahu lalu tersenyum licik.

Aku menatapnya curiga, dia balas menatapku hangat yang justru membuatku salah tingkah. Berbalik aku membuka pintu pagar, tetapi sebuah tangan melingkari pinggangku dan dia memelukku erat. "Kuanggap hal inisebagai ucapan terima kasihmu. Jaga dirimu baik - baik, Ave."

Aku hanya menatap kosong punggungnya yang menjauh. Dengan perasaan campur aduk, aku masuk ke dalam rumah.

●●●

BAB III

TERSEMBUNYI

JAM di dinding kamar menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku bergegas bangun dengan melompat dari tempat tidur. Alih - alih mendarat dengan berdiri tegak di atas lantai marmer kamarku, aku justru jatuh terpeleset. Aku meringis saat merasakan ngilu di kedua kakiku. Hal itu membuatku bingung. Kenapa daya regenerasi tubuhku lambat? Nyeri di punggungku juga masih terasa, walaupun semua lukanya telah menutup sempurna. Pasti mereka rogues, bukan werewolves seperti yang kukira sebelumnya. Dan tidak salah lagi ini semua diakibatkan oleh racun mereka.

Brak.. Pintu kamarku terbuka lebar.

"Ave! Kau tak apa?" tanya Arvel yang berlari meraih tubuhku dan menaruhnya kembali ke atas tempat tidur.

Aku mengangguk. "Apakah aku jatuh terlalu keras hingga kau datang kemari dengan cepat?"

Dia terkekeh lalu meraih rambutku dan menggelungnya ke atas. "Pendengaranku lebih tajam diantara lainnya, ingat huh?"

Memutar bola mata, aku mendengus.

"Kenapa kau bisa jatuh? Apa kedua kakimu masih sakit?"

"Well, ya."

"Aneh," gumamnya dengan tangan mengusap dagu. "Akan kubawakan darah untuk membantu mempercepat penyembuhanmu."

Saat dia akan berbalik, aku memegang lengannya. "No. Aku tidak lapar."

Tangannya melepas genggamanku lalu mengusap rambutku, "Kau harus, oke? Ini demi kesehatanmu. Jika kau tetap menolak akan kupanggilkan Dad-"

"No!" teriakku spontan.

Arvel tertawa bengis melihat reaksiku. "Well sister, tetap duduk manis di sini dan minum darah yang sebentar lagi kubawakan."

Aku cemberut dan dengan terpaksa aku mengangguk.

"Good girl."

Lalu Arvel pun keluar dari kamar. Aku memandang sosoknya hingga menghilang di ujung tangga, kemudian pandanganku beralih pada ponsel lamaku yang berada di nakas meja. Setidaknya aku masih punya alat komunikasi walau tidak sebagus yang diberikan oleh Arvel. Terdapat tiga pesan yang belum kubaca. Yang pertama adalah pesan dari kekasih setiaku.

From: Operator

Dapatkan promo gratis hari ini. Hubungi 0xx#*

Aku langsung menghapus pesan itu dan membaca pesan berikutnya.

From: Bella Smith

Hai sepupu! Kapan kau ada waktu senggang? Aku ingin cerita banyak bersamamu ^^

Pasti tentang Crist lagi.. aku mengetik balasan padanya.

To: Bella Smith

Aku sibuk. Pergi saja ke rumah Aly.

Send. Aku pun menggeser layar ponselku ke bawah untuk membaca pesan terakhir pagi ini.

From: 082947xxx

Bagaimana keadaanmu? Kuharap kau sudah mulai membaik. Jaga dirimu, sweet pie. Aku akan segera menemuimu.

Dahiku membentuk kerutan dan tak butuh lama untuk membuat otakku menyimpulkan siapa pengirim pesan ini.

To: 082947xxx

Jangan pernah mencoba untuk menghubungiku lagi, Armond.

Adelais Armond, aku harus menjauhi pria yang mengakui diriku sebagai mate-nya. Harus.

"Ave," tegur Arvel membuatku meletakkan ponsel kembali ke tempatnya setelah menghapus pesan dari pria menyebalkan tadi.

"Hm?"

"Ini, habiskan!" Arvel mengulurkan gelas berisi cairan berwarna hitam pekat. Oh tidak!

"Kau bohong padaku! Kau mengadu pada Dad," ucapku kesal. Minuman yang sedang dipegangnya adalah alasan mengapa aku tidak ingin Dad sampai tahu aku terluka. Minuman itu yang selalu Dad berikan padaku di saat seperti ini. Sungguh aku tidak ingin meminumnya, cukup sekali saja.

Kulihat Arvel menggaruk kepalanya bingung. "Kau lupa kalau Dad punya kemampuan-"

Aku mengumpat dalam hati, menyadari bahwa Dad mempunyai kemampuan untuk membaca masa lalu seseorang dari kontak mata. Pasti Arvel bertemu dengannya di dapur.

Aku menggeleng tegas dan dengan tertatih, aku berlari menuruni tangga. Biarlah Arvel mengejekku seperti anak kecil, dia hanya belum tahu bagaimana rasa dari minuman yang disebut Dad sebagai ramuan penyembuh.

"Ave, berhenti dan segeralah minum!"

"No!" Aku berteriak dan terus menoleh ke belakang melihatnya yang ikut berlari mengejarku.

Kedua kakiku menginjak rumput basah taman belakang rumah dan Arvel masih setia mengikutiku. Sedang aku tetap berlari menghindar.

Bugh..

Aku terjatuh dan menimpa tubuh seseorang. Kubuka mata dan menemukan sepasang mata berlensa biru memandangku dingin. Adrian!

"Bangun," suara datarnya membuatku reflek segera bangkit. Dia ikut berdiri tegak dan memandangku sekian detik. Aku balas menatapnya sengit.

"Gotcha!" Arvel memelukku dari belakang.

"Lepas-" ucapanku terhenti tatkala dengan tega dia meminumkan ramuan itu ke dalam mulutku yang terbuka. Aku berniat memuntahkannya namun tangan Arvel dengan cepat membungkam mulutku. Sial.

"Childish," Adrian memandangku remeh sebelum beranjak pergi. Double sial.

●●●

Setelah insiden tadi pagi, aku mogok bicara dengan saudaraku itu. Dan sebagai pelampiasan aku mengungsi ke kamar Airen.

"Ave!" gadis itu memekik ketika baru menyadari bahwa aku duduk di atas meja belajarnya-mengamati dirinya yang sibuk membaca novel di atas tempat tidur.

Aku hanya diam menunggunya berbicara lagi.

"Bagaimana kau bisa ada di sini, kurasa aku sudah mengunci pintu kamarku."

Aku ke sini melalui jendela kamarmu yang terbuka, tentu saja. Aku membatin.

"Apakah itu penting?" tanyaku sarkastik.

"Tidak, tapi ta-," dia tergagap. Perlahan dia bangkit dan berubah posisi menjadi duduk. "Ehm, apakah ada hal penting yang ingin kau sampaikan?"

Aku menatap lurus ke arahnya yang tengah menunduk gelisah memandangi lantai.

"Apa kau takut padaku?"

Kulihat tubuhnya tersentak lalu dia menggeleng ragu.

"Baguslah, aku juga tidak berniat memakanmu." Perkataanku membuatnya menegang. Ada apa dengannya?

"Ya. Aku tahu kalau kau dilarang meminum darah manusia oleh Tuan Foxter," ucapnya pelan.

Ah jadi dia sudah tahu.

"Begitukah?" Sepertinya bermain dengannya akan menyenangkan.

"Ya."

"Apakah Dad juga mengatakan padamu bahwa aku pernah melanggar larangannya dan membunuh seorang gadis, well," aku berhenti sejenak untuk melihat ekspresinya. "Seumuran denganmu."

"Kau tidak akan berani menyakitiku," ucapnya lantang sambil menatap tajam ke arahku.

"Kenapa tidak?"

"Adrian memasang pelindung untukku," jawabnya justru membuatku semakin tertarik.

"Pelindung? Apa yang bisa dilakukan olehnya?" Aku mendengus.

"Ada banyak yang tidak kau ketahui Ave," ucapnya memasang senyum misterius yang membuatku jengkel.

"Oh ya, lalu sejak kapan kau tahu aku vampir?"

"Tadi pagi saat aku mendengar dan melihatmu dengan Arvel."

"Dasar penguping."

"Tidak! Aku bukan- aku tidak sengaja-"

Aku mengibaskan tanganku di udara, "Sudahlah. Aku tahu cerita selanjutnya, kau menghampiri Dad dan bertanya ini-itu."

Airen diam dan dugaanku benar. Sudah cukup untuk permainan hari ini.

"Aku tadi hanya bercanda. Bermain denganmu, ah lebih tepatnya perasaan takutmu ternyata menyenangkan."

"Apa?" dia membulatkan kedua matanya, memandangku tak percaya.

Tanpa sepatah kata apapun, aku turun dari meja belajarnya dan langsung melompat ke bawah melalui jendela. Mungkin jalan - jalan sebentar akan membuat moodku lebih baik.

Angin langsung menerpa tubuhku begitu aku telah berdiri sempurna di atas tanah. Kuputuskan untuk berjalan keluar rumah, tepatnya taman kota yang berjarak sekitar satu kilometer dari sini. Kedua kakiku yang hanya berbalutkan sandal rumah membawaku berlari cepat ke sana. Setidaknya rasa dari ramuan karya Dad setimpal dengan kondisiku yang pulih lebih cepat.

Sepi. Suasana di taman membuatku merasa damai. Aku melirik jam tangan yang menujukkan pukul sebelas, hampir tengah malam. Semua orang pasti sudah tidur. Kuhampiri sebuah bangku yang ada di dekat kolam air mancur dan duduk disana. Memejamkan mata dan kantuk mulai menyerangku. Saat aku benar - benar akan tertidur, kedua mataku kembali membuka dan aku memandang sekeliling waspada. Ada aroma milik Adrian yang masuk ke indra penciumanku.

"Jangan bersembunyi, Adrian," ucapku mendesis dan membuat sosok hitam berjalan menghampiriku. "Apa yang kau lakukan di sini? Mengikutiku, huh?" tanyaku sinis.

Dia diam dan justru mengambil tempat duduk di sampingku.

"Kenapa kau diam saja?"

"Aku tidak perlu menjawab," ucapnya dengan pandangan tertuju pada air mancur.

"Dasar. Pulanglah, kau menggangguku saja," aku berusaha mengusirnya. Aroma yang menguar darinya membuatku merasa tak nyaman.

Dia menoleh ke arahku dan menatapku dingin. "Ini tempat umum."

Aku diam, tak bisa membalas ucapannya. Kupalingkan wajahku dan memilih untuk tidak berdebat dengannya lagi.

"Kenapa?"

Aku mengernyit lalu menoleh kembali, "Apa?"

"Kau mengikutiku kemarin sore."

Oh, jadi dia tahu. "Aku curiga padamu."

Adrian menaikkan sebelah alisnya, "Curiga? Apa kau bercanda?"

Aku menggeleng lalu menunjuk tepat di depan wajahnya. "Baumu membuatku mual, kau bukan manusia, aku yakin itu."

Dia tersenyum miring, "Lalu?"

"Katakan kau mahluk macam apa? Kau juga bukan vampir maupun werewolf."

"Im witch."

Aku membulatkan kedua mata, "Are you kidding me, huh? Mereka telah punah saat perang ratusan tahun yang lalu."

Kedua mata birunya memandangku serius, "Dan kau percaya? Mereka masih ada dan bersembunyi."

"Lalu kenapa kau di sini?"

"Aku mendapat tugas untuk membawa seseorang ke dunia kami."

"Seseorang? Untuk apa?" tanyaku semakin penasaran.

"Kau juga akan tahu nanti," jawabnya tersenyum misterius. Aku jadi tak yakin kalau dia dan Airen bukan saudara kandung. Tingkah dan senyumannya bahkan sama-sama membuatku naik darah.

"Apa?" Aku menggeram kesal. "Lalu kenapa kau menceritakan semua ini padaku?"

"Akan tiba waktunya untukmu tahu, Avera."

Dia bangkit dan berjalan menjauh meninggalkanku begitu saja.

Aku memandangnya sejenak sebelum bersender dan menutup mata-berfikir.

Mengapa dia menjadi terbuka padaku? Mengapa dia menceritakan hal semacam itu?

●●●

Sudah dua hari semenjak insiden yang menimpaku, Arvel masih saja membujukku untuk memaafkannya.

"Im sorry, Ave. Ayolah, jangan marah terus." Dia menggoyang - goyangkan lenganku saat aku sedang asyik duduk menonton youtube.

Aku menghela nafas kasar, "Baiklah. Tapi kau harus membelikanku ponsel yang baru launching kemarin malam."

Arvel melepaskan tangannya dariku, "Kau memerasku?"

"Astaga, Arvel. Aku adikmu!" ucapku kesal padanya yang menuduhku seperti itu.

Dia terkekeh geli dan memeluk bahuku, "Aku hanya bercanda, sister. Berangkat sekarang?"

Aku mengangguk antusias dan bangkit bersamanya menuju garasi.

Namun saat dia akan membukakan pintu mobil untukku, dia berhenti dan tersenyum konyol.

"Maaf, sister. Aku tidak bisa mengantarmu. Kau berangkat sendiri saja ya? Uangnya akan kutransfer ke rekeningmu," ucapnya kemudian berlari menuju motornya yang berada di luar rumah dan pergi.

Aku mendengus sebelum berjalan memutar untuk duduk di kursi pengemudi. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di depan sebuah toko ponsel.

Suasana di sini cukup ramai, mungkin sedang ada promo besar - besaran, sebaiknya aku kembali lain waktu. Kunyalakan mesin dan bersiap pulang. Namun suara pintu mobil terbuka membuatku menoleh ke samping dan menemukan Elias duduk dengan angkuh memandangku.

"Kau lagi. Kenapa kau duduk di situ? Keluarlah aku sedang buru - buru," ucapku datar. Sedikit heran kenapa dia selalu suka muncul tiba-tiba seperti sekarang.

"Kulihat kau sudah sehat. Syukurlah," ucapnya membuatku melotot. Apa dia senang mengalihkan pembicaraan?

"Ya. Dan sekarang keluar dari mobilku," aku mendorong - dorong bahunya.

Dia tetap bersikukuh di tempatnya dan memasang tampang menyebalkan.

"Oh terserah saja," aku memutar bola mata sebelum menjalankan mobilku membelah jalanan kota.

"Kau mau membawaku kemana?" tanya Elias heran. "Ini bukan jalan rumahmu."

Tentu saja bukan. "Ke neraka."

Dia melotot dan mendengus, "Jangan bercanda."

Aku menaikkan sebelah alisku, "Siapa yang mengajakmu bercanda?"

Dia tak merespon ucapanku dan kembali duduk dengan tenang.

Tak lama, aku pun menghentikan mobilku di pinggir hutan. Entahlah rasa laparku harusnya tidak muncul sekarang, tetapi tenggorokanku rasanya kering dan menginginkan darah untuk membasahinya.

"Kau mau berburu di hutan ini?" Elias menahan lenganku saat aku akan turun dari mobil.

"Ya."

"Tsk. Dua hari yang lalu kau sekarat di sana, dan sekarang kau mau kembali lagi?"

"Ya."

"Apakah harus hutan ini? Tidak ada hutan lain?"

Aku memutar bola mata jengah, "Ya dan tidak. Lepaskan tanganmu dariku!"

Dia menghembuskan nafas panjang dan melepaskan pegangannya. Aku pun segera keluar dan menutup pintu mobil.

Hingga kurasakan tanganku digenggam oleh seseorang, aku mendongak dan menemukan wajah mengesalkan itu tersenyum padaku.

"Akan kutemani."

Aku berusaha melepaskan genggamannya, tetapi kekuatanku tidak mampu untuk menarik diri. Apakah karena aku lapar? Jadi energiku berkurang? Aku pun pasrah saat dia menarikku berlari menerobos hutan dan semak belukar. Kuakui, dia memiliki kecepatan berlari yang baik, walaupun masih di bawahku. Tentu saja, kaumku lebih cepat dalam berlari dari kaumnya.

Tiba - tiba dia berhenti dan membuatku hampir menubruk punggung tegapnya.

"Kenapa berhenti mendadak?"

"Shh.." dia berbisik- mengisyaratkanku untuk diam. Lalu kedua matanya memberi kode untuk melihat apa yang ada di depan kami.

Seekor kelinci.

Apa dia bercanda?

Darah mahluk menggemaskan itu tidak akan membuatku kenyang.

"Cepat makan sana!" Dia mendorong tubuhku pelan dan aku hanya mendengus sebagai bentuk protesku. Lebih cepat lebih baik, aku bisa pulang dan tidak berlama - lama dengan pria ini.

Kedua irisku telah berubah warna dan taring - taringku pun sudah memanjang. Berlari cepat, kutangkap hewan itu dan langsung menggigitnya tepat di urat nadinya. Setelah darahnya habis tak bersisa, aku membuang bangkai itu begitu saja ke atas tanah. Saat akan menghampiri Elias, aku tak menemukan sosoknya. Aku pun berbalik dan menemukan seekor serigala tengah memakan kelinci tadi. Dasar Elias. Bilang saja dia lapar dan ingin memakan kelinci. Aku pun berlari meninggalkannya dan segera menaiki mobilku. Bye Elias..

●●●

"Mom, Dad, Arvel?" Aku berteriak memanggil - manggil keluargaku saat tiba di rumah. Nihil, tidak ada jawaban. Apa mereka belum pulang? Kulirik jam dinding yang ada di ruang tamu dan melihat bahwa sekarang masih pukul dua siang, pantas saja mereka tidak ada. *Mo*m dan Dad masih di kantor, dan Arvel, kurasa dia masih pergi.

"Hai, Ave!" sapa Airen dengan wajahnya yang ceria.

Aku mengacuhkannya dan berjalan menuju kamar. Saat menaiki tangga, aku berpapasan dengan Adrian.

"Kelinci, huh?" Aku mendengarnya bergumam. Darimana dia tahu?

"Darimana kau tahu?"

"Aku tahu apapun setiap yang kau lakukan, Ave." Dia berhenti tepat di depanku.

"Bagaimana mungkin?" tanyaku heran.

"Im witch."

Apakah dia bangga dengan jati dirinya? Aku mendengus lalu memicingkan mata curiga.

Aku berbisik pelan, "Apakah kau juga melihatku saat mandi?"

"Uhuk," dia terbatuk spontan dan kuyakin, aku sempat melihat rona merah di pipinya sekian detik.

"Tebakanku benar, kan? Wah, dasar pervert!"

Dia menatapku tajam. "Menggelikan," ucapnya lalu kembali berjalan menuruni tangga.

Ini bahaya, pasti ada sesuatu tersembunyi yang melibatkanku. Apa pentingnya aku buatnya hingga dia terang - terangan mengawasiku seperti itu? Apalagi kemarin dia memberitahuku identitas dan misinya.

Aku harus mencari tahu.

●●●

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!