NovelToon NovelToon

Gentleman Dignity

Prolog

.

Hujan turun agak deras hari ini. Rio dengan tenang menyetir mobil sedan tuanya. Siang ini dia ada janji makan siang dengan sahabat-sahabatnya. Di kedai ramen favorit mereka sejak remaja.

Kedai ramen ini sederhana, tapi membawa banyak cerita dan sejarah. Mereka tak henti melakukan hal-hal konyol disini. Paman Thoshi bahkan sudah mereka anggap orang tua sendiri. Di usianya yang sudah tua dia masih menikmati hidup nya menjadi seorang koki.

Rio memarkir mobilnya di sebelah mobil Nicholas . Biasanya dia selalu naik kereta. Tapi hujan hari ini cukup lebat. Dan jauh lebih nyaman mengendarai kendaraan sendiri. Saat Rio masuk. Dia melihat Nicholas menyeruput teh nya ,tangan kirinya menjepit sebatang rokok. Jasnya tersampir di lengan kursi, menyisakan kaos hitam. Tanpa banyak bicara Rio duduk didepannya.

Nicholas agak menaikan alis. Menatap Rio dengan tatapan ’kau baik-baik saja?’ . Bukan tanpa alasan, penampilan Rio sangat berantakan, setelan training nya lusuh. Dan wajahnya sedikit memar. Rio merasa pipinya agak sedikit ngilu. Rio mengangkat bahunya sedikit.

“Biasa, selalu ada pertengkaran. Ini tidak sengaja terpukul saat berusaha melerai,” kata Rio.

" Oh ... saya kira anda dirampok.” Nicholas menyeringai di atas derita temannya, kurang ajar.

“Terima kasih atas simpatimu,” sindir Rio sarkasme.

“Ya sama-sama.” Si sialan Nicholas yang tidak pernah terpengaruh provokasi ini.

“Bagaimana pekerjaan mu?” tanya Rio sambil lalu.

“Lancar, seperti biasa.” Nicholas menatap Rio lagi setelah lama menatap ponselnya.

“Bocah-bocah itu pasti sangat imut hingga membuat mu babak belur.” Nicholas menyipitkan matanya saat mengatakan itu.

“Ya mereka selalu menjadi bagian dari derita ku," keluh Rio.

“Investasi saja. Buka usahamu sendiri.” Nicholas mengulang nasehat yang sama mungkin sudah puluhan kali.

“Tidak. Aku sudah merasa cukup.” Rio menimpali dengan acuh.

“Omong kosong.” Nicholas berdecak. Dan menunduk memeriksa ponselnya lagi.

“Aku dengar kemarin malam, kamu makan malam dengan ayahku?” Tanya Rio agak sedikit malu-malu.

“Ya kami tengah menjalankan proyek bersama," jawab Nicholas sambil lalu.

“Bagaimana kabarnya?” tanya Rio bergumam pelan.

Nicholas menaikan alisnya. "Kabar apa?”

“Kabar ayahku, Bagaimana kabar ayah ku?” Rio bertanya canggung.

Nicholas memandangi Rio lama sebelum menjawab, "Baik sepertinya.”

“ Sepertinya?”

“Apa kamu tidak merasa aneh menanyakan kabar orang tua mu pada temanmu?” Nicholas menatap Rio tajam.

“Ya, aku hanya lama tidak bertemu dengannya," keluh Rio sambil menatap cangkir tehnya.

“Tahu tidak di zamanku ada teknologi bernama telephone.” Nicholas mengucapakan kata telepon dengan bahasa inggris. Mengejek Rio.

“Lalu kau pikir aku hidup di zaman apa sialan.”

“Tidak tahu, kalau kau tidak tahu fungsi telepon, itu berarti kau hidup di zaman batu. Telepon orang tua mu, Kau bukan remaja tanggung lagi yang doyan kabur kan? apa yang kau hindari sebenarnya," cerocos Nicholas agak kesal.

“Entahlah. Tahu tidak aku sangat merindukan mereka," ucap Rio dengan nada mengambang.

“Ya,ya,ya bicara saja dengan angin. Aku sudah muak mendengarnya.” Nicholas tidak mengalihkan matanya dari layar ponsel.

“Sialan kau," umpat Rio.

“Silahkan mengumpat sepuasnya tuan muda. Tidak perlu memakai pesawat untuk mampir ke tempat mereka.”

“Kurasa lebih dari sekedar pesawat untuk mampir ke tempat mereka." Rio selalu siap mendebat Nicholas seperti biasa.

“Kau hanya harus sedikit rileks bung. Ibu mu mungkin akan mengomeli mu. Tapi begitulah semua ibu." Nicholas mengangkat pundaknya saat mengatakan itu.

Rio tidak menjawab. Sebenarnya Rio ingin sekali pulang ke rumah orangtuanya. Tapi Rio malas mendapat kuliah menggebu-gebu ibunya tentang pernikahan. Dan segala bentuk perjodohan yang dia tawarkan.

Sean adik Rio tinggal menunggu waktu untuk menikahi kekasihnya. Acara pertunangan mereka bahkan menjadi pembicaraan hangat. Anak mantan gubernur dan pewaris perusahaan ayahnya bertunangan dengan seorang aktivis wanita muda dan seorang publik figur.

Tapi bukan hal itu yang mengganggu Rio. Hanya saja semakin dekat tanggal pernikahan mereka, maka semakin sering Rio dibicarakan orang-orang. Semakin sering juga ibunya berusaha menyelamatkan reputasinya. Dengan melakukan hal-hal yang menurut Rio sia-sia. Sia-sia karena Rio tak pernah mau setuju, Rio tidak peduli pada pandangan orang lain, dan ibunya tidak peduli pada ketidakpedulian Rio. Dan entah bagai mana itu selalu mengusik Rio.

Rio terlalu sensitif jika berbicara masalah hidup, rencana hidup atau apapun yang berhubungan dengan ke tidak bonafit-an dia. Terutama sejak dia mengakui pada mereka -orang tuanya- bahwa apa yang dia impikan sejak dulu benar-benar menjadi omong kosong.

Chris datang tidak lama kemudian rambut hitamnya basah. Penampilannya sangat berantakan. Nicholas bangkit memberinya sapu tangan.

“Diluar hujan sangat lebat. Aku menyesal tidak menyetir tadi pagi. Kukira hari akan cerah," kata Chris sambil duduk di kursi.

“Ramalan cuaca bilang hari ini hujan lebat,” ucap Nicholas datar.

“Aku tak punya waktu menyalakan televisi di pagi hari Nicholas ," Jawab Chris sama datarnya.

“Benar sekali, memang siapa yang punya waktu lebih di pagi hari untuk televisi. kebetulan Aku punya ponsel untuk memberiku informasi.”

Rio tertawa mendengar Nicholas mengatakan itu dengan datar. Dan wajah Chris yang merenggut kesal.

“Kau bicara padaku seperti aku adalah orang tua yang ketinggalan zaman," kata Chris saat dia duduk.

“Menyebalkan bukan, dia bahkan baru menguliahi ku tentang telephone.” Rio mengucapkan kata telephon untuk menyindir Nicholas .

Nicholas hanya tersenyum miring sebagai tanggapan. Tuan sempurna Yericho datang dari pintu. Tampilannya sangat rapi. Khas Yericho sekali. Rio selalu ingin tahu rahasia Yericho agar tidak menghasilkan kerutan kusut di kemejanya saat dia memakainya hampir separuh hari.

“Apa aku melewatkan sesuatu yang menarik?” Yericho bertanya saat duduk di sebelah Rio. Mungkin saat dia masuk dia mendengar Rio tertawa.

“Ouh tuan yang kaya ini, baru menguliahi kita tentang teknologi.” Jawab Rio sambil menahan tawa.

Yericho mengangkat sebelah alis nya,mencoba mengerti. Tapi setelah itu dia tidak bertanya lagi. Mereka mulai memesan ramen. Tidak ada yang bicara saat mereka makan. Entah sejak kapan mereka menerapkan tatakrama meja makan. Mungkin saat mereka merasa terlalu tua untuk bersikap konyol. Atau selera humor mereka yang jadi padam sejak kemelut hidup terus datang di setiap kesempatan meski itu hanya sebuah celah kecil. Begitu lah arti menjadi dewasa.

“Oh ... sialan!" Yericho mengumpat dan tersedak, membuat tiga temannya mengangkat wajah  menatapnya heran.

Yericho terdengar membersihkan tenggorokannya.

“Arah jam tiga.” Dia berbisik dengan sudut bibirnya dan menunjuk arah dengan lirikan.

Mereka bertiga menoleh kearah yang di tunjuknya. Di pintu masuk, seorang wanita dengan sensual sedang mengeringkan kemejanya yang basah, air menetes dari rambutnya yang coklat bergelombang. Wanita itu memakai rok yang sangat pendek. Kaki nya mulus tanpa stoking. Tampak seksi dengan stiletto merah terangnya. Wajahnya cantik meski bibirnya dipoles terlalu merah. Seketika Rio meneguk ludahnya. Semua temannya pasti merasakan hal yang sama.

“Aku tak tahu saat hujan begini udara bisa sepanas ini.” Chris bergumam sambil melonggarkan dasinya.

“Dia punya pinggang yang indah," gumam Nicholas .

"Bukankah dia seksi Yo?" tanya Chris pada Rio.

"Kenapa kau bertanya padaku?" balas Rio sengit.

"Kenapa? kau terlihat menikmati pemandangan."

"Ap - apa. Tidak." Bantah Rio cepat. "Tidak begitu. Aku sedang tidak menikmati apapun."

"Kenapa kau gusar sekali?" Nicholas bertanya sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Dengar tuan-tuan jangan pernah bicarakan hal tidak senonoh di ruang publik," ucap Rio tegas.

Nicholas dan Chris memutar mata mereka. Menggelengkan kepala dan mulai makan lagi.

“kau sedang apa?” Chris menyiku Yericho yang tertunduk.

“Aku sedang berdoa," jawab Yericho tanpa mengangkat wajahnya.

“Berdoa agar terhindar dari dosa yang di umbar iblis cantik?” Chris bertanya dengan nada yang serius.

“Benar, dengan sekuat tenaga aku akan menghindarinya." Yericho menahan tawa dalam kalimatnya.

Rio menatapnya sedikit mengernyitkan dahi. Bukan karena kalimatnya. Tapi karena tawa yang Yericho tahan. Melihat itu, Yericho melanjutkan.

"Aku benar-benar akan menghindarinya. Percayalah padaku."

Lalu tiba-tiba mereka tertawa terbahak-bahak. Meninggalkan Rio yang menggeleng ditengah tawa mereka.

Hari ini berakhir dengan cukup menyenangkan, Rio rasa begitu. Terkadang dalam diamnya, Rio selalu berusaha menerka, tentang hal-hal yang mereka cari dalam hidup ini. Apa mereka akan selalu begini. Berjalan di tempat. Atau menemukan sesuatu yang mungkin omong kosong tapi dapat membuat mereka bangga telah menjalani hidup dengan rajin.

Mereka sudah tidak lagi muda, dan seiring bertambahnya usia. Hal-hal yang 'mungkin' jadi terlihat mustahil. Hal-hal sepele menjadi rumit. Dan saat keputusan harus diambil jalan yang dilalui nya harus memutar dengan menekankan kata ‘bagaimana’.

Mereka berempat seperti kembali pada kertas kosong yang menunggu takdir. Takdir yang akan menulis kisah mereka lagi. Dan kapan dan bagaimana takdir itu menggigit. Rio berharap mereka masih bisa menjadi penopang untuk satu dari lainnya. Bersiaga saat seseorang jatuh kembali ke dalam kegelapan.

...----------------...

Bab 1.1

The Red Umbrella (Nicholas Geoff)

.

Udara sangat dingin berhembus menembus mantel Nicholas yang tebal. Hujan memang tidak selebat hari-hari kemarin. Tapi cukup untuk menahan Nicholas berteduh di sebuah kafe yang dipenuhi oleh orang-orang yang berlindung dari hujan juga.

Dengan secangkir espresso Nicholas memandang hujan lewat jendela. Nicholas menyesal tidak membawa mobil.

Setiap jumat malam adalah rutinitasnya untuk makan malam keluarga. Chris menjemputnya dan mengajaknya menaiki kereta. Nicholas merasa konyol sekarang. Dia sadar seharusnya tidak menuruti saran kakaknya itu.

Seperti biasanya di setiap jumat malam, telinga mereka panas mendengar omelan ibu mereka tentang menikah. Ayah mereka termasuk pendiam, jadi dia tidak terlalu banyak bicara. Hanya menanggapi sekenanya saat nyonya Geoff menanyakan pendapat.

Chris kabur dengan dalih ada pekerjaan yang harus segera dia kerjakan. Nicholas menganggap itu hanya alasan saja. Tak lama setelah Chris pergi Nicholas juga pamit pada orang tuanya. Dengan alasan pekerjaan juga. Entah sejak kapan mereka berdua tidak betah berlama-lama di rumah orang tua mereka ini.

Saat menghabiskan espresso nya, dia ingat jika tidak jauh dari tempatnya sekarang ada sebuah mini market. 'Jika aku bisa berlari kesana mungkin saja aku bisa mendapatkan payung.' pikir George. Halte bus tinggal satu blok lagi. Dan berlari kesana -di bawah guyuran hujan- bukan ide yang bagus.

Nicholas mulai berjalan cepat melewati deretan pertokoan sebisa mungkin menghindari hujan. Sampai di mini market Nicholas bersyukur masih ada payung di sana, ada dua, satu berwarna merah gelap, dan satu berwarna merah jambu.

Nicholas memilih warna merah,karena merah jambu terlalu memalukan. Seorang wanita menyambar payung satu nya yang berwarna merah jambu.

Wanita ini memiliki tinggi yang mungkin hanya sampai dada Nicholas. Dia memiliki tubuh yang yang agak besar, memakai office suit, sepotong rok berwarna pastel dan kemera soft pink, sepatu nya pink, bahkan rambut nya pun pink. Semua terlihat serba pink di mata Nicholas

Nicholas berusaha mengabaikan pinky berjalan ini dan mulai mengantri di kasir untuk membayar. Wanita pink itu ada di depannya. Nicholas bisa melihat puncak kepalanya. Antrian disini sangat panjang. Wanita pink itu sudah di depan kasir dan menunggu belanjaannya dihitung. Dan mesin hitung otomatis mereka tiba-tiba tidak berfungsi. Kasir dan teknisi sedang berusaha memperbaiki saat seorang wanita hamil mendorong pintu sambil menggigil.

“Maaf Pak, Anda masih memiliki payung?”

Wanita itu bicara dengan gigi yang dirapatkan, bajunya sudah sangat basah kuyup. Dia pasti berjuang menembus hujan. Perutnya sangat besar , dengan perut sebesar itu, mana mungkin dia bisa berlari menghindari hujan.

“Stok kami sudah habis Nyonya. Mereka sudah membelinya. “

Penjaga toko menunjuk Nicholas dan si pink. Dan entah perasaannya saja atau memang semua orang memandangi Nicholas. Tatapan mereka menghakimi dan itu membuat Nicholas risih.

Nicholas tahu apa yang ada di pikiran mereka. Mereka berharap Nicholas melakukan sesuatu. Menawarkan payungnya untuk wanita hamil ini.

'Dan kenapa mereka hanya memandangi ku saat ada satu mahluk lagi yang sedang menggenggam payung juga?' pikir Nicholas, sebisa mungkin tidak memutar matanya saat ini.

Tentu saja mereka semua berharap Nicholas bersikap Gentleman. Si merah muda sudah akan membuka mulutnya. Dan karena Nicholas bukan seseorang yang nyaman di cap sebagai pria tidak sopan yang egois. Nicholas mendahului nya. Lagi pula masih ada kemungkinan si wanita hamil ini menolak tawarannya.

“Anda bisa memakai payung ini Nyonya.” Nicholas mengatakannya dengan suara paling dalam. Nicholas bahkan tidak ingat dimana dia mempelajari cara bicara seperti itu.

“Benarkah? Terima kasih Tuan.” Tanpa di sangka tawaran Nicholas langsung di terima oleh wanita hamil itu. Nicholas hanya bisa mengeluh dalam hati. Baiklah mungkin ini bukan hari baik.

Sambil tetap mempertahankan senyum diplomasinya. Nicholas bergumam ‘sama-sama’ . Semua orang tidak memandanginya lagi dan itu lebih baik.

Nicholas sudah berbalik berjalan ke kotak rokok otomatis untuk membeli rokok. Saat dia mendengar wanita hamil itu ingin menukar payung nya dengan warna merah muda, milik si pinky. Tawa mereka masih bisa dia dengar. Dan Nicholas hanya bisa menahan kesalnya dengan bibir yang rapat.

Nicholas sedang berdiri di depan mini market sambil merokok. 'Harusnya dari tadi aku berlari saja ke halte bus.' keluh Nicholas dalam hati.

Nicholas menunduk dan melihat sepatu cantik berwarna merah muda. Nicholas mengernyit sebentar sebelum mendongak. Matanya langsung dihadapkan dengan wajah bulat dan cantik. Mata si pinky yang coklat berbinar menatapnya. Dia tersenyum dengan bibir nya yang mungil dan penuh berwarna pink. Baiklah sejauh ini warna pink yang paling Nicholas suka dari semua pink yang melekat pada tubuh wanita ini adalah bagian bibirnya. Dan Nicholas bersyukur dia sudah memakai mantelnya. Dan mantelnya berwarna coklat bukan pink yang menyakiti mata Nicholas lagi.

“Maaf, tuan jika tujuan anda ke halte bus. Kurasa kita bisa berbagi payung. Anggap saja ini adalah hadiah untuk kebaikan Anda pada Nyonya tadi.” Dia masih tersenyum selagi mengatakan kalimat tadi.

Seandainya dia tahu umpatan-umpatan apa saja yang ada di hati Nicholas tadi. Tapi sekali lagi Nicholas tidak akan sukses berbisnis jika dia tidak punya senyum diplomasi seperti yang tengah dia terbitkan sekarang.

“Jika Anda tidak keberatan.”

Si pinky menggeleng sebentar. “Tidak sama sekali.”

“Kalau begitu izinkan saya yang memegang payungnya untuk Anda.”

Wanita itu tersenyum lagi pada Nicholas sambil menyodorkan payung merah. Nicholas membuang puntung rokok dan membuka payung.

'Banyak sekali aturan menjadi laki-laki yang tidak pernah di ajarkan tapi kami semua melakukannya.' helaan napas ringan terhembus dari hidung Nicholas

Nicholas benar-benar sekuat tenaga tidak menghela napas lelah. Pria harus berjalan disisi luar jika berjalan beriringan dengan kaum hawa. Dan Nicholas melakukannya. Jika sedang berpayung, maka pria yang harus memegang payungnya dan mencondongkannya lebih kepada wanita. Dan Nicholas melakukannya. Dan pria harus mengikuti langkah wanita. Dan Nicholas juga melakukannya.

Ini benar-benar tidak berguna, bahu kiri Nicholas basah karena payung yang ukurannya kecil ini. Wanita ini berjalan lambat, mungkin karena sepatu hak tingginya.

'Kenapa wanita suka memakai hal-hal yang merepotkan begitu.' pikir Nicholas masih merasa kesal.

Sampai di halte mereka bertemu lagi dengan wanita hamil tadi, dia melambai dan tersenyum. Dia menghampiri Nicholas dan si pinky dengan cukup semangat, membuat Nicholas meringis khawatir dia terpeleset.

“Aku tahu itu,” dia berseru agak kencang, "benang merah mengikat orang-orang yang berjodoh.” Nicholas mengerutkan kening mencerna perkataannya.

“Tidak ada benang merah disini Nyonya, yang ada hanya payung merah.” Nicholas berusaha menanggapi humor ini.

“Payung atau pun benang selama itu berwarna merah. Itu sama saja. Percayalah padaku ini sudah takdir.” cerocos wanita hamil itu.

Nicholas tidak menanggapi kalimatnya yang itu. Si wanita hamil memandang Nicholas dengan mata yang berbinar, sementara si pink entah kenapa semua wajahnya juga menjadi bersemu merah muda.

...----------------...

Bab 1.2

Ordinary Love ( Rio Anggara )

.

Rio sangat fokus pada ponselnya, bermain games. Di luar hujan cukup lebat. Dan dia dan kekasihnya memilih untuk tetap di rumah saja. Bukan karena mereka tidak bisa menaiki mobil untuk ke tempat-tempat yang biasa mereka tuju untuk berkencan di jumat malam. Tapi rasanya cuaca sangat mendukung mereka untuk bermalas-malasan di balik selimut.

Joana kekasih Rio berdiri di depan kompor. Memasak makan malam sederhana dari bahan yang bisa dia temukan di dalam lemari es dapur Rio. Suara kompor gas yang di matikan dan bunyi denting spatula menandakan masakan itu sudah matang.

Joana membagi dua mie yang dia buat.

"Beb ... makan!" kata Joana agak berteriak.

"Sebentar, masih tanggung," jawab Rio membuat Joana memutar mata.

Tidak banyak bicara Joana membawa makanannya ke meja makan dan mulai makan tanpa Rio. Makanan Joana sudah habis setengah saat dia mendengar Rio mendesah karena dia kalah dalam permainan.

Rio berdiri dari tempatnya berbaring tadi berjalan menuju meja makan. Mengecup pipi Joana sebelum duduk di kursinya. Rio mengaduk mienya yang sudah sedikit mendingin. Hampir membuka mulutnya untuk protes, tapi tidak jadi setelah mendapat lirikan tajam Joana.

"Tadi tanggung yang, hampir menang," rengek Rio membuat alasan.

"Menang?" tanya Joana datar.

"Kalah sih." Rio tertawa canggung sebelum menyuap makanannya.

"Tidak masalah kalau kamu suka main games. Tapi jangan sampai lupa sama sekitar juga, Beb." Joana memulai omelannya.

"Iya ... sayangku ... cintaku ... cantiknya aku ...." Bujuk Rio berharap Joana berhenti mengomelinya.

Joana tersenyum sebelum meneruskan makannya. Rio juga tidak bicara lagi sampai makanannya habis.

"Yang .... "Rio membuka obrolan saat dia membantu Joana mencuci piring.

"Ya?"

"Besok ... ketemu ibu, mau kan?" tanya Rio hati-hati.

"Besok ada acara apa emang?" Joana balik bertanya.

"Tidak ada acara khusus, cuma sudah lama aja sejak terakhir aku pulang yang. Mau bawa kamu." Rio masih mengatakannya dengan hati-hati. Membuat Joana sedikit melambatkan pekerjaan yang sedang dia lakukan.

"Tanya dulu ibu, takut keberatan ketemu aku," jawab Joana membuat Rio menghela napas panjang.

Rio mengeringkan tangannya sebelum menghampiri Joana yang duduk di Sofa. Menyandarkan kepalanya di bahu kecil Joana.

"Yang, maaf ya," kata Rio pelan.

"Maaf buat?"

"Buat ... apa yang udah nyakitin kamu dulu." Rio menelan ludah mengingat masa lalu.

"Ya sudahlah , yang lalu jangan di bahas lagi. Aku hanya bilang begitu tadi karena takut saja. Takut hubungan kamu sama ibu kamu lebih buruk dari sekarang. Sudah saatnya juga , kamu berhenti keras kepala." Joana mengelus rambut Rio lembut. Menyembunyikan senyum mirisnya.

"Apa maksudnya berhenti keras kepala?" Rio mengulang perkataan Joana.

"Ya ... apapun yang mungkin ibu kamu inginkan buat kamu."

"Yang ..." Rio sedikit memelas, tahu apa yang ada di pikiran pacarnya itu.

Joana memandang Rio, pria yang sudah delapan tahun jadi kekasihnya itu lembut. Joana mengelus wajah Rio yang kasar karena janggut kecil sudah mulai tumbuh dari jambang ke dagunya.

"Pipi kamu memar," kata Joana.

"Iya kena pukul pas lagi melerai anak yang berkelahi."

"Sakit?" Joana meringis melihat lebam di pipi Rio.

Rio tersenyum melihat raut wajah Joana yang serius. Matanya mencari bayangan dirinya di mata Joana.

"Kecup yang, biar sakitnya hilang," kata Rio dengan nada jahilnya.

Joana terkekeh sebelum mengecup pipi Rio ringan.

"Duh ... Masih sakit yang," rengek Rio agak menyebalkan.

"Itu bukan sakit tapi mau," dengus Joana melihat tingkah kekanakan Rio.

"Bukan mau kok ... tapi .... " Rio menaikan alisnya bergantian, membuat Joana tertawa geli.

"Jangan diterusin." Joana memperingatkan sambil menahan tawa.

"Kok? kenapa?" Rio memiringkan kepalanya, melihat Joana akhirnya tertawa lepas.

"Main games aja lagi. Aku mau baca komik juga." Joana berusaha menjauh dari Rio.

"Ngapain ketemu kalau akhirnya masing-masing begini yang," ucap Rio berusaha terdengar kesal.

"Kamu nanya Beb? Terus dari tadi kamu cuekin aku buat games itu apa?" Joana menyilangkan tangannya di depan dada.

"Oke ... oke ... aku salah ratuku..maafkan hamba. Mau es kopi?" tawar Rio dengan senyum lebar.

"Mau bikinnya?"

"Kalau nawarin berarti mau," ucap Rio ringan.

"Oke Mau kalau gitu. Es kopi ya."

"Siap ratuku..." jawab Rio Sebelum menuju dapur dan membuat es kopi untuk Joana. Sementara Joana hanya menggeleng melihat Rio yang bersemangat.

Senyum Rio masih seceria biasanya. Mata Rio kadang hilang saat dia tersenyum. Rio adalah laki-laki paling baik yang Joana kenal. Barangkali itulah kenapa Joana bisa menjalin hubungan selama itu dengan Rio.

Rio berjalan riang dengan dua gelas es kopi. Menghampiri Joana yang sekarang sibuk dengan ponselnya. Joana tersenyum menyambut Rio.

"Enak?" tanya Rio memperhatikan Joana minum.

"Enak." Jawab Joana singkat.

"Kalau enak cepat di habisin yang."

"Kenapa?" Joana menaikan alisnya.

"Biar kita pindah ke kamar," bisik Rio mencurigakan.

"Hah?" Joana pura-pura tidak mengerti.

"Hmm ... lebih enak berbaringnya kalau di tempat tidur," jawab Rio membuat Joana menyipitkan matanya mendengar alasan konyol Rio.

"Aku tahu ya Beb, apa isi kepala kamu sekarang." kata Joana datar.

"Apa memangnya?" Rio berusaha terlihat polos.

Joana semakin menyipitkan matanya dengan wajah curiga. Melihat ekspresi lucu pacarnya itu Rio menahan tawa dan menyentil dahi Joana pelan.

"Pikiran kamu pasti kotor ini pasti," kata Rio sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Loh kok jadi aku yang pikirannya kotor?" Joana tidak percaya apa yang Rio katakan tentangnya.

"Ya kamu pasti mikir yang iya iya kan?"

"Beb...." Joana tertawa, merasa terjebak dengan candaan Rio. Sedang Rio akhirnya tertawa. Tawa khasnya memenuhi telinga Joana.

"So beautiful my baby so beautiful," bisik Rio pelan di telinga Joana.

"Gombal." Joana tersenyum kecil sambil menepuk pundak Rio pelan.

"Ya mau gimana, namanya juga ada maunya," jawab Rio masih berbisik.

"Tuh kan ... beb, kamu berarti bukan aku."

"Iya ... aku ..." Bisik Rio sambil mengeliminasi jarak mereka. Rio mengecup bibir Joana pelan. Sebelum memagut bibir bawahnya. Menunggu Joana membalas ciumannya. Saat dia merasakan lidah Joana di bibirnya. Pelukan Rio semakin erat. Jemari Joana semakin kencang meremas baju Rio.

Joana meminta Rio untuk melepaskan bibirnya sebentar dengan isyarat tangan. Rio menurut, melihat mata Joana yang sayu. Rio menelan ludah, rona merah di pipi Joana merekah. Bibirnya mengkilat basah. Lehernya yang jenjang dan panjang terlihat sexy saat menelan ludah. Dan suara engahan pelan yang keluar dari mulutnya yang sedikit terbuka.

Rio menyatukan dahi mereka. Menutup mata, mencoba mencari pengendalian dirinya. Dan membuka matanya lagi saat dia merasakan kecupan ringan di sudut bibirnya. Tersenyum pada wanita yang selalu membuat dia jatuh cinta ini.

"Beb .. .ayo pindah ke kamar," kata Joana yang membuat senyum Rio semakin lebar.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!