Melangkah perlahan menuruni tiap anak tangga yang ada, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Ketika tiba di lantai dasar, gadis itu bisa melihat ketiga kakaknya yang sedang bersantai bersama sambil menonton film entah apa.
Setelah yakin bahwa mereka sangat fokus pada apa yang ditayangkan di layar televisi, ia mengambil langkah cepat sembari menunduk untuk menuju pintu utama. Aksinya itu berjalan mulus, bahkan ia tidak menemukan para pekerja yang biasanya berlalu-lalang di sekitar rumah.
Begitu kaki mungilnya berhasil menapak di luar rumah, ia mengembuskan napas lega. Tadi itu sangat menegangkan, batinnya.
Melewati teras rumah, lalu garasi yang salah satu mobilnya tidak berada di tempat karena sedang digunakan oleh papa dan mamanya. Lagi-lagi ia berhasil keluar melalui gerbang setinggi 3 meter.
Kini, ia benar-benar bisa melangkah santai menuju minimarket yang tidak jauh dari depan kompleks perumahan yang ditinggalinya. Kedua tangan dimasukkannya ke dalam saku hoodie yang berada di depan perut, sebelum itu ia menutup kepalanya dengan tudung hoodie.
Ia menyenandungkan sebuah lagu yang belakangan ini sering diputar oleh teman-teman sekelasnya. Meskipun tidak tahu judulnya, nada yang terus terngiang di kepalanya membuat ia tanpa sadar bersenandung, mengusir bosan sampai tiba di minimarket.
"Selamat datang! Selamat berbelanja!" Sambutan itu terdengar kala ia baru saja masuk.
Langsung menuju curve glass freezer yang berada tidak jauh dari pintu. Ia menggeser penutup kaca untuk mengambil dua buah es krim berbentuk ikan dengan rasa cokelat. Karena tidak memiliki tujuan selain es krim yang telah berada di tangan, ia langsung menuju kasir untuk membayar.
Selesai dengan urusan membayar, ia tidak langsung pulang, malah menikmati es krimnya di depan minimarket setelah mendudukkan diri di bangku yang tersedia. Memang sangat cocok menikmati es krim saat matahari sedang sangat bersemangat menyinari bumi. Es krim pertamanya ia habiskan dengan cepat, kemudian langsung berlanjut melahap yang kedua.
"Rysan!"
Tubuhnya tersentak kala seruan itu terdengar. Oh, ia akan berada dalam masalah.
Ketiga kakaknya menghampiri ia dengan langkah tegas. Cepat sekali mereka mengetahui ketiadaannya di rumah.
"Maaf," cicitnya dengan kepala tertunduk.
"Apa yang pernah Mama bilang kalau mau pergi?" Suara kakak laki-laki keduanya terdengar.
"Izin dulu, terus perginya harus ditemenin." Ia menjawab dengan suara yang pelan.
"Terus kenapa gak bilang-bilang? Kita nyariin kamu, Ryn!" Kali ini suara kakak laki-laki pertamanya, dan kemarahan kentara pada suaranya.
"Maaf." Ia kembali melontarkan maaf, kini dengan suara parau.
"Gak usah nangis. Kita pulang sekarang." Ucapannya tidak dapat diganggu-gugat. Alhasil gadis itu beranjak dari duduknya dan mengekori kakak-kakaknya untuk pulang.
Kembali memasuki kompleks perumahan yang mereka tempati, tiba-tiba sang kakak sulung menghentikan langkah dan berbalik ke arahnya. Dalam sekejap, tubuhnya berada dalam gendongan koala kakaknya itu.
"Maaf," ucap laki-laki itu. "Kakak gak maksud buat marahin kamu. Kakak khawatir, Ryn. Jangan diulang lagi, ya."
Pada detik berikutnya tangis gadis itu langsung pecah saat wajahnya tenggelam di ceruk leher sang kakak. Tangis yang sedari tadi ia tahan langsung dikeluarkan.
"Maaf, Kak Dev .... Gak ngulang lagi," ucapnya dengan susah payah sembari menahan senggukan.
"Iya, jangan diulang lagi." Mengusap belakang kepala adik kecilnya, kemudian mereka kembali melanjutkan langkah menuju rumah, dengan adiknya yang masih berada dalam gendongan.
Matahari yang menggantung di atas sana bersinar dengan begitu terik. Hawa panas yang mendominasi di musim ini membuat bulir-bulir keringat selalu bermunculan di kening dan pelipis setiap orang. Membuat mereka ingin segera mengenyahkan rasa panas dengan segelas minuman dingin, seperti para siswa di SMA Nusa Anandha ini.
Kantin langsung berubah menjadi begitu penuh sesak sesaat setelah bel berbunyi. Para siswa tidak sabar untuk menyegarkan diri mereka setelah beberapa jam berada di kelas untuk menimba ilmu.
"Bu, pesanan saya udah belum? Saya yang pertama tadi!"
"Woy, jangan dorong-dorong! Panas gini jangan bikin emosi!"
"Pak, bakso dua!"
Seruan di sana terdengar bersahut-sahutan di depan stan penjual yang ada di kantin. Ada yang saling berdempet-dempetan agar lebih dekat dengan penjual sehingga bisa langsung memberikan pesanan mereka. Pun ada yang kesulitan mencari tempat duduk setelah menerima pesanan mereka.
"Kita duduk di mana, nih? Penuh banget." Gadis yang memegang dua minuman di tangannya bertanya pada keempat teman yang bersama dirinya.
"Rys!"
Salah satu dari mereka yang merasa terpanggil langsung menoleh ke asal suara. Dua siswa yang duduk di sudut kantin bersama dua temen siswi mereka terlihat, salah satunya mengangkat tangan mengisyaratkan untuk ke sana.
"Kita gabung sama Kak Rey aja," ajak gadis itu, Rysan.
"Oke, tangan gue juga udah pegel." Selva, gadis yang membawa nampan berisi dua mangkuk bakso, lebih dulu melangkah ke sana. Kemudian diikuti oleh yang lainnya.
Laki-laki bernama Rey yang tadi memanggil Rysan, menyuruh gadis itu duduk di kursi sampingnya. Rysan hanya menurut tanpa ada niatan untuk protes, lagipula ia juga sudah lelah berdiri.
"Gue kira lo gak bakal deket sama cewek." Salah satu siswi teman Rey yang sedari awal sudah di sana, menyerukan isi pikirannya. Netranya meneliti gadis yang duduk di samping Rey, hanya ingin tahu bagaimana 'tipe cewek' dari seorang Fareyzi Nevano.
"Lo yang waktu masa orientasi di kelas gue, kan?" Kini siswi itu bertanya kepada Rysan, memastikan ingatannya.
"Iya, Kak." Rysan juga masih ingat penanggung jawabnya kelasnya saat masa orientasi.
"Gue lupa, siapa nama lo?"
"Crysana Vashela, Rysan."
"Oh, iya. Jadi, kalian udah berapa lama? Siapa tahu gue bisa nyelip," canda siswi itu dengan tatapan menggoda.
Rysan dengan cepat menggeleng, menyanggah ucapan kakak kelasnya itu.
"Ngaco lo, Nin. Rysan itu adek gue." Rey yang sedari tadi diam menikmati mie ayamnya, menyela untuk meluruskan pemikiran teman sekelasnya itu. Tidak mungkin ia dan Rysan memiliki hubungan yang lebih dari saudara sepupu. Ia bukan pengidap sister complex.
"Wait.. kok, kita baru tahu lo punya adek? Selama kerja kelompok aja gue gak pernah, tuh, liat dia di rumah lo," sahut Dhera, siswi sekelas Rey yang satunya. Ia yang hanya mendengarkan dari tadi sedikit terkejut-lebih ke tidak menyangka ketika mendengar ucapan laki-laki itu.
"Rysan itu sepupu gue." Rey menjawab singkat.
Orang-orang yang menempati meja itu membulatkan bibir mereka pertanda paham. Awalnya memang mengira Rysan dan Rey memiliki hubungan seperti 'itu' karena mereka sangat dekat sejak masa orientasi. Ternyata pemikiran yang berdasarkan tebakan itu salah.
"Gue juga awalnya ngira lo pacaran sama Kak Rey. Abisnya lo gak pernah cerita sih, Rys," ujar Auri, salah satu teman Rysan.
"Ya, kan, kalian gak ada yang nanya." Rysan membalas santai sambil menikmati batagor miliknya.
Auri menjadi gemas sendiri mendengar jawaban dari temannya itu. Ya, walaupun memang tidak salah, tapi mereka sudah menjadi teman sejak masa orientasi, bercerita hal seperti itu tidak ada salahnya.
Ah, sudahlah. Lebih baik ia segera menghabiskan baksonya sebelum bel kembali berbunyi.
·
Sudah satu pekan lebih yang terlewati setelah masa orientasi, hampir dua minggu tepatnya. Selama itu Rysan sudah bisa menyesuaikan diri dengan sekolah barunya, pun ia mendapatkan empat teman baru sejak masa orientasi. Mereka baik menurut Rysan, tidak memandangnya hanya karena anak dari keluarga yang memiliki harta lebih, dan ia juga senang memiliki mereka sebagai teman.
"Rys, lagi ngerjain apa sampe Kakak panggil gak denger?"
Suara kakak laki-laki keduanya memasuki rungu Rysan. Gadis yang sedari tadi melamun setelah menyelesaikan tugasnya itu, hanya memberikan senyuman kecil khasnya ketika tidak tahu ingin membalas apa.
"Kak Jason ada perlu apa? Emang gak sibuk sama tugas kampus lagi?" Ia bertanya setelah mengubah posisinya menjadi menyamping untuk menghadap sang kakak.
"Waktunya makan malam, makanya Kakak ke sini buat panggil kamu," jawab Jason seraya mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala si bungsu. "Tugas Kakak juga udah selesai. Yuk, ke ruang makan! Yang lain pasti udah nunggu."
Rysan mengangguk kemudian bangkit dari duduknya untuk mengikuti langkah Jason keluar kamar.
Sampai di ruang makan, semua keluarganya sudah ada di sana, minus Devan. Rysan memilih duduk dengan nyaman di samping mamanya, sedangkan Jason yang tadi datang bersamanya duduk di samping Nela-kakak ketiga Rysan.
"Kak Devan belum pulang?" tanya Rysan.
"Katanya masih ada kerjaan yang harus diselesaikan." Rian, sang papa, menjawab pertanyaan putri bungsunya. "Kamu makan aja, tadi mama udah suruh sopir buat antar makan malamnya Devan."
Rysan mengangguk kecil walaupun sebenarnya bertanya-tanya mengapa kakak sulungnya itu pulang terlambat padahal bekerja dengan papanya. Namun, kemudian ia mulai menyantap makan malamnya karena piringnya telah diisi oleh sang mama.
Ia menyelesaikan makannya dengan cepat. Tes yang akan diadakan besok membuat ia harus lanjut belajar.
Kegiatan belajarnya selesai pukul setengah sembilan malam. Ketika itu ia mendengar suara langkah kaki dari luar kamarnya. Merasa kakak sulungnya yang sudah pulang, Rysan segera melangkah keluar kamar untuk memastikan.
Begitu keluar ia tidak mendapati siapa pun, jadi ia memutuskan untuk langsung ke kamar kakaknya.
Tok ... tok ....
Tidak lama setelah ia mengetuk, pintu dibuka oleh Devan dari dalam. Senyum Rysan mengambang.
"Kak Devan udah makan malam, kan?" tanyanya setelah dipersilakan masuk oleh sang kakak. Ia duduk di tepi ranjang milik kakaknya yang ditutupi bedcover berwarna abu-abu.
"Udah, Rys." Devan berlutut di depan Rysan untuk menyamakan tinggi mereka. Ia meraih kedua tangan adiknya untuk dibubuhi kecupan singkat di sana. "Kamu sendiri kenapa jam segini belum tidur? Besok masuk sekolah, kan."
Rysan memutar bola matanya jengah. Ia sudah enam belas tahun dan Devan masih menganggapnya seperti anak kecil yang harus tidur sebelum pukul delapan malam.
"Baru setengah sembilan malam, Kak Dev. Apa perlu aku ingetin kalau sekarang aku udah enam belas tahun, enam belas tahun."
"Di mata Kakak kamu itu masih lima tahun." Devan berujar jahil. Ia menikmati ketika kedua pipi Rysan menggembung saat kesal. Belum lagi bibirnya yang mempout lucu. Membuat Devan tidak tahan untuk membubuhkan banyak kecupan di wajah adiknya.
"Iihh, Kak Dev, udaah! Geli tauu!"
Rysan berseru disertai tawa kecil karena merasa geli. Tangannya yang lebih mungil dari milik Devan tidak mampu mendorong tubuh laki-laki itu menjauh. Membuatnya pasrah menerima puluhan kecupan di seluruh wajahnya.
Merupakan hal yang lumrah ketika kantin berada dalam kondisi yang ramai dan penuh sesak begitu waktu istirahat tiba. Suara teriakan dan seruan maupun siswa yang saling berbincang terdengar bagai dengungan lebah. Sebenarnya bel akan berbunyi sebentar lagi, tetapi tidak membuat kantin berkurang pengunjung.
"Rys, gak mau nambah? Masa cuma makan itu aja."
"Gak usah, Kak, nanti aku malah kekenyangan." Rysan menolak dengan cepat. Lambungnya benar-benar sudah terisi penuh, tidak bisa dimasuki makanan lagi.
Tidak mau memaksa, Rey mengiyakan saja. Tangannya terulur untuk mengusap kepala adik sepupunya dengan sayang.
"Traktir kita aja, Kak!" Auri berseru.
"Bener, sebagai kakak yang baik, harus baik juga dong sama temen adeknya."
"Gue setuju sama mereka, lo jarang banget traktir kita. Apalagi pas ulang tahun, tingkat kepelitan lo makin meningkat." Faris, teman Rey, ikut menimpali ucapan adik kelasnya.
Karena tidak ingin membuat image-nya jelek di depan Rysan, akhirnya Rey mengiyakan seruan mereka. "Oke, lo pada boleh ambil yang mana aja. Jangan makanan berat, bentar lagi udah mau masuk."
Ucapannya disambut seruan senang dari orang-orang yang berada di meja itu. Mereka dengan cepat bangkit dan menjelajahi stan yang ada di kantin.
"Nanti mau gak pulang sama Kakak?" Rey kembali beralih pada Rysan yang masih duduk dengan tenang di sampingnya.
Berpikir sejenak, kemudian Rysan langsung mengangguk. "Hum, boleh."
Selang beberapa meja dari tempat Rey, Rysan dan yang lainnya, tiga orang siswi memperhatikan mereka. Tanpa disadari, salah satunya memandang Rysan dengan tajam, sangat tidak suka dengan keberadaan gadis itu di sekitar laki-laki yang disukainya.
"Tuh, cewek kegatelan banget deketin Rey. Lo gak marah, Rin, liat gebetan lo dideketin gitu?"
"Iya, Rin. Dari yang gue perhatiin mereka udah deket sejak masa orientasi."
Beralih kepada temannya, siswi bernama Airin itu memandangi temannya dengan kesal. "Lo pikir gue bakal diem aja biarin, tuh, cabe lama-lama deket sama Rey. Nggaklah, gue bakal buat cabe itu gak berani ke sekolah lagi."
"Gak lama lagi kita bakal main sama cabe itu, tunggu aja," imbuhnya dengan senyum miring yang terukir di wajahnya.
"Aseek! Udah lama juga, ya, kita gak main yang seru."
"Hm, tunggu aja."
Di sisi lain, tidak jauh dari meja yang ditempati ketiga siswi itu, seseorang menatap mereka dengan lekat. Tidak ada yang memperhatikan keberadaannya. Hingga akhirnya ia memiliki beranjak dari sana. Melewati meja yang ditempati ketiga siswi itu, ia sengaja menyenggolnya sedikit sebelum hilang di antara lalu-lalang siswa yang lain.
"Tuh, orang jalan gak liat-liat banget."
"Udahlah, gak keliatan lagi juga. Ini juga penuh kantinnya."
·
Bel akan berbunyi untuk menandakan berakhirnya waktu sekolah, sekitar 5 menit lagi. Di sisa waktu itu, para siswa sudah tidak lagi fokus pada pembelajaran mereka. Bahkan ada beberapa yang sudah merapikan buku dan peralatan tulis untuk dimasukkan kembali ke dalam tas.
"Untuk tugas, kerjakan uji kompetensi yang ada di halaman tiga-puluh-tujuh, dikumpulkan pada pertemuan berikutnya. Jika ada kesulitan bisa menemui saya di ruang guru."
"Terima kasih, Bu." Siswa di kelas 10 MIA 2 berseru serempak sebelum Bu Lina keluar dari kelas mereka.
Setelah kepergian guru yang mengajar mata pelajaran terakhir di kelas mereka, bunyi grasak-grusuk memenuhi atmosfer kelas. Satu per satu siswa meninggalkan kelas setelah memastikan barang milik mereka tidak tertinggal.
"Ingat yang piket woi! Jangan pada kabur! Yang kabur siapin denda lima ribu!" Dhea, perangkat kelas bagian kebersihan, berteriak mengingatkan siswa sekelasnya.
"Kalian berdua mau kita tungguin gak?" Auri memutar tubuhnya untuk bertanya pada Lyra dan Rysan yang duduk di belakangnya.
"Gak perlu," jawab Lyra, juga mewakili Rysan yang masih sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Gadis itu hanya mengangguk mendengar jawaban yang diberikan Lyra.
"Oke, kalau gitu kita duluan. Bye!"
Selesai dengan bukunya yang sudah kembali masuk ke dalam tas, Rysan langsung bergabung dengan siswa sekelas yang sudah melakukan tugas piket mereka lebih dulu. Ia mengambil bagian tugas menyapu depan kelas. Tugasnya selesai dengan cepat sehingga bisa menyusul siswa lain yang sudah kembali ke dalam kelas untuk bersiap pulang.
"Pulangnya pake apa, Ra?" Rysan bertanya seraya meraih tasnya.
"Gue pake ojol. Lo sendiri?"
"Kayaknya dijemput, tapi kalau Kak Rey belum pulang berarti gue bareng."
Lyra membalasnya dengan anggukan singkat. Kemudian mereka berjalan bersama keluar kelas.
Sampai di tempat parkir, mobil yang digunakan Pak Dani-sopir keluarganya-sudah terlihat tidak jauh dari gerbang. Rysan awalnya menawarkan untuk menunggu bersama sampai ojek pesanan Lyra datang, tetapi langsung ditolak oleh gadis itu.
"Gak papa, Rys. Ini bentar lagi juga udah sampe." Lyra berujar sambil menunjukkan layar ponselnya.
"Oke kalau gitu, gue duluan. Bye!"
Butuh beberapa menit bagi mobil itu untuk membelah jalanan kota yang sedikit padat hingga akhirnya sampai di kediaman Anansyah. Rysan langsung keluar setelah mobil berhenti.
Sedikit berlari kecil untuk memasuki rumah besar itu, ketika masuk ia disambut oleh keberadaan Jason yang baru menuruni tangga.
"Kak Jason udah selesai kuliahnya?" Rysan bertanya, siapa tahu kakak keduanya itu hanya sedang break sebelum pergi lagi untuk mata kuliah selanjutnya.
"Iya, Rys." Jason mengusap ringan puncak kepala Rysan. "Gimana sekolahnya tadi?"
"Biasa aja, gak ada yang menarik. Untungnya tugas hari ini cuma satu."
"Nanti mau Kakak bantuin?" tawar laki-laki dua puluh satu tahun itu.
"Nggak usah, aku bisa sendiri. Kalau ada yang susah baru aku ke Kak Jason nanti." Rysan menolak dengan halus.
"Oke, kamar Kakak selalu terbuka untuk kamu."
"Ya udah, kamu cepetan ganti baju terus kita makan siang bareng," imbuh Jason seraya meraih kedua pundak Rysan lalu mengarahkannya ke tangga.
"Oke." Rysan membalas singkat. Kemudian dengan cepat menapaki anak tangga. Namun, baru beberapa anak tangga yang ia lewati, seruan Jason membuatnya harus menurunkan kecepatan.
Selang 20 menit kemudian, kedua kakak-beradik itu sudah berada di ruang makan. Jason dengan cekatan mengisi piring di depan Rysan dengan nasi beserta lauk-pauknya.
"Kak, Mama ke mana? Aku gak liat sedari pulang tadi." Rysan menunda menyuapkan makanan begitu menyadari sesuatu.
"Oh, tadi Mama pergi sama Mami. Katanya gak lama, sih, tapi Kakak gak tahu juga ke mana perginya." Jason membalas dengan suara lembut.
Rysan hanya mengangguk sebagai balasan kalau ia paham. Kemudian melanjutkan kegiatan makannya yang sempat ia tunda.
Mereka makan dengan tenang sampai selesai.
Setelahnya, untuk mengisi waktu, kakak-beradik itu memilih bersantai di ruang keluarga dan menonton film.
Karena terlalu menikmati acara bersantai mereka, kedua kakak-beradik itu tidak sadar kelopak mata mereka memberat, dan akhirnya membuat mereka jatuh tertidur dalam posisi saling merangkul.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!