Raka duduk di belakang meja kerjanya yang rapi, matanya terpaku pada layar komputer bercahaya di depannya. Dengan jari-jari yang lincah dan pasti, dia menggerakkan mouse komputer, membuka file demi file dari pasien-pasien yang baru saja masuk ke rumah sakit swasta tempat dia bekerja.
Dia adalah seorang dokter muda, masih dalam awal karirnya namun sudah menunjukkan dedikasi dan ketekunan yang luar biasa dalam pekerjaannya. Rumah sakit swasta tempat dia bekerja adalah salah satu yang terkemuka di Jakarta, dengan reputasi untuk kualitas perawatan pasien dan profesionalisme staf medisnya.
Raka tampak seperti dokter muda lainnya - ia mengenakan jas putih bersih dengan nametag berbunyi "Dr. Raka" dipasang dengan rapi di saku dadanya. Dia selalu tampak tenang dan fokus, wajahnya jarang menunjukkan emosi apa pun selain ekspresi profesional yang tenang.
Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan seorang perawat muda bernama Sari memasuki ruangan.
"Dokter Raka," katanya dengan nada formal namun ramah, "Pasien baru telah tiba."
Namun jika Anda melihat lebih dekat, Anda akan melihat ada sesuatu di balik tatapan tajam matanya - sebuah rasa pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang dunia kedokteran. Ada sesuatu tentang cara dia menatap layar komputernya itu, seolah-olah dia bisa melihat lebih jauh daripada data dan grafik pada layar.
"Terima kasih, Sari," kata Raka tanpa menoleh dari layarnya. "Saya akan datang segera."
Dia mendengarkan langkah kaki Sari menjauh dari ruangannya sebelum akhirnya kembali fokus pada pekerjaannya.
Tetapi tidak ada orang lain di rumah sakit itu yang menyadarinya. Bagi mereka semua, Raka hanyalah dokter muda biasa - salah satu dari banyak dokter berbakat yang bekerja keras untuk merawat pasien mereka setiap hari.
Dan itulah cara Raka ingin itu tetap - sebagai seorang dokter biasa tanpa apa pun istimewa tentang dirinya. Setidaknya itulah gambaran dirinya kepada dunia luar - gambaran seorang pria biasa dengan hidup biasa.
Ruang kerja Raka tampak seperti ruangan dokter biasa. Dinding-dinding berwarna putih polos hanya diberi sedikit hiasan - beberapa sertifikat dan penghargaan medis yang dia raih selama karirnya. Sertifikat-sertifikat tersebut, meski sedikit, menunjukkan dedikasi dan kompetensinya dalam bidang kedokteran.
Di atas meja kerjanya, laptop modern berbahan metal tergeletak rapi di samping tumpukan buku teks medis tebal yang dipenuhi dengan post-it warna-warni dan catatan margin. Di sudut meja, secangkir kopi hitam hampir kosong menunggu untuk diminum - satu-satunya tanda bahwa dokter muda ini juga membutuhkan energi tambahan untuk menjalani hari-harinya.
Raka adalah dokter umum di rumah sakit ini. Dia sering kali menjadi orang pertama yang bertemu dengan pasien yang datang mencari bantuan. Pasien-pasien itu datang dalam semua bentuk dan ukuran - dari anak-anak kecil dengan pipi merah karena demam tinggi, hingga lansia dengan wajah pucat dan tubuh lemah karena penyakit kronis.
Namun tidak peduli siapa pasiennya, Raka selalu mendengarkan mereka dengan sabar. Dia mendengarkan keluhan mereka satu per satu, mencatat setiap detail penting sambil memeriksa mereka secara fisik jika perlu. Kemudian, dengan tenang dan bijaksana ia memberikan penilaian medisnya - memberikan diagnosis atau merencanakan pengobatan lebih lanjut.
Tidak ada yang mengira bahwa di balik sikap profesionalnya itu, Raka menyimpan rahasia besar tentang kemampuannya yang luar biasa dalam bidang kedokteran.
Tapi untuk saat ini, dia hanya Raka - seorang dokter biasa di sebuah rumah sakit swasta. Dan dia lebih dari senang untuk menjaga hal itu tetap seperti itu.
Dengan tangan terampil, dia mengetik diagnosis akhir pada catatan elektronik pasien terakhirnya untuk hari ini. Lalu ia meraih secangkir kopinya dan melanjutkan pekerjaannya sebagai dokter biasa - setidaknya untuk saat ini.
Setelah menyelesaikan catatan medis terakhirnya, Raka berdiri dan meninggalkan ruangannya. Dia melangkah melewati koridor rumah sakit yang sibuk menuju ke ruang tunggu. Di sana, pasien barunya telah menunggu - seorang pria paruh baya dengan raut wajah yang tampak pucat dan lelah.
Di sisinya, seorang wanita yang tampaknya adalah istri pasien tersebut berdiri dengan cemas. Anak-anak mereka berdua duduk di kursi tunggu, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran.
"Dokter Raka," kata wanita itu ketika Raka mendekat. Suaranya gemetar sedikit karena kecemasan. "Ini suami saya, Pak Budi."
Raka mengangguk dan memberikan senyum tenang kepada mereka semua untuk mencoba meredakan ketegangan di udara.
"Selamat siang, Pak Budi," kata Raka dengan suara tenang namun pasti. "Saya Dr. Raka dan saya akan membantu Anda hari ini."
Pria paruh baya itu mengangguk lemah, terlihat jelas bahwa dia merasa tidak nyaman.
"Saya mendengar Anda merasa tidak enak badan," lanjut Raka sambil memeriksa catatan medis pasien di tablet-nya. "Bisakah Anda ceritakan apa yang Anda rasakan?"
Selama beberapa menit berikutnya, Pak Budi menjelaskan gejala-gejalanya - kesulitan bernapas, sakit dada - dan Raka mendengarkan dengan seksama sambil mencatat detail penting.
Setelah selesai mendengarkan keluhan Pak Budi, Dr.Raka kemudian berkata pada istri Pak Budi,
"Bu,Ibu bisa tenang dulu ya,kami akan lakukan semua upaya terbaik untuk suami Ibu."
Kemudian ia bangkit dari kursinya dan berkata kepada keluarga tersebut,
"Sekarang mari kita lihat apa yang bisa kita lakukan untuk membuat Pak Budi merasa lebih baik."
Dengan itu dia memimpin jalan menuju ruangan perawatan dimana tim medis sudah menunggunya.
Setelah Budi selesai menjelaskan gejala-gejalanya, istri pak Budi, Bu Widi, mengambil alih percakapan. Dia adalah wanita yang elegan dengan penampilan yang rapi dan mewah. Dari kalung berlian di lehernya hingga jam tangan mewah di pergelangan tangannya, dia tampak seperti wanita yang terbiasa dengan kehidupan mewah.
"Pak Budi sudah beberapa bulan ini merasa tidak enak badan," kata Bu Widi dengan suara yang jelas dan pasti.
"Awalnya hanya sesekali merasa lelah dan sesak napas. Tapi kemudian semakin sering dan semakin parah."
Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
"Kami sudah pergi ke beberapa dokter, melakukan berbagai tes dan pemeriksaan. Mereka semua bilang bahwa Pak Budi menderita penyakit jantung koroner."
Raka mendengarkan dengan seksama sambil mencatat detail penting di tablet-nya.
"Tapi ada sesuatu yang aneh," lanjut Bu Widi dengan ekspresi bingung di wajahnya. "Pengobatan yang biasa diberikan kepada pasien dengan kondisi serupa tampaknya tidak efektif untuk Pak Budi. Dokter kami sebelumnya bahkan mengatakan bahwa dia tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi."
Bu Widi menunduk sedikit, rambut panjangnya jatuh menutupi wajahnya selama beberapa detik sebelum dia kembali menatap Raka.
"Dokter itu merekomendasikan kami untuk datang ke sini," katanya akhirnya. "Ke Duta Sehat International...kepada Anda, Dr.Raka."
Dia menarik napas dalam-dalam lagi seolah mencari kekuatan untuk melanjutkan.
"Dia bilang Anda adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu kami." Suaranya hampir berbisik saat ia menyampaikan harapan terakhir mereka pada Raka.
Bu Widi tampak rapuh dan putus asa saat ia meraih tangan Raka dan memandangi matanya dengan penuh harapan.
"Dr.Raka," ucap Bu Widi sambil tangannya gemetaran memegang tangan Raka.
"Kondisi Pak Budi semakin memburuk setiap harinya...saya...kami benar-benar takut..." air matanya mulai berlinang,
"Saya mohon bantu kami."
Lalu dia menguatkan dirinya lagi dan berkata dengan suara pasti:
"Uang bukan masalah bagi kami Dr.Raka... Kami akan membayar berapapun biayanya asalkan Pak Budi bisa pulih kembali."
Sementara Bu Widi berbicara, Raka tidak bisa tidak memperhatikan dua wanita muda yang duduk di belakangnya. Mereka adalah putri kembar Pak Budi dan Bu Widi - Nia dan Lia. Keduanya adalah mahasiswi dari universitas terkemuka di negeri ini dan sedang menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, jurusan Manajemen Keuangan Internasional.
Nia dan Lia memiliki penampilan yang sangat mirip, seperti yang biasa terjadi pada anak kembar identik. Mereka sama-sama cantik dengan rambut hitam panjang mereka diikat rapi dalam ikatan kuda, wajah mereka bersih dan segar meski tampak jelas kekhawatiran dalam mata mereka.
Mereka duduk dengan sikap tegap, menunjukkan pendidikan baik yang mereka terima. Meski tampak cemas, sikap mereka segera berubah saat ibu mereka selesai bicara.
Nia adalah yang pertama berbicara setelah ibunya selesai bicara. "Dr.Raka," katanya dengan nada sinis. "Kami datang ke sini karena rekomendasi dokter sebelumnya... tapi kami tetap skeptis."
Lia mengangguk setuju sambil menambahkan dengan nada meremehkan, "Ya... Kami pernah mendengar tentang Anda... Tapi kami juga tahu bahwa ada banyak dokter lain yang lebih berpengalaman."
Walaupun kata-kata mereka cukup menyakitkan, Raka tetap tenang dan profesional. Dia memahami bahwa ketidakpercayaan ini mungkin berasal dari ketakutan akan kondisi ayah mereka.
"Kami menghargai keraguan Anda," jawab Raka dengan tenang. "Tetapi saya harap Anda bisa memberi saya kesempatan untuk membantu ayah Anda."
Raka, dokter muda berbakat, memiliki rahasia besar. Rahasia itu adalah sebuah 'cheat' yang dia dapatkan dari kehidupan sebelumnya sebagai seorang dokter legendaris dan kaya raya di dunia fantasi. Dalam dunia itu, Raka telah mencapai level tertinggi dalam profesi medis dan mendapatkan skill " Legendary Doctor ", yang memberinya pengetahuan medis luar biasa serta kemampuan untuk menyembuhkan penyakit apa pun.
Dalam kehidupannya sekarang, 'cheat' ini muncul dalam bentuk interface game yang dirancang mirip dengan tampilan pada layar permainan video. Ketika Raka memeriksa pasien atau melihat kondisi medis mereka, tampilan ini menampilkan informasi seperti level pasien dengan angka yang menunjukkan tingkat keseriusan kondisi mereka.
Selain itu, interface tersebut juga menampilkan ikon-ikon visual yang menggambarkan jenis penyakit atau cedera yang dialami oleh pasien. Misalnya, ikon jantung untuk masalah kardiovaskular atau ikon tulang patah untuk cedera ortopedi. Hal ini membantu Raka dengan cepat mengidentifikasi masalah utama yang harus ditangani.
Lebih jauh lagi, tampilan game ini memberikan rekomendasi pengobatan terbaik berdasarkan analisis data pasien secara real-time. Misalnya, jika seorang pasien memiliki infeksi bakteri tertentu, interface akan menyarankan antibiotik spesifik yang paling efektif untuk digunakan.
Selain itu, cheat ini juga memungkinkan Raka melihat animasi proses patologi secara visual dalam bentuk gambar 3D interaktif. Ini membantu dia memahami bagaimana penyakit berkembang di dalam tubuh pasien dan memperoleh wawasan lebih mendalam tentang perjalanan penyakit tersebut.
Meski cheat ini memberikan kemampuan luar biasa kepada Raka dalam merawat pasien-pasienya, ia tetap menjaga semangat belajar dan melakukan riset secara aktif untuk terus meningkatkan level pengetahuannya. Cheat tersebut tidak hanya memberikan jawaban langsung kepada Raka tapi juga menjadi panduan dalam proses pemecahan masalah sehingga ia dapat terus berkembang sebagai dokter.
Namun demikian, memiliki 'cheat' seperti ini juga membawa tantangan tersendiri bagi Raka. Ia harus menjaga agar kemampuannya tetap rahasia sambil berusaha menggunakan 'cheat'-nya demi kebaikan umum tanpa menarik perhatian orang lain atau mencurigakan mereka tentang asal-usul pengetahuannya yang luar biasa.
Dr. Surya menatap layar komputernya dengan serius, "Tidak mungkin seseorang bisa belajar secepat itu," gumamnya.
Dina, asistennya, memasuki ruangan dan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Dok?"
"Saya butuh data pendidikan lengkap Dr. Raka," perintah Dr. Surya tanpa melepaskan pandangannya dari layar.
"Mengapa begitu tertarik dengan Dr. Raka, Dok?" tanya Dina penasaran.
Dr. Surya hanya menggelengkan kepala dan berkata, "Hanya ada beberapa hal yang perlu saya klarifikasi."
Beberapa hari kemudian dalam rapat tertutup bersama dokter-dokter senior lainnya yang terpercaya seperti Dr Ani dan Dr Iwan, Dr. Surya membuka topik pembicaraan secara serius.
"Saya curiga ada sesuatu yang aneh dengan perkembangan Raka," ungkapnya.
Dr Ani merespon dengan ekspresi serupa di wajahnya, "Saya juga merasa demikian."
"Bagaimana kalau kita mulai mengawasi kerja-kerja medisnya secara ketat?" usul Dr.Surya.
Sebelum mereka menyetujui rencana tersebut, Dr.Iwan memberikan ide lain,"Atau kita coba beri dia kasus-kasus medis palsu? Kita bisa lihat bagaimana dia merespon."
Dr. Surya duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang menunjukkan desktop dengan berbagai ikon aplikasi. Salah satunya adalah shortcut untuk aplikasi rumah sakit, berlogo gedung putih dengan siluet stetoskop.
Dengan gerakan cepat dan terampil, dia mengklik ikon tersebut. Muncul tampilan login dengan dua kolom kosong: user name dan password. Dr Surya memasukkan detail login-nya dan menekan tombol 'Enter'. Beberapa detik kemudian, tampilan utama aplikasi muncul di layar.
Dia mengarahkan kursor ke menu 'Network User Profil' di sisi kiri layar dan klik pada submenu 'Data Dokter'. Tabel dengan nama-nama dokter muncul di tengah layar. Mata Dr Surya cepat mencari nama 'Dr Raka' dalam tabel tersebut.
Setelah menemukan namanya, dia melakukan double klik pada baris yang berisi nama Dr Raka. Informasi umum tentang Dr Raka muncul: nama lengkap, tanggal lahir, spesialisasi medis - semuanya ada di sana.
Namun ketika dia mencoba untuk mengakses detail informasi lebih lanjut seperti riwayat pendidikan dan pengalaman kerja medisnya, sebuah pesan error muncul di tengah layar: "Akses ditolak - memerlukan izin level tinggi."
Bip... bip... suara ringan dan getaran halus dari ponsel yang terletak di atas meja konferensi menarik perhatian Dr Bob Taslim. Layar ponselnya menyala, menampilkan notifikasi baru dari aplikasi rumah sakit yang dia install.
Dr Bob, pemilik rumah sakit dengan perawakan kekar dan kepala botak, melirik layar ponselnya. Sebuah pesan muncul: 'Upaya akses data sensitif pada database rumah sakit.' Alis tebal Dr Bob berkerut saat membaca pesan tersebut.
“Hmmm..” gumamnya pelan. Namun, dia tidak segera merespon. Dia sedang dalam pertemuan penting bersama pemilik rumah sakit lainnya dari seluruh negeri. Bahkan Menteri Kesehatan juga hadir dalam pertemuan ini.
Dia memilih untuk mengabaikan notifikasi tersebut untuk sementara waktu dan kembali fokus kepada pembicaraan yang sedang berlangsung di depannya. Namun, pesan itu tetap saja mengganjal di benak Dr Bob - siapa yang mencoba mengakses data sensitif? Dan apa tujuannya?
Sambil mencoba menjaga fokus pada pertemuan tersebut, pikiran Dr Bob tetap melayang ke notifikasi tak terjawab di ponselnya.
Tiba-tiba, suara keras memecah keheningan.
BUUUKKK...
Sebuah pukulan brutal mendarat di pipi Raka. Ia tak sempat bersiap, tak ada waktu untuk menangkis atau menghindar. Kepalanya terpental ke samping, dan tubuhnya terhuyung mundur sebelum akhirnya jatuh terduduk di lantai.
"Sampah, untuk apa kau masuk ke sekolah ini?" ujar Andi dengan nada meremehkan yang mendalam. Wajahnya memancarkan rasa puas sadis, menikmati setiap detik kesengsaraan Raka.
Sorakan liar bergema di ruangan dari geng Andi menghina dan melecehkan. Mereka tertawa dan bertepuk tangan, menyemangati aksi bully yang dilakukan oleh pemimpin mereka.
Raka berbaring di lantai dingin sekolah, tubuhnya gemetar karena rasa sakit dan pengejekan yang menusuk hatinya. Dia mencoba bangkit tapi pukulan tadi telah mengambil sebagian besar tenaganya.
Mata murid-murid lain berkerumun di sekeliling mereka namun tak ada satupun yang bergerak membantu. Wajah-wajah itu penuh dengan ketakutan dan pengecutan - semua orang tahu apa yang akan terjadi jika mereka melawan Andi dan gengnya.
"Ayo lihat apa yang bisa kau lakukan!" tantang Andi, wajahnya terpulas senyum jahat, matanya berkilat dengan kepuasan sadis. Suaranya bergema di ruangan, disertai tawa cemoohan dari gengnya.
Di sudut ruangan yang jauh dari kerumunan, seorang sosok berdiri. Pak Robert, guru yang dikenal dekat dengan keluarga Andi. Dalam diam, ia memperhatikan adegan itu berlangsung - melihat Raka terkapar dan tak berdaya - namun ia tidak melakukan apa-apa.
Setelah insiden itu mereda dan murid-murid mulai bubar, Pak Robert mendekati Raka yang masih duduk lemas di lantai. "Kenapa kau tidak berhenti membaca dan bergaul sedikit?" katanya dengan nada datar. "Mungkin jika kau lebih banyak berinteraksi dengan teman-temanmu, mereka akan mulai menghargaimu."
Raka menatap Pak Robert dalam diam. Di balik tatapan kosongnya ada rasa kecewa mendalam pada guru yang seharusnya melindungi murid-muridnya.
"Sial," gumam Raka pelan setelah Pak Robert pergi meninggalkannya sendirian lagi di ruangan itu. "Sepertinya percuma saja... Bahkan guru pun tak bisa berkutik di depan anak sialan ini."
Dalam kegelapan ruangan yang sepi, rahasia tersembunyi tentang pengaruh keluarga Andi mulai terungkap. Mereka bukan sekadar keluarga biasa di sekolah ini, mereka adalah salah satu penyumbang terbesar yang menjaga roda sekolah tetap berputar.
Kekuasaan dan dominasi keluarga Andi tidak hanya berasal dari kekayaan mereka, tetapi juga dari posisi mereka sebagai pemilik salah satu perusahaan farmasi terkuat di negeri ini. Dalam industri farmasi yang penuh dengan intrik dan kepentingan politik, keluarga Andi telah membangun kerajaannya sendiri.
Sumbangan besar mereka telah memastikan bahwa sekolah ini bergantung pada dukungan finansial mereka. Sebagai imbalannya, Andi dan keluarganya memiliki kendali mutlak atas segala hal di sekolah - dari kebijakan hingga perlakuan khusus.
Tidak ada yang berani melawan mereka. Para guru pun termakan oleh bayang-bayang kekuasaan tersebut. Mereka takut akan konsekuensi jika melawan atau bahkan mencoba menegur perilaku buruk dari anak-anak keluarga Marco, termasuk putra sulung mereka Andi Marco.
Raka merasakan beban besar yang menghimpit dadanya ketika menyadari betapa kuatnya pengaruh keluarga itu. Ia menjadi saksi bisu bagaimana uang dan kekuasaan bisa mengubah sebuah institusi pendidikan menjadi medan permainan bagi orang-orang berpengaruh.
Dalam keheningan yang mencekam, suara terputus-putus memecah kesunyian.
"Maafkan aku, Raka..." ucap Ucup teman sebangku Raka dengan suara gemetar. Wajahnya pucat pasi, matanya terlihat seperti kaca yang pecah berkeping-keping. Kedua tangannya gemetar tak terkendali, mencerminkan ketakutan yang melanda dirinya hingga membuatnya hampir kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.
"Aku... Aku memang pengecut..." lanjutnya dengan suara serak. Suaranya bergetar dengan rasa bersalah yang tak terbendung. "Aku tak sanggup membela mu..."
Tubuh temannya itu tampak tegang dan kaku seperti patung marmer. Matanya berkedip-kedip dalam ketidakpastian dan kepanikan yang mendalam. Dia menahan napas dengan susah payah, tampak seperti sedang berjuang melawan serangan panik.
Raka merasakan getaran emosi yang kuat menghantam dadanya saat melihat temannya dalam kondisi rapuh seperti ini. Ia merasakan rasa sakit tajam di hatinya - bukan hanya karena pengkhianatan dari seseorang yang diharapkan bisa membela, tetapi juga karena melihat betapa korup dan menindasnya lingkungan sekolah ini.
"Tidak perlu minta maaf," jawab Raka dengan suara lembut namun penuh kepiluan di hati. "Kita semua memiliki batasan kita sendiri."
Suasana kelas 11 B terasa tegang saat Bu Wati, wali kelas mereka yang memiliki aura keputusan di matanya, berdiri di depan mereka dengan tatapan serius.
"Dengar baik-baik!" serunya dengan suara yang menggetarkan hati. "Minggu depan akan menjadi momen penting bagi kita semua. Kompetisi kimia bergengsi akan digelar di sekolah ini, dan saya dengan bangga mengumumkan bahwa Raka akan menjadi perwakilan dari kelas 11 B!"
Seketika itu juga, hening memenuhi ruangan. Semua mata tertuju pada Raka yang duduk tegak dengan tatapan penuh tekad dan semangat.
Raka mengangkat kepala dan menjawab dengan suara mantap, "Siap bu! Saya tidak akan mengecewakan kalian semua. Saya akan berusaha yang terbaik."
Bu Wati tersenyum puas mendengarnya namun senyumnya segera berganti menjadi ekspresi serius saat dia melanjutkan, "Ujian nya adalah Percobaan Reaksi Redoks. Harap kamu pelajari dengan baik, Raka. Ini adalah kesempatanmu untuk menunjukkan kemampuanmu."
"baik bu," balas Raka sambil mengangguk tegas.
Di dalam hatinya yang penuh percaya diri, Raka merasa getaran semangat membara seperti api tak terpadamkan. Dia tahu Kimia adalah bidang keahliannya yang sudah dia kuasai dengan baik.
"Inilah bidang keahlianku," gumamnya dalam hati sambil tersenyum bangga pada dirinya sendiri. "Kita telah bersiap selama ini untuk momen seperti ini dan sekarang saatnya kita unjuk gigi."
Di pojok kelas 11 A, Andi duduk bersama gengnya - Dika dan Bima. Mereka berbisik-bisik, wajah mereka menunjukkan senyum licik yang tidak biasa.
"Andi, loe lagi mikirin apa sih?" tanya Dika dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Andi menoleh kepadanya, senyuman licik di wajahnya semakin lebar. "Oh, cuma mau kasih 'surprise' kecil buat temen kita Raka dari kelas 11 B," jawabnya sambil tertawa sinis.
Bima mengangkat alisnya, "Maksud loe apa? Kita bakal ngapain?"
Andi merentangkan tangannya dan tertawa seperti penjahat maniak dalam film-film. "Tentu dong! Gue gak bisa biarin dia nyuri panggung dari kita begitu aja. Gue udah punya rencananya."
Dika dan Bima saling pandang dengan ekspresi campur aduk antara rasa penasaran dan kekhawatiran. Mereka tahu Andi cukup pintar untuk merencanakan sesuatu yang besar namun mereka juga sadar bahwa rencana jahat Andi mungkin berpotensi mendatangkan masalah besar bagi mereka semua.
Namun terlepas dari semua itu, satu hal yang pasti adalah bahwa kehidupan di sekolah ini akan menjadi lebih rumit dalam beberapa hari ke depan...
Raka sedang berjalan di koridor sekolah ketika tiba-tiba dia tergelincir dan jatuh dengan keras. Di belakangnya, Andi dan gengnya tertawa terbahak-bahak. Mereka berdiri dengan sikap angkuh, menikmati penderitaan Raka.
Andi menghampiri Raka yang masih tergeletak di lantai, "Wah, kasihan banget sih loe, Raka," katanya sambil tertawa. "Coba kalau loe punya kekayaan dan kekuasaan seperti gue. Gue bisa belajar kimia dari guru pribadi yang super pintar dan punya semua sumber daya yang gue butuhkan."
Dia melanjutkan dengan nada suara tinggi penuh hiperbola, "Guru gue itu lho mantan peneliti NASA! Dia ngajarin gue segala hal tentang reaksi kimia sampai ke level atom! Bayangkan betapa hebatnya ilmu yang udah gue dapat!"
Andi kemudian menunjuk dirinya sendiri dengan bangga, "Dan lihatlah hasilnya! Gue jadi siswa paling jago kimia di sekolah ini. Loe pikir loe bisa ngalahin gue hanya dengan belajar sendirian? Ha!"
Setelah Andi selesai berbicara, Bima dan Dika, dua anggota gengnya, maju mendekati Raka yang masih tergeletak di lantai.
Bima melipat tangannya di dada dan berkata dengan nada mengejek, "Gue pikir loe itu pintar, Raka. Tapi ternyata cuma bisa jatuh doang ya?"
Dika tersenyum sinis dan menambahkan, "Bukannya belajar kimia, mending loe belajar gimana caranya jalan tanpa jatuh!"
Tertawa puas melihat ekspresi Raka yang semakin muram, Andi berbalik dan pergi bersama teman-temannya sambil meninggalkan Raka yang masih mencoba bangkit dari jatuhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!