NovelToon NovelToon

SINGLE MAMA.

prologue

...Author point of view....

Jessie, wanita berusia 29 tahun yang menjadi seorang single mother. Singkat cerita, ia pergi meninggalkan rekan ranjangnya yang sudah beristri dan akan segera di karuniai anak juga saat itu.

Jessie yang awalnya ingin memberitahukan kehamilannya menjadi urung, dan lebih memilih untuk tinggal sendiri sambil merawat anaknya.

Sedari kecil selalu bergelimang harta, membuat Jessie harus belajar mandiri di tengah kerasnya dunia. Jessie yang pada saat itu di asingkan oleh keluarganya setelah di ketahui hamil oleh pria lain, yang tidak memiliki ikatan apapun dengannya.

Sedangkan mantan suaminya dulu, yang menikahinya hanya karena bayi yang lebih dulu ia gugurkan hasil dari pergaulan bebas, sudah bahagia membina sebuah bahtera rumah tangga bersama perempuan lain.

Jadi lah Jessie hidup sendirian, bersama sang anak. Pergi jauh dari keluarga yang bahkan sama sekali tak memperdulikannya. Atau berusaha mencarinya.

Jessie merasa senang, bersama Lauryn anaknya. Gadis cantik ber usia 5 tahun yang sedang gencar-gencarnya bermain, dan bertanya banyak hal. Bermodalkan toko kue donat di depan rumahnya yang sederhana, dapat membuat ia dan Lauryn hidup tercukupi dalam kedamaian.

Malam ini, cuacanya cukup teduh, sedikit mendung, membuat langit semakin gelap. Jessie membuka kedua kelopak matanya perlahan. Ia bergerak cepat saat menyadari bahwa gadis kecil di sampingnya sedang mengalami mimpi buruk.

“P-papa! Itu papa ya? Papa ganteng.” tubuh Jessie menjadi kaku seketika. Ini bukan sekali dua kali Lauryn meng gumamkan kata Papa di seperempat malam.

Jessie memeluk anaknya erat, ia kembali berbaring. Tangannya mengusap punggung Lauryn penuh kasih sayang. Jessie enggan bertatap muka lagi dengan mereka yang sudah membuangnya. Memang, Ayah dari Lauryn saja tak mengetahui keberadaan mereka.

Tapi Jessie tahu, bahwa pria 42 tahun itu semakin sukses dengan karirnya lalu bahagia bersama istri dan anaknya. Cih, Jessie tak ingin mengingat kebodohannya lagi. Yang dulu seperti jalang licik hingga membuat Jessie muak kala mengingatnya. Jessie sudah berubah, Jessie yang dulu bukan lah Jessie yang sekarang.

Jessie menemukan keringat di dahi Lauryn, ia usap kening anaknya. Lalu ia kecup lembut sebagai sapuan penghantar ketenangan untuk Lauryn. Jessie kembali tertidur, namun tak lelap seperti biasanya.

Jessie memimpikan sesosok Ayah Lauryn malam ini, pria yang masih ia cintai dari lubuk hatinya yang paling dalam. Pria yang dulunya hanya suruhan mata-mata baginya, untuk meng eksplor kegiatan yang sedang mantan suaminya lakukan.

Jessie memang tak pernah mengatakan Troy pada Lauryn, Jessie juga enggan untuk mengingat pria itu lagi. Tapi bayang-bayang dari televisi sepanjang hari, yang menampakkan kesuksesan Troy sekarang, Membuat ulu hati Jessie tertusuk. Menginginkan bahwa Lauryn dapat mendapatkan kasih sayang dari ayahnya.

 

...Jessie point of view....

Bagaimana jika donat ku berbentuk menjadi sebuah telur ya? Apakah akan cocok? Tapi sepertinya itu akan menjadi sulit, aku akan memutuskan untuk berjualan donat sebagai pemanis biasa. Lalu fokus terhadap kue-kue yang aku buat agar tidak mentok di situ-situ saja. Belajar memasak lewat almarhum Ibu kos yang dulu merawat ku semasa pergi dari rumah, membuatku mempunyai banyak pengalaman memasak.

Yang paling ku sukai, ya pastinya donat. Karena lebih mudah dan juga praktis. Aku membangunkan Lauryn terlebih dahulu, lalu baru mengantarkannya ke sekolah.

Putriku yang manis masih saja terlelap, tapi aku tak mau membuatnya menjadi anak yang manja. Ku putuskan untuk tetap membangunkan Lauryn.

“Sayang, bangun.” ujar ku keras, Lauryn mengulet, aku langsung menggendongnya tanpa menunggu kesadarannya terisi penuh.

Aku membawa Lauryn mandi. Setelah selesai, langsung saja ku tinggalkan Lauryn-ku yang sedang memakai baju. Aku membuatkan sepiring nasi goreng, dengan telur mata sapi. Lalu bekalnya, aku membuatnya nasi hello kitty yang menggemaskan.

“Mamaa!” sapanya semangat, aku mencium pipinya sejenak, Lauryn tersenyum lebar. Senyum yang dapat membuatku tersenyum setiap harinya.

“Bosen Maa. Jangan hello kitty terus.” rengek anakku manja, aku hanya tersenyum menanggapinya, sambil melihat daftar catatan penjualan kemarin.

“Yaudah besok Mama ganti jadi Cinderella ya.” ucapku membuat matanya kembali berbinar.

Ah, inilah yang kusuka. Bahagia sangat sederhana untuk anak-anak. Mereka mudah di bujuk, dan tidak suka berbohong. Mereka sangat jujur dan patuh. Aku sangat menyayangi putriku.

“Mama, hari ini kata Bu Guru ada acara makan bekal di lapangan lohh. Rynryn seneng bangeet, soalnya bisa lihat Bu Guru cerita banyakk.” pekiknya begitu polos, aku tertawa lucu menanggapi kegemasannya.

“Yuk ah, kamu makan yang bener ya. Nanti telat.” ujarku menghentikan celotehannya, anakku yang serba penurut ini, langsung mematuhi ucapanku.

Setengah jam selesai acara sarapan, aku langsung mengambil kunci mobilku yang berada di gantungan. Lauryn ku gandeng sampai memasuki mobil kecilku yang yang tampak kuno. Suasana Amsterdam masih sama, hening dan tak terlalu padat. Mungkin karena tempat tinggalku yang jauh dari pemukiman kota.

“Belajarnya yang bener, terus jangan bandel, Lauryn jangan nakal sama Bu Guru dan temen-temen ya. Inget Mama kalau lagi belajar, oke?” ujarku mengingatkannya. Ini adalah kalimat yang setiap pagi selalu ku ucapkan padanya.

“Siap Mama!”

“Bagus!”

Ku acungkan jempol padanya, Lauryn keluar dari dalam mobil, wajahku maju memperhatikannya yang masuk melewati gerbang kecil ala sekolah taman kanak-kanak. Aku menancap gas lagi, ingin ke supermarket terlebih dahulu, membeli beberapa bahan pangan di rumah.

 

...Author point of view....

Jessie memasuki salah satu supermarket terdekat, ia mengambil beberapa bahan makanan yang fresh ke dalam stroller. Jessie melupakan satu buah susu anaknya, susu yang membuat anaknya terlelap sebelum tidur.

Tak lupa Jessie juga mengambil sosis, dan juga yang lainnya. Ia segera mendorong stroller kembali, menyiapkan dompetnya yang tak terlalu tebal, namun dapat mencukupi kehidupannya bersama sang buah hati.

Jessie mengambil sejumlah uang, ketika matanya sibuk menunduk, sedangkan antrian di depan masih berhenti.

“Err.” ringis Jessie merasakan kepalanya yang tak sengaja menubruk punggung keras ber jas hitam di depannya.

“Silahkan.” Jessie langsung memindahkan belanjaannya ke meja kasir. Ia menoleh cepat, berusaha mencari pria yang tak mau meminta maaf padanya tadi.

“Jadi berapa?” tanya Jessie karena ingin bertanya, walau sebenarnya ia dapat melihat nominal jumlah pada layar di depannya.

Saat Jessie mengulurkan sejumlah uang, kasir itu langsung menolaknya, membuat Jessie menyeringit bingung. “Tuan tadi sudah membayar seluruh yang anda beli nyonya, bahkan masih tersisa lebih. Ini kembaliannya.” ujar sang kasir acuh.

Tangan kasir itu tampak tidak peduli dengan raut wajah kebingungan Jessie. Melihat antrian yang panjang segera membuat Jessie mengambil lembaran uang di dompetnya. Jessie keluar dari supermarket dengan plastik di genggamannya, juga uang yang masih terlihat jelas di tangannya.

Jessie mengitari pandangan sekitar dengan perasaan cemas, ia ingin mengembalikan uang yang bukan miliknya. Tapi tak terdapat seorang pun di luar supermarket, hanya terdapat beberapa pasangan yang sedang bercanda ria. Membuat Jessie memutuskan untuk kembali ke mobil kecilnya.

chapter 1

...Author point of view....

Jessie segera menyiapkan apa saja yang perlu di tata, ia tersenyum senang saat Lita, asistennya sudah berjaga di depan rumah. Ya, memang. Jessie mempunyai satu orang asisten, sekaligus karyawan. Sebagai asisten rumahan, juga karyawan yang membantunya berjualan donat.

Lita sedang menyiapkan apron. Dia dan Jessie sudah lama mengenal, di hitung tiga tahun lamanya, karena usaha kue Jessie yang bergerak cepat, sehingga dapat memperkerjakan seorang karyawan.

Jessie hanya perlu melihat-lihat saja, ketika Lita yang menata pernah pernik bubuk pancake. Orang-orang mulai datang bergantian, di hitung sudah ada lima belas pengunjung yang datang ke ruko kecilnya.

“Datang lagi ya nyonya, semoga enak kue nya.” ucap Jessie ramah pada si pembeli, pembeli itu mengangguk ramah.

Lita dan Jessie kembali bekerja, “Kak, adonannya habis.” ujar Lita pada Jessie, di saat pengunjung yang berdatangan mulai pulang.

Jessie mengangguk, ia peka, bahwa berarti ia harus kembali membuat adonannya, membuat adonan tidaklah sulit, ketika ia biasa membuat setiap harinya.

Setengah jam kemudian.

Ternyata semakin banyak yang datang, Jessie sudah tak heran atau kaget lagi jika ada yang mampu berdiri karena tak mendapatkan tempat duduk. Jessie bersyukur bahwa hanya Lita dan dirinya saja sudah mampu menangani pembeli sebanyak ini.

Sudah agak siang, yaitu pukul 11.

Jessie langsung menitipkan ruko kecilnya pada Lita, ia harus bergegas menjemput Lauryn di sekolahnya, Jessie menaiki mobil, lalu kembali menancapkan gas.

“Ah ya... Ini ada uang lebih sekali, untuk apa ya kira-kira? Tapi, ini bukan uangku. Lalu bagaimana aku bisa menyimpan dan mempergunakannya.” ujar Jessie ber monolog, Jessie letakkan dompetnya di kursi belakang.

Sudah sampai di sekolah anaknya, Jessie turun setelah memarkirkan mobilnya di parkiran khusus. Lalu ia memasuki gerbang, Jessie meneguk ludahnya kasar. Saat tatapan tajam di lemparkan untuknya, dari wanita-wanita yang mungkin lebih tua beberapa tahun darinya.

Kadang Jessie heran, mereka bahkan belum pernah berbicara atau mengobrol padanya, tapi ada saja yang men cap buruk dirinya dengan begitu mudah.

Tak memperdulikan tatapan tajam itu, Jessie melenggang pergi menuju depan kelas Lauryn. Ketika lonceng bel berbunyi, sorak pekikan cempreng khas anak-anak sangat terdengar jelas.

“Lau!” teriak Jessie sambil mengangkat satu tangannya, lalu mengibaskannya ke arah Lauryn. Anak yang sedang mencari keberadaan ibunya pun, langsung menghampiri dan memeluk Jessie.

“Mamaa!” seru Lauryn senang, Jessie menguraikan pelukan di antara mereka, ia usap kepala belakang anaknya sayang, lalu ia kecup kening Lauryn sekilas.

Lauryn tersenyum hingga menampakkan deretan gigi susunya yang sudah tumbuh rata. Jessie berjalan meninggalkan sekolah dengan Lauryn yang berada di genggamannya. Perhatian itu tak luput dari sesosok pria ber jas hitam, yang memperhatikan dari balik pohon besar di taman kanak-kanak.

 

Sampai di depan rumahnya, Jessie melirik Lauryn yang ternyata tertidur di samping kemudi. Jessie keluar dari dalam mobil, lalu ia buka pintu mobil anaknya. Jessie menggendong Lauryn yang sudah terlelap. Ia ambil ransel kecil berwarna merah muda milik Lauryn. Lalu ia bawa ke dalam rumah.

Karena jika mau memasuki rumahnya, harus melewati etalase kue, lalu Jessie lewati pagar kecil yang muat hanya untuk tiga orang. Berbeda seperti di sekolah anaknya, justru wanita yang sedang membeli kue nya kini pada tersenyum.

Mereka kagum sekaligus haru melihat sesosok wanita seperti Jessie, yang terlihat kuat dan teguh. Bukan rahasia umum lagi jika Jessie adalah seorang single parents. Dan juga, dengan terpaksa Jessie mengatakan bahwa ayah dari Lauryn sudahlah meninggal sewaktu Lauryn masih di dalam kandungan.

Kalimat itu tidak betul-betul ber bohong bukan? Karena yang terjadi memang layaknya seperti itu. Jessie mengurus anaknya sendiri, tanpa bantuan siapa pun.

“Lita, kamu di sini aja ya. Nanti Kaka bantuin habis Rynryn tidur di kamar.” Lita mengangguk, Jessie pun membawa Lauryn ke kamar untuk menidurkannya.

Jessie menaruh Lauryn di pinggir ranjang, saat ia berbalik arah ingin pergi, tangannya di cekal dari belakang. Membuat Jessie terkejut sekilas. Lauryn membuka matanya, ia menahan nafasnya yang tercekat.

“Besok Rynryn engga mau masuk sekolah ya Ma..” ujar Lauryn terbata-bata, Jessie mendadak ingin menegur Lauryn. Namun ia segera tahan.

“Kenapa?” tanya Jessie sambil terduduk di pinggiran kasur. Lauryn pun bangun dari tidurnya. Tapi wajahnya menoleh enggan menatap Jessie.

“Rynryn, capek....” desah Lauryn masih enggan menatapnya, Jessie menjepit dagu Lauryn lembut, ia bawa wajah anaknya, untuk bertatap mata dengannya langsung.

“Istirahat sayang, mau jadi apa kamu kalo ga sekolah? Hayo..” goda Jessie ingin mencairkan suasana, namun bukannya terhibur, justru Lauryn menjawab hal yang seharusnya anak itu katakan.

“Rynryn mau buru-buru ketemu Papa. Biar bisa- Emm....” wajah Lauryn yang tadinya murung, kini terperanjang berpikir penuh semangat, seolah ada banyak hal yang perlu ia ceritakan.

“Biar bisa main sama Papa, terus di ajarin naik sepeda sama Papa. Tau ga ma? Masa temen Rynryn kemarin jatuh pas dia lagi naik sepeda. Tapi karena Papanya langsung beliin dia mainan, dia jadi engga sakit lagi! Rynryn juga mau kaya gitu!” pekik Lauryn terlonjak-lonjak.

Jessie menatap nanar anaknya, ia memaksakan senyumannya yang melengkung kaku, “Ayolaah Maa.. Samperin Papaa... Kata Mama, Papa udah di surga! Tadi Guru Rynryn bilang kalau di surga itu enaakk! Jadi mendingan Rynryn mau samperin Papa ke surga aja maa.. Yaa Maa..” rengek Lauryn begitu polos.

Jessie membuang nafasnya pasrah, “Rynryn, sekarang tidur siang ya? Nanti Mama punya hadiah buat kamu.” ujar Jessie berusaha mengalihkan topik.

“Tapi abis itu, kita ke surga kan Ma?” tanya Lauryn kembali membuat Jessie bingung menjawabnya.

“Hmm...” Jessie menarik kepala anaknya lembut, lalu ia bisikkan untaian kalimat yang berhasil membuat Lauryn terdiam.

Ketika Lauryn sudah berhasil ia buat diam, Jessie menyuruh anaknya untuk segera tertidur, Lauryn tersenyum lebar, rambutnya yang lurus ia biarkan tergerai dan berkumpul di atas pucuk kepalanya.

 

Jessie tidak jadi menemani Lita untuk berjualan di depan, ia lebih memilih untuk duduk di taman kecil belakang rumahnya. Jessie termenung diam di sana, ia meremas ponselnya yang menampakkan foto seorang pria sedang bersama keluarga kecilnya.

Jessie menyesal telah mengatakan suatu kebohongan pada Lauryn, anaknya. Jessie menggigit bibir bawahnya kelu. Bagaimana ia bisa menepati janjinya pada Lauryn.

“Nanti Mama bakalan bawa Lauryn ketemu Papa. Tapi Lauryn harus tidur siang dulu, oke?” itu lah kalimat yang meluncur dari bibir Jessie secara refleks.

Jessie tak mau nekat, untuk menghubungi Ayah kandung dari Lauryn. Tapi di sisi lain, ia hanya ingin Lauryn mengetahui bahwa ayahnya sesungguhnya masih lah ada. Menghirup udara di satu kota yang sama dengan mereka.

Tak memiliki jalan keluar lain, dada Jessie terasa sesak saat ibu jarinya menekan fitur menghubungi'. Ia menelfon nomor lama Troy, yang masih ia simpan di antara nomor lama orang-orang yang sudah ia hapus.

Bibir naif Jessie tersenyum hampir lega, melihat bahwa telfon itu tak kunjung di angkat juga. Jessie meneguk ludahnya kasar, ketika ia ingin mengakhiri panggilannya.

Ternyata,

Troy mengangkatnya.

Hingga munculah kalimat, 'Panggilan terhubung'

...Author point of view off....

chapter 2

...Author point of view....

Jessie menahan nafasnya yang tiba-tiba saja menjadi tercekat, tangannya yang menggenggam ponsel itu pun gemetar. Jessie sungguh tak menyangka jika pria itu akan mengangkat telfonnya. Jessie membuka kedua belah bibirnya yang tadi sempat tertutup kaget.

“H-halo?” suara gemetar Jessie, memulai sambungan telfon tersebut. Jessie tak menyangka jika ia bisa seberani ini.

Masih belum ada jawaban apapun, Jessie yakin pasti Troy pun sedang sama kagetnya di sebrang sana. Jessie memegang dadanya yang berdegup lebih kencang. Angin yang lumayan dingin menerpa wajahnya yang pucat putih.

Jessie mengerutkan keningnya, hingga menciptakan beberapa lipatan kecil di sana. Tak ada jawaban apapun, Jessie mulai berpikir yang tidak-tidak. Jessie menaruh tangannya di pinggiran kursi taman kecilnya yang tak memegang ponsel.

“Ck.” Jessie berdecak kesal, ia tak sabaran memang. Lagipula ini kan sudah berlanjut lima menit, sambungan telfon masih terhubung.

Tapi Troy tak kunjung menjawab sapaannya. “Ha-” suara Jessie yang kembali ingin menyapa berhasil di buat diam. Jessie menjadi terdiam murung.

“Nessie! Sini kembalikan ponsel Ayah!” seruan tegas itu terdengar begitu nyata, kikikan geli khas anak kecil, menyambut telinga Jessie yang terasa hangat.

“Bunaaa! Ayah nakal!” Jessie memejamkan matanya rapat, kenapa Troy tidak mengganti ponsel saja? Bukannya pria itu sudah sangat sukses. Kenapa Troy masih mempertahankan ponsel lamanya?

“Nessie, sini kemari kan. Pasti ada panggilan penting.” suara itu lagi-lagi membuat hati Jessie berdesir, sumpah demi apapun, ia tak meminta hatinya bereaksi seperti ini.

Jessie sudah mengubur cintanya sejak lama. Ia tak akan jatuh lagi pada pesona matang Troy yang telah membuatnya hamil. Tak akan pernah.

“Bunaaa Ayah nakal nih!”

Jessie meneguk ludahnya kasar, ia ingin menyudahi panggilan ini, tapi tangannya tak kuat turun untuk mematikannya. Jessie terlalu kaget, saat ia berhasil mendengar suara pria matang itu, secara ekslusif.

Tak terdengar suara apapun, dengan berat hati, Jessie menurunkan tangannya ingin menjauhkan benda pipih itu dari jangkauan indra pendengarnya.

Namun...

“Halo?”

Suara itu benar-benar menyambutnya. Jessie menghembuskan nafasnya yang terasa sulit. Tidak terdengar suara anak kecil lagi, kini benar-benar suara pria matang yang begitu tegas, kuat, dan maskulin.

“Nessie, Ayah lagi sibuk.” Jessie menghela nafas panjang, ia tak berhak mengusik keluarga itu lagi, sekalipun ia hanya ingin Lauryn, anaknya. Mendapatkan kasih sayang dari Ayah kandungnya.

Tuutt.

Panggilan terputus, Jessie mematikan ponselnya dengan segera. Ini adalah buah akibat dari tingkah laku tercelanya yang sangat kejam dulu. Ia pernah menggugurkan kandungannya sendiri, lalu ia juga berniat untuk merebut harta penuh dari sepupunya sendiri, Abigail.

Jessie harus menerimanya. Ini adalah hukuman untuknya. Sekarang ia hanya perlu membahagiakan Lauryn, dan menghidupi anaknya, agar tumbuh menjadi gadis riang penuh kasih sayang dan kecukupan.

Jessie tak perlu mencari pendamping, ia memang tidak membutuhkan pendamping. Ia hanya ingin terus berada di sisi anaknya. Hanya itu. Tidak lebih dan tidak kurang. Jessie meletakkan ponselnya di samping posisi duduknya sekarang.

Ia bangkit berdiri untuk kembali ke dalam rumah. Cuaca sore yang sedikit mendung. Semakin membuat perasaannya runyam bersedih. Tapi sebisa mungkin Jessie menahannya. Jessie hanya perlu mencari alasan pada Lauryn. Agar anak itu tidak rewel lagi untuk bertemu dengan ayahnya.

...★★★...

Jessie menyiapkan makan malam, Lita malam ini menginap di rumahnya. Karena malam pun sudah agak larut, untuk jam-jam pulang Lita sampai ke apartment kecilnya.

Lita sibuk bermain bersama Lauryn yang sedang bermain game di ponselnya. Jessie menyiapkan burger cepat saji, yang ia beli di supermarket tadi.

Mengingat supermarket, Jessie menjadi ingat akan pria yang membayari belanjaannya. Ia harus segera mengembalikan uang itu atau nanti dirinya sendiri lah yang akan merasa bersalah karena telah menyimpan uang pemberian dari seseorang yang tak ia kenal.

“Waahh burger!” pekik Lauryn senang, wajahnya yang berseri-seri, tak dapat lagi di tahan. Membuat kedua wanita dewasa yang berada di samping kanan kirinya ikut tersenyum.

Namun jelas berbeda dengan Jessie, yang sedikit memaksakan senyumnya, karena harus mencari alasan, yang nanti pasti akan membuat Lauryn, anaknya, kecewa.

“Mama, malam ini Rynryn tidur sama kak Lita yaa!” izin Lauryn senang, Jessie menaikkan kedua alisnya ke atas. Ia mengangguk menyetujui.

“Yeeyyy kita tidur bersama hari ini Rynrynn.” pekik Lita, perempuan ber umur sembilan belas tahun, yang hidup sendirian sejak ia kecil. Karena dulu Lita di tinggalkan kedua orangtuanya, di panti asuhan.

Jessie tersenyum, setidaknya ia mempunyai waktu semalaman, untuk membiarkan Lauryn bersama orang lain. Ia tak ingin Lauryn terus bertanya nantinya.

Lita yang menyadari mimik wajah lelah Jessie pun, segera mengajak Lauryn untuk ke kamar, “Rynryn, yuk ikut Kakak ke kamar.” ajak Lita sambil berdiri dari kursi makan.

“Tapi kan masih jam segini Kak. Kasian, Mama sendirian.. Eehh, tapi gapapa deh. Nanti kan Mama bakalan ketemuan sama Papa, sebentar lagii.” celoteh Lauryn kembali antusias di akhir kalimat.

Lita mengerutkan keningnya heran, “Sstt, udah yuk. Kakak ngantuk.” Lita pun berpamitan pada Jessie, Jessie tersenyum diam-diam, ia tahu bahwa Lita telah membantunya untuk membuat Lauryn tidak banyak berbicara.

Jessie bangkit dari kursinya, ia menuju sofa ruang tamu, di hadapannya terdapat televisi 32 inch. Jessie tak menonton tv, karena ia masih fokus pada lamunannya.

Tiba-tiba saja terdengar dering ponsel yang berbunyi cukup nyaring, itu bukan dari ponselnya, melainkan dari telfon rumah. Jessie menarik gagang telfon itu, yang berada di atas nakas samping sofa.

“Dengan Mrs. Jessie ?”

“Ya, dengan saya sendiri.”

“Saya di sini perwakilan dari staff dapur hotel Andreas, ingin memesan dessert yang anda buat.” suara itu sangat santun, juga profesional.

Mata Jessie membulat terkejut, “Wah? ” Jessie masih berucap Tak percaya, jelas saja ini bukan lah pertama kali makanannya di jadikan pesanan oleh acara-acara tertentu.

Tapi yang membuat beda, kali ini adalah hotel yang memesannya langsung, membuat Jessie senang sekaligus takjub.

“Ya Mrs, saya harap anda berkenan untuk datang langsung ke hotel Andreas besok pagi, saya akan mengatur tempat yang cocok dan nyaman, sesuai yang anda inginkan.” ujar staff tersebut.

“Ah, baiklah...” balas Jessie langsung, sambungan pun terputus, setelah mereka membicarakan waktu dan tempat pertemuan.

Jessie mengepalkan kedua tangannya, lalu ia tekuk, dan ia gerakkan senang, seolah sehabis mendapatkan sebuah kupon yang sangat berharga.

...Author point of view off....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!