NovelToon NovelToon

Madu Kontrak Suamiku

Part 1. Pernikahan Kedua

Di ruang tamu rumah yang besar, disulap menjadi ruangan yang didekorasi menjadi tempat resepsi pernikahan kedua dari seorang pria yang sudah beristri.

Hari ini, di hadapan semua keluarga dan kerabat dekat, Narendra mengikrarkan akadnya untuk menjadikan wanita lain menjadi istri keduanya.

“Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Salma Assyifa binti Sutanto dengan mas kawin seperangkat alat solat dan perhiasan emas seberat 50 gram, dibayar tunai!” Sederet kalimat yang diucapkan lantang dan hanya dalam satu tarikan nafas mampu pria itu lakukan.

“Bagaimana para saksi, sah?” Tanya sang penghulu kepada para saksi.

“Sah,”

“Sah,” begitulah jawaban para saksi baik saksi dari pihak mempelai wanita maupun pria.

“Alhamdulillah,” kemudian doa pun diucapkan dengan khusuk, lalu di-aamiin-kan oleh para saksi dan semua kerabat yang hadir.

“Selanjutnya, pasangkan cincin ke jari manis pengantin secara bergantian. Dari sang suami dulu,” lantas Narendra memasangkan cincin di jari manis tangan kiri istri barunya yang sudah sah di mata agama dan hukum itu.

Bergantian sang istri yang akan menyelipkan cincin di jari suaminya, tetapi di jari manis tangan kiri Narendra sudah ada cincin perak yang menempatinya. Seorang wanita berujar, “lepaskan dulu cincinmu itu,” perintah wanita itu, ibu dari sang mempelai pria.

“Tidak, Ma. Ini milik Cliantha, cincin ini tidak akan pernah aku lepaskan dari jariku,” tolak Narendra menarik kembali tangan yang akan dipasangkan cincin oleh istri keduanya.

Tidak enak hati karena Jihan–istri barunya– telah bersiap memasangkan cincin di jari manis suami sahnya. Alhasil, Narendra mengangkat tangan kanan dan mempersilakan Jihan memasangkan cincin pernikahan di jari manis tangan kanannya.

Semua bertepuk tangan dengan meriah. Wajah-wajah anggota keluarga itu tersenyum cerah karena pernikahan ini merupakan harapan baru bagi keluarga Herwijaya untuk kelangsungan generasinya. Di tangan wanita yang menjadi istri kedua putra semata wayang keluarga Herwijaya itu, disanalah titik puncak harapan keluarga besar Narendra digantungkan.

“Baik, sekarang cium tangan suami dan dilanjutkan dengan sang suami yang mencium kening istri,” perintah sang penguhulu.

Dengan gerakan patah-patah, Narendra mengikuti apa yang diarahkan oleh sang penghulu. Pria itu memejamkan matanya saat menempelkan bibirnya di dahi sang wanita yang telah menjadi istri dan dari pelupuk matanya kirinya mengalirkan satu titik air mata.

Bukan karena kecupan itu menyalurkan makna atau cinta kepada istri barunya, tetapi dia malah teringat pada momen pertama kali bibir itu mendarat di dahi seorang wanita yang dia cinta sekaligus di pernikahannya yang pertama.

Di tempat lain, di dalam kamarnya. Seorang wanita berpakaian gamis biru muda dengan khimarnya yang menjuntai hampir menyentuh lantai, dia sedang menangis seraya menatap ke luar jendela.

Setelah mendengar kata ‘sah’ diucapkan serempak oleh para saksi dan hadirin yang datang dipernikahan kedua suaminya, hatinya teriris dan terluka berat. Membuat air mata yang sebelumnya tidak pernah menetes setelah sekian lama, kini air mata itu seperti tidak ada harga dirinya.

Hatinya benar-benar terluka setelah dia sadar bahwa dirinya telah resmi dipoligami dan bukan menjadi satu-satunya istri dari pria yang dia cintai. Namun, demi mewujudkan kebahagiaan dan harapan keluarga, ia harus merelakan ini terjadi.

Ceklek, jebret! Pintu kamarnya dibuka dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang keras. Dilihatnya seorang pria yang memakai pakaian serba putih dan berlinangan air mata.

“Apa kamu sudah merasa puas sekarang?” Tanya pria itu di depan wanita yang berdiri berhadapan dengan air mata yang sama-sama berlinangan.

Semakin mendekat dan memegang kedua bahu wanita di depannya, “Katakan padaku, Cia, apakah kamu sudah puas sekarang? Apa lagi yang akan kamu korbankan selanjutnya? Apa hatimu tidak sakit melihat suamimu menikah lagi? Katakan padaku, apa kamu sudah puas menyakitiku dan dirimu sendiri?” Tanya pria itu mengguncang tubuh wanita di depannya.

Cliantha–istri pertamanya. Dia yang memaksa suaminya menikah lagi dengan wanita lain, dia yang membuat skenario 'perselingkuhan' supaya pernikahan ini harus terjadi.

Bukan tanpa sebab dia melakukan itu, tetapi semata-mata karena ingin suaminya merasakan bahagianya menjadi ayah sekaligus mengabulkan tuntutan keluarga yang menginginkan penerus darinya, sedangkan melahirkan seorang penerus adalah hal yang tidak bisa Cliantha lakukan untuk suaminya. Untuk itulah, dia yang merancang rencana supaya pernikahan kedua suaminya terjadi tepat di hari ini.

“Aku sudah lega, Mas. Terima kasih, terima kasih kamu sudah mau melakukan ini,” kata wanita itu meski dengan air mata yang bercucuran.

Dia memeluk tubuh suaminya, “Terima kasih, ya, Mas,” ucapnya sekali lagi.

“Mengapa kamu masih sempat berucap terima kasih, Cia? Apa kamu tidak mencintaiku lagi sampai-sampai kau memintaku menikahi wanita lain yang jelas-jelas tidak aku cintai? Hanya kamu yang menjadi cintaku yang pertama dan terakhir. Kamu tahu itu, kan?” Ucap suaminya.

Cliantha menarik mundur tubuhnya, dia mengajak suaminya untuk duduk di tepian ranjang sebelum dia menjelaskan. Cia–begitu panggilan kesayangan oleh orang-orang terdekatnya.

Dia meraih tangan suaminya untuk digenggamnya, “Mas, terkadang pernikahan itu bukan tentang cinta saja. Ada kalanya dijadikan cara untuk mewujudkan kebahagiaan semua orang. Pernikahan bukan tentang aku dan kamu saja, tetapi juga mereka. Aku yakin, pernikahan keduamu ini akan menjadi pelengkap kisah pernikahan kita, penyempurna cinta kita. Karena bagiku, level cinta yang tertinggi itu adalah keikhlasan.”

“Kamu berucap ikhlas, tapi kamu tersakiti dan menangis seperti itu. Apa itu artinya ikhlas?” Tanya Narendra pada istrinya.

“Ikhlas tidak selalu diungkapkan dengan senyuman atau tertawa, Mas. Ikhlas juga bisa dijelaskan dengan sebuah tangis keharuan dan rasa bangga. Itulah yang sedang aku rasakan. Aku terharu dan bangga pada suamiku ini,” ucap wanita itu lalu mencium tangan yang digenggamannya.

“Ingat pesanku, tolong perlakukan kami dengan adil dan jangan sampai ada yang tersakiti di antara kami, Mas.”

Narendra menggeleng pelan, “Aku tidak bisa berjanji karena saat ini hatiku selalu berpihak padamu. Jangan memintaku untuk berlaku adil, sedangkan kamu tidak adil pada dirimu sendiri, Cliantha.”

Bersambung…

Part 2. Masak Makan Malam

Sore hari, wanita cantik berjilbab serba pink itu sudah berada di dapur untuk menyiapkan makan malam seperti biasa. Namun, kali ini dia tidak sendiri, melainkan bersama madunya alias Jihan. Seperti seorang kakak yang bersikap baik mengajarkan hal baru pada adiknya, Cliantha menganggap Jihan sebagai adik kecilnya yang baik dan lugu.

Cliantha, dia memutar balik tubuhnya menatap Jihan dan bertanya, “Kamu biasanya masak apa di rumah, Han?” Tanya Cliantha pada Jihan begitu mereka sampai di dapur rumah itu.

Sedangkan, wanita muda berdress merah sepanjang lutut dengan rambut berponi dan dikuncir kuda itu menjawab, “Saya tidak jago masak, Mbak, biasanya bahan-bahan di rumah tidak lengkap jadi jarang sekali memasak,” jawab Jihan; Cliantha mengangguk-angguk mengerti.

Cliantha, wanita itu menyangga dagunya di tepian kompor listrik yang belum menyala. Berpikir, menentukan menu makanan merupakan salah satu pekerjaan seorang istri yang sulit. Dia harus memutar otak untuk mengolah bahan makan mentah yang ada, lalu diubah menjadi makanan matang nan lezat yang bisa dinikmati semua orang.

“Ada ikan, udang, daging, sayuran. Enaknya dibuat menu apa ya, Han? Ada saran?” Tanya Cliantha pada Jihan saat ia membuka lemari pendingin tempat banyak bahan mentah disimpan.

Cukup lama mereka berpikir, “Udang katsu, Mbak?” usul Jihan ragu-ragu.

Cliantha merasa ide itu bagus, “Aha, lezat juga menu itu apalagi kalau disiram dengan saus asam manis, ya?”

“Tunggu, tapi kan pembuatan katsu membutuhkan tepung, ya? Mas Rendra intoleran gluten,” ucapnya kecewa karena suaminya tidak bisa memakan makanan olehan tepung gandum yang mengandung gluten.

“Oh. Bagaimana kalau ikan panggang bumbu rica, Mbak?” usul Jihan dengan ide menu lainnya yang kemudian disetujui oleh ‘Mbak’nya itu.

“Eh, sudah cukup. Jangan terlalu banyak, Mas Rendra tidak bisa makan banyak cabai. Dia tidak suka pedas,” Cliantha menghentikan Jihan yang akan mengiris cabai merah dengan jumlah yang banyak.

Jihan meletakkan pisaunya dan menaruh kembali beberapa suing cabai merah ke dalam boks penyimpanannya, “Apa saja yang Pak Rendra tidak sukai, Mbak?”

“Banyak, mungkin kamu akan pusing saat mendengarnya. Dia tidak makan bahan pangan yang mengandung gluten seperti yang aku sebutkan tadi, selain itu dia juga alergi debu. Tidak suka tempat yang berdebu, polusi, kotor, kumuh. Dia tidak suka tanaman bersebuk sari, tidak suka hewan berbulu. Dia juga tidak suka sarapan. Dia tidak suka saat ucapannya dibantah, dia tidak suka banyak bergurau, tidak suka dengan orang baru yang belum dia kenal benar,” ungkap Cliantha tentang semua yang dia ketahui dari suaminya.

“Lalu, apa yang Pak Rendra sukai?”

“Banyak juga. Dia suka saat diperhatikan, suka saat diberi kejutan. Dia suka berkebun, tapi tidak suka tanaman berbunga, dia sangat suka sup jamur. Suka apalagi, ya? Sepertinya hampir semua dia suka, asalkan tidak berlebihan saja, sih,” kata Cliantha sembari menaburkan sedikit lada pada sup jamurnya.

“Itu karena Pak Rendra mencintai Mbak. Jadi, sepertinya semua yang Mbak lakukan menjadi kesukaannya,” komentar Jihan.

“Tidak juga, ada beberapa hal yang tidak dia suka dariku.” Bantah Cliantha.

Jihan mengerutkan wajahnya, “Apa itu?” 

“Dia tidak suka jika aku berbohong, tidak suka saat melihatku menangis, ya, walaupun alasanku menangis adalah melihat drama sedih. Banyak yang dia tidak suka dariku, Han,” ucap Cliantha terdengar sendu.

“Termasuk, Mas Rendra yang tidak suka saat mbak membawaku ke kehidupan rumah tangga kalian?” Ucap Jihan secara langsung.

Cliantha menatap manik mata Jihan dan memandang nanar wajah wanita muda itu, “Jihan, bukan seperti itu maksudku.”

Namun, Jihan pandai mengubah suasana dan segera mengalihkan topik obrolan, “Eee, Mbak, itu bagaimana supnya? Sudah mendidih begitu?”

“Oh, ya, apinya terlalu besar!” Cliantha mengecilkan api yang menyala di kompornya.

Semua makanan sudah tersaji di meja makan, saatnya menunggu sang Tuan rumah untuk menikmati menu makan malam dari tangan istri-istrinya.

“Biasanya, Pak Rendra pulang jam berapa, Mbak?” Belum sampai Cliantha menjawab, orang yang ditanyakan sudah muncul di hadapan mereka. Berjalan fokus ke depan dan menuju lantai atas melewati kedua wanita yang berdiri di dapur.

“Mas, habis ini makan malam, ya? Mandi atau mau makan dulu?” Tanya istri pertamanya itu yang menyusul masuk ke dalam kamar.

“Aku mandi dulu saja. Masak apa kamu hari ini, Sayang?” Tanya Narendra pada istri pertamanya yang tengah menyiapkan pakaian ganti untuknya.

“Spesial, nanti lihat saja di bawah,” jawab Cliantha.

“Sok surprise segala, hem?” Cibir suaminya selagi membuka satu per satu apa yang menempel pada tubuhnya dan berganti dengan handuk yang ditariknya dari rak penyimpanan.

Di meja makan. Cukup banyak menu makanan yang tersaji, dahi pria pria itu berkerut-kerut. Menurutnya, ini terlalu banyak dan tidak seperti biasanya. Ada tiga menu yang tersaji dan dalam porsi besar, jelas bukan untuk satu atau dua porsi makan orang dewasa.

“Untuk siapa saja ini? Kenapa banyak sekali?” Harusnya Cliantha dan Jihan tahu jika suami mereka tidaklah suka dengan hal-hal yang berlebihan.

“Untuk kita, bertiga,” jawab Cliantha ceria.

“Ini ikan panggang dan sayur capcaynya buatan Jihan, lho, Mas. Aku sudah mencicipinya, sangat lezat,” tuding Cliantha pada dua menu makan malam hari ini.

“Lalu, masakan mana yang buatanmu, Sayang?” Tanya Narendra setelahnya.

“Aku tidak masak hari ini,” jawab Cliantha sedikit berbohong, padahal hampir semua masakannya terkena campur tangan darinya, Jihan hanya membantu saja.

Mata Narendra sontak melihat istrinya, piring yang semula sudah berada di tangannya dikembalikan ke tempatnya, “Berarti tidak ada makan malam untukku hari ini?”

Cliantha menatap sendu suaminya, senyum yang sebelumnya cerah menyurut kemudian.

“Bukan kamu yang memasak, jadi aku tidak akan makan!” Ucap Narendra merajuk, kemudian bangkit dari kursi makannya. Dia pergi dari ruang makan tanpa banyak berkata.

Sebelum Narendra berjalan semakin jauh, Cliantha mengejarnya, “Mas, Mas Rendra. Kenapa kamu bicara seperti itu? Kasihan Jihan yang sudah memasak banyak untukmu,” ucap Cliantha menahan lengan Narendra yang akan kembali ke kamar.

“Makanlah, masa iya hanya karena bukan aku yang memasak membuatmu tidak jadi makan? Tidak boleh seperti itu,” tambah Cliantha.

“Yang aku tunggu setelah seharian bekerja adalah pulang dan menikmati masakanmu, kita makan bersama seperti biasa. Jika ternyata kamu tidak memasak, maka tidak ada yang bisa aku makan. Berapa kali kamu membuatku kecewa, Cia?” Ucap Narendra membuat Cliantha menjadi serba salah.

“Bahkan selama ini, aku hanya memakan apa yang kamu masak dengan tanganmu. Bukan dari tangan pembantu ataupun orang lain,” tambah Narendra lagi.

Bersambung…

Part 3. Dipermainkan

Di dalam kamarnya, Cliantha tidak henti-hentinya mengingatkan Narendra akan statusnya sekarang yang sudah menjadi suami dari dua orang istri. Itu berarti ada dua kewajiban dan tanggung jawab yang harus pria itu tanggung dalam hidupnya.

Sembari Narendra sedang memangku layar pipih berukuran 14 inch itu, Cliantha datang membawakan secangkir kopi untuk suaminya.

Cliantha selalu tahu apa yang dibutuhkan Narendra. Saat ini, pria itu sesungguhnya sudah lelah dengan pekerjaannya. Berulang kali menguap dan meregangkan otot-otot di tubuhnya, tetapi aktivitas dengan layar laptopnya belum juga usai. Munculah inisiatif wanita itu muncul dengan membawakan secangkir kopi untuk suaminya.

“Terima kasih,” ucap Narendra pada istrinya.

“Mas, kalau sudah lelah berhentilah. Apa tidak bisa dilanjutkan esok hari saja?” Tanya Cliantha pada suaminya dengan sangat lembut.

Narendra tidak pernah sedikit pun mengabaikan Cliantha, dia akan mendengar dan menatap istrinya kala ia sedang berbicara. “Sebentar lagi, Sayang. Kalau ditunda besok, maka pekerjaanku besok hari akan menumpuk karena setiap hari akan bertambah. Kamu tidurlah dulu, jangan menungguku,” kata Narendra menatap istrinya yang duduk di tepian ranjang yang dekat di sisinya.

“Mas malam ini jangan tidur di sini, ya?” Kata Cliantha tiba-tiba, membuat Narendra mengerutkan wajahnya seketika.

Melihat wajah Cliantha yang serius saat mengatakan hal itu tanpa ada raut gurauan disana, membuatnya bertanya tanya, “Memangnya kenapa?”

“Ada istri mas yang lain yang sedang menunggu kamu,” jawab Cliantha.

Narendra mendengus malas, “Bisakah sehari saja kamu tidak membahas dia? Berapa banyak harus kukatakan kalau aku tidak bisa dan aku tidak cinta?” Ucap Narendra lirih, tapi penuh penekanan.

“Tapi, bagaimana pun juga mas sudah menikah dengannya. Cinta atau tidak cinta, bisa atau tidak bisa, Mas tetap mempunyai kewajiban sebagai suami. Sama seperti mas bertanggung jawab atas diriku, Jihan pun mempunyai hak yang sama,” ucap Cliantha lembut, tetapi terdengar sangat serius.

Bukannya menjawab, Narendra malah bangkit dari posisinya yang bersandar pada bedboard, lalu segera menutup layar laptopnya.

“Mengapa kamu terus memaksaku, Cia? Memangnya apa yang kamu harapkan dariku dan wanita itu?”

“Anak, seorang anak untuk melanjutkan keturunanmu,” jawab Cliantha.

“Yakin sependek itu? Bagaimana jika ternyata aku melakukan hal lebih yang tidak pernah kamu duga sebelumnya? Apa kemudian kamu akan menyesal dan menyalahkanku?” Tanya Narendra.

Cliantha menggeleng, “Tidak akan ada kata penyesalan untukku, Mas. Aku sudah bersiap untuk apapun yang akan terjadi. Aku dan dia sama-sama istri. Tidak akan ada kata cemburu bagiku.”

“Kalau kamu berpikir seperti itu, ayo coba kita buktikan!” Kemudian, Narendra bergerak dan memajukan wajahnya, memberikan kecupan-kecupan lembut di wajah istrinya. Mulai melakuan hal-hal romantis yang biasa mereka lakukan meskipun kali ini tidak ada balasan dari wanita itu.

“Apa kamu tidak pernah membayangkan jika suamimu ini melakukan hal seperti itu kepada wanita lain?” Tanya Narendra pada Cliantha setelahnya.

Istrinya itu diam, “Bagaimana jika aku menyentuh dia seperti ini?” Narendra mengecup dalam bibir istrinya sekali lagi dalam waktu yang lebih lama. Lalu, membuka khimar yang Cliantha gunakan.

“Seperti ini,” pria itu mengecup rahang dan telinga sampai ke leher istrinya.

“Atau seperti ini,” kemudian membuka resleting belakang gamisnya, menyingkap sedikit pakaian istrinya dan mengecup bahu yang mulus itu.

“Pikirkan sekali lagi sebelum kamu menyuruhku untuk tidur bersama wanita lain, Cliantha,” ucap Narendra.

“Karena jelas, jawabanku ‘tidak bisa’! Begitu pun dengan kamu,” tambahnya.

"Mungkin memang Tuhan menciptakan kita untuk menjadi sepasang, tidak perlu berusaha menambah orang lain di tengah hubungan kita," lanjut Narendra.

Air mata wanita itu sudah mengalir deras. Ada denyutan yang terasa di dalam dadanya, tetapi mau bagaimana lagi, menikahkan Jihan dengan suaminya adalah hal yang sudah menjadi pilihan.

“Siapa yang menyuruhmu menangis seperti itu? Apa kamu ingin menodai janjiku? Kamu tahu, Mas tidak ingin melihat kamu menangis seperti itu?” Diusapnya air mata yang mengalir di pipi istrinya sebelum menetes ke lantai.

Pria itu pernah berjanji pada ibundanya, dirinya sendiri, dan di hadapan Cliantha jika dia tidak akan membiarkan air mata wanitanya menetes membasahi bumi.

“Mas, tapi kamu tahu kalau aku tidak pernah bisa melahirkan anak untukmu. Dokter telah mengatakan jika aku–” ucap Cliantha terjeda karena sekarang bibir itu telah dimiliki oleh suaminya, meski Cliantha hanya bisa diam tanpa ingin memberikan balasan ataupun penolakan apapun saat ini.

“Dokter bukan Tuhan. Selagi aku tidak merasa keberatan, aku juga tidak sedang menuntutmu, bukan? Mengapa kamu yang repot?” Ucap Narendra, diusapnya sekali lagi air mata yang merembes dari pelupuk mata Cliantha.

“Mas sudah berjanji pada Tuhan semesta alam ini, pada para malaikat yang menjadi saksi pernikahan kiya, dan pada ayah dan bundamu bahwa Mas tidak akan membiarkanmu menderita, tidak akan membuatmu sakit. Apa kamu lupa apa yang mas ucapkan setelah akad pernikahan kita dulu?” Kata Narendra merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan, kemudian pria itu merapikan kembali pakaian dan khimar istrinya sampai terlihat rapi seperti semula.

Cliantha melesak masuk ke dalam dekapan suaminya, “Lalu, bagaimana dengan Jihan? Mas sudah menikahinya,”

“Jihan tidak akan marah jika aku menceraikannya karena dia pasti tahu jika di antara mas dan dia tidak terjadi apa apa dan kita tidak saling cinta. Mas akan membuat surat perjanjian perceraian dan memberikan dia sejumlah uang sebagai kompensasi,” ucap Narendra.

“Apa Jihan akan kecewa karena sebelumnya aku yang memohon padanya supaya mau menikah denganmu, Mas. Aku minta maaf untuk itu,” ujar Cliantha merasa bersalah pada suaminya.

“Tidak apa. Semoga saja dia tidak seperti itu, beri pengertian padanya. Karena yang aku butuhkan hanya kamu. Aku menikahimu karena murni setulus cinta dari dalam hati. Jangan coba-coba mendatangkan wanita lain karena kamu sempurna untukku,” ucap Narendra mengeratkan pelukan pada tubuh istrinya itu.

“Kapan mas merencanakan perceraian dengan Jihan?”

“Secepatnya, semakin cepat semakin baik untuk dia dan kita,” jawab Narendra.

Sementara di luar pintu kamar Narendra dan Cliantha, ada seseorang yang sejak tadi mendengarkan perbincangan pasangan suami istri itu. Wanita muda berusia seperempat abad itu menangis tersedu-sedu mendengar semua kata yang terucap dari kedua orang itu.

“Mengapa kalian begitu mudahnya mempermainkan hidupku? Mengapa?” Ucapnya lirih disertai isak tangis dan derai air mata.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!