NovelToon NovelToon

Izinkan Aku Bertanggung Jawab

Bab 1

Pov Ayu

"Auw!" pekik Dinda merasa terhina.

"Kenapa, Din?" tanyaku.

"Salah satu dari mereka menyentuhku," jawab Dinda.

Aku pun menghentikan langkahku. Aku menatap tajam pada gerombolan pria yang kini tertawa menatap kami.

"Hei!" teriakku dengan berani.

"Siapa yang telah berani menyentuh temanku?" bentakku dengan berani.

Bagiku tak seorang pun pria yang boleh menginjak-injak harga diri seorang wanita karena status wanita dan pria itu sama.

"Hahaha, baru juga aku menyentuh pingg*lnya belum lagi buk*t kemb*rnya," ujar salah satu dari mereka.

Emosiku meningkat mendengar ucapan pria itu, dengan berani aku melangkah menghampiri mereka.

Tanpa segan, aku melayangkan sebuah tamparan keras di pipi pria itu.

Semua mata kini mulai tertuju padaku, beberapa orang menutup mulutnya tak percaya melihat apa yang baru saja aku lakukan.

"Hei!" bentak salah satu teman pria itu.

"Berani-beraninya kau menampar bos kami," ujarnya.

"Cih, pria yang tak punya otak ini kalian jadikan seorang Bos. Kalian memang tidak punya akal sehat," ujarku masih dengan keberanian yang selalu aku tanamkan dalam jiwaku.

Si pria pun menatap tajam ke arahku, hampir saja tatapannya itu membuat nyaliku ciut seketika, tapi aku terus membentengi diriku untuk tetap berani.

"Kau akan menyesal telah melakukan ini padaku," ujar si pria dengan tegas.

Setelah itu mereka pun meninggalkanku dan Dinda.

"Ayu, kamu berani sekali. Aku takut mereka akan berbuat sesuatu padamu," ujar Dinda ketakutan.

"Kamu tenang saja, kita di sini belajar. Toh, bukan kita yang salah, mereka yang memulai pertikaian tadi," ujarku menenangkan Dinda.

Begitulah aku, aku akan tetap berani selagi aku memang tidak melakukan kesalahan.

Dinda tak dapat berkata apa-apa lagi, setelah itu kami pun meninggalkan kampus karena kuliah hari sudah selesai.

Aku dan Dinda tinggal di asrama kampus karena kami sama-sama mahasiswi undangan yang mendapatkan beasiswa dengan fasilitas asrama tanpa membayar sepeserpun.

"Yu, malam ini kita makan di luar, yuk," ajak Dinda padaku.

Kebetulan hari ini kami berdua malas memasak. Memang sudah lama kami tidak keluar asrama sekadar mencari makanan.

"Boleh," sahutku.

Pada malam hari, setelah selesai shalat Maghrib aku dan Dinda melangkah keluar Asrama.

Kami berjalan kaki hingga gerbang kampus, di luar kampus banyak kafe-kafe yang buka hingga malam hari karena banyak mahasiswa dan mahasiswi yang kost di luar kampus.

Saat kami sedang berjalan, tiba-tiba dua buah sepeda motor menghampiri kami.

"Ada apa ini, Yu?" tanya Dinda padaku takut.

"Kamu tenang dulu, ya." Aku berusaha menenangkan sahabatku itu.

"Yu, jangan-jangan mereka mau berbuat jahat pada kita." Dinda menggenggam erat tanganku.

"Mhm, kita harus siap-siap untuk lari, jika mereka berbuat macam-macam," bisikku pada Dinda.

Salah satu penumpang dari sepeda motor itu turun, lalu dia menghampiriku dan Dinda.

Aku dan Dinda berusaha lari, tapi pria itu berhasil menangkapku.

"Ayu!" teriak Dinda menghentikan langkahnya.

"Larilah, dan cari bantuan!" teriakku pada Dinda agar dia tak ikut tertangkap.

Akhirnya Dinda terus berlari meninggalkanku. Tak lama setelah itu sebuah mobil berhenti di dekatku, pria itu mendorong tubuhku hingga masuk ke dalam mobil itu.

Mereka pun membawaku entah ke mana, aku sendiri tidak tahu karena aku bukanlah penduduk asli kota itu.

Seingatku, mereka membawaku ke sebuah rumah sederhana yang mana di sana aku bertemu dengan pria yang tadi siang aku tampar wajahnya.

Pria itu menatap tajam ke arahku, matanya menyimpan dendam yang mendalam terhadap diriku.

"Kau," lirihku.

Kini ada rasa takut yang mulai menyelinap di hatiku, karena di rumah itu telah berkumpul beberapa orang pria yang aku tidak akan sanggup melawan mereka.

"Selamat datang, Gadisku," lirih si pria dengan seringai di wajahnya.

Kini dia menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Apa yang kamu inginkan?" lirihku berusaha menenangkan diriku yang kini telah cemas dan takut.

Pria itu melangkah menghampiriku yang kini berdiri tak jauh darinya.

Aku mencoba melangkah mundur menghindari sang pria yang terus mendekatiku, hingga punggungku terbentur dinding. Aku tak bisa menjauh lagi.

"Apa yang aku inginkan? Aku ingin memberimu pelajaran," bisik si pria di telingaku.

Kata-katanya membuat bulu kudukku merinding.

"Bawa dia ke tempat eksekusi," ujar si pria memberi perintah pada 2 temannya yang berdiri tak jauh dari posisiku.

Kedua pria itu pun menarik tanganku dengan paksa.

"Lepaskan aku!" teriakku.

Mereka takmpeduli dengan teriakanku, lalu mereka membawaku masuk ke sebuah kamar.

Mereka menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur, dengan cepat mereka menarik tanganku lalu mereka mengikat kedua tangan dan kakiku di tempat tidur itu.

"Apa yang kalian inginkan?" teriakku berusaha meronta-ronta.

Namun, semua usahaku sia-sia. Kekuatan mereka mengalahkan tenagaku yang hanya seorang perempuan.

Aku hanya bisa menangis, tak tahu berbuat apa lagi untuk melindungi diriku.

Dua orang pria yang baru saja mengikatku pun pergi dari kamar itu setelah melakukan pekerjaannya.

Aku seorang diri di kamar itu, pikiranku semakin kacau. Aku berusaha berpikir untuk melepaskan diri dari mereka.

Tak berapa lama aku diikat di tempat tidur itu, aku tak lagi mendengar suara apa pun dari luar kamar.

"Apakah mereka sudah pergi?" gumamku di dalam hati.

"Ya Allah, apa yang akan mereka lakukan terhadap diriku?" Aku terus bertanya-tanya di dalam hati.

Rasa takut dan cemas terus menyelimuti hatiku, bahkan aku sudah membayangkan pria itu berniat untuk membunuhku.

Hampir satu jam aku berada di kamar itu seorang diri, setelah itu pria yang kutampar wajahnya masuk ke dalam kamar tersebut.

Dia melangkah menuju tempat tidur, dia mendekati diriku, lalu dia mendekatkan wajahnya pada wajahku hingga kini jarak wajah kami hanya dua atau satu sentimeter.

Saat itu, aku melihat sorotan matanya yang seakan ingin membunuhku.

"A-apa yang ingin ka-kamu la-la-kukan," lirihku gugup.

"Aku akan memberi pelajaran padamu, sehingga kamu tak akan pernah lagi berani menatap mataku," bisik pria itu dengan tegas.

Aku tidak tahu, dia akan melakukan apa padaku, saat itu aku benar-benar takut dan nyaliku ciut seketika.

Tapi, aku masih berusaha memperlihatkan bahwa aku tidak takut padanya.

"Dasar laki-laki pengecut! Beraninya melawan seorang perempuan dengan segerombolan teman-temanmu," ujarku mengejeknya.

Aku harap dia merasa malu dan seketika membukakan ikatan tangan dan kakiku, tapi tidak. Dia semakin emosi dan menatapku dengan penuh amarah.

"Hahaha, dasar wanita lemah, sampai kapan pun kamu takkan pernah bisa melawanku," bisik si pria itu.

Kini tangannya mencengkram daguku, lalu dia mulai menc*mb* bibirku dengan kasar hingga aku sulit untuk bernapas.

"Pelajaran kali ini takkan pernah terlupakan bagimu, aku akan membuatmu menyesal telah berani melawan diriku," ujar si pria.

Bersambung...

Bab 2

Pria itu mulai membuka kancing kemejaku, dia merem*s dua benda berharga milikku dengan kasar.

"Jangan." Aku mulai menangis memohon padanya.

Saat itu harga diriku terasa dicabik-cabik oleh pria tak beradab itu.

Dia mengerayangi setiap lekuk tubuhku, hingga kini aku terikat tanpa mengenakan pakaian sama sekali.

Dia merenggut mahkota berharga yang kumiliki dalam sekejap.

"Aaaaaaaahhh." ******* panjang keluar dari mulutnya saat dia mencapai pada puncaknya.

Harga diriku telah hilang di hadapan pria itu, dia telah menikmati setiap tubuhku, dia telah memperk*sa diriku malam itu.

Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya.

Sementara itu si pria kini tertidur lelap di sampingku.

Tanganku masih terikat dengan tali danasih tanpa bus*n*.

Saat pagi datang, pria itu bangun dari tidurnya. Dia bangkit, lalu mengenakan pakaiannya.

"Apa pun yang sudah aku lakukan, jangan pernah kau buka mulut, karena aku akan lakukan hal yang lebih dari ini jika kau berani macam-macam denganku! Bahkan aku bisa mengeluarkanmu dari kampus," ancam pria itu.

Dia membuka tali yang mengikat tangan dan kakiku.

"Kenakan pakaianmu!" perintah si pria.

Dia pun keluar dari kamar itu, aku pun memunguti pakaianku yang berserakan di dalam kamar itu.

Air mataku kembali menetes saat melihat bercak darah di atas sprei tempat tidur itu.

Dengan langkah tertatih, aku mengenakan pakaianku, masa depanku hancur dalam sekejap ulah pria yang tak punya hati.

Aku terduduk di atas tempat tidur setelah mengenakan pakaianku, tiba-tiba 2 orang pria masuk ke dalam kamar itu.

Mereka menutup mataku, dan membawaku keluar dari tempat itu.

Dengan jelas aku merasakan mereka membawaku masuk ke dalam mobil.

Selang beberapa menit, mereka menurunkanku di pinggir jalan lalu meninggalkan diriku.

Bergegas aku membuka penutup mataku, aku mendapati diriku telah berada di kawasan kampus.

Saat itu belum ada mahasiswa yang datang, aku pun melangkah menuju asrama dengan langkah tertatih.

"Ayu, apa yang terjadi?" tanya Dinda saat aku membuka pintu kamar asramaku.

Kebetulan di kamar itu hanya aku dan Dinda, jadi tidak ada yang tahu kedatanganku di pagi hari ini.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Dinda sangat mencemaskan diriku.

Aku terdiam sejenak.

"Ya Allah, haruskah aku memberitahu Dinda apa yang telah menimpa diriku?" gumamku di dalam hati.

"Tidak, aku tidak mungkin memberitahu apa yang telah terjadi pada Dinda." Aku menggelengkan kepalaku.

"Aku baik-baik saja, Din," jawabku.

"Syukurlah, aku sangat mengkhawatirkanmu," ujar Dinda.

"Aku sudah berusaha mencari bantuan, tapi dengan sekejap mata mereka membawamu begitu saja." Dinda penuh penyesalan.

Sebagai teman baikku, dia merasa bersalah karena tidak sanggup menyelamatkan diriku dari sanderaan pria bajingan itu dan teman-temannya.

"Tidak apa-apa, sekarang kamu bisa lihat keadaanku. Aku baik-baik saja, tak kurang satu pun." Aku menghiburnya.

Aku masih berusaha menutupi masalah besar yang telah terjadi di dalam hidupku.

Dinda memelukku.

"Maafkan aku," lirihnya lagi.

"Sudah, jangan bahas masalah ini lagi. Hari ini ada jadwal kuliah pagi, kita siap-siap," ajakku.

Aku pun melangkah masuk ke dalam kamar mandi terlebih dahulu, aku sudah tak sabar lagi ingin membersihkan diriku.

Saat ini aku benar-benar merasa jijik pada diriku sendiri.

Dinda membiarkanku masuk kamar mandi terlebih dahulu, di dalam kamar mandi kusirami sekujur tubuhku dengan air sebanyak-banyaknya.

Ingatan akan peristiwa semalam masih menggelayuti benakku.

Aku kembali menangis.

"Ya Allah, kuatkan aku menjalani musibah ini." Hanya do'a-do'a yang terus terucap dari bibirku.

Kejadian yang telah menimpaku bukanlah dosa yang sengaja aku lakukan, tapi aku adalah korban dari kebejatan pria yang sama sekali tak memiliki hati nurani.

Setelah aku puas membersihkan tubuhku, aku pun keluar dari kamar mandi dan bersiap untuk berangkat ke kampus, dengan sekuat hati aku terus berusaha menguatkan hatiku untuk terus melanjutkan hidupku.

Apa pun yang akan terjadi nantinya, di sanalah aku akan menghadapinya, begitulah tekadku demi masa depan yang aku impikan selama ini.

Aku dan Dinda melangkah menuju kampus, saat berada di koridor kampus aku melihat pria bejat itu duduk di tangga bersama teman-temannya.

Aku menarik lengan Dinda agar tak melewati mereka, aku memilih jalan berkeliling menuju kelasku.

"Kenapa, Yu?" tanya Dinda heran.

"Tidak apa-apa, lebih baik kita menghindar dari mereka," ujarku.

"Mhm, benar juga, sih. Kamu tahu enggak, ternyata pria yang kamu tampar kemarin adalah putra rektor kampus kita." Dinda memberitahuku siapa pria itu sebenarnya.

"Apa?" Aku menautkan kedua alisku tak percaya.

"Ya, makanya banyak mahasiswa di kampus ini yang takut padanya," cerita Dinda.

"Mhm, wajar saja tampangnya terlihat berkuasa di kampus ini." Aku berpendapat.

"Makanya kemarin itu semua mata natapin kamu pas kamu nampar dia," ujar Dinda lagi.

"Oh, begitu." Aku hanya mengangguk pelan.

"Wajar saja dia berani melakukan hal keji itu padaku," gumamku di dalam hati.

Aku yakin tak hanya diriku yang diperlakukannya seperti itu. Mungkin sudah banyak mahasiswi di kampus ini masa depannya hancur karena pria bejat itu.

Akhirnya aku berjanji di dalam diriku, apa pun yang akan terjadi pada diriku nantinya, aku akan hadapi dan jalani.

Aku tak boleh putus asa, dan menyerah begitu saja. Aku akan berjuang demi masa depan yang selama ini aku impikan.

Aku mulai meyakinkan diriku bahwa aku akan melewati berbagai cobaan yang akan datang menghampiriku nantinya.

"Bismillahirrahmanirrahim, aku kuat dan aku bisa," lirihku terus menyemangati diriku yang sesungguhnya sangatlah rapuh.

Hanya Allah satu-satunya tempat aku berserah diri, dan hanya Allah yang akan memberi jalan keluar di setiap masalah yang akan hadir nantinya di hadapanku.

Aku sudah berada di kelas, dosen juga sudah masuk dan pelajaran pun dimulai.

Sepanjang pelajaran berlangsung pikiranku masih bercabang, setiap kali aku menguatkan diriku setiap kali itu pula aku merasa takut.

"Ayu," panggil Dinda.

"Ayu!" Dinda mulai mengeraskan volume suaranya karena sejak tadi dia memanggilku tapi aku tak menggubrisnya sama sekali.

"Eh, iya. Ada apa, Din?" tanyaku gelagapan.

"Kamu kenapa, sih? Sejak tadi aku perhatikan kamu diam dan bengong?" tanya Dinda heran melihat tingkahku tak seperti biasanya.

"Enggak apa-apa kok, Din. Mungkin aku cuma lagi banyak pikiran saja,"' jawabku berbohong.

Aku tak mungkin menceritakan apa yang telah terjadi pada Dinda.

Sahabatku itu menatapku dalam, dia mencoba memastikan perkataan itu tidak bohong, terlihat di wajahnya dia sangat penasaran dengan apa yang telah aku alami kemarin malam.

Dinda menggenggam tanganku erat.

"Ayu, kamu tak seperti biasanya, apakah kamu ada masalah? Kalau memang ada, katakan padaku, apa masalah yang tengah kami hadapi?" tanya Dinda semakin penasaran dengan sikap dan tingkahku.

Aku terdiam, aku coba memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan dari Dinda.

"Tidak apa-apa, ayo kita makan ke kantin." Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan Dinda.

Aku melihat sekilas dahi sahabatku itu mengkerut, tapi aku sengaja mengabaikannya.

Aku menarik lengan Dinda dan membawanya menuju kantin.

Saat melangkah ke kantin, aku tak sengaja menabrak seseorang.

Bruk.

Tubuhku jatuh terhempas ke lantai.

"Kalau jalan hati-hati, Yu," lirih Dinda.

Dia membantuku untuk berdiri, betapa kagetnya aku saat melihat wajah pria bej*t itu berada tepat di hadapanku.

Ternyata tubuh kekar yang baru saja kutabrak adalah tubuhnya.

"Kalau jalan pakai mata," bisik pria bej*t itu tepat di telingaku.

Aku bergegas menarik tangan Dinda dan membawanya menjauh dari sosok pria yang saat ini sangat kubenci di dalam hatiku.

Bersambung...

Bab 3

POV Barra.

Barra Sebastian Antonius, aku merupakan salah satu mahasiswa di Universitas Nusa Bangsa.

Aku mahasiswa tahun terakhir, saat ini aku tengah menyusun skripsiku.

Hampir semua mahasiswa yang mengenaliku segan dan takut padaku karena aku merupakan putra dari Prof. Dr. Sebastian Antonius yang menjabat sebagai rektor di Universitas tersebut.

Hal ini membuatku selalu bersikap semena-mena pada siapapun.

Hari itu, tanganku begitu usil memegangi pinggul seorang mahasiswi baru yang lewat di hadapanku, aku tak menyangka hari itu menjadi awal pertemuanku dengan wanita itu.

"Hei, siapa yang telah berani menyentuh temanku?" bentak teman wanita yang baru saja ku pegangi pinggulnya.

"Baru saja pingg*lnya yang disentuh belum lagi buk*t kemb*rnya," ujar salah satu temanku.

Wanita itu menghampiriku, aku masih menatap wajah anggun dan cantik itu melangkah semakin mendekati.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, rasa sakit yang kudapat tak sebanding dengan jatuhnya harga diriku ulah gadis itu.

Hei!" bentak salah satu temanku yang lain.

"Berani-beraninya kau menampar bos kami," ujar temanku lagi.

"Cih, pria yang tak punya otak ini kalian jadikan seorang Bos. Kalian memang tidak punya akal sehat," ujar wanita itu dengan tegas.

Aku pun menatap tajam ke arah wanita itu, aku melihat sekilas ada rasa takut di wajahnya, tapi dia terus berusaha menutupi rasa takutnya terhadap diriku.

"Kau akan menyesal telah melakukan ini padaku." Aku menatapnya dengan penuh emosi.

Aku bertekad akan memberi pelajaran pada wanita itu.

Aku membiarkannya dan temannya melangkah meninggalkan kami.

"Bro, kita harus kasih pelajaran sama cewek itu." Andreas tidak terima aku dipermalukan oleh wanita itu.

"Ya, lakukan sesuatu agar dia kapok," ujarku memberi perintah pada teman-temanku.

Awalnya aku berniat menculik wanita itu lalu melucuti semua pakaiannya, aku akan merekam videonya agar dia tak lagi berani melawan diriku.

Namun, pesonanya yang terlalu berani membantah dan mengatakan diriku pengecut membuatku hilang kendali hingga aku pun melakukan hal keji terhadapnya.

Aku pun memperk*s*nya, malam itu aku benar-benar sudah kelewat batas, aku tak pernah melakukan hal itu pada siapa pun hanya dia wanita yang sudah kusentuh.

Paginya aku terbangun, dan menyesali apa yang telah aku lakukan padanya.

Ada rasa kasihan di dalam hati kecilku, selama ini aku memang berandalan dan brutal tapi sama sekali tidak pernah berniat akan merusak masa depan wanita itu.

Aku menyuruh teman-temanku mengantarkan dia kembali ke kampus, lalu aku pulang ke rumah.

Rasa bersalah terus menggelayuti hatiku, tapi aku berusaha terus menutupi penyesalan itu.

Aku berangkat ke kampus, betapa kagetnya aku melihat wanita itu masih berani datang ke kampus setelah apa yang terjadi.

Aku melihatnya melangkah melewatiku dan teman-temanku, kali ini dia tak berani menatap wajahku.

Dia terus berusaha menjauh dariku, aku pun semakin penasaran dengan wanita itu.

Tak berapa lama dia melintas di depanku dan teman-teman, kami berpindah ke kantin.

Aku tak menyangka dia juga berada di kantin.

"Gila tuh cewek, masih saja berani datang ke kampus, punya nyali juga dia," ujar Andreas di telingaku.

Hanya Andreas yang tahu apa yang sudah aku lakukan terhadap gadis itu, karena hanya dia yang sangat kupercaya.

"Setidaknya dia tak berani lagi menatap tajam ke arah Barra, dia pasti sudah menyesali apa yang telah dilakukannya kemarin pada Barra." Noah, teman yang lainnya ikut berkomentar.

Aku hanya diam, tak banyak menanggapi ocehan teman-temanku.

Sore harinya, aku dan Andreas asyik mengobrol di balkon kamarku.

Aku dan Andreas mengobrol tentang wanita itu, aku juga menceritakan penyesalanku pada Andreas.

"Udahlah, lu enggak usah pusing. Lu lihat, kan. Wanita itu tak mempermasalahkan apa yang sudah lu lakukan padanya, palingan kalau dia hamil lu kasih uang saja buat gugurin kandungannya," ujar Andreas menenangkan diriku yang masih galau karena perbuatan yang sudah kulakukan.

Saat malam hari, selesai makan malam papa memanggilku dan memintaku menemuinya di ruang kerjanya.

Aku heran tak biasanya papa berbicara denganku di ruang kerja, biasanya papa selalu bicara di ruang makan atau ruang keluarga.

Tok tok tok.

Aku mengetuk pintu ruang kerja.

"Masuk!" teriak papa.

Aku membuka pintu ruangan itu lalu masuk ke dalam ruang kerja papa.

Aku mendapati papa tengah berdiri membelakangi diriku yang baru saja masuk ke ruangan itu.

Aku menautkan kedua alisku heran melihat sikap papa.

"Apa sebenarnya yang telah terjadi?" gumamku di dalam hati.

Jantungku mulai berdetak kencang, aku merasa ada masalah penting yang akan dibicarakan pria bijaksana yang selama ini aku kenal.

"Papa memanggilku?" tanyaku pelan setelah berada satu meter di belakangnya.

Papa membalikkan tubuhnya, dia menatap tajam ke arahku, membuatku merasa semakin bersalah.

Plak!

Sebuah tamparan keras melekat di wajahku, aku terhuyung, tapi tak sempat jatuh ke lantai karena aku masih bisa menjaga keseimbangan tubuhku.

Pipiku terasa sangat panas dan aku yakin saat ini pipiku telah berwarna merah berbentuk telapak tangan papa.

"A-apa salahku, Pa?" tanyaku lirih.

Aku penasaran apa yang menyebabkan papa marah padaku.

"Makasih berani kau bertanya pada papa mengenai kesalahanmu?" bentak papa dengan nada tinggi.

Aku terdiam sejenak berusaha memikirkan kesalahan yang telah aku lakukan.

Seingatku tak ada kesalahan yang telah aku lakukan kecuali memberi pelajaran pada wanita itu.

"Selama ini papa tidak pernah mempersalahkan tingkahmu di kampus, tapi kali ini kamu benar-benar sudah kelewatan," bentak papa.

Aku masih diam menunggu kata-kata lainnya yang akan diucapkan oleh papa.

"Beraninya kamu merenggut kehormatan seorang gadis!" bentak papa lagi.

Aku sangat kaget mendengar ucapan papa, aku tak menyangka apa yang telah aku lakukan sampai di telinga papa.

"Papa tahu dari siapa?" Aku mulai menyangsikan sahabatku.

Aku berusaha menahan amarahku pada Andreas.

"Siapa lagi yang ember kalau bukan Andreas, karena yang mengetahui semua ini hanya Andreas," gumamku di dalam hati.

"Kamu tak perlu cari tahu siapa yang memberitahu papa, tapi kamu akan mendapatkan hukuman atas apa yang telah kamu lakukan," ujar papa tegas.

Tanganku sudah mengepal, ingin sekali rasanya aku meninju wajah Andreas saat itu, saat ini dialah yang menjadi satu-satunya tersangka yang sudah bermulut ember membocorkan apa yang kupercayakan padanya.

Papa masih menatapku tajam, dari tatapan terlihat jelas raut mukanya yang sangat kecewanya padaku.

"Selesaikan skripsimu dalam bulan ini juga, setelah itu, kamu akan menjalankan hukumanmu!" Keputusan papa tak bisa diganggu gugat lagi.

"Pergilah!" perintah papa dengan tegas.

Dia memintaku keluar dari ruang kerjanya.

Aku pun langsung mengambil jaketku, aku langsung menuju kost Andreas yang tak jauh dari kampus.

Bugh.

Aku melayangkan sebuah pukulan keras tepat di perut Andreas hingga dia tersungkur ke lantai.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Andreas bingung.

Dia sama sekali tak tahu apa-apa.

"Berani-beraninya lu laporkan apa yang sudah gue lakukan pada gadis itu ke papa!" bentakku bersiap hendak memukulnya lagi.

"Tunggu, Barra!" teriak Andreas.

Dia sudah bersiap untuk menghindari pukulan dariku.

Aku menghentikan aksiku.

"Apa yang terjadi? Apakah kita tidak bisa bicara baik-baik?" tanya Andreas.

Akhirnya aku pun menahan emosiku, Andreas membawaku duduk di roof top kost-annya.

Kami pun berbicara di sana.

"Aku sama sekali tidak memberitahu Pak Bastian tentang ini." Andreas membela diri.

"Lalu, dia tahu dari mana?" gumamku.

"Atau jangan-jangan gadis itu tahu bahwa kamu adalah putra rektor kampus, lalu dia memberitahukan pak Bastian tentang ini." Andreas menuduh wanita itu.

Aku mengangguk, aku juga merasa begitu.

Aku yakin wanita itulah yang sudah berani melaporkan apa yang telah terjadi pada papa.

Aku pun berusaha meredam emosiku, dan aku berjanji akan memberi pelajaran pada wanita itu lagi.

Semalaman suntuk aku berada di kost Andreas, aku enggan untuk pulang karena masalah ini.

Keesokan harinya, aku berangkat ke kampus. Sebagaimana ultimatum dari papa, aku pun menyelesaikan skripsiku secepatnya, papa juga meminta dosen pembimbingku untuk membantuku.

Setelah selesai bimbingan, aku bertemu lagi dengan wanita itu.

Aku melihatnya tengah berjalan seorang diri di lorong kampus.

Keadaan sedang berpihak padaku, kebetulan lorong kampus terlihat sepi. Aku pun memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya.

Aku menarik tangannya dan membawanya ke toilet di bawah tangga, sehingga tak seorang pun yang melihat keberadaan kami.

"Apa yang sudah kau lakukan?" tanyaku padanya.

Aku berharap dia mengaku telah melaporkan tindakan keji yang sudah kulakukan terhadap dirinya pada papaku.

"Apa maksudmu?" lirihnya dengan mata yang tak berani menatapku.

"Kau sudah laporkan apa yang kulakukan terhadapmu pada papaku?" tuduhku terus terang.

"Jangan asal menuduh, aku tak melakukan apa-apa. Aku tak pernah mengatakan perbuatan bej*tmu pada siapa pun," lirihnya.

Kini nada suaranya terdengar serak menahan tangis.

"Aku datang ke kampus ini hanya ingin menuntut ilmu, aku mohon jangan ganggu aku lagi, cukup kamu merenggut harta paling berharga dalam hidupku, izinkan aku tetap belajar di sini." Dia memohon padaku.

Seketika aku melepaskan cengkraman tanganku, aku pun membiarkannya pergi begitu saja.

Aku melihat dengan jelas buliran bening menggenang di pelupuk matanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!