Terik matahari menyinari bumi, terasa panas menembus lapisan kulit, hingga membuat bulir-bulir keringat bermunculan dan aku terpaksa harus menyeka mereka setiap saat.
Hari ini, setelah melewati berbagai kesulitan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah tanpa membawa sepersen uang.
Lelah rasanya untuk pergi dan pulang tanpa menggunakan kendaraan atau transportasi umum. Kakiku terasa sudah kehilangan tenaga, ditambah dengan tenggorakan yang mulai kering karena efek dari kelelahan.
Dehidrasi, lapar, dan rasa ingin berleha-leha begitu menggebu di dalam hati. Namun apa daya, rumahku masih berjarak ratusan meter lagi.
Aku menyesal telah menganggap semuanya akan berjalan dengan mudah, dan pergi tanpa sedikitpun persiapan yang pasti. Hingga pada akhirnya aku dihadapkan pada situasi yang mungkin saja bisa membuatku pingsan atau bahkan mati dalam perjalanan.
Apa kau tau? Seminggu belakangan ini aku telah berjuang untuk mencari pekerjaan dengan bertaruh pada setiap lowongan kerja yang ada.
Namun hasilnya selalu nihil, tak satupun dari perusahaan-perusahaan itu yang menerimaku. Sungguh miris, tetapi itu wajar terjadi pada diriku yang telah menyatu dengan aura layaknya pengangguran akut.
Aku akan bercerita sedikit mengenai latar belakangku...
Aku terlahir disebuah keluarga kecil yang sederhana. Walaupun begitu, aku masih bisa mendapatkan fasilitas yang memadai, serta mendapatkan pendidikan yang lebih dari cukup.
Karena itu, aku bisa mendapatkan nilai yang cukup dan berhasil mendapatkan apresiasi lebih dari orang-orang disekitar, termasuk kedua orangtuaku.
Namun, setelah lulus dari sekolah, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ku kejenjang selanjutnya, hingga membuat ayahku kecewa berat yang kemudian mulai mengacuhkan diriku.
Itu wajar, aku juga sadar akan kesalahanku. Namun, aku melakukan itu dengan alasan untuk mengurangi beban mereka yang pastinya akan bertambah jika aku melanjutkan pendidikan ku.
Berbanding terbalik dengan ayah, ibuku justru menghargai keputusanku dan tetap mendukungku apapun yang terjadi.
Dengan begitu, aku mulai mencari pekerjaan kemana-mana, tentu saja dengan lowongan yang hanya memiliki syarat mentok ijazah SMA.
Namun sayang, semua usahaku tak mendapatkan titik terang, sehingga membuatku menjadi putus asa serta frustasi. Karena hal ini juga aku menjadi menyesal telah menyepelekan kehidupan, dan mulai berandai-andai jika saja aku melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.
Walaupun begitu, tentu saja aku sadar bahwa semua itu akan mustahil untuk diulangi. Sehingga dengan langkah lemas, aku kembali melanjutkan perjalananku menuju rumah sambil mencoba untuk melupakan semua rasa sakit di dada.
Setelah menghabiskan banyak waktu, akhirnya aku telah sampai di depan pintu rumahku. Perlahan tanganku membuka pintu, dan kemudian berjalan masuk kedalam tanpa mengetahui bahwa ibuku telah menunggu kepulangan ku.
"Nak..." Lirih ibu menatap nanar diriku sambil menggenggam tangannya sendiri.
"... Ibu?" Spontan aku mengeluarkan nada bertanya dengan mata yang sedikit melebar. "Ibu kenapa ada disini? Bagaimana dengan ayah?" Tanyaku dengan serius sambil perlahan menghampirinya.
"Ayah baik-baik saja dirumah, ibu kesini hanya ingin melihat kondisi anak ibu yang telah beberapa bulan pergi dari rumah." Jawab ibuku menjelaskan sambil memasang ekspresi yang rumit.
Mendengarnya, aku hanya membalas dengan gelengan kepala, lalu kemudian menuntun ibu untuk duduk di sebuah sofa kecil yang ada diruang tengah.
"Aku hanya ingin hidup mandiri, tapi duduklah dulu bu! Aku akan segera membawa teh, ibu suka itu, ‘kan?" Aku bertanya walaupun sudah mengetahui jawabannya.
"Ya..." Ibu menjawab sambil mengangguk kecil.
Ah aku lupa menjelaskan sesuatu. Aku telah hidup mandiri dengan menyewa apartemen di pusat kota untuk memudahkan ku dalam berpergian mencari pekerjaan.
Dan juga, aku membayar uang sewa dengan uang yang kudapatkan dari pekerjaanku sebagai penulis novel dan illustrator. Memang tak seberapa, namun itu semua cukup untuk membiayai kehidupanku.
Juga, pekerjaan seperti ini memiliki penghasilan yang tidak tentu, pasalnya pekerjaan akan segera dilakukan ketika mendapatkan customer. Walaupun itu hanya berlaku bagi pekerjaan ilustrator.
Kebetulan juga apartemen yang ku sewa ini juga tak terlalu mahal. Hanya satu juta perbulan, dan aku telah menyewa selama satu tahun penuh, sehingga tak perlu membayar tagihan dikemudian hari.
"Ngomong-ngomong, apa tak masalah meninggalkan ayah di rumah sendirian?" Tanyaku membuka obrolan sambil membawa dua gelas dan cemilan yang diletakkan di atas nampan.
Ibuku yang awalnya sedang melihat sekeliling, sekarang telah mengalihkan perhatiannya padaku dan mulai menyahut,
"Aah... itu memang keinginan ayahmu! Dia awalnya sudah ibu ajak untuk kemari, namun dengan tegas menolak." Jelasnya sambil berwajah kesal.
Aku terkekeh melihat kondisi ibuku yang tampak baik-baik saja. "Oh, benarkah?" Aku berucap sambil meletakkan nampan di atas meja, kemudian duduk di sofa yang berada di seberang ibu.
"Benar, nak!" Ibu menyahut dengan tegas, "Bahkan pria tua itu sampai mengeluarkan sikap angkuhnya, dia berkata 'Kamu pergi sendiri saja, aku sedang sibuk membaca berita!' katanya tanpa mengalihkan pandangannya!" Lanjutnya sambil memperagakan sikap ayahku.
Aku tertawa melihatnya, kemudian kami pun mulai berbincang dengan topik lain sambil menikmati cemilan. Saat itu, suasana terasa begitu nyaman yang berhasil membuat suasana hatiku kembali pulih dengan wajah yang tak pernah luput dari senyuman.
Tak terasa obrolan kita telah memakan banyak waktu. Di jam tampak pukul telah menunjuk pada angka 5 sore, sehingga mau tak mau ibuku harus segera pulang sebelum larut.
"Sebenarnya ibu tidak ingin pulang, tapi ibu juga kasian jika harus meninggalkan pria tua itu sendirian..." Ucap ibu kembali memasang wajah kesal, namun kemudian menatapku dengan lembut dan berkata,
"Jaga diri baik-baik, ya!" Pesan ibu dengan suara lembut, kemudian dia menyentuh pipiku sambil tersenyum tipis, "Jangan terlalu berlarut dalam kesedihan, ingat bahwa doa ibu dan ayah selalu menyertaimu!"
Mendengarnya, hatiku langsung tersentuh, tak terasa air mata tiba-tiba mengalir dari pelipis mata hingga kemudian terjatuh kebawah.
Ini bukanlah air mata kesedihan, namun ini adalah bukti dari kebahagiaan yang kudapatkan selama ada mereka di sisiku.
"... Ya! Aku pasti akan melakukannya..." Sahutku bersuara getar sambil menyeka air mataku yang tak henti-hentinya keluar.
Walaupun aku tak melihatnya, namun aku yakin bahwa saat ini ibuku sedang memasang wajah hangat yang mungkin bisa membuatku semakin tidak tega untuk meninggalkannya.
Setelah penundaan karena sedikit drama yang terjadi, ibuku pulang dengan senyuman setelah menitipkan pesan untukku yang harus selalu memperhatikan pola hidup.
Tentu saja aku akan melakukan apapun yang terbaik untuk membuatnya senang, sehingga dengan suasana hati yang baik aku kembali masuk kedalam apartemen untuk mandi.
"Keringatku telah menjadi uap karena terlalu lama didiamkan..." Gumam aku sambil mencium aroma tubuhku yang terasa lebih busuk daripada sampah.
Dengan cepat aku membuka kemeja, kemudian mulai berendam sambil memejamkan mata dan menikmati setiap air hangat yang terserap oleh kulitku.
Setelahnya, aku kembali ke kamar untuk mengenakan pakaian. Namun belum sempat aku memilih pakaian, tiba-tiba saja muncul cahaya terang yang keluar dari salah satu rak.
"Sial," Aku mengumpat kesal sambil perlahan menghampiri sumber cahaya tersebut dengan mata yang menyipit.
"Apa-apaan ini!?" Ucapku terkejut ketika melihat salah satu buku koleksiku memancarkan cahaya yang tidak wajar.
Walaupun merasa sedikit khawatir, aku tetap mengambil buku tersebut, kemudian aku buka langsung ditengah-tengah halaman sambil menahan rasa perih yang menyerang mata.
Aku terbelalak melihat kondisi buku yang telah kembali normal, cahaya yang menyilaukan itu telah hilang bagaikan ditelan bumi. Namun...
"Sekarang apa lagi!?" Aku kembali bertanya ketika melihat halaman buku yang menampilkan lembaran kosong tanpa tulisan.
Azmiel, seorang pria naif dengan impian untuk mendapatkan kedamaian pada dunia. Walaupun begitu, tekadnya dalam mencapai semuanya tak bisa dianggap remeh.
Tak hanya manusia, bahkan dewa pun bisa saja tunduk dihadapan tekadnya yang besarnya bisa melebihi alam semesta.
Itulah yang diceritakan di dalam salah satu novel koleksiku yang berjudul "Towards Victory". Tentu saja itu semua hanyalah cerita yang sengaja ku lebih-lebihkan, dan pastinya atas dasar "Ketidaksukaan" ku terhadap novel ini.
Entah kerasukan apa aku saat itu hingga membeli novel sampah yang bahkan jalan ceritanya pun bisa ditebak dengan mudah. Tidak ada kelebihan dalam cerita ini selain sifat tokoh utamanya yang berhasil membuat hatiku selalu dalam suasana yang buruk.
Yah, pada awalnya aku ingin meluapkan segala amarah yang telah dipendam ketika membaca novel ini. Namun, semua itu harus ku tunda karena saat ini takdir telah menjadikanku sebagai Azmiel bajingan itu!!
Sungguh, ini bukanlah keinginanku! Jujur saja.
Namun fenomena yang sebelumnya terjadi itu telah membawa paksa diriku pada takdir yang rumit. Memang, pernah suatu hari aku berniat untuk mengubah seluruh alur cerita novel ini, tetapi bukan berarti aku harus menjadi pria culun itu!!
Aaah, sungguh menyebalkan!
***
Setelah fenomena yang menyebabkan tubuhku tersedot pada sebuah buku novel, aku kemudian mendapati diri sedang berada di bawah pohon dengan langit yang masih terlihat cerah.
Saat itu, satu hal yang langsung kulakukan adalah mengedarkan pandangan dan memastikan diri bahwa semuanya telah berbeda dari dunia yang ku kenal.
Kesan pertamaku mengenai tempat ini adalah "Menakjubkan". Entah mengapa hal itu bisa terjadi, namun jujur saja bahwa desain setiap bangunan yang terlihat kuno itu justru meninggalkan kesan kuat pada hatiku.
Walaupun setiap bangunan yang ku sebut kuno itu tak ada satupun yang masih memakai atap jerami. Pasalnya tempat ini terlihat seperti pada saat abad pertengahan, walau tak kulihat kereta kuda melintas di jalan.
Selesai dengan penyidikan, aku mencoba untuk bangkit dari dudukku. Namun, itu terasa sangat sulit sekaligus menyakitkan.
"Aduduh..." Aku merintih kesakitan sambil mencoba untuk terus bangkit, "Ini sangat menyakitkan, sial!" Kesal ku dengan suara imut.
Tentu saja bukan berarti aku mencoba untuk sok imut, tetapi jiwaku saat ini telah menyatu dengan raga seorang anak kecil. Aku mengetahuinya ketika melihat kakiku yang begitu pendek.
Dengan usaha yang keras, akhirnya tubuhku bisa sepenuhnya berdiri, walau tidak tegap. Namun dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku berjalan menjauh dari pohon itu dan mulai memasuki perkotaan secara penuh.
Seperti penjelasan ku sebelumnya, kota ini memiliki kesan yang sama dengan suasana pada abad pertengahan. Namun dengan kesan kuno yang lebih kental, bahkan aku sangat tahu jika dunia ini teknologinya tidak terlalu maju.
Sambil berjalan, sesekali aku melirik kesamping kiri dan kanan untuk melihat beberapa bangunan yang tampaknya digunakan sebagai ruko. Bahkan tak sedikit pula yang berjualan seperti pedagang kaki lima.
'Ini terasa seperti dunia asli...'
Itu tidak heran, mengingat dunia ini merupakan dunia novel yang pastinya mengambil referensi dari dunia nyata. Namun jujur saja aku masih merasa kesal ketika mengetahui bahwa diriku telah menjadi Azmiel
Tidak hanya itu, aku juga kesal karena harus memulai semuanya dari awal! Melihat tubuhku yang mungil, tentu saja menjelaskan bahwa saat ini diriku adalah Azmiel bocah.
Untuk ingatannya sendiri, aku tidak mendapatkan sepotong ingatan yang pernah dimiliki oleh Azmiel yang asli. Ini sedikit menyebalkan, pasalnya saat ini aku sedang menuju arah pulang, namun aku tak tahu letak rumahku sendiri!
'Dasar entitas menyebalkan, dia yang telah mengirim jiwaku ke dunia ini, namun dia tidak memberikan sedikitpun kemudahan bagiku!' Kesal diriku dalam hati sambil mengingat wajah entitas itu.
Entitas yang ku maksud adalah orang yang mengaku sebagai dewa, dia juga orang yang telah mengirim ku ke dunia ini atas dasar rasa sakit hati. Entah untuk alasan apa dia merasakan itu, dan kenapa pula aku harus menanggungnya?
Dan juga sebelum mengirim ku, dia sempat mengatakan sesuatu yang membingungkan, yaitu: "Sekarang kau harus menunjukkan padaku bagaimana cerita yang kau anggap lebih baik!" Katanya.
Tentu saja aku tidak mengerti apa maksudnya, namun satu hal yang pasti bahwasanya entitas itu sedang mengujiku dengan segala keterbatasan yang dia berikan.
Aku tidak peduli akan hal itu, yang pasti saat ini aku hanya ingin menemukan letak rumahku! Sungguh, sudah beberapa ratus meter aku berjalan, namun tak satupun aku melihat rumah yang cocok dengan deskripsi di dalam novel.
"Rumah kayu, pintu kecil, berada di antara tempat sampah..." Gumam ku sambil mengingat-ingat ciri-ciri rumahku, "Sungguh, tempat sampah apa yang dimaksud!?" Pada akhirnya aku frustasi dan kemudian memilih untuk beristirahat sejenak di dekat bangunan besar.
Aku tak berani duduk di lantai halaman mereka dengan penampilan kotor seperti ini, jadinya aku memilih untuk duduk di tanah tanpa alas.
Dengan tubuh mungil seperti ini aku bisa merasakan staminaku habis terkuras hanya karena berjalan sebentar. Namun, lebam-lebam ditubuh mungkin menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tubuhku menjadi lemah.
"Dasar anak-anak, masih suka saja merundung..." Ucapku sambil menggelengkan kepala ketika mengetahui alasan dibalik lebam-lebam ditubuh.
Tak lama kemudian, aku melihat sekelompok anak kecil dengan usia sekitar 10 tahun menghampiriku setelah salah satu dari mereka menunjuk-nunjuk ke arahku.
Hanya dengan sekali lihat aku bisa mengetahui identitas mereka. Melihat dari sikap mereka yang angkuh, bisa disimpulkan bahwa mereka adalah orang yang telah merundung Azmiel.
"Hei!" Teriak sok salah satu bocah dengan rambut hitam dan pakaian yang rapih serta elegan, "Kenapa kau ada disini, dasar anak desa!" Lanjutnya dengan hentakan kaki yang sengaja diterjunkan tepat di hadapanku.
"Hmm," Aku tak merespon dan hanya menatap mereka dalam diam.
Karena hal itu juga, mereka tampak sangat kesal kemudian mengangkat kerah bajuku hingga memaksaku untuk berdiri.
"Jangan menatap kami dengan matamu yang busuk itu, dasar anak lac*r!" Ucap anak yang sama dengan nada rendah namun disertai intimidasi.
Sementara itu, teman-temannya hanya memandangiku dengan tatapan meremehkan. Hal itu membuat penilaian ku semakin mengental, bahwasanya mereka adalah anak hasil dari bocornya pengaman.
"Tolong lepaskan tanganmu, dek!" Pintaku bersuara rendah sambil menatap tenang wajah bocah di hadapanku.
Namun seperti yang kuduga, anak itu tiba-tiba saja melancarkan sebuah pukulan setelah memasang wajah kusut disertai warna merah padam.
Pukulan itu terarah tepat pada wajahku. Dengan amarah yang memuncak, bocah itu berteriak mengatakan sesuatu, sebelum pada akhirnya aku terhempas karena pukulannya.
"Bajingaan!!!"
Aku terhempas dan mendarat pada tembok bangunan besar hingga meninggalkan bekas kerusakan, walau hanya sedikit.
Pukulan itu sendiri terasa begitu menyakitkan, aku merasakan hidungku patah olehnya. Namun, hanya karena ini bukan berarti aku akan ketakutan dan meminta ampun kepada mereka, seperti yang dilakukan Azmiel versi original.
Sebelum aku bangkit, suasana kota yang awalnya tenang kini mulai riuh dan sebagian dari mereka berkerumun di dekat kami. Mempertontonkan apa yang sedang terjadi.
"Lihat, Tuan muda dari keluarga Roumoch kembali membuat ulah!" Ucap salah satu warga berbisik pada temannya, walaupun itu bisa terdengar jelas di telingaku.
"Diamlah! Biarkan dia melakukan apa yang dia mau, aku tidak ingin bermasalah dengan keluarga bangsawan itu!" Sahut temannya sedikit panik.
Haah, mendengar ocehan mereka saja aku sudah bisa memahami seluk-beluk dari dunia ini yang ternyata tidak berbeda jauh dari dunia asli.
Aku bangkit, kemudian berdiri dengan tegap sambil menatap mereka dengan tenang. Walaupun begitu, perilakuku entah mengapa berhasil membuat emosi mereka terpacu, kemudian dengan langkah gusar Tuan muda Roumoch menghampiriku.
'Lagi?'
Aku melihat tindakan yang Tuan muda Roumoch lakukan selanjutnya. Jelas saat ini dirinya kembali melayangkan pukulan ke arahku, namun dengan energi asing yang keluar seolah menyelimuti kepalan tangannya.
Merasa bahaya, mau tak mau aku harus menghindari serangan tersebut, walau pada akhirnya pelipis mataku terluka oleh energi asing miliknya.
Dengan mata terbelalak, aku menatapnya sambil memegangi pelipis ku yang terluka, "Kau..." Ucapku terpotong karena teriakan dari orang-orang yang berada di sekitar.
"Ini sudah terlalu berbahaya!"
"Cepat pisahkan mereka!!"
Teriak riuh orang-orang, namun tak ada satupun yang berani untuk menghentikan Tuan muda Roumoch yang tanpa hentinya menyerang ku dengan penuh amarah.
Walaupun begitu aku masih bisa menghindari setiap serangan yang dia lancarkan, pasalnya pukulan dia hanya unggul dalam kekuatan, namun begitu buruk dalam hal kecepatan.
"Dasar bajingan!" Teriak Tuan muda Roumoch penuh amarah sambil terus menyerang tak tentu arah.
Sungguh, saat ini aku tidak tahu harus melakukan. Jikalau aku melarikan diri, kemungkinan besar Tuan muda Roumoch akan mengejar ku. Namun jika aku terus meladeninya, bisa saja ini menjadi akhir hayat ku.
Aku memang bisa menghindari segala kemungkinan dengan cara melawannya balik. Namun, aku hanyalah bocah miskin biasa sekarang, bahaya jika saja aku sampai melawan bangsawan sepertinya!
Tuan muda Roumoch menyerang ku dari berbagai titik. Dimulai dari kepala, leher, dada, hingga kedua sisi perutku. Namun sayangnya serangan dia berhasil aku hindari dengan sempurna, entah mengapa rasanya tubuh ku ini sangat responsif.
Melalui banyak waktu dengan meladeni bocah itu, pada akhirnya pertengkaran sepihak kami dilerai oleh seseorang yang tampaknya seumuran dengan kita.
"Apa yang sedang kau lakukan, Nicol!?" Bentak gadis itu berwajah seram sambil melindungi ku dengan membentangkan kedua tangannya.
Nicol yang saat ini sedang mencoba menyerang ku, tiba-tiba menghentikan gerakannya dan lebih memilih untuk menjauh dari gadis yang tampak lebih menakutkan darinya.
Aku yang saat ini berada di belakangnya hanya bisa terdiam membeku sambil melihat bocah bernama Nicol sedang ditegur, hingga membuat amarahnya meredup.
"Kenapa kau melakukan ini lagi!? Bukankah sudah kukatakan untuk berhenti melakukan hal yang memalukan! Apalagi sampai menindas seseorang!" Gadis itu berkata sambil perlahan menghampiri Nicol.
"K-kenapa!" Tak terima terus ditegur, Nicol kembali membentak gadis di depannya, "Kenapa kakak selalu membela dia! Kakak juga selalu baik kepadanya! Mungkinkah kakak suka dengan orang kotor itu!" Lanjutnya penuh emosi.
"Apa?" Melihat Nicol yang melawan ucapannya dengan penuh emosi itu membuat gadis tersebut terdiam dengan mata melebar.
Hmm, dilihat dari pertengkaran ini, bisa disimpulkan bahwa mereka berdua itu merupakan adik kakak. Jika begitu, maka gadis ini adalah kekasih Azmiel di dalam novel? Kalau tidak salah namanya itu Alia, tetapi tidak disangka bahwa dirinya memiliki seorang adik.
Dengan Nicol yang terus mengoceh di depannya, Alia tampak mengepalkan tangannya sebelum pada akhirnya dia menampar pipi Nicol dengan keras.
Suara tamparan itu terdengar renyah dan terlihat menyakitkan, namun hebat bagi Nicol karena masih bisa menahan air matanya walau telah menerima tamparan seperti itu.
"... Sudah hentikan ocehan mu, sebaiknya kita pulang!" Ucap Alia dengan acuh, kemudian pergi membelah lautan manusia yang sedang berkerumun.
Menanggapi hal itu, Nicol sempat terdiam, hingga pada akhirnya dia mengikuti Alia yang kemudian pergi bersama dengan teman-temannya.
Dengan begitu, kerumunan orang-orang langsung bubar dan kembali pada kegiatan mereka masing-masing.
Sungguh, novel ini terlihat seperti sepenuhnya mengambil referensi dari dunia nyata. Begitu menyebalkan untuk sebuah cerita novel berlatar fantasi.
Ya, untuk sekarang aku tidak perlu memikirkan hal lain lagi. Satu masalah kecil sudah selesai, kali ini aku harus kembali fokus untuk mencari rumahku.
'Aku bisa menebak bahwa saat ini cerita masih belum memasuki prolog.'
Jika begitu kenyataannya, maka memang kesalahanku karena terus mencari rumahku di perkotaan. Karena di dalam novel, Azmiel sempat menceritakan masa lalu dan kehidupannya bersama dengan sang ibu di sebuah desa yang berada dekat dengan kota.
Setelah menepuk-nepuk pakaianku, aku langsung pergi menuju gerbang kota. Namun bukan untuk pergi secara terbuka, melainkan pergi dengan cara bersembunyi diantara pedagang.
***
Aku menunggu cukup lama untuk mencari gerobak pedagang yang setidaknya cocok untuk menjadi tempat persembunyian ku.
Namun, tak lama berselang, muncul sebuah gerobak kuda yang terbilang cukup kecil, namun itu sangat cocok bagiku untuk bersembunyi di kotak kecil yang ada.
Tanpa membuang banyak waktu, aku berjalan ke arah gerobak tersebut, kemudian masuk ke dalam kotak kecil dengan hati-hati agar tidak memancing perhatian si pedagang yang kini sedang bersiap-siap untuk pergi.
"Baiklah, ini sudah cukup!" Ucap si pedagang dengan suara riang, "Hasil panen kali ini berhasil ludes dengan harga yang stabil, untung saja aku masih sempat menjual mereka sebelum terjadi gelombang besar..." Lanjutnya, kemudian terdengar suara pekik kuda yang dibarengi dengan berjalannya kereta.
(Gelombang besar atau bisa dibilang momen ketika stok pasar telah melebihi batas, sehingga bisa menyebabkan harga sayuran menjadi berkurang.)
Mendengar puji syukur yang pedagang itu ucapan kan membuat aku berpikir bahwa dia merupakan orang yang baik. Jikalau begitu, aku jadi tak perlu menyimpan kekhawatiran lebih akan sesuatu yang merepotkan.
Ngomong-ngomong aku akan sedikit menjelaskan mengenai latar belakang Azmiel di dalam novelnya.
Seperti yang kalian tahu, Azmiel merupakan orang yang memiliki ambisi lebih dalam mencapai kedamaian. Namun, dibalik semua itu dirinya menyimpan segudang penderitaan yang dimulai dari nasib kehidupannya hingga takdirnya.
Azmiel kecil diceritakan selalu berpergian ke kota hanya untuk mencari makanan sisa seperti roti, buah-buahan, atau bahkan makanan yang telah diolah.
Walaupun kehidupannya terasa seperti gelandangan, namun dirinya memiliki seorang ibu yang sedang menunggunya di rumah. Rumahnya itu terletak pedesaan kecil yang kerap disebut sebagai "Desa The Vagabonds", atau desa para gelandangan.
Seperti namanya, mayoritas di desa itu merupakan seorang gelandangan yang tak punya tempat tinggal yang layak. Walaupun begitu, mereka memiliki rumah kecil yang lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai tempat hidup.
Kemiskinan itu sendiri disebabkan oleh pemerintah Kerajaan yang entah mengapa sudah tidak pernah lagi memberikan dana untuk desa tersebut.
Walau begitu, pajak yang ditetapkan selalu membengkak setiap tahunnya. Sehingga tidak heran bahwa di dalam novelnya Kerajaan itu akan digulingkan oleh rakyatnya sendiri.
Mengesampingkan hal itu, kini aku telah mendengar suara pedagang yang sedang meminta izin untuk beristirahat di desa yang tak lain adalah kampung halamanku.
"Maaf pak, kuda saya sedang sakit, sehingga saya tidak bisa memaksakan dirinya untuk terus bekerja..." Keluh pedagang kepada seseorang.
"Tak masalah, istirahat saja di sini. Namun, kami sebagai warga desa tiba bisa memberikan pelayanan lebih." Sahut suara serak yang kemungkinan berasal dari sepuh di desa ini.
"Baik pak, terimakasih! Kami hanya ingin beristirahat sejenak!" Jawab pedagang dengan nada sopan.
Sementara itu, kini aku sudah berada di luar kotak dan langsung berlari untuk menuju rumahku tanpa sempat untuk berterimakasih kepada pedagang itu.
Setelah berlari singkat, akhirnya aku menemukan salah satu rumah yang ciri-cirinya sangat cocok dengan penjelasan Azmiel pada pertengahan cerita.
"Ah, akhirnya..." Aku bersyukur sambil tersenyum tipis, kemudian langsung berjalan cepat menuju rumahku, "Aku pulang!" Ucapku setelah berada di dalam rumah.
Aku sengaja mengatakan itu, dikarenakan hal tersebut merupakan kebiasaan Azmiel jika telah kembali ke rumahnya.
Disaat diriku sedang berjalan perlahan, aku bisa mendengar suara langkah kaki dari depan yang kemudian sosoknya terungkap ketika dia berada di ujung lorong kecil.
"..."
Melihat sosoknya itu, aku terdiam, lebih tepatnya terpana dengan kecantikan yang kini sedang tertutupi oleh kulit pucat khas dari orang yang tengah sakit.
"Selamat datang, Miel..." Ucapnya lembut sambil tersenyum tipis dengan mata yang menyipit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!