NovelToon NovelToon

Dinikahi Supir Sendiri

BAB. 1 Pergi dari Rumah

Happy Reading..😍

*

*

"Will."

"Will," panggilnya lagi.

Tapi seseorang yang dipanggil itu sama sekali tidak mengherani. William terus melangkahkan kakinya menjauh dari ruang tamu dimana ayah dan ibunya masih duduk disana.

Kedua orang tua William sedang membahas hal yang sangat dibenci olehnya, yaitu menikah.

Berulang kali William menegaskan bila dirinya tidak mau menikah tapi tetap saja kedua orang tuanya itu terus memintanya menikah.

William bahkan dipaksa mengikuti kencan buta dengan anak rekan bisnis ayahnya seolah ia tidak bisa mencari wanita untuk ia jadikan istri.

Sebenarnya William bukan tidak bisa mencari, melainkan tidak mau mencari, karena pria itu benar-benar tidak mau mencari seorang istri untuknya.

William melangkahkan kaki menaiki anak tangga untuk segera tiba di kamarnya.

Tiba di kamar, pria itu langsung membuka pintu lemari, mengambil ransel didalamnya lalu mengemasi beberapa pakaian miliknya masuk kedalam ransel tersebut.

William berniat pergi dari rumah itu.

"William kamu mau kemana?" tanya Irene.

Wanita bernama Irene itu rupanya menyusul sang putra yang pergi meninggalkan dirinya dan Jullian yang sedang membahas pernikahan untuk William.

"Aku mau pergi dari rumah," jawab William tanpa menatap pada ibunya.

"Apa kamu akan tinggal di apartement?" tanyanya lagi.

"Tidak," jawab William.

"Lalu?" tanya Irene.

"Aku akan pergi dari rumah menjadi orang biasa. Aku tidak mau terus-terusan dituntut menikah dan memiliki keturunan." William terus memasukkan pakaiannya kedalam tas.

Irene terperangah dengan apa yang baru saja William katakan padanya. Menjadi orang biasa itu artinya William tidak akan menggunakan nama keluarga dan harta yang dimilikinya.

Irene dengan cepat menggelengkan kepala, hal itu tidak boleh terjadi. William anak satu-satunya yang ia miliki dan tentunya penerus keluarga ini.

"Kamu tidak boleh pergi." Irene menghentikan tangan William yang sedang memasukkan pakaian ke dalam ransel.

"Keputusanku sudah bulat, Mah. Aku akan pergi dari rumah ini dan meninggalkan semua harta kekayaan yang aku miliki termasuk harta Mamah dan Papah." William melepas cekalan tangan Irene dari tangannya.

William menggendong ransel yang sudah terisi pakaiannya, kemudian berlalu pergi dari hadapan Irene.

Irena buru-buru mengejar William yang sudah keluar dari kamar, ia tidak mau bila putranya pergi dari rumah.

William terus melangkahkan kakinya menuruni anak tangga tanpa mengherani panggilan Irene yang mengikutinya dari belakang.

Tiba di lantai satu, William langsung dihadang oleh Julian yang sejak tadi memperhatikan dari ruang tamu.

"Mau ke mana kamu?" tanya Julian.

"Pergi dari rumah," jawab William tanpa menatap ayahnya yang sudah menatap tajam kearahnya.

"Papah dan Mamah memintamu menikah itu demi kebaikanmu. Usiamu sudah 30 tahun, usia yang sudah matang untuk menikah. Selain itu setelah menikah kamu akan memiliki pendamping hidup yang akan memberi warna dalam hidupmu serta memberi keturunan untukmu," jelas Julian.

"Sudah aku katakan, aku tidak mau menikah." William kembali melangkahkan kakinya semakin menjauh meninggalkan Irena dan Julian yang menatapnya dengan bingung.

"Kalau kamu pergi dari rumah bagaimana dengan perusahaan yang susah payah kamu bangun sendiri?" tanya Julian tapi tidak diherani oleh William.

William terus melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu dengan tas ransel miliknya yang ia gendong di punggung.

Julian kira William akan membawa salah satu mobil atau motornya tapi ternyata tidak. William hanya berjalan kaki keluar dari pintu gerbang dan benar-benar meninggalkan rumah.

William terus menyusuri jalanan kompleks perumahan itu, tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.

Iya sudah bertekad pergi dari rumah maka ia tidak akan menoleh ke belakang apalagi kembali ke rumah.

Menjadi orang biasa ialah tujuan pria itu saat ini. Karena menjadi orang biasa ia tidak akan dituntut menikah dan memiliki anak.

Dengan sisa uang tunai yang ia miliki, William akan menggunakan uang itu sebaik mungkin.

Tidak terasa langkah kaki William tiba di jalan raya. Pria itu segera menyetop angkutan umum yang lewat dihadapannya lalu menaikinya.

"Mau ke mana, Bang?" tanya supir angkot.

"Jalan aja dulu Bang, nanti saya stop kalau sudah sampai," jawab William.

"Ok." Sopir angkot itu segera melajukan mobilnya.

William melirik pada pergelangan tangan kirinya dimana ia masih mengenakan jam tangan mewah membuatnya cepat-cepat melepaskan jam tangan tersebut.

William beralih melihat pada pakaian yang ia kenakan. Sangat-sangat tidak cocok, bila dirinya mengaku sebagai orang biasa. Ia kemudian meminta sopir angkot untuk menurunkannya di sebuah pasar.

Karena hari sudah pukul setengah empat sore, pasar yang William datangi sudah banyak yang tutup, sehingga ia hanya membeli baju seadanya yang dijual di sana.

"Hufftt, dapat juga nih baju," gumam William.

Pria itu langsung masuk kedalam WC umum, untuk mengganti pakaian yang ia kenakan dengan pakaian yang baru saja ia beli.

Setelahnya William segera keluar dari pasar itu berniat mencari kos-kosan untuk ia tinggali.

Berjalan kaki kurang lebih 2 KM dari pasar, William akhirnya menemukan gedung kos-kosan yang cukup elit.

"Darwin Kost." William membaca nama bangunan kost tersebut.

Nama Darwin cukup familiar di kepala William, tapi pria itu tidak tahu siapa Darwin itu. Selain karena William tidak pernah bertemu, ia juga belum pernah bekerja sama dengan pemilik nama Darwin tersebut.

Tiba di pintu gerbang kost berlantai 5 itu, William dibukakan pintu gerbang oleh satpam disana, dan dipersilahkan masuk untuk menemui resepsionis bila hendak mendaftar menghuni di kosan tersebut.

"Bisa saya sewa satu kamar?" tanya William pada resepsionis disana.

"Mau sewa berapa lama? Satu bulan, tiga bulan atau 6 bulan?" tanya resepsionis.

"Satu bulan saja," jawab William.

"Bisa Mas. Boleh saya pinjam kartu identitas anda," pinta resepsionis tersebut.

"Nah, itu dia Mbak. Saya tidak punya identitas, karena saya baru saja datang ke Jakarta dan langsung kecopetan," ucap William bohong.

William juga memasang wajah sedih seolah ia benar-benar kecopetan, padahal semua itu hanya untuk meyakinkan resepsionis di sana.

"Aduh, bagaimana ya Mas? Kalau anda tidak memiliki identitas kami tidak bisa menyewakan kamar kost di sini," ucap resepsionis.

"Ya ampun Mbak, masa Mbak tidak kasihan sama saya. Saya jauh-jauh datang dari Kalimantan ke Jakarta berniat cari pekerjaan disini, tapi sampai disini saya justru kecopetan. Saya bahkan tidak bisa menghubungi keluarga dikampung karena ponsel saya juga ikut dicopet. Dan sekarang Mbak justru tidak memperbolehkan saya menyewa kamar di sini, hanya karena tidak memiliki identitas. Mana saya tahu bila akan terjadi musibah seperti ini. Saya juga tidak menginginkan identitas saya hilang," cerocos William dengan wajah sedihnya.

Resepsionis disana menggaruk kepala yang tidak gatal. Wanita itu bingung hendak menyewakan kamar kost di sana atau tidak pada pria di hadapannya.

Bila menyewakan kamar kost tanpa identitas penyewa, ia akan dikenai sanksi. Tapi bila tidak menyewakan kamar kost disana, maka pria tampan di hadapannya akan tidur di jalanan, dan ia tidak tega.

Bersambung...

*

*

Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, like dan komentarnya ya..😍

BAB. 2 Menjadi Tukang Cuci Mangkok

William menyunggingkan bibirnya saat melihat resepsionis memberikan kunci kamar kost padanya.

Memang wajah tampan yang Ia miliki selalu membuat wanita terkagum padanya bahkan menjadi lemah dihadapannya.

"Jangan bilang-bilang ya Mas kalau saya menyewakan kamar kost tanpa identitasnya Mas," ucap resepsionis.

"Aman." William menerima kunci kamar kost tersebut.

"Itu kamarnya ada dilantai 3 ya, Mas. Mulai sekarang Mas sudah bisa menempatinya," ucap resepsionis itu.

"Ok. Terima kasih ya, Mbak." William mengangkat kunci yang ada ditangannya.

"Sama-sama Mas," ucapnya.

William membalikkan tubuhnya dan bergegas menaiki anak tangga untuk menuju lantai tiga dimana kamarnya berada.

Satu persatu pintu kamar kost William lihati nomornya, hingga ia menemukan pintu kamar bernomor 114 sesuai dengan kunci kamar yang ia pegang.

William membuka pintu kamar itu lalu masuk kedalamnya.

"Ahh, akhirnya aku bisa bebas." William merebahkan tubuhnya diranjang single kamar itu.

Rasanya begitu lega setelah keluar dari rumah orang tuanya. Ia jadi tidak dituntut lagi untuk menikah dan punya anak.

William terus menyunggingkan bibirnya membayangkan kebebasan yang tengah ia rasakan.

"Ternyata enak juga ya jadi orang biasa," gumamnya.

Posisi tubuh yang terlentang dengan kaki yang ia silangkan, William menatap langit-langit kamar itu.

Di saat orang lain ingin kaya, William justru ingin menjadi orang biasa. Ia sama sekali tidak menyesal meninggalkan rumah kedua orang tuanya.

Karena baginya bahagia itu bukan karena harta yang melimpah melainkan karena kepuasan didalam hatinya, bebas dari tuntutan serta penatnya pekerjaan.

Kring.. Kring..

Ponsel William berdering, pria itu merogoh saku celananya untuk mengeluarkan ponsel tersebut.

"Mamah," gumam William melihat ponselnya.

Pria itu mengabaikan panggilan telepon tersebut hingga akhirnya panggilan itu terlewatkan. Tapi sayangnya dering ponsel William terus saja berbunyi sehingga William mau tidak mau menjawab panggilan telepon tersebut.

"Kamu dimana sekarang? Ayo pulanglah," bujuk Irene di sambungan telepon.

"Tidak Mah. Aku tidak akan pulang karena aku sudah bertekad ingin menjadi orang biasa." William mengakhiri sambungan telepon tersebut, lalu mendudukkan tubuhnya di atas ranjang.

Agar Irene tidak lagi menghubunginya, William mematikan ponsel tersebut lalu menyimpannya kedalam tas.

Disaat hendak bangkit dari ranjang, William melihat sepatu miliknya berada di lantai. Sepatu mahal yang ia bawa dari rumah.

William membuka lagi tas miliknya lalu mengeluarkan cutter dari dalam sana.

Mata cutter sengaja William goreskan pada sepasang sepatu miliknya membuat sepatu mahal itu robek dibeberapa bagian.

"Nah, kalau beginikan aku beneran jadi orang biasa." Pria itu mengenakan lagi sepatu yang sudah robek itu, hingga jempol kakinya sedikit keluar.

William geli sendiri, melihat penampilan dirinya yang jauh berbeda dari sebelumnya.

Setelah puas dengan penampilan barunya, William bergegas keluar dari kamar untuk mencari makan malam.

William akan mencari makanan yang sesuai dengan isi kantongnya sekarang ini.

Mie ayam menjadi pilihan William, selain harganya terjangkau, rasanya juga enak, membuat pria itu kini mengantri didepan warung mie ayam.

"Pak, didaerah sini ada lowongan pekerjaan tidak ya?" tanya William pada pedagang mie ayam tersebut.

Pria itu baru saja menyebutkan pesanannya yakni 1 porsi mie ayam bakso, dan 1 gelas es jeruk.

Jiwa pembisnis yang William miliki tidak pernah hilang kapanpun dan di manapun ia berada, William akan memanfaatkannya. Seperti sekarang ini, sembari menunggu pesanannya jadi dibuatkan pria itu bertanya mengenai lowongan pekerjaan untuknya.

"Memangnya Mas mau kerja apa?" tanya pria yang ditanyai William.

"Apa saja Pak. saya tidak pilih-pilih pekerjaan kok. Mau pekerjaan kasar atau tidak saya akan mengerjakannya," ucap William yakin.

"Jadi tukang cuci mangkok di warung saya mau?" tawarnya.

William mengangkat sebelah alisnya, lalu melirik pada tempat pencucian piring tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tak terhitung ada berapa jumlahnya mangkok, sendok dan gelas kotor disana, yang jelas itu sangat banyak karena sejak warung dibuka satupun belum ada yang dicuci.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya mau kok jadi tukang cuci mangkok," ucap William.

Pria itu benar-benar tidak pilih-pilih pekerjaan, meski jadi tukang cuci mangkok juga akan ia lakukan.

"Kalau begitu sehabis makan, Mas langsung cuci semua mangkok disana ya," titah pedagang mie ayam itu menunjuk pada tempat pencucian piring .

"Iya Pak," ucap William.

Tidak lama kemudian mie ayam dan es jeruk pesanan William sudah jadi dibuatkan.

Pria itu membawa sendiri makanan dan minuman itu ke salah satu meja kosong dan memakannya di sana.

Sesuai dengan apa yang sudah ia sepakati dengan pedagang mie ayam tersebut, William kini sedang mencuci mangkok dan perabotan lainnya.

*

*

Ditempat berbeda ada seorang wanita sedang bergelut dengan pekerjaannya. Tidak perduli hari sudah semakin malam wanita itu tetap saja bekerja seorang diri dikantornya.

"Pulang malam lagi?" tanya Larissa disambungan telepon.

"Iya Mom, aku pulang malam lagi. Ini pekerjaanku masih banyak," jawab Briana.

"Tinggalkan saja pekerjaanmu, Bri. Dilanjutkan besok saja," titah Larissa.

"Tidak bisa, Mom. Aku harus menyelesaikannya sekarang, karena besok pagi harus aku bawa meeting dengan klien," ucapnya.

Terdengar helaan nafas keluar dari mulut Larissa bisa didengar oleh Briana.

"Ya sudah, kamu hati-hati kalau pulang," ucapnya kemudian.

"Siap Mom! Mommy tidur aja duluan tidak usah nunggu aku pulang," ucap Briana.

"Heem."

Sambungan telepon itu berakhir.

Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam tapi Briana enggan untuk bangkit dari tempat duduknya.

Briana melanjutkan lagi pekerjaan yang masih menumpuk di meja kerja. Rasa lapar di perutnya juga ia abaikan, fokusnya hanya pada pekerjaan saja.

Wanita itu ingin menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan mendapat hasil yang terbaik.

Menjadi Direktur Utama Darwin properties membuat Briana jadi semakin sibuk, mengingat kendali perusaahan ada diposisinya saat ini yang mengharus ia bekerja dengan baik.

Sebelumnya Briana hanya menjabat sebagai Manajer Personalia dan baru dua minggu ini ia dilantik menjabat Direktur Utama menggantikan sang kakak kembar yang memutuskan membangun usaha sendiri.

Kretek.

Briana meregangkan otot tangan dan leher yang terasa pegal karena sudah terlalu lama bergelut dengan pekerjaannya.

"Tidak terasa udah jam 11.00 aja." Briana melihat jam di ponselnya.

Briana mematikan laptop yang masih menyala, lalu merapikan semua map yang ada di meja, menumpuk jadi satu lalu meletakkan ditempat semula.

Briana bergegas bangkit dari duduknya dan segera pulang ke rumah.

Wanita itu mengemudikan mobil seorang diri. Meski malam begitu larut tapi Briana sama sekali tidak merasa takut.

Berbeda dengan Briana yang tidak merasa takut. Kedua orang tua wanita itu justru sangat mengkhawatirkannya, dan takut terjadi sesuatu pada putri mereka saat perjalanan pulang ke rumah.

Kedua orang tua Briana berniat mencarikan sopir sekaligus pengawal untuk putri mereka.

Bersambung...

*

*

Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, like dan komentarnya ya..

BAB. 3 Gara-gara Pria Itu

William selesai mencuci semua mangkuk, sendok, serta gelas bertepatan dengan warung mie ayam yang ditutup pemiliknya.

"Sudah tutup Pak?" tanya William.

"Sudah Mas, bakso dan mie ayamnya juga sudah habis," jawab pedagang mie ayam itu.

"Oh iya, nama Mas siapa sih biar saya enak manggilnya?" tanyanya kemudian.

"Nama saya Liam, Pak." William mengulurkan tangannya.

Meski William menyembunyikan identitasnya tapi ia tetap menyebutkan penggalan nama dirinya yang orang lain tidak tahu.

"Saya Adam, Mas." Adam menyambut uluran tangan William.

"Panggil saya Liam saja Pak, jangan pakai 'Mas'," pinta William.

"Tentu, Mas. Saya panggil Liam saja kalau begitu," ucap Adam.

"Itu lebih enak didengar." William tersenyum kecil.

"Besok masih mau bekerja di sini, kan?" tanya Adam.

"Mau Pak kalau tenaga saya masih dibutuhkan," jawab William.

"Kalau begitu besok datangnya lebih awal ya, soalnya jam 12.00 siang warung saya sudah buka," ucap Adam.

"Baik Pak," ucap William.

Adam memberi uang tiga puluh ribu pada William untuk upah mencuci mangkok, sendok dan gelas hari ini.

Dengan senang hati William menerima uang pemberian Adam, ia akan mengumpulkan uang tersebut untuk membayar kost serta makan dirinya sehari-hari.

Sedangkan uang yang ia bawa dari rumah sudah untuk membeli baju dan membayar uang muka sewa kost.

William kemudian pamit pada Adam untuk pulang kerumah kostnya yang letaknya cukup jauh dari warung mie ayam tersebut.

Sembari berjalan pulang, William terus menyunggingkan bibirnya merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang ini.

Tiba di perempatan jalan William melihat lampu merah menyala membuat dirinya segera menyeberang melalui zebra cross dijalan itu.

Cekitt!

Hampir saja tubuh William tertabrak oleh mobil yang sedang melaju disaat lampu merah sudah menyala.

"Bisa bawa mobil nggak sih? Lihat tuh lampu merah sudah nyala masih aja nyerobot mau lewat," cerca William pada pengemudi mobil tersebut.

Pengemudi mobil itu membuka kaca jendela mobil, lalu mengeluarkan sedikit kepalanya dari dalam sana, pengemudi itu ternyata Briana.

"Kamu yang jalan nggak lihat-lihat, lampu masih hijau sudah nyebrang!" sewot Briana.

"Ck! Sudah salah, bukannya minta maaf, malah sewot lagi." William berdecih karena tidak terima dirinya dimarahi oleh Briana.

"Apa kamu bilang?" Briana menggertakkan giginya lalu membuka pintu mobil dan turun kejalan.

Brakk!

Briana membanting pintu mobil lalu menghampiri William yang ada di depan mobilnya.

William mengangkat sebelah alisnya saat melihat seorang wanita keluar dari dalam mobil tersebut.

Wanita itu memang cantik, sangat cantik malah. Tapi sayangnya wanita itu angkuh dan sombong, sama sekali tidak merasa bersalah karena sudah hampir menabrak dirinya.

Beruntungnya waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 malam sehingga tidak banyak kendaraan berlalu lalang, dan terganggu oleh kedua orang yang sedang ribut di jalan.

"Kamu ngatain aku apa tadi? Aku sewot? Jelas aja aku sewot, karena kamu jalan nggak lihat-lihat. Hampir aja aku masuk penjara gara-gara mau nabrak kamu," cerca Briana mengomeli William.

"Hehh! Di sini itu yang salah kamu. Kenapa jadi aku yang kamu omelin?" tanya William heran.

"Ya karena kamu jalan nggak lihat-lihat!" jawab Briana nyolot.

"Sudah lah, males aku berdebat. Sudah tahu kamu yang salah, masih aja aku yang diomelin." William melanjutkan langkah kakinya melewati zebra cross disana.

"Hei! Mau pergi ke mana kamu, urusan kita belum selesai!" teriak Briana melihat William yang berjalan menjauhinya.

"Awas ya kalau kita bertemu lagi!" ancam Briana menatap sangit pada William yang tidak mengheraninya.

Wanita itu masuk lagi kedalam mobilnya dengan bibir yang terus menggerutu pria yang menghambat perjalanannya.

Seharusnya sebelum jam 12.00 malam Briana sudah tiba di rumah, tapi kini wanita itu jadi pulang terlambat gara-gara hampir menabrak pria itu.

Briana tiba di rumah pukul setengah satu malam. Kedatangan Briana sudah disambut oleh kedua orang tuanya yang sejak tadi menunggu kepulangan dirinya dengan perasaan khawatir.

Briana menduduki salah satu sofa disana, menghadap kedua orang tuanya yang sudah menatap serius kearahnya.

Briana terus mengerutu didalam hati, memaki pria yang tadi hampir ia tabrak. Karena pria itu ia jadi pulang lewat tengah malam dan membuat dirinya dijaga kepulangannya oleh kedua orang tuanya.

Briana bisa menduga bila kedua orang tuanya itu akan menyikapi dirinya dengan tegas.

"Daddy, Mommy, kalian belum tidur?" tanya Briana.

"Bagaimana Mommy bisa tidur kalau kamu belum pulang kerumah," jawab Larissa.

"Kamu pulang larut sekali Bri?" tanya Reyhan yang enggan menjawab pertanyaan Briana.

"Iya Dad, tadi pekerjaanku banyak," jawab Briana.

"Apa menjabat Direktur Utama membuatmu kerepotan?" tanya Reyhan.

Briana menggelengkan kepala.

"Tidak Dad," jawabnya kemudian.

"Lalu kenapa kamu selalu pulang larut malam?" tanya Reyhan.

"Itu karena aku tidak bisa mengatur waktu kerjaku." Briana menundukkan kepala.

"Kalau begitu Daddy kembalikan kamu ke jabatan sebelumnya, agar kamu tidak pulang larut malam seperti ini lagi," ucap Reyhan.

"Jangan Dad! Aku mohon jangan kembalikan aku ke jabatan sebelumnya, aku menyukai jabatan yang sekarang," mohon Briana.

"Kalau begitu kamu harus pulang tepat waktu. Jam 06.00 sore sudah di rumah," tegas Reyhan.

Briana menggelengkan kepala.

"Tidak bisa Dad. Aku tidak bisa pulang jam segitu karena pekerjaanku pasti belum selesai dijam itu," ucap Briana.

"Lalu kamu akan terus pulang larut malam dan membuat orang tuamu khawatir?" tanya Reyhan lagi.

"Akan aku usahakan pulang cepat Dad," jawab Briana.

"No! Daddy tidak mau seperti itu. Daddy akan mencarikan kamu supir sekaligus pengawal untukmu. Jadi ... kemanapun kamu pergi, kamu akan selalu didampinginya," ucap Reyhan.

"Tapi Dad-," perkataan Briana terpotong karena Reyhan lebih dulu bicara.

"Tidak ada tapi-tapian. Besok Daddy akan mencarikan seseorang untuk menjadi sopirmu, supaya Daddy dan Mommy bisa tenang saat kamu pulang larut malam," ucap Reyhan.

"Baiklah," pasrah Briana tapi di dalam hatinya mengutuk pria tadi. Karena pria itu dirinya jadi tidak bebas pergi-pergian harus menggunakan sopir.

"Segeralah kamu makan malam dan istirahat," titah Reyhan.

"Baik Dad," ucap Briana dengan patuh.

Wanita itu segera bangkit dari duduknya, lalu bergegas menuju kamar.

Brukk!

Briana melempar tas yang ia pegang.

Dengan tangan kiri di pinggang dan jari telunjuk tangan kanan Ia gigit, wanita itu terus mondar-mandir memikirkan bagaimana caranya agar ia tidak jadi disupiri.

Arrgghh!

Teriaknya kesal karena kepalanya tidak bisa berfikir.

"Ini semua gara-gara pria itu," geram Briana.

Briana yakin bila dirinya pulang masih di bawah jam 12.00 malam pasti kedua orang tuanya tidak akan bertindak tegas seperti tadi.

Briana berjanji bila ia bertemu lagi dengan pria itu, maka ia akan mencakar wajah tampannya.

Bersambung...

*

*

Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, like dan komentarnya ya...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!