NovelToon NovelToon

HAMIL TANPA DISENTUH

Bab 1

HAMIL TANPA DI SENTUH

"Ada apa dengan namira? apa yang sedang dia lihat?" aku mendekati namira.

Terlihat orang-orang wara wiri karna aku sedang berada di pesta pernikahan teman ku, dion. Awal nya namira menolak tapi aku memaksa, bukan tanpa alasan, semenjak menikah namira tidak pernah keluar rumah, dia seperti ketakutan setiap kali bertemu dengan laki-laki, entah apa alasan nya sampai sekarang namira tidak pernah memberitahu ku.

Setelah berada di belakang nya, tangan ku hendak menyentuk bahu namira tapi ku hentikan ketika mendengar gumaman dari namira,

"Dia..dia..?" Ucap Namira pelan.

namira terlihat menggelengkan kepala, aku penasaran apa sebenar nya yang sedang namira lihat. ku ikuti kearah mana pandangann namira, dapat ku lihat seorang laki-laki tampan dengan setelan jas berwarna navi dengan kaos putih di bagian dalam nya.

"Kalung itu?" Terdengar kembali namira bergumam kecil hampir tidak terdengar.

"Kalung?" Ucap ku pelan.

Ku perhatikan lagi laki-laki itu, benar dia memakai kalung titanium, dapat terlihat jelas dari penampilan nya jika laki-laki itu adalah orang kaya. Dapat di lihat dari pakaiam dan jam tangan yang melingkar di tangan nya.

"Tapi kenapa namira seperti tertarik dengan kalung laki-laki itu?" Gumam ku, tentu saja hanya dalam hati, karna jarak ku hanya satu langkah di belakang namira.

Dapat ku lihat tubuh namira bergetar, bahu nya naik turun, dapat ku pastikan jika namira sedang menangis saat ini. Baru saja aku ingin menyentuh bahu nya tapi namira lebih dulu berbalik dan dia terlihat sangat terkejut melihat ku, dengan cepat namira menghapus bulir yang membasahi pipih nya.

"Maaf gus." namira mengucapkan itu sambil menunduk.

Aku diam sejenak dilema harus bagaimana, ingin bertanya tapi seperti nya tidak tepat, tapi jika diam saja aku tidak akan tenang, bagaimana pun namira sekarang adalah istri ku, walapun kami menikah karna di jodohkan, lebih tepat nya abah dan umi ku yang mengingin kan perjodohan ini.

"Apa kamu mau pulang sekarang?" Tanya ku sambil terus memperhatikan wajah istri ku yang masih tertunduk.

Namira hanya menganggukan kepala. aku pun langsung mengajak nya meninggalkan gedung tempat perhelatan pernikahan dion, sebelum nya aku berpamitan pada teman ku itu.

Terlihat namira bediri di samping pintu depan mobil, aku langsung membukakan pintu untuk nya dan meletakan telapak tangan di atas kepala nya agar tidak terbentur. Hanya ada keheningan dalam perjalanan menuju rumah, aku bingung harus bicara apa. Namira terlihat lebih pendiam, dia seperti sibuk dengan pikiran nya sendiri.

Setelah sampai di rumah, namira langsung masuk ke kamar nya dan aku masih merasa bingung, ada apa dengan namira?. Sebelum menikah namira pernah memberika syarat pada ku, karna awal nya namira menolak perjodohan ini, aku pun sebetul nya ragu, bahkan sampai saat ini aku tidak tau seperti apa wajah istri ku, karna itu pun salah satu syarat dari namira,

Hari itu...

"Aku duduk di bangku halaman belakang rumah namira, tentu dengan jarak satu meter dan tidak berdua ada sepupu namira di antara kami,

Wanita dengan gamis, kerudung dan cadar serba hitam, duduk tertuduk melihat bumi, aku pun melakukan hal sama menatap ke arah lain.

"Jika gus ingin aku menyetujui perjodohan ini, boleh kah aku mengajukan syarat pada mu?"' Tanya namira dengan suara nyari tak dapat ku dengar, aku sampai menajamkan pendengaran.

"Aku tidak ingin kamu terpaksa menerima jika tidak ingin aku akan membantu mu mengatakan nya pada orang tua mu".

Aku berkata demikian agar namira tidak terbebani dengan keinginan para orang tua kami. "Tapi aku berharap kamu tidak setuju dengan usulan ku". Gumam ku dalam hati dengan penuh harapan.

Namira ardila putri, gadis yang sebenar nya sudah ku kenal setahun sebelum pertemuan kami ini. Sudah sejak setahun lalu abah dan umi memberitahukan tentang perjodohan ini, awal nya aku menolak tetapi abah memohon karna abah mengatakan jika ayah namira sakit parah, dan merasa kasihan dengan namira yang akan sebatang kara.

Aku pun mengajukan syarat jika abah harus memberi ku waktu satu tahun untuk mengenal calon ku yang ku tahu bernama namira secara diam-diam, dan abah setuju.

Dalam pengenalan secara diam-diam itu aku jatuh cinta dengan seorang gadis soleha yang selalu menjaga pergaulan nya.

"Bukan seperti itu gus, aku hanya memohon gus mau menerima syarat ku". Namira berkata dengen suara yang bergetar seperti menahan tangis.

"Baik lah, selagi syarat mu tidak memberatkan dan tidak menyalahi aturan, Insa Allah aku terima". namira terdiam, terdengar helaan nafas nya.

"Guss!" ada jeda seolah apa yang ingin di sampai kan nya sangat berat.

"Jangan lihat wajah ku, aku tau di hari ini seharus nya kamu dapat melihat wajah ku".

Namira melihat ke arah ku sebentar lalu kembali menunduk. Aku sengaja diam, memberi waktu untuk namira melanjutkan kalimat nya.

"Setelah menikah langsung bawa aku pindah tapi ke rumah kita sendiri".

'Yang terakhir..." aku mengernyitkan dahi karna namira cukup lama menggantung klimat nya.

"Yang terakhir?" Aku mengulang kalimat namira. Namira lebih dalam lagi menunduk. Terdengar helaan nafas panjang dari mulut nya.

"Tolong jangan meminta hak sebagai suami sebelum aku siap". Suara namira sangat pelan, sampai rasanya aku ingin mengorek telinga ku, takut salah dengan apa yang aku dengar barusan.

"Gak boleh minta hak sebagai suami?" Kata ku dalam hati.

Setelah mengatakan itu namira kembali diam, begitu pun dengan diri ku , hanya ada keheningan. Aku menarik nafas berat.

"Baik lah aku terima semua syarat mu". Namira sebentar melihat ku dengan sorot mata terkejut, mungkin dia tidak peraya aku menerima syarat nya tanpa bertanya alasan nya.

"Aku bukan tidak ingin bertanya, tapi bukan kah hal yang wajar untuk seorang gadis yang baru akan berumah tangga merasakan gugup atau pun gelisa. namira ingin pisah rumah, pasti dia ingin belajar mandiri, namira tidak mengijinkan ku meminta hak ku sebagai suami, pasti karna namira takut dan gugup, aku pun pasti akan gugup. tapi untuk tidak boleh melihat wajah nya? kenapa? bukan kah nanti kita akan menikah, untuk hari ini aku bisa terima, tapi jika sudah menikah aku tetap tidak di ijinkan?"

Bab 2

HAMIL TANPA DISENTUH (2)

Sudah dua minggu pernikahan kami, jangankan menyentuh dia yang sudah halal bagiku, melihat wajahnya saja aku belum dizinkan, Namira hanya meminta waktu juga ridhoku. Karna dia tidak ingin menjadi istri durhaka.

"Tapi kenapa untukku sentuhpun Namira enggan? apa sebegitu terpaksanya dia menikah dengan ku?" aku bertanya pada diri sendiri.

Aku terus memikirkan kejadian tadi subuh, saat sholat berjamaah untuk pertama kalinya, aku menyodorkan tangan tapi namira tak kunjung menyambutnya, hanya terdengar suara lirih dia mengucapkan "maaf."

Aku dan Namira tidur terpisah, dia menempati kamar tamu seperti yang dia katakan sebelum menikah bahwa aku tidak boleh meminta hakku, jika dia belum siap. Aku laki-laki normal bagaimana rasanya tidak dapat menyentuh wanita yang sudah halal, 'Tersiksa,' batinku.

"Silahkan gus!" Namira meletakan kopi hitam dan pisang goreng yang masih mengepul di atas meja kecil di hadapanku.

sungguh dua hidangan yang sangat nikmat ketika dinikmati pagi hari, apa lagi dalam cuaca gerimis seperti hari ini.

Yah, sesuai permintaan Namira setelah menikah aku langsung memboyong Namira ke rumah pribadiku yang sudah kumiliki sebelum menikah. Mengenai pesantren, Abah bilang sudah ada Ustad fatih yang akan membantu Abah. Tapi Abah memintaku untuk rutin datang walau sebulan sekali.

"Mirr!" Panggilku sesaat ketika Namira akan meninggalkanku.

Namira berhenti, menoleh sebentar lalu kembali menunduk. namira selalu seperti itu, untuk melihat pun dia tak sudi.

"Duduklah! temani aku dan kita sarapan bareng," Kataku sambil menepuk bagian sofa kosong di sebelahku. Namira terlihat ragu, dan aku pura-pura tidak melihat, namun akhirnya Namira duduk dengan mengambil jarak dariku.

Aku hanya menghela nafas, "haruskan aku bertanya, tentang kejadian semalam saat di pesta nikahan Dion? Siapa laki-laki yang dia lihat, orang yang dia cintaikah? Tapi yang kutahu selama satu tahun memperhatikannya diam-diam tidak ada seorang laki-lakipun yang dibiarkan mendekatinya." kataku dalam hati.

Hanya terdengar suara hujan, tidak satupun dari kami yang ingin membuka suara.

"Bukankah aku yang menyuruh nya untuk tetap di sini," Aku meruntuki diri sendiri.

"Boleh aku bertanya?" Namira mengganggukan kepala. Sebelum lanjut bertanya kusesap sedikit kopi yang masih panas, kopi buatan Namira memang sangat nikmat sama seperti kopi buatan Umi.

Kuhadapkan tubuhku ke arahnya, kupandangi wajah yang masih tertutup cadar itu berusaha mencari jawaban atas segala keraguanku.

"Mir," panggilku, dan berharap Namira akan melihatku juga, tapi tidak, dia tetap pada posisi yang sama menghadap ke depan dengan kepala tertunduk.

"Aku tau, pasti sangat sulit bagimu menjalani pernikahan ini tanpa adanya cinta, tapi tidak denganku," sengajaku jeda demi melihat reaksi Namira. Namira seperti terkejut, dapatku lihat dari gerak tubuhnya.

Aku bangkit dan mendorong sedikit meja yang ada di hadapanku. kujatuhkan diri bersimpuh di hadapan Namira, dia terliha kaget dan hendak bangkit, namun cepat-cepat kutahan, dengan memegang pergelangan tangannya, tidak apalah toh sudah halal. Tetapi namira berusaha menarik nya dariku, dan aku pun tidak berniat menahan nya, aku tidak ingin membuat nya tidak nyaman. tapi kenapa tiba-tiba tubuh namira terlihat bergetar.

"Apa maksud gus Aslan berbicara seperti tadi?" Akhirnya suara merdu yang kurindukan terdengar juga ditelinga aku, walaupun terdengar sangat pelan. entah kenapa mendengar suaranya saja membuat hati aku berdebar-debar.

"Namira, kamu pasti taunya kita dijodohkan dalam waktu yang singkat, kita di pertemukan lalu di nikahkan. Sebetulnya perjodohan kita sudah dari satu tahun yang lalu, tapi aku meminta pada Abah untuk di berikan waktu mengenalmu secara diam-diam. Di saat itulah aku jatuh cinta sama kamu. jadi aku menikahi kamu atas dasar cinta." ucapku dengan pandangan tidak beralih sedikitpun dari menatap wajahnya, walau hanya dari samping.

"Emm..." kujeda kalimatku karna aku merasa ragu untuk menanyakan sesuatu. Tapi lebih baikku tanyakan untuk mengobati rasa penasaranku.

" aku sempat bingung di satu tahun itu ada beberapa bulan aku tidak pernah melihat kamu, dan aku mencarimu, kamu kemana?" Aku menanyakan tentang bulan dimana Namira tidak sekalipun terlihat.

Namira diam sebelum akhirnya terdengar isakan dari balik cadarnya, cadar itu basah sebelum akhirnya Namira menutup dengan kedua tangan nya, " ada apa sebenarnya dengan istriku?" batinku, menatap wanita dihadapanku dengan perasaan serba salah.

Aku bangkit dan duduk mendekati Namira, dengan ragu aku rangkul bahunya dengan satu tangan dan tangan lainnya membawa kepalanya ke dalam pelukanku. ada perlawanan dari Namira, segeraku usap punggungnya guna menenangkan dan ingin memberitahukan jika semuanya akan baik-baik saja, walaupun aku tidak tau ada apa sebenarnya dengan Namiraku.

Tubuhnya bergetar hebat seperti ketakutan, Namira terus berusaha melepaskan diri, namun aku tetap memeluknya erat. kali ini tidak akan aku biarkan lagi dia lepas dariku. tangisnya semakin pecah, Namira masih menutup wajahnya dengan tangan, aku biarkan wanitaku meluapkan apapun yang membebani pikirannya, kuberikan waktu sebanyak banyaknya dengan membiarkannya menangis dalam pelukanku. aku hanya berusaha menyalurkan rasa cinta yang sudahku miliki untuknya melalui sentuhan kecil. kukecup samar pucuk kepalanya, kuusap lengannya, kukendurkan sedikit pelukanku. terdengar seperti bisikan dari mulut Namira,

"Maaf..maafkan aku."

Aku lepaskan perlahan pelukanku, kutatap wajah yang tertutup cadar itu, cadar yang sudah sangat basah dengan air matanya. Namira menunduk, kuberanikan kembali diri ini mengangkat dagunya guna melihat manik mata coklat muda miliknya yang sangat teduh. Namira ingin menunduk kembali tapi aku tahan,

"Jangan," ucapku.

"Tolong! jangan kamu tundukan lagi kepalamu, aku mohon Mir! jadikan bahuku sandaran untukmu, percayalah padaku jika kamu bisa membagi apapun denganku," kugenggam tangannya, lagi-lagi namira bergetar seperti ketakutan, suara tangisnya berlomba dengan suara hujan.

Namira menarik nafas panjang, guna menetralkan segala rasa didada, dia seperti berusaha ingin menatapku, tapi merasa takut. Aku menyadari itu dan kembali meyakinkannya.

" aku suamimu, aku mencintaimu sepenuh hati, aku halal untukmu, tatap aku tanpa harus takut dan ragu," perlahan Namira kembali mengangkat wajahnya menatapku walau tak intens, tapi itu sudah cukup bagiku.

"Guss, maafkan aku," lirih, suaranya terdengar seperti bisikan, Namira mengatakan itu masih dengan suara isakan.

"A...aku...aku," suara namira seperti tercekat dan terbata-bata.

"tidak pantas untukmu, aku wanita pendosa, aku kotor," Pecahlah tangisan Namira setelah mengatakn itu, sedangkan aku diam tidak mengerti apa maksudnya mengatakan dirinya seperti itu.

tiba-tiba Namira berdiri pergi meninggalkanku dalam kebingungan, kususul Namira yang langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. terdengar isakan pilu dari kamar tamu itu.

"Ya Allah ada apa dengan istriku? haruskah aku menanyakannya pada ayah mertuaku, tapi bagimana jika Ayah tidak tahu apa-apa dan justru malah membuatnya khawatir," aku mengacak rambut merasa prustasi dan gagal sebagai suami.

Sudah berjam-jam Namira tidak kunjung keluar kamar, jam sudah menunjukan pukul dua sore, rasa khawatir menjalar dihatiku. kucoba mengetuk pintu namun tidak ada jawaban. Aku bertambah cemas. akhirnya kuputuskan mengambil kunci cadangan, kubuka pelan tanpa menimbulkan suara, saatku dorong pintu, terlihat istriku yang masih mengenangkan mukena dan masih berada di atas sajadah. Dengan posisi tiduran membelakangi pintu. kuberjalan perlahan dan terdengar dengkuran halus dari mulutnya.

"Sepertinya Namira tertidur. mungkin dia lelah karna banyak menangis. tapi bagaimana ini, tidak mungkin aku membiarkannya tidur dengan posisi seperti itu terus pasti tubuhnya akan sakit nanti. tapi jikaku pindahkan aku takut Namira akan marah padaku, karna saat ini pasti Namira tidak memakai cadar, akukan sudah janji tidak akan melihat wajahnya tanpa seijinnya," aku menggaruk kepala yang tak gatal.

Tapi aku tetap memberanikan diri mendekati Namira, baru saja ingin menyentuhnya Namira menggeliat dan berbalik posisi menjadi telentang. Aku diam membeku melihat ciptaan Allah berupa pahatan yang sangat indah, mataku tidak bisa berkedip apa lagi berpaling. wajah putih mulus yang bahkan lalat pun akan terpelesat. wajah itu tanpa noda sedikitpun, hidung mancung seperti gadis keturunan arab, alis tebal, bibir berwarna pink tanpa polesan lipstik, bulu mata panjang dan lentik.

Kujatuhkan tubuh disamping dirinya, duduk bersimpuh sambil terus mengagumi milikku yang belum bisa aku miliki seutuhnya.

"Sebaiknya aku biarkan saja, aku takut Namira akan kecewa nantinya jika dia tau aku melihat wajahnya, tanpa ijin darinya walaupun tanpa sengaja."

Dalam hati aku memohon,

"Ya Allah berilah hambah kesabaran dan kekuatan untuk dapat menahan gejolak ini," aku meremas dada dan menahan hasrat yang tiba-tiba menyerang urat saraf sensitifku.

Aku lantas bangkit dan keluar kamar, kembali menguncinya dari luar, entahlah bisa saja Namira curiga, bagaiman tidak kunci kamarnya tidak lagi pada tempatnya.

.

Terdengar suara azan ashar, kembali kuketuk pelan pintu kamar Namira, tidak butuh waktu lama pintu terbuka memperlihatkan seorang wanita cantik memakai gamis pink senada dengan kerudung dan cadarnya.

"Sungguh sangat cantik," gumamku pelan.

Matanya bengkak, dan Namira yang menyadari jika aku tengah memperhatikannya langsung menunduk.

"Mau jamaah?" tanyaku, tak ingin memberi kesan memaksa, biarlah mengalir apa adanya.

Namira mengangguk pelan dan aku berjalan guna mengambil wudhu dengan Namira mengekoriku di belakang. dengan perasaan khusuk kami melaksanakan sholat berjamaah, sungguh seperti impianku. setelah selesai sholat dan ber doa aku sengaja tidak berbalik ke belakang selain ingin memberinya waktu untuk memakai cadar, aku juga tidak ingin seperti hari-hari lalu, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama ,membuat Namira ketakutan.

Saat aku ingin bangkit, Namira memanggilku,

"Gus! aku... aku ingin bicara," Namira memilin milin ujung mukenanya, dan sangat terlihat sekali ketegangan diwajahnya.

Aku diam memberinya waktu, aku menghadap ke arahnya kutatap intens setiap pergerakan dari tubuh Namira.

Lagi-lagi Namira menangis dan membuat aku merasa seperti pendosa yang telah menyakiti istriku sendiri.

"Apa kamu sungguh-sungguh tidak bahagia dengan pernikahan ini? tanpa mau sedikitpun berjuang denganku?" ucapku yang sudah tidak dapat menahan lagi rasa sesak di dadaku, aku benci diriku sendiri karna lagi-lagi membuat wanita yang kucintai menangis.

Namira menggelengkan kepalanya kuat-kuat, dan itu membuatku bingung. Hanya isakan tangis Namira yang terdengar, dan aku mencoba menahan gemuruh didada.

Aku beringsut ke depan agar lebih dekat dengan wanita yang sudah bergelar istriku, tapi belum bisa ku miliki. Terlihat Namira menggeserkan tubuhnya ke belakang jelas sekali dia tidak ingin dekat-dekat denganku.

Huuuuffff...

Aku hembuskan nafas guna melonggarkan sesak, kuhirup kembali oksigen dalam-dalam untuk mengisi paru-paru, memberi stok agar aku bisa lebih menahan diri.

"Namira, maaf yah jika tadi ada kata-kataku yang menyakiti hatimu," Tidak kupalingkan pandanganku darinya.

Aku berikan tatapan teduh agar Namira merasa nyaman, kuberikan senyum ketika dia melihatku walau hanya sebentar. kugeser kembali dudukku mendekati Namira, dan tidak ada lagi pergerakan darinya seperti tadi.

"Kamu bisa cerita apapun dengan suamimu ini, kamu tidak perlu takut. aku mencintai kamu tulus karna Allah," sekali lagi aku mencoba meyakinkan Namira.

kali ini namira berani menatapku, manik mata itu terlihat sendu, seperti menyimpan beban yang sangat berat. Aku tetap berusaha memberikan kenyamanan dengan memberinya senyum.

"Apa gus sungguh-sungguh mencintaiku? dengan segala kekurangan aku?" suaranya parau, terlihat Namira berusahan kuat menahan dirinya yang sebenarnya sudah bergetar dan menahan tangis.

"Jika kekuranganmu membuatmu gelisah, akanku katakan jika aku sangat mencintaimu berikut kekuranganmu, karna sejatinya tidak ada manusia yang sempurna, begitupun denganku, yang masih banyak kekurangannya, terutama sebagai suami..." kujeda sesaat dan sedikit mengambil oksigen.

"Sebagai suami aku telah gagal membahagiakan wanita yang sangatku cintai, aku hanya bisa membuatmu menangis." aku tertunduk, menahan sesuatu menjalar didada, dan rasanya sakit.

"Maafkan aku gus, belum bisa menjadi istri seutuhnya, dan belum bisa berbakti." aku dongakkan kepala dan kembali menatap Namira, yang kini juga menatapku.

kedua mata kami bertemu, sepersekian detik tatapan itu mengikat kami, dan Namira kembali tertunduk.

Masih dengan menundukan kepala, dengan tangan menggenggam erat ujung mukena,

"Bulan yang gus tanyakan tentang dimana keberadaan aku..." Namira diam, mengambil jeda.

Sepertinya Namira ingin menceritakan sesuatu yang selama ini membebani pikirannya.

"Kamu kemana?" tanyaku.

Bab 3

HAMIL TANPA DISENTUH (3)

Sepersekian menit aku tunggu, tapi Namira tidak juga membuka suaranya. Hening, hanya itu yang ada diantra kami. Saat aku ingin membuka suara terdengar suara ponsel dari dalam kamar. Sempat aku menoleh ke arah pintu kamar dan beralih memandang Namira. Seakan Namira tau, jika aku meminta persetujuannya, dia pun menganggukan kepala. Aku gegas menuju kamar dan menekan tombol berwarna hijau lalu mengucapkan salam pada seseorang di sebrang sana.

"Assalamualaikum," ucapku setelah telpon terhubung.

"Wa'alaikumsalam!" terdengar suara wanita yang telah melahirkanku.

"Iya Umi! tapi sebaiknya Umi saja yang langsung bicara dengan Namira, bukan apa mi biar tambah akrab aja gitu," kataku beralasan waktu Umi memintaku untuk mengajak Namira ke pesantren. Katanya Umi rindu dengan menantu satu-satunya itu.

Aku berjalan kembali ke musholah kecil rumahku, tinggal beberapa langkah lagi terdengar suara merdu Namira yang sedang murojaah. Biasanya dia melakukannya di dalam kamar, tapi tidak hari ini, mudah-mudahan ini awal yang baik.

Namira masih dalam posisi yang sama, aku tidak langsung memanggilnya karna Namira masih mengaji. Kupejamkan mata guna menghayati suara indah Namira. seolah sadar Namira pun menyudahi bacaannya, lalu melihatku. Aku langsung menjatuhkan diri di depannya dan memberikan ponsel yang masih terhubung.

Namira menaikan alisnya, akupun memberitahukan jika Umi yang sedang melakukan panggilan.

"Assalamualaikum umi," Namira bangkit dan berjalan ke arah taman belakang, setelah melepas mukenanya terlebih dahulu.

Aku yang tidak ingin mengganggu keakraban ke dua wanitaku, berinisiatif untuk membuatkan teh melati kesukaan Namira, "mudah-mudahan setelah meminum teh buatanku yang kubuat dengan penuh cinta, akan membuat perasaan namira jauh lebih tenang," aku senyum-senyum sendiri sambil memegang cangkir bergambar love. Sengajaku pilih cangkir itu sebagai perwakilan hatiku.

Kubawa dua cangkir yang berisi teh dan kopi, melangkah ke taman belakang dengan pelan. sengaja aku tidak ingin Namira mendengar suara sendal yang kupakai tujuannya hanya satu yaitu menguping pembicaraan Umi dengan menantu kesayangannya. Tapi sepertinya aku terlambat,

"Baik Umi, kami akan ke sana, assalamualaikum."

Namira telah mengakhiri sambungan telponnya setelah mengucap salam. Namira terlonjak kaget melihatku tiba-tiba sudah berdiri di belakngnya. Kusodorkan cangkir berisi teh dan mengajaknya duduk dibangku taman sambil menikmati seburat jingga disore hari yang nampak di ujung hamparan sawah.

"Umi bilang apa sayang?" ucapan itu lolos begitu saja diikuti debar jantung, saat tersadar aku langsung menguasai diri agar tidak terlihat salah tingkah, kupalingkan wajah ini sebentar, takut ada rona merah di pipiku. Malu rasanya.

Namira diam, apa dia tidak suka dengan pangilan itu? atau Namira malu dan salah tingkah sama sepertiku. Sepertinya mulai sekarang aku harus membiasakan memanggil Namira dengan panggilan sayang. Aku ingin meluluhkan hatinya, aku juga ingin dia merasakan jika dirinya sangat berarti untukku. aku juga bertekad apapun nanti yang diceritakan Namira aku harus bisa menerimanya dengan iklas dan lapang dada. apapun.

"Coba ah sekali lagi," ucapku dalam hati.

"Sayang, Umi bilang apa?" tetap dengan aksi pura-pura tidak tau apa tujuan Umi menelpon.

Kupegang dada, yang kini berdebar sangat kencang. Ada desiran yang mengalir di tubuhku, ingin sekali rasanya kupeluk tubuh itu, tapi apa daya saat ini aku tak mampu.

"Sabar," hanya itu yang terucap dari hatiku.

"Mmm... itu, tadi Umi minta kita ke pesantren."

"Kalau kamu tidak mau, tidak pa-pa, biar nanti saya beritahu Umi," kataku pura-pura.

Besar harapanku Namira menyetujuinya,tujuan aku hanya satu memberi kenyamanan untuknya, dengan dia berada dilingkungan pesantren nanti akan mampu memberikan ketenangan jiwa dan raga. Dan mudah-mudahan Namira juga akan mau berterus terang tentang masalah yang di simpannya selama ini.

"Aku mau Gus," aku tersenyum lirih mendengar panggilan Gus.

"Bisakah kamu panggil saya dengan panggilan mas atau Abang! asal jangan Gus, kamu itu istri saya bukan murid saya di pesantren," kataku sedikit memelas.

Melihatnya terdiam aku kembali menyahut,

"Senyamannya kamu aja, jika panggilan Gus membuatmu nyaman aku enggak masalah."

Aku hendak berbalik berniat masuk ke dalam rumah karna sebentar lagi waktu magrib, tetapi suara Namira menghentikan langkahku,

"Bang!" dia langung memanggil, membuatku kaget.

Aku berbalik kembali menghadap Namira, terlihat Namira sedikit malu, jari-jarinya saling bertaut, aku tersenyum dan melangkah agar lebih dekat dengannya. tapi lagi-lagi Namira membuat jarak, dia mundur beberapa langkah. melihat itu langkahku berhenti, aku berikan senyum ketika matanya menatapku. Aku tidak ingin namira berfikir macam-macam tentangku. Sungguh aku sangat takut Namira akan salah menilaiku.

"Masuk yuk! bentar lagi magrib, kita persiapan buat sholat," Namira berjalan mengikutiku.

.

Keluar dari kamar mandi, kulihat sudah ada kain dan baju koko diatas kasur, seketika senyum terbit di bibirku. Aku merasa senang dengan perubahan Namira yang sedikit-sedikit sudah mulai menerimaku, entahlah atau itu hanya perasaan ge-er ku saja.

Setelah siap aku mengetuk kamar Namira hanya ingin pamit hendak melaksanakan sholat ke masjid. Tidak ada sahutan sepertinya Namira sedang mandi. kuputuskan menunggunya di ruang tamu, kulirik jam tangan masih sekitar lima belas menit lagi waktu magrib.

Selang lima menit terdengar bunyi ceklek dari pintu kamar Namira. Namira memakai gamis berwarna navi dengan kerudung dan cadar senada jalan ke arahku. aku pun langsung berdiri dan ikut berjalan menghampirinya,

"Abang ke masjid dulu yah, kamu gak pa-pa kan abang tinggal, hmm?" Title yang baruku dapatkan dari Namira langsungku pakai.

Namira hanya mengangguk, aku ulurkan tangan dengan ragu. tanpa diduga tangan berbalut handsock itu mencium takzim punggung tangan ku. Aku langsung berbalik dan berjalan sambil meremas bagian dada sebelah kiri, sepertinya organ yang bernama hati dalam keadaan tidak baik-baik saja saat ini.

"Jika tidak mengingat tentang ketakutan Namira rasanya aku ingin memakannya malam ini."

"Astagfirullahalazim," aku terus beristigfar sepanjang perjalanan ke masjid, agar otakku tidak terus traveling.

Aku baru pulang setelah melaksanakn sholat isya, sudah menjadi kebiasanku melakukan itu. Sesampainya di depan rumah aku tidak langsung masuk, kuhentikan kaki tepat di depan pintu, untuk yang kesekian kalinya memohon kekuatan,

"Ya Allah sungguh berat ujianku menjadi suami, aku harus menahan diri, padahal dia halal bagiku."

Bagaimana bisa aku tidak berhasrat tinggal bersama wanita cantik yang sudah bergelar istri tapi tidak bisaku ga*li.

"Aku laki-laki normal, entah sampai kapan aku bisa menahan diri untuk tidak menyentuhmu, Namira."

Setelah berhasil menguasai hasrat yang terlanjur menggebu, aku ketuk pintu. tidak butuh waktu lama pintu dibuka dan menampakan wanitaku. Di raihnya tanganku dan kembali diciumnya dengan takzim.

"Abang mau langsung makan?" tanya Namira setelah kami masuk.

"Iya, abang pengen makan kamu," jawabku, tentu saja itu hanya dalan hati.

"Boleh! abang ganti baju dulu," aku pun berjalan meninggalkan Namira yang juga pergi ke dapur.

"Sayang, apa jadi malam ini juga kita pergi ke rumah Umi?" tanyaku setelah kami duduk di meja makan.

"Iya, tadi umi telpon lagi, katanya malam ini juga Umi ingin kita ke sana."

"Hmm, selesai makan kita berangkat yah."

Tidak ada lagi obrolan, hanya suara sendok dan piring yang saling beradu. Ekor mataku menangkap pergerakan Namira yang sedang memasukan sendok ke dalam cadarnya. ingin rasanya aku memintanya untuk membuka cadar itu. tapi aku tidak ingin memaksanya, dengan keinginannya sendiri dia akan memperlihatkan wajah cantiknya yang sebenarnya sudah pernah kulihat. Entah kenapa tiba-tiba aku merindukan ingin melihatnya lagi.

"Haruskah kulihat disaat Namira tertidur nanti," Kataku bicara dalam hati.

Arggg...

Aku menggeram, dan itu membuat Namira terkejut, terlihat dari reaksinya yang langsung melihatku.

"Abang kenapa?"

"Apa masakannya tidak enak?"

"Apa mau aku buatkan lagi?"

Serentetan pertanyaan keluar dari mulutnya, sorot matanya memperlihatkan ke khawatiran.

"Enggak...enggak kok! masakan kamu enak kok sayang. maaf yah abang cuma lagi mikirin kerjaan aja," kataku beralasan.

Kamipun kembali melanjutkan makan yang sempat terhenti karna drama yang kubuat tadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!