NovelToon NovelToon

Permainan Cinta

Awal Pertemuan

"Heh, kau mengambil dompetku!berani-beraninya!" bisik Richie sambil menggenggam lengan Reina cukup kencang, karena ia merasa gadis remaja itu telah menggerayangi saku texudo yang dikenakannya saat mereka bertubrukan. Bahkan, Richie langsung menariknya secara paksa menuju tempat yang agak senyap dari hiruk pikuk aktifitas orang-orang di mall siang hari itu.

"Enak saja kau, main tuduh orang sembarangan!" kilah Reina, ia berusaha menyembunyikan dompet itu supaya Richie tak berhasil menemukannya.

"Kau tak usah berbohong!" bentak Richie

sambil membelalakan kedua matanya saat menatap tajam wajah Reina yang tampak gugup. Sementara, cengkraman tangannya semakin lama semakin erat, membuat Reina merasa kian terancam.

"Lepasin tanganku!" rengek Reina yang berusaha melawannya, tetapi Richie tak menggubris, ia hendak menyelesaikannya secara empat mata. Namun, dengan cepat Reina menginjak punggung kaki Richie, hingga ia berhasil meloloskan diri, kemudian berlari sekuat tenaga untuk menghindar.

"Hei...!" teriak Richie, hingga terjadilah kejar-kejaran diantara keduanya, hal itu membuat semua orang yang berpapasan tampak keheranan dan bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi diantara mereka.

Meski begitu, Richi berusaha untuk tetap bersikap elegan dan dewasa, ia tak akan menghakimi Reina begitu saja, apa lagi di tempat umum. ia khawatir, jika melakukan tindakan tersebut, maka posisi Reina tidak akan aman, dan tentu saja ia akan menjadi sasaran amukan masa.

"Tidak, aku tidak akan setega itu padanya," batin Richie, ia terus berusaha mengejar kemana Reina berlari, tetapi ia benar-benar telah kehilangan jejaknya.

Gadis itu terus menghindar dan keluar dari area mall, kini Reina berhasil bersembunyi di tempat yang sepi dan aman, terlihat banyak sekali beberapa drum disana, tampaknya itu merupakan area gudang minyak yang sudah terbengkalai.

Dadanya terlihat kembang kempis, dengan napas yang terengah-engah, disertai keringat yang mengucur deras di kening dan pelipisnya. Namun, ia tak peduli dengan kondisinya saat ini.

"Huh, masa bodoh, yang penting ini dompet sudah ada di tanganku," batin Reina dengan senyum menyeringai.

Sedangkan Richie sudah tak melihatnya sama sekali, kini ia hanya bisa menghela napas kasarnya dalam-dalam karena sudah kehilangan dompetnya atas perbuatan Reina.

Memang, tak ada uang satu lembar pun di dalam dompetnya, tetapi kartu identitas, kartu debit, kredit, dan lain sebagainya ada di dalam sana, hal itu membuat Richie kelimpangan.

"Aish!" Richie memekik, sambil mengusap kasar wajah dan rambutnya yang sudah basah oleh keringat karena kejar-kejaran tadi.

Dengan cepat, Richie langsung menghubungi pihak Bank agar segera membekukan dan memblokir kartu ATM dan lainnya.

"Berengsek tuh perempuan, cantik-cantik kok jadi copet!" gerutunya, tetapi ia tak bisa berbuat banyak atas apa yang sudah menimpa padanya siang hari ini.

Richie memutuskan kembali ke mall, saat itu mobilnya tengah terparkir di basement, karena ia baru saja menghadiri acara pertemuannya dengan client di salah satu restoran berbintang yang berada di dalam mall tersebut.

"Aku masih ingat betul wajahnya, awas saja, kalau sampai bertemu kembali, tak akan aku ampuni perbuatannya," gerutu Richie yang kesal terhadap perbuatan gadis remaja itu, dengan senyuman mengancam.

Bahkan saat itu Richie mengemudi sambil mengumpat, ia berharap bisa bertemu kembali dengan Reina, karena ia merasa harus memberi pelajaran kepadanya.

Amarahnya sudah tak terbendung, sehingga ia ingin mencari pelampiasan untuk meluapkan segenap kekesalan yang tengah ia rasakan.

Tiba di depan Mansion, kedatangannya di sambut oleh Betran, yakni seorang Security kepercayaan keluarganya.

"Selamat siang, Tuan," sapa Betran dengan ramah, saat Richie membuka kaca mobil.

Tak ada senyum, dan balasan ramah yang tergambar dari raut wajah Richie saat ini, karena ia baru saja mengalami insiden yang membuat hatinya teramat kesal.

Betran tahu betul karakter Richie, sehingga ia tak ambil hati, Pria berusia 30 tahun tersebut, dengan cepat membukakan pintu gerbang untuk Putra tunggal majikannya.

"Terimakasih, Betran," ucap Richie dengan wajah datar, dan diangguki cepat oleh Betran.

"Ya, sama-sama, Tuan muda," balas Betran, kemudian ia menutup kembali pintu gerbang itu.

Richie segera memarkirkan mobil sport mewahnya di laman garasi yang begitu luas, banyak sekali koleksi mobil-mobil dan juga motor mewah yang berjejer disana, semuanya tentu saja berharga fantastis.

Sehabis itu, ia keluar dari dalam mobil, dengan amarah yang masih bersarang di dalam dada.

"Ah, sialan!" umpatnya, ia berjalan menuju ke ruang utama, kebetulan pada hari itu kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah, mereka sedang pergi untuk menjalankan ritual tradisi keAgamaan dan adat mereka sebagai Masyarakat keturunan.

"Papa sama Mama sedang mengikuti sembahyang Arwah, aku menyesal tidak ikut." Richie merobohkan tubuhnya diatas sofa, lalu sang ART menghampirinya.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Airin, ia berinisiatif menawarkan diri untuk melayani Putra majikannya.

"Rin, tolong ambilkan wine dan sloki!" titahnya, dan Airin mengangguk, kemudian ia beranjak untuk mengambilkan keduanya.

"Baiklah Tuan," kata Airin, tak beberapa lama ia kembali membawakan nampan dengan sebotol wine dan juga sloki yang diminta oleh Richie barusan.

Ia langsung mendaratkannya diatas meja, kemudian ia merendahkan tubuh dengan hormat di hadapan Richie.

"Ini Tuan, silahkan!" kata Airin, dan Richie mengangguk tanpa memperlihatkan keramahan di wajahnya terhadap Airin.

"Thanks ya, Rin," balasnya, akan tetapi Airin terpana dengan pesona yang dimiliki oleh Richie, hingga wanita berkulit sawo matang itu tertegun selama beberapa detik saat melihat Richie sedang menuangkan sebotol wine kedalam gelas kecil tersebut.

Richie yang merasa dirinya sedang di perhatikan, ia langsung menoleh kearah sang ART yang sedari tadi mematung di sebelahnya.

"Kenapa kau masih saja berdiri disitu?!" Richie mendengus kesal sambil membelalakan kedua matanya, hal itu berhasil membuat Airin kikuk, kemudian ia memutuskan untuk berlalu dari hadapan Richie.

"Eh, maaf Tuan, kalau begitu saya permisi," pamitnya, dan ia pergi kearah belakang.

"Ya sana lah!" usir Richie dengan kasar terhadap Airin.

Richie menggeleng tak habis pikir dengan kelakukan aneh sang ART, padahal saat itu Airin sudah tampil secantik mungkin dengan make-up tebal yang menghiasi wajah manisnya. Namun, sedikitpun tak membuat hati Richie bergetar, karena Airin jauh dari tipe-nya.

Richie menyukai wanita yang bertubuh ramping, berkulit cerah, meskipun tak terlalu tinggi.

Seketika, ia teringat kembali akan sosok Perempuan yang sudah membawa dompetnya, emosinya kembali memuncak.

"Gadis itu..." Richie bergumam dengan amarah sambil mengempalkan kelima jemarinya, lalu memukuli permukaan sofa sekeras-kerasnya untuk meluapkan emosi yang mendera hati dan pikirannya saat ini.

Ia mengingat tatapan matanya yang begitu jernih dan indah, sehingga ia tak bisa melupakan wajah cantiknya, hal itu mungkin akan permanen dalam ingatan.

"Ya Tuhan, pertemukan kembali aku dengannya." di alam bawah sadarnya ia berdoa demikian, tetapi dengan cepat ia kembali tersadarkan.

"Astaga, untuk apa aku berdoa seperti itu, dasar bodoh!" Richie merutuki dirinya sendiri.

dengan perasaan kesal yang berkecamuk, ia menuangkan kembali minuman beralkohol itu, lalu meneguknya berkali-kali, sampai kepalanya pening, dan kedua matanya berubah menjadi merah.

"Aish!" Richie memegangi kepalanya sendiri, lalu ia berjalan kearah kamar dengan langkah yang sempoyongan effek minuman tersebut.

Sesampainya di kamar, ia merobohkan tubuhnya diatas tempat tidur sambil membuka anak kancing kemejanya satu per satu karena merasa gerah, meski ia menyalakan AC dan meningkatkan suhunya.

"Kartu identitas, dan semuanya ada di sana!" rancaunya, pikirannya terus tertuju saat insiden itu.

...

Sementara di tempat lain...

Sepulang dari jalanan, Reina melangkah tergesa-gesa menuju kedalam kamarnya, karena ia sudah tak sabar untuk membuka dompet hasil jarahannya.

"Pasti duitnya banyak nih, secara kan, dari penampilan dan tampangnya saja sudah mencerminkan Pria berkelas." Reina tengok kanan kiri untuk melihat situasi, ia takut jika kelakuan buruknya itu di ketahui oleh kedua orang tua dan adik laki-lakinya, sehingga ia harus ekstra hati-hati.

"Kalau mereka tahu aku mencopet dompet orang, ah mampus aku!" batin Reina, dadanya kembang kempis, dan jantungnya berdegup kencang, ia benar-benar dalam situasi yang mendebarkan pada saat ini.

"Ah, aman lah!" lanjutnya, ia melangkah menuju tempat tidur, kemudian duduk bersila, lalu membuka topinya sambil mengibas-ngibas tubuhnya yang kegerahan menggunakan topi tersebut.

"huh!" Reina menghela napas sebelum mengeluarkan sesuatu yang berbentuk persegi dan berwarna coklat dari saku hoodie yang dikenakannya, lalu ia dengan cepat membuka isi dompet itu.

Dan...pada akhirnya ia harus menelan kekecewaan.

"Hah? loh, kok tidak ada uangnya sih!" batin Reina, ia hanya menemukan kartu Identitas, dan beberapa kartu lainnya. Meski begitu ia tak bisa menggunakan kartu-kartu tersebut, terlebih Richie sudah memblokir dan membekukan semuanya.

"Ah, semuanya gak guna!" Reina melempar kartu-kartu tersebut dengan rasa kecewa dan emosi. Namun, dengan cepat, ia kembali meraih kartu identitas milik Richie yang tergeletak di bawah lantai, kemudian ia membacanya karena penasaran dengan nama Pria tersebut.

"Nama: Richie Richard..." Reina membaca dengan serius semua data diri Richie yang tertera di kartu indentitas tersebut.

Lalu ia menemukan kartu lainnya yang merupakan kartu nama, disana tertulis dengan jelas nama perusahaan yang di Pimpin oleh Richie.

"XiuMeiCouture.Corporation," gumam Reina saat membaca nama Perusahaan di dalam kartu nama tersebut.

"Richie Liem," sambungnya, saat membaca Nama Richie dengan Marga Liem di belakangnya, lalu disana tertera no ponsel yang bisa di hubungi.

"Oh, jadi dia ini seorang Pengusaha." Reina mengangguk-anggukan kepalanya, ia kembali memasukan kartu-kartu itu kedalam dompet milik Richie, kemudian menyimpannya di dalam lemari.

"Mudah-mudahan orang rumah tak menemukan dompet ini," harapnya, dengan rasa was-was dan cemas.

meski ia merasa terkesan dengan jabatan yang di miliki Richie ia tetap tak ingin bertemu kembali dengannya.

...

Cobaan Hidup Betubi-tubi

Tak beberapa lama, kedua orang tua Reina tiba di rumah.

sang Ibu baru saja mengantar Ayahnya berobat pasca terjatuh, karena Pak Tedi merupakan seorang buruh bangunan.

Namun, nahas, nasib malang tak bisa di tolak, sehingga Pak Tedi mengalami musibah, yang mengakibatkan kaki sebelah kirinya mendapat cedera yang cukup serius, sehingga beliau tidak biasa melanjutkan tugasnya. Terlebih, ia memiliki riwayat penyakit yang cukup parah, hingga performa kerjanya tak lagi maksimal.

Sementara, Bu Eli adalah seorang buruh tani, ia terkadang membantu tetangganya di perkebunan cabai, itupun tidak sering, alias musim-musiman, sehingga pendapatan tak mencukupi.

Untuk makan sehari-hari saja terkadang harus berhutang, apa lagi untuk membayar Spp sekolah, bahkan sudah nunggak 4 bulan, terlebih Reina sebentar lagi akan mengikuti berbagai ujian menjelang kelulusan.

"Bu, uangnya sudah ada belum?" Reina menengadahkan telapak tangan, sang Ibu menggeleng sambil menghela napas panjangnya, sementara sang Ayah tengah merintih kesakitan.

Beliau bisa berobat, karena memang biayanya di tanggung oleh atasan di tempat kerjanya. Sementara, untuk sehari-hari, mereka tak punya apapun lagi, terpaksa mereka harus menahan rasa perih di perutnya jika kehabisan uang atau stock makanan, itupun mengandalkan subsidi Pemerintah.

"Maafkan kami Nak, kami belum punya uangnya, tapi sebisa mungkin Ibu akan berusaha," jawab Bu Eli, membuat Reina langsung menekuk wajahnya sambil sesegukan, karena nasib baik belum berpihak pada mereka.

Saking kekurangan biaya, sampai-sampai Benny sang Adik harus putus sekolah, dan ia terpaksa membantu bekerja di kebun Pak Usep bersama sang Ibu dan beberapa tetangga lainnya, jika Pak Usep sedang membutuhkan tenaga tambahan.

"Masa aku harus putus sekolah seperti Benny? kan tanggung Bu," keluh Reina, tak terasa air matanya berurai membasahi pipi.

"Lagian, kalau aku sudah lulus nanti, aku akan bekerja untuk membiayai sekolah Benny," tekadnya, tetapi sang Ibu tetap tak bisa berbuat banyak, karena keadaan memang sedang morat marit alias kekurangan.

"Maafkan kami, Nak." hanya kalimat itu yang bisa diucapkan oleh Bu Eli kepada Putri sulungnya yang tengah merajuk.

Merasa tidak nyaman berada di rumah, Reina memutuskan untuk pergi keluar lagi, setidaknya udara segar bisa membantunya berpikir dengan jernih saat menghadapi situasi saat ini.

"Kau mau kemana?" tanya Pak Tedi yang saat itu tengah mengurut kakinya sendiri, karena masih merasakan sakit dan ngilu.

"Mau cari angin," jawab Raina ketus, ia melangkah keluar pintu, kemudian duduk di bale-bale depan rumahnya.

Disaat ia tengah melamun, tiba-tiba salah satu tetangga dekat rumah menghampiri.

"Ngelamun saja kau!" Erik berusaha mengagetkannya dengan cara menepuk pundak Reina dari belakang, sontak gadis itu terkejut dibuatnya.

"Astaga, Abang ini bikin kaget saja," balas Reina, ia balik memukul lengan Erik, dan Pemuda itu terkekeh.

"Kenapa kau?" tanya Erik kembali, Reina lagi dan lagi menekuk wajahnya di hadapan Erik.

"Aku sedang pusing mikirin ekonomi keluarga!" jawabnya ketus, air matanya mengalir, kali ini lebih deras, hal itu membuat Erik merasa tak tega.

"Tak usah kau menangis seperti itu, justru aku datang kesini mau menawarkan kerjaan buat kau," kata Erik, Raina dengan antusias langsung membelalakan kedua matanya yang masih berurai.

"Wah? Kerjaan apa nih Bang?" tanya Reina dengan sangat antusias karena tak sabar dengan jawaban yang akan di berikan Erik.

"Hapus dulu tuh ingus dan air mata kau!" titah Erik sedikit bergurau, membuat Reina terkekeh, dan langsung mengusap air mata serta cairan kental yang keluar dari kedua lubang hidungnya menggunakan ujung bajunya sendiri.

Sroott...

"Eh, Buju! kau ini jorok sekali jadi perempuan!" cibir Erik, dan Reina terbahak.

"Hahaha...sorry Bang, sorry," ucap Reina. "kerjaannya apa nih Bang?" lanjutnya kembali bertanya.

"jadi Office Girl," jawab Erik, "sepulang dari sekolah kau bisa bekerja sampai sore, pas bubaran kantor, gimana?" lanjutnya bertanya, membuat Reina sedikit berpikir.

"Hah, jadi Office Girl? tukang bersih-bersih, gitu? yang benar saja?" tanya Reina dengan raut wajah seperti tengah mengecilkan profesi tersebut.

"Ya, memangnya kenapa? yang penting kan kerjaan halal, dan cuannya gede loh, soalnya ini bukan Perusahaan kaleng-kaleng, masa kau tidak mau?" Erik berusaha kembali meyakinkan Reina.

"Memang, gajinya berapa sih, Bang?" tanya Reina kembali, membuat Erik berdecak kesal.

"Ahelah! belum apa-apa sudah tanya gaji! jadinya kau mau apa kagak nih? kalau kagak ya sudah, aku kasih ke orang lain saja!" Erik tampak kesal, ia hendak beranjak dari hadapan Reina.

"Eh, tunggu Bang! gimana sih, maen pergi-pergi aja, aku kan belum selesai berbicara!" cegah Reina, kemudian Erik berbalik, dan kembali dengan malasnya.

"Jadinya mau apa kagak, nih? harus pasti, jangan plin plan jadi orang!" desak Erik terhadap Reina yang terlalu banyak berpikir.

"Iya deh, aku mau ambil job itu Bang, tapi...memangnya tidak masalah kalau aku masih duduk di bangku sekolah?" tanya Reina sedikit ragu-ragu.

"Ya tidak masalah sih, asal kau berusia 18 tahun, dan kau harus menyerahkan CV atau lamaran terlebih dulu. Oh ya, memangnya saat ini usiamu berapa?" Erik balik bertanya.

"Kebetulan, bulan depan mau 18 tahun, dan aku juga sudah punya KTP," jawab Reina untuk meyakinkan Erik, dan diangguki cepat olehnya.

"Ya sudah, bagus tuh. Jadi, sekarang kau segera bikin lamaran, besok sepulang sekolah, kau datang kesana, biar Abang yang antar." Erik merasa bersemangat, begitu juga Reina, sedikitnya ia bisa bernapas lega, karena dengan bekerja setidaknya ia bisa membiayai dirinya sendiri, selebihnya membantu orang tua serta sang adik.

"Terimakasih Ya Tuhan," batin Reina, ia tersenyum.

"Bang, terimakasih ya," ucapnya kepada Erik, dan diangguki oleh Erik.

"Ya, sama-sama, senang bisa membantumu," balas Erik, kemudian ia berlalu dari hadapan Reina untuk menemui kawan-kawannya di tongkrongan.

"Yes!" Reina begitu sumringah, ia dengan semangat kembali kedalam rumah, lalu masuk kamar untuk menyiapkan CV.

...

Singkat cerita, pagi itu Reina bangun sambil menggeliatkan tubuhnya dengan malas, ia beranjak dari tempat tidur, lalu bergegas untuk mandi dan bersiap-siap kembali ke Sekolah.

Saat ia membuka lemari baju, ia kembali menemukan dompet milik Richie, lalu ia menatap lekat-lekat benda berwarna coklat itu.

Di satu sisi, ia merasa amat sangat bersalah.

"Apa aku balikin saja kepada pemiliknya ya?" gumam Reina, ia merasa bingung dibuatnya.

"Sebaiknya begitu, besok saja aku kirim lewat pos ke alamat yang tertera di kartu namanya," lanjutnya, setelah itu, ia langsung berpakaian, kemudian mengikat rambut panjangnya ke belakang.

Setelah dirasa cukup, ia keluar dari dalam kamar, dan menatap keatas meja makan.

"Loh, sarapannya mana Bu?" tanya Reina, ia tak menemukan satupun makanan diatas meja, hanya ada gelas-gelas kosong yang tertata dan teko air minum.

"Maaf Nak, Ibu tidak punya uang buat beli beras dan lain sebagainya," jawab sang Ibu memelas, membuat Reina tak tega.

"Kak, aku punya mie instan, kalau Kakak mau, untuk Kakak saja." Benny saat itu akan memasak mie. Namun, ia tak tega melihat Kakaknya yang akan berangkat ke sekolah tak sempat sarapan apapun karena memang tidak ada apa-apa.

"Tidak usah Ben, ini kau masak saja." Reina berusaha menolak, dan hendak mengembalikan mie instan satu-satunya itu kepada sang Adik.

"Tidak Kak, aku ikhlas Kok, Kaka masak aja mie nya. Nanti siang, aku dan Ibu akan bantu-bantu lagi di kebun Pak Usep." Benny berusaha meyakinkan sang Kakak, hal itu membuat Reina berurai air mata karena kebaikan Benny.

"Terimakasih ya Ben, kalau Kakak sudah punya kerja, Kaka berjanji akan membantumu supaya kau bisa melanjutkan sekolahmu lagi," harap Reina, dan Benny mengangguk.

"Iya Kak, amin, aku selalu berdoa untuk Kakak," kata Benny, keduanya sama-sama terisak penuh haru.

Benny sendiri usianya terpaut 2 tahun lebih muda dari Reina, harusnya Benny sudah kelas 1 SMA, jika ia melanjutkan sekolahnya. Namun, karena keterbatasan ekonomi, harapan untuk melanjutkan sekolah harus kandas di tengah jalan.

Seusai menyantap sarapannya, Reina bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

"Aku berangkat dulu, ya," pamit Reina, tak lupa ia mengecup punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian.

"Ya, hati-hati di jalan, Nak," balas kedua orang tua serta sang Adik secara serentak.

Reina melangkah dengan hati yang lapang, sedang jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh. Sementara, ia tak punya ongkos untuk naik kendaraan umum, terpaksa ia harus berjalan kaki, karena tak ada pilihan lain.

"Begini nasib jadi orang melarat, apa-apa susah. Enak bener nasib orang kaya di luar sana, mau apapun bisa kesampaian, sedangkan aku? mau makan saja susah," keluh Raina, ia meratapi nasib dirinya sendiri. Meski begitu, ia bersyukur karena memiliki kedua orang tua yang masih lengkap, dan juga sang Adik, mereka sangat sayang dan perhatian padanya.

"Astaga, kok bisa-bisanya aku mengeluh dengan takdir? bahkan di luar sana masih banyak yang hidupnya lebih menderita dari aku, harusnya aku pandai bersyukur bukan malah seperti ini. Ayo Reina semangat! Kau pasti bisa," gumamnya menyemangati diri sendiri.

Beberapa saat kemudian ia sampai di depan gerbang sekolah, ia sengaja datang pagi-pagi supaya tak kesiangan, karena berjalan kaki memakan waktu setengah jam.

Saat sedang berjalan melewati lapangan basket, ia melihat beberapa siswa siswi sedang menyaksikan Melvin dan kawannya sedang bermain basket.

Melvin sendiri dikenal sebagai siswa tertampan dan terpintar di sekolah, ia bagaikan seorang Idola yang banyak di gemari oleh para siswi, tak sedikit pula siswa yang mengagumi Melvin karena kehebatannya.

"Melvin...Melvin..." teriak para siswi dengan sangat antusias, sementara Reina yang juga menyukai Melvin hanya bisa mengagumi sosoknya dalam diam.

"Dia keren banget," gumam Reina menatap kagum pada Melvin saat itu. Tak disangka dari jarak agak jauh, Melvin memberikan senyuman padanya, membuat hati Reina berbunga-bunga, dan jantungnya berdetak tak menentu.

"Astaga, apa benar dia tersenyum padaku barusan?" Reina bertanya-tanya dalam hati, ia tak cepat menyimpulkan, karena takut jika Melvin bukan tersenyum padanya, sehingga Reina membalikan tubuhnya dengan cepat kebelakang.

Seketika perasaan itu buyar, ternyata Melvin tersenyum kepada Monita, bukan pada dirinya.

"Eugh, tuh kan! untung aku tidak Ge'eR duluan," Reina merutuki nasib dirinya yang selalu tidak beruntung dalam hal apapun.

Ketika ia melangkah, tiba-tiba sepatu sebelah kanannya jebol, sehingga jari-jari kakinya keluar semua.

"hahaha...sepatumu lapar tuh!" ledek Hilfan, dan tawa teman-teman lainnya menyertai.

"berisik! tidak usah menertawakanku seperti itu!" teriak Reina, ia tak kuasa menahan tangisnya.

Reina berlari menuju kearah kelas, sambil menenteng sebelah sepatunya yang jebol.

"Hahaha...ada Cinderella dari mana nih?" ledek Fara, Reina yang tak bisa menahan emosinya, ia hendak memukul punggung Fara menggunakan sepatu jebol yang sedang di tentengnya, dengan cepat Fara menghindar.

"Eit, gak kena!" Fara terkekeh, dan Reina benci dengan tingkah lakunya itu, hingga akhirnya Reina berusaha untuk tak mempedulikan mereka yang tengan membuli dan mencemooh dirinya.

Di saat ia tengah dirundung nestapa, tiba-tiba Selly mendekatinya, tampaknya hanya ia satu-satunya teman yang peduli.

"kau yang sabar ya, Rein." Selly meletakan telapak lengannya di bahu Reina, lalu Reina mengangguk pelan sambil berurai air mata.

"Ya Sell, terimakasih ya, kau selalu baik padaku," ucap Reina, dan Selly tersenyum.

"Ya, sama-sama Rein, itulah gunanya seorang sahabat," kata Selly dengan kerendahan hatinya.

...

Singkat cerita...

Sepulang sekolah, sesuai janjinya kemarin kepada Erik, Reina sudah bersiap-siap untuk melamar pekerjaan ke perusahaan yang di maksud oleh Erik.

"Eh, kau sudah siap rupanya," sapa Erik, Pemuda itu sudah mengendarai sepeda motornya untuk mengantar Reina.

"Ayo cepat Bang! aku sudah siap nih." Reina berdiri dengan penuh semangat, lalu ia naik di belakang jok motor Erik.

"Let's Go!" Erik segera tancap gas. Di sepanjang jalan terjadi obrolan ringan, mereka bercanda sambil tertawa-tawa. Hingga tak terasa, keduanya sudah berada di depan pintu gerbang perusahaan besar tersebut.

Reina tidak membaca papan nama perusahaan itu secara jelas, yang ia tahu hanya memakai singkatan. Terlebih, ia ingin segera melamar pekerjaan disana, sampai lulus interview.

"Kau tekan bel, lalu bilang sama Security, kalau kau mau melamar menjadi Office Girl," pesan Erik, dan Reina mengangguk meski penuh dengan keragu-raguan, tetapi ia berusaha untuk memberanikan diri.

"Baik Bang, makasih ya," ucap Reina.

"Ya, sama-sama, good luck ya Rein." Erik mengempalkan kelima jari lengannya seraya menyemangati Reina. "Go, Go, Go..."

"Oke," balas Reina dengan penuh keyakinan.

Dengan langkah pelan dan gugup ia mendekat ke arah pintu gerbang sambil membawa amplop CV berwarna coklat.

ia menekan bel yang terdapat di sisi gerbang berlatar putih tersebut, tak lama setelah itu, salah seorang Security bertubuh tambun menghampirinya dari dalam sana.

"Selamat Siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang Security yang bernama David.

"Maaf Pak, saya mau melamar pekerjaan sebagai Office Girl," jawab Reina dengan santun, lalu David mengangguk, karena memang sedang membutuhkan beberapa Office Girl dan Office Boy untuk tambahan.

David membukakan pintu kecil di sebelah gerbang, kemudian menyuruh Reina untuk masuk.

"Silahkan!"

Reina melangkahkan kakinya kedalam perusahaan besar tersebut.

"Terimakasih Pak," ucapnya, dan David mengangguk, kemudian ia segera menghubungi divisi HRD untuk meng-interview Reina dengan segera.

"tunggu sebentar ya!" kata David, dan Reina mengangguk dengan rasa was-was, dan harap-harap cemas.

Seusai menelpon, Reina di suruh untuk menghadap sang HRD dan diantar oleh David.

Saat memasuki ruangan kantor, ia melihat beberapa deret bilik tempat kerja para karyawan di ruangan tersebut. Mereka terlihat sibuk dengan tugasnya masing-masing, sambil menatap layar monitor, dan suara ketukan jari jemari lincah yang beradu dengan keyboard.

"Nah, silahkan masuk!" kata David saat mereka sampai di depan pintu ruangan HRD.

Reina di sambut dengan ramah oleh Wilson, ia di suruh duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kebesarannya.

"Boleh saya lihat CV mu?" pinta Wilson. Dengan gugup, Reina menyerahkan amplop coklat itu kepadanya, tiba-tiba seseorang dari ambang pintu memanggil.

"Wil, sudah berapa orang yang masuk?" tanya seorang Pria yang tak di ketahui oleh Reina, karena gadis itu tak berani menoleh saat sedang di Interview oleh Wilson.

"Sudah ada 5 Pak, ini 1 orang lagi baru masuk,dan mau saya Interview," jawab Wilson.

...

Bersambung...

Hampir Bertemu Kembali

Kini perhatian Wilson kembali tertuju pada Reina.

"Siapa yang memberi tahu ada lowongan untuk OB dan OG di Perusahaan ini?" tanya Wilson, sambil membuka amplop coklat tersebut, kemudian membaca data diri Reina satu per satu.

"Saya tahu dari tetangga saya, Pak," jawabnya dengan gugup, dan Wilson mengangguk sambil membaca daftar Riwayat hidup Reina dan lain sebagainya dengan seksama.

"Jadi, kau ini masih sekolah?" Wilson sedikit ragu untuk memperkerjakan Reina. Namun, dengan cepat Reina memohon.

"Please Pak, tolong terima saya, saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Memang benar saya masih sekolah, tetapi setiap pulang sekolah saya bisa kok menyempatkan untuk bekerja sampai sore, atau sampai malam juga tidak apa-apa, saya mohon sekali." Reina mengiba di hadapan Wilson, membuat pria tampan itu tak tega.

"Hmm...baiklah-baiklah, kalau begitu tunggu sebentar, saya harus minta konfirmasi dari Boss sebelum menerimamu bekerja disini, karena terkendala dengan statusmu yang masih pelajar sekolah." Wilson langsung menghubungi Richie lewat panggilan interkom.

"Halo Pak," serunya, dan Richie menyahuti dari sebrang.

"Ya, ada apa?" tanya Richie, kemudian Wilson menjelaskan kepadanya secara detail, hingga terjadi sedikit perdebatan yang cukup panjang. Meski begitu, Wilson berhasil meyakinkan sang Boss, karena ia merasa kasihan sekali terhadap Reina yang sangat membutuhkan pekerjaan ini.

Pada akhirnya, Richie memperbolehkan Reina bekerja di perusahaannya sebagai Office Girl.

"Ya sudah, dia boleh bekerja paruh waktu disini, asalkan tidak mengecewakan!" kata Richie dengan suara yang lantang, terdengar langsung oleh Reina yang sejak saat tadi sempat hilang harapan.

"Syukurlah," batin Reina mengucap rasa syukur yang luar biasa.

Lalu, panggilan interkom berakhir, dan Wilson menerimanya bekerja hari itu juga.

Wilson menghubungi divisi lainnya untuk mengarahkan Reina.

"Halo, Anisa..."panggilnya di telpon kepada Anisa yakni seorang kepala kebersihan.

"Ya, ada apa Pak?" sahut Anisa dari sebrang.

"Kau bisa keruangan saya sebentar? kau sedang tidak sibuk, kan?" tanya Wilson kembali.

"Tidak sibuk kok, tadi saya baru mengawasi pekerja baru," balas Anisa dari sebrang telpon.

"Ya sudah, di ruangan saya ada satu orang lagi, nanti kau arahkan, dan kau kasih seragam untuk dia, kebetulan yang masuk kali ini perempuan." Setelah melakukan obrolan cukup panjang, Wilson menaruh kembali gagang telponnya, kini mereka sedang menantikan kedatangan Anisa.

Tak beberapa lama, Kepala kebersihan itu datang, lalu memberikan sapaan hangat kepada keduanya.

"Anisa, ini Reina, tolong kau arahkan dia!" Wilson menyerahkan Reina kepada Anisa, lalu gadis bertubuh bohai itu mengangguk, kemudian mengajak Reina keluar dari ruangan Wilson.

Sementara, saat itu Richie akan pergi ke perusahaan cabang di kota Bekasi, sehingga ia tak sempat melihat wajah Reina karena sedang terburu-buru, ada keadaan darurat disana.

"Christ, kau yang menggantikan saya sementara disini ya," perintahnya kepada sang Asisten kepercayaannya yakni Christian.

"Baiklah Pak, memangnya Bapak mau kemana?" tanya Christ penasaran.

"Saya mau ke kantor cabang Bekasi, saya di suruh Pak Marthin untuk menemuinya," jawab Richie, ia menyebut nama Ayahnya, Marthin, dengan sebutan yang lebih profesional ketika di tempat kerja.

"Oh, baiklah Pak, kalau begitu, hati-hati," kata Christian, dan Richie mengangguk, kemudian berlalu dari hadapannya dengan langkah yang tergesa-gesa menuju ke arah pintu lift pribadinya.

Sedangkan, Anisa tengah mengarahkan Reina, ia di beri seragam yang masih baru untuk di kenakan.

"Rein, kau ganti dulu bajumu di fitting room sebelah sana!" titahnya, dan Reina mengangguk, kemudian ia melangkah menuju ke fitting room sambil membawa seragam yang baru di berikan oleh Anisa.

"Huh, cape deh!" keluh Reina. Sebenarnya, ia keberatan menjalani profesi ini, tetapi tak ada cara lain, meski begitu ia musti tahu diri.

"Harusnya aku bersyukur," batin Reina, lagi dan lagi ia menyadari karena sudah mencibir profesi tersebut.

"Reina, mestinya kau ini tahu diri!" Reina merutuki kebodohannya.

Dengan penuh semangat, ia sudah berganti pakaian, menggunakan satu set seragam berwarna biru bercampur abu-abu.

Ia lalu membenahi ikatan rambutnya, kemudian bercermin sambil tersenyum seraya menyemangati diri sendiri.

"Ayo Reina, kau pasti bisa!" tekadnya.

Seusai itu, ia keluar sementara tas dan bajunya ia taruh di dalam loker yang sudah di sediakan.

"OG baru ya?" tanya Romlah sesama OG, tetapi Romlah sudah 3 tahun menjadi OG di perusahaan tersebut.

"Iya Mbak," jawab Reina sambil tersenyum, sementara Romlah menatapnya sedikit sinis.

"hemm," balas Romlah, ia kemudian hendak mengambil sesuatu di dalam loker miliknya, karena saat itu sedang jam istirahat.

Reina kembali menghampiri Anisa yang sejak saat tadi menunggunya.

"Sudah Bu," ujar Reina, dan Anisa mengangguk sambil mengangkat jempolnya keatas seraya memuji penampilan Reina di balik seragam yang dikenakannya.

"Ya sudah, yuk ikut saya lagi!" titahnya, dan Reina mengangguk, kemudian membuntuti langkah Anisa dari belakang.

Anisa senantiasa memberikan arahan-arahan penting tentang apa saja yang musti di kerjakan oleh Reina, dari saat mulai datang hingga pulang.

"Kau paham kan apa yang saya jelaskan tadi?" tanya Anisa, dan diangguki cepat oleh Reina.

"Saya paham sekali Bu," jawabnya.

"Dan, ingat satu hal, jika Pak Boss meminta sesuatu, kau harus segera mengerjakannya. Misalnya, dia minta di buatkan minuman, atau dia memerintah untuk photo kopi, kau harus gesit jangan lelet, karena Pak Boss tak suka pegawai yang menye-menye. Ada beberapa orang yang seperti itu, alhasil mereka langsung di pecat." Anisa mencoba menjelaskan, hal itu membuat Reina takut jika berbuat kesalahan kepada Boss, bahkan ia belum tahu jika Boss yang di maksud adalah Pria yang sudah ia copet dompetnya saat kemarin.

"Iya Bu, terimakasih sudah menjelaskan peraturan pekerjaan ini kepada saya, sebisa mungkin saya akan bekerja giat dan hati-hati, apa lagi jika berhadapan dengan Boss." Reina bertekad, karena ia memang sedang membutuhkan uang untuk bayar sekolah dan biaya sehari-hari.

"Ya sudah, bagus. Sekarang, kau ambil sapu, lalu lakukan tugasmu!" perintah Anisa dengan semangat sambil menunjukan ruangan tempat penyimpanan perkakas kebersihan.

"Saya nyapu mulai dari mana, Bu?" tanya Reina yang masih belum paham tata letak ruangan kantor perusahaan tersebut.

"Dari lobby, kemudian ke ruangan bilik kerja karyawan." Anisa kembali memberikan bimbingan dan arahan kepada Reina.

"Oh, oke, siap Bu, terimakasih ya," kata Reina dengan hati yang ceria.

"Ya, kau hati-hati kerjanya!" Anisa memperingatkan, kemudian ia berlalu dari hadapan Reina seusai memberinya arahan.

Reina melangkah dengan hati yang gugup saat melakukan pekerjaan pertama kalinya, telapak tangannya menjadi dingin dan gemetar saat memegangi gagang sapu.

Ia hendak turun ke lantai bawah menggunakan lift, tetapi ia sempat akan salah masuk, dengan cepat seseorang memperingatkannya.

"Hei, jangan masuk lift yang itu!" teriak Siska, yakni seorang karyawan lapangan.

"Oh, memangnya gak boleh ya?" Reina menatap lekat wajah wanita berusia 26 tahunan tersebut.

"Ya, karena itu adalah lift khusus petinggi di Perusahaan ini, menangnya kau mau kena perkara gara-gara hal itu?!" Siska berkata dengan bahasa yang ketus, kemudian ia kembali ke bilik kerjanya setelah memperingatkan Reina.

"Oh, astaga." Reina tercengang, hampir saja ia melakukan kesalahan di hari pertamanya bekerja.

Lalu ia melangkah ke arah lift yang satunya lagi, tetapi saat itu angkanya masih tertera 40, sehingga ia musti menunggu lama. Namun, karena merasa malu berdiri mematung di depan pintu lift, ia memutuskan turun menggunakan tangga.

saat itu ia sedang berada di lantai 2, kebetulan ia di tempatkan disana, jadi tugasnya hanya di lantai 1 dan 2.

Setelah tiba di bawah, ia segera menjalankan aksinya.

Beberapa pasang mata diam-diam melirik, karena wajah Reina begitu manis meski polos tanpa make-up.

"OG Baru ya?" tanya Wenny yang menjabat sebagai seorang receptionis di depan lobi.

"Hehe, iya Bu, baru masuk barusan," jawab Reina, dan Wenny mengangguk.

"Oh, kalau begitu, kerja yang rajin ya," kata Wenny, dan diangguki cepat oleh Reina.

Reina begitu telaten menyapu setiap debu yang bertebaran di bawah lantai, dan ia harus menyisir anak tangga satu persatu untuk di sapu juga, pekerjaan di hari awal memang sangat berat baginya, tetapi ia tak akan menyerah.

Tak butuh waktu lama, ia tiba kembali di lantai 2, kemudian ia menyisir tiap-tiap lantai di bilik kerja karyawan satu per satu.

Tiba-tiba salah satu karyawan iseng melempar bungkus permen kebawah lantai, dan memasang wajah meledek kepada Reina.

"Tuh, sapuin!" titah Riky, membuat Reina menghela napas kasarnya, dan mendengus kesal.

"Iya Pak." Reina langsung menyapunya ke permukaan pengki.

"Sabar Reina, sabar!" batin Reina, beberapa pasang mata karyawan laki-laki diam-diam meliriknya.

"Cantik juga nih anak," batin Samuel, tetapi ia kembali fokus dengan layar komputernya.

Singkat cerita, Reina selesai dengan tugas menyapunya, lalu ia kembali menemui Anisa yang sedang berada di pantry.

"Bu, ada tugas lain lagi?" tanya Reina menawarkan diri.

"Ya, kau sudah beres memangnya?" Anisa kembali bertanya, dan Reina mengangguk, terlihat bulir keringat menitik di wajahnya.

"Kau pasti cape, kan?" Anisa merasa begitu khawatir.

"Kemarilah!" titahnya sambil melambaikan tangan kearah Reina, lalu gadis itu mendekat, dan Anisa menyuruhnya mengambilkan minum untuk dirinya sendiri.

"Ayo, duduklah dulu!" Anisa menyiapkan satu kursi untuk Reina, dan gadis itu mendaratkan bokongnya diatas kursi tersebut, kemudian meneguk habis air minum di dalam gelas jangkung yang sedang di genggamnya.

"Saya tahu, kau pasti lelah, tapi itu baru awal. lama-lama, kau akan terbiasa," tutur Anisa dan Reina mengangguk, ia mengerti dengan yang namanya pekerjaan tidak ada yang enak.

Sehingga terjadilah obrolan ringan diantara keduanya, Reina mudah sekali akrab dengan Anisa biarpun usia mereka selisih 9 tahun, yang jelas Anisa lebih matang dan dewasa darinya.

Kedekatan mereka membuat Romlah panas, karena Anisa selalu ketus padanya, tetapi kali ini Reina sebagai OG baru mendapat sambutan baik dari Anisa.

"Huh, masih baru sudah belagu!" batin Romlah sambil mendelikan kedua matanya kearah Reina.

Reina yang menyadari hal itu hanya bisa pasrah dan menerima keadaan, karena tak semua orang akan bersikap baik padanya, dan itu adalah hal yang biasa ia terima.

"Rein..." seru Anisa, dan ia melirik.

"Ya, Bu," sahutnya.

"Sehabis ini kau sapu dan pel ruangan Pak Boss ya, kau tahu kan letak ruangannya?" tanya Anisa, dan Reina menggeleng.

"Tidak tahu Bu," jawab Reina, lalu Anisa mengantarkannya sampai depan ruangan sang Boss.

"Nah itu ruangannya." Anisa mengarahkan jari telunjuknya, lalu ia meminta Reina untuk beres-beres, dan juga bersih-bersih di dalam sana.

"Kerjanya hati-hati ya, disana banyak sekali surat-surat penting, dan barang-barang elektronik yang mahal, kau kerja musti jujur, soalnya banyak sekali mata CCTV yang mengintai." Anisa kembali memperingati.

"Baiklah Bu, oh ya, di dalam ada orang?" Reina merasa gugup jika seandainya ia harus berhadapan langsung dengan sang Boss, yang desas desusnya di kenal galak dan angkuh.

"Kebetulan Pak Boss sedang tidak ada, kau beruntung hari ini, karena tidak bertemu dengannya," jawab Anisa, mendengar hal itu membuat Reina bisa bernapas dengan lega.

"Syukurlah," batin Reina, dengan langkah penuh semangat ia menuju ke ruangan tersebut sambil membawa sepaket peralatan kebersihan.

Pertama kali membuka ruangan sang Boss, ia berdecak kagum, seketika aroma peppermint menyeruak ke dalam indra penciumannya.

Ruangan yang sangat bersih, dan rapih, seperti tak perlu untuk di bersihkan ulang.

Meski begitu, Reina musti profesional.

Ia menatap kearah dinding terdapat pigura photo milik Pak Marthin, yakni Pemilik perusahaan tersebut yang merupakan ayah dari Richie, hingga Reina menyangka jika sang Boss memang sudah berumur.

"Oh, jadi dia Bossnya," batin Reina sembari menatap lekat-lekat pigura photo tersebut.

"Biarpun sudah mulai menua, tapi dia itu masih terlihat gagah dan tampan," sambungnya lagi menatap kagum terhadap sosok Pak Marthin Julian.

...

bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!