Aku terbangun dengan tubuh bersimbah keringat. Tubuhku menggigil ketakutan dan dahiku dipenuhi oleh keringat. Aku menyeka keringat di dahiku dengan punggung tanganku. Aku mengalihkan tatapanku ke seluruh penjuru kamarku.
Jantungku masih berdegup begitu cepat dan tak beraturan. Aku menatap telapak tanganku yang gemetaran. Aku menarik selimut yang tersingkap dari tubuhku dan kembali bergelung di dalam selimut.
Aku masih mengingat dengan jelas mimpiku. Sebenarnya sudah tiga kali aku mengalami mimpi yang sama. Seperti sebuah film yang selalu diputar ulang oleh alam bawah sadar ku. Namun ini bukanlah seperti film romantis yang sering aku tonton dengan teman-temanku di kampus ketika pulang kuliah, melainkan ini adalah sebuah mimpi buruk dan mengerikan yang tidak ingin aku alami dalam kehidupan nyata.
Kini aku kembali bergelung di bawah selimut dan berharap degup jantungku bisa melambat. Aku berbaring dengan tubuh meringkuk untuk meredakan rasa panik dan ketakutan yang masih belum sepenuhnya hilang akibat dari mimpi buruk yang aku alami barusan.
Aku kembali mengingat kejadian dalam mimpi itu. Di sana, aku sedang berdiri di sebuah tempat asing yang terasa begitu berbeda dengan dunia tempat tinggalku saat ini. Tempat itu seperti sebuah negeri dalam dongeng.
Di sana, aku melihat sebuah bangunan besar seperti istana yang begitu megah. Pilar-pilar yang menyangga bangunan itu begitu besar. Semua sudut di bangunan itu seolah dilapisi oleh emas. Bangunan itu tampak menyilaukan mataku. Aku mengernyitkan mataku oleh kilauan yang terpancar dari istana itu.
Kemudian aku melihat seorang pria dengan pakaian seperti jubah istana melangkah keluar dari istana itu. Pria itu menatap tepat ke arahku. Entah kenapa aku merasa tatapan pria itu seolah menembus ke dalam jiwaku. Aku membalas tatapannya dengan sorot kekaguman yang tidak aku sembunyikan.
Pria itu bertubuh tinggi dengan badan kekar. Jubahnya menjuntai hingga ke lantai tempat ia berdiri. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna keemasan seperti bangunan tempat tinggalnya. Di bahu kirinya terdapat busur panah yang juga terbuat dari emas. Ah, apakah ini adalah tambang emas? Kenapa semua benda di sini seolah terbuat dari emas?
Pria itu masih menatap tajam ke arahku. Aku berdiri mematung di tempatku. Aku masih bingung bagaimana caranya aku bisa sampai ke tempat ini. Entahlah. Aku mengalihkan pandanganku berkeliling.
Aku melihat berbagai macam binatang yang menakjubkan. Ada rusa bertanduk emas yang menatapku dari balik pepohonan. Ada bunga-bunga indah yang belum pernah aku temukan di tempat asalku. Bahkan aku bisa melihat peri-peri kecil berterbangan dan menari-nari di balik pepohonan. Bahkan semua pohon di sini terasa seolah memiliki mata yang bisa melihatku.
Ini benar-benar negeri dongeng! Aku melihat seorang kurcaci yang melangkah keluar dari rumah pohon yang berukuran sangat besar bahkan sepertinya pohon itu jauh lebih besar dari rumahku. Kurcaci itu menatapku sekilas namun kemudian ia memalingkan wajah seolah aku adalah makhluk menjijikkan baginya.
Aku kembali menatap ke arah pria yang tadi mengenakan jubah kerajaan. Betapa terkejutnya aku ketika pria itu kini berdiri tepat di depanku! Aku bersumpah bahwa aku melihat pendar keemasan yang mengelilingi pupil matanya. Makhluk apakah ia sebenarnya? Aku yakin dia bukan manusia!
Aku melangkah mundur dengan gugup. Pria itu bergerak mendekat ke arahku. Aku menelan ludah dengan susah payah. Pria ini mempesona sekaligus membuatku takut. Aku mengepalkan kedua tanganku di samping tubuhku.
"Sayangku," bisik pria itu.
Bisikan itu....
Ya, bisikan itu yang selalu hadir dalam mimpiku. Bisikan itu yang benar-benar terasa nyata. Aku bahkan tidak mampu membedakan apakah yang aku alami adalah mimpi atau kenyataan. Ini benar-benar terasa nyata.
"Cathleen," bisiknya seraya mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku menatap ke arah tangannya yang terulur ke arahku. Mataku kembali menatap wajahnya.
"Datanglah padaku!" Kali ini bisikannya seperti perintah.
Aku mengulurkan tanganku ke arahnya. Tangan kami nyaris bersentuhan ketika mimpiku tiba-tiba berubah.
Aku tidak lagi berdiri di hadapannya. Kali ini aku berbaring di atas sebuah peti yang terasa keras. Pria itu berdiri tepat di atasku dengan pedang di tangannya. Aku mengerutkan dahiku menatap ke arahnya.
"Evander!" Jeritku ketika ia mengangkat pedang itu dan mengarahkannya tepat ke arah leherku.
Mimpiku berakhir.
Aku kembali ke duniaku sendiri. Sudah tiga kali aku mengalami mimpi buruk seperti ini. Terlebih lagi aku merasa seolah bisikan itu terdengar begitu nyata seolah bisikan itu hadir di duniaku saat ini. Aku merasakan bulu di leherku meremang mengingat kembali bisikan pria itu yang menyebut namaku.
Evander. Aku mengingat nama pria itu di dalam mimpiku. Siapa sebenarnya pria itu? Kenapa dia sepertinya menyuruhku untuk mendatanginya? Negeri apa sebenarnya yang merupakan tempat tinggalnya. Aku semakin penasaran.
Aku mencoba memejamkan mataku namun aku tak kunjung terlelap. Kilatan-kilatan tentang mimpiku selalu diputar ulang oleh otakku. Aku kembali mendengar dengan jelas suara pria itu ketika menyebut namaku. Bagaimana ia mengetahui namaku? Berbagai pertanyaan itu berkecamuk di dalam kepalaku.
Aku tidak akan bisa kembali terlelap. Aku memutuskan untuk keluar dari balik selimutku dan turun dari tempat tidurku. Aku melangkah keluar kamarku dan menuju ke dapur untuk mengambil minuman dingin.
Aku menuangkan segelas coke dan meminumnya dalam beberapa tegukan. Aku menghela nafas dalam untuk menenangkan diriku. Aku meletakkan gelas kosong itu ke atas meja makanku di dapur.
Aku kembali ke kamarku dengan perasaan yang berangsur-angsur jauh lebih tenang. Aku menutup pintu kamarku dan duduk di tepi tempat tidurku. Aku mengecek jam di ponselku. Ternyata ini masih tengah malam, batinku.
Aku tidak ingin kembali tidur. Aku takut mimpi itu kembali datang menghampiriku di alam bawah sadar ku. Aku memutuskan untuk berjalan ke arah jendela. Tirai jendela di kamarku tidak aku tutup. Aku berdiri di ambang jendela dan menatap ke arah luar.
Malam itu sinar rembulan begitu cerah. Kilau keemasannya mengingatkanku akan kilauan emas di negeri yang aku datangi dalam mimpi. Aku mendekapkan kedua tanganku di tubuhku ketika serangan panik itu kembali muncul.
"Cathleen,"
Bisikan itu...
Aku terlonjak kaget dan memekik pelan. Aku menutup tirai jendela kamarku dan aku berlari ke arah tempat tidurku. Aku naik ke atas tempat tidurku dan bersembunyi di balik selimut. Bayangan tentang pria itu kembali terbayang di balik pelupuk mataku. Semakin aku memejamkan mata, semakin jelas pula bayangan pria itu.
Aku melingkarkan tanganku memeluk lututku. Aku berbaring meringkuk di bawah selimut. Tidak! Ini hanya mimpi! Bisikan itu hanyalah mimpi buruk ku saja! Aku meyakinkan diriku sendiri.
Keesokan harinya, aku berusaha untuk tetap beraktivitas normal seperti biasanya. Aku berusaha untuk melupakan mimpiku semalam. Aku juga berusaha untuk mengenyahkan ingatanku akan bisikan yang terasa terlalu nyata di telingaku.
Di kota kecil ini, aku tinggal sendirian. Ayahku telah meninggal sejak aku masih sangat kecil. Aku bahkan tidak bisa mengingat wajahnya dengan jelas saat ini. ku tidak mengerti mengapa ibuku tidak memiliki satupun foto ayahku. Seharusnya pasangan akan selalu menyimpan foto satu sama lain bukan? Ah, sudahlah. Mungkin memang ibuku tipikal wanita yang tidak terlalu menyukai hal-hal klise semacam itu.
Sementara ibuku, dia tinggal bersama suami barunya di belahan bumi yang lain. Aku dan dia bukan hanya terpisah beberapa kota, melainkan kami berjarak antar benua. Ibuku menikah dengan seorang pria asal turki yang ia temuai ketika ia sedang berlibur di sebuah pantai beberapa tahun lalu.
Bukannya ia sengaja meninggalkan ku di kota kecil ini, melainkan aku memang tidak ingin terus-menerus tinggal dan menjadi beban baginya. Hingga aku memutuskan untuk hidup mandiri dengan bekerja sebagai penjaga toko di kota ini. Aku harap ibuku bisa hidup bahagia dengan suaminya.
Aku tidak memiliki banyak teman saat ini. Aku tipikal orang yang lebih menyukai kesendirian. Mungkin hal ini terjadi karena aku memang sudah terbiasa hidup mandiri sejak lama. Bahkan selama ini pun aku tidak pernah memiliki teman dekat untuk berbagi cerita. Toh, hidupku tidak memiliki hal-hal yang menyenangkan untuk diceritakan.
Aku menghabiskan sarapanku pagi ini yang hanya berisi omelet telur dan segelas jus jeruk. Aku meraih tasku dan bersiap untuk berangkat bekerja. Aku meninggalkan rumah dan mengendarai mobil tuaku yang belakangan ini sering mogok.
Aku melaju meninggalkan rumah dan menuju ke arah toko tempatku bekerja. Dalam perjalanan menuju toko, aku melewati sebuah pinggiran hutan yang jujur saja selalu membuat bulu kudukku merinding ketika aku melintasinya. Aku selalu berharap mobil tuaku tidak akan pernah mogok di tempat seperti ini.
Selama ini aku sering mendengar tentang kisah-kisah yang beredar di masyarakat bahwa hutan ini adalah hutan yang misterius. Beberapa tahun lalu ada dua orang remaja yang mencoba menjelajah ke dalam hutan itu namun mereka berdua tidak pernah kembali lagi ke sini. Tim penyelamat melakukan pencarian selama berhari-hari namun tetap saja tidak membuahkan hasil.
Aku mencoba menepis ingatan tentang hal itu. Beberapa menit lagi aku akan sampai ke tempat kerjaku. Aku menambah kecepatan mobilku. Tiba-tiba mobilku berhenti dan mogok. Sial! Hal yang tak kuharapkan akhirnya terjadi.
Aku mencoba menghidupkan mesinnya beberapa kali namun nihil. Aku memukulkan tinjuku pada setir.
"Dasar mobil sialan!" umpatku.
Aku menjulurkan kepalaku ke luar jendela mobil dan berharap akan ada siapapun yang melewati jalan ini untuk menolongku. Namun tampaknya pagi ini jalanan begitu sepi. Aku menghela nafas dengan kesal. Aku melirik jam tangan di pergelangan tanganku. Aku pasti akan terlambat, batinku.
Aku melangkah keluar dari mobil dan menutup pintu mobil dengan kencang hingga mobil ku seolah akan terpental ke samping. Aku menendang ban mobilku untuk mengalihkan emosiku yang mulai ingin meledak keluar.
Aku melihat sebuah mobil sedan melaju kencang ke arahku. Aku mencoba melambaikan tanganku ke arah mobil itu dan berharap siapapun orang yang mengendarainya akan menolongku. Mobil itu melewati ku tanpa memelankan lajunya sedikitpun. Huft.
Aku menyandarkan tubuhku ke bagian samping mobilku. Sudah beberapa menit berlalu namun tidak ada kendaraan lagi yang melewati jalan ini. Ini benar-benar kota kecil yang sepi. Aku benar-benar sial!
Aku menoleh ke belakang dan melihat hutan di sana. Hutan itu nampak begitu hijau. Sinar matahari bersinar di antara celah-celah pepohonan. Aku kembali teringat akan kisah menghilangnya dua remaja beberapa tahun yang lalu. Aku segera memalingkan kepalaku dari hutan itu. Aku menunduk lesu.
Tiba-tiba aku merasakan hembusan angin dingin yang berasal dari hutan di belakangku.
"Ini hanya angin yang berasal dari pepohonan!" Aku meyakinkan diriku sendiri.
Namun anehnya, angin ini justru membuat bulu di belakang leherku berdiri. Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku mencoba untuk mengambil nafas dalam dan menghembuskannya agar bisa menenangkan diriku yang sepertinya sudah mulai gelisah.
Aku bernyanyi pelan untuk mengalihkan kegelisahanku. Namun sepertinya nyanyianku tidak mampu meredakan rasa gelisah ku yang semakin meningkat. Aku menghentikan nyanyianku dan kembali merasakan bulu-bulu halus di leherku merinding.
"Cathleen, datanglah!"
Aku terlonjak kaget dan mataku membelalak ketika aku mendengar suara bisikan itu. Aku merasa tenggorokanku tercekat. Aku menoleh ke arah hutan di belakangku. Hening. Hanya dedaunan yang bergerak tertiup angin. Sudahlah, ini hanya ilusiku saja!
Aku kembali menyandarkan tubuhku pada mobilku. Aku menunggu kendaraan yang akan lewat dan mungkin aku akan menumpang sampai ke toko.
"Sayangku,"
Aku memekik dan menutup kedua telingaku dengan tanganku untuk meredam suara bisikan itu. Tidak! Tidak! Aku memejamkan mataku dan menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Tidak mungkin! Kenapa hutan itu seperti memanggilku? Itu adalah suara pria yang kudengar dalam mimpiku.
Aku meringkuk sambil memejamkan mataku. Kedua tanganku masih tetap menutup telingaku. Aku harus pergi dari tempat ini!
"Hei!" Aku mendengar suara samar-samar seseorang memanggilku.
"Hei, Cathleen! Mobilmu mogok lagi?"
Aku mencoba membuka mataku dan mendapati Aaron sedang melangkah keluar dari mobilnya dan berjalan ke arahku.
"Kenapa kau meringkuk seperti bayi ketakutan begitu?" Ia tertawa seraya mengulurkan sebelah tangannya ke arahku.
Aaron adalah teman kerjaku. Ia seorang pria muda dengan potongan rambut pendek seperti tentara. Dulu dia mengaku ingin menjadi tentara, namun karena ia tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolahnya, akhirnya ia memutuskan untuk bekerja. Dia adalah satu-satunya teman yang bisa dibilang "akrab" denganku di kota ini.
"Yeah, si rongsokan tua ini mulai berulah lagi," sungutku seraya memukul kap mobil tuaku.
"Kalau begitu ayo kau berangkat bersamaku saja," ujarnya mengerling ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.
Aku menangguk dan berjalan bersamanya ke arah mobilnya. Kami berdua sudah berada di dalam mobilnya. Ia memutar lagu kesukaanku. Aku bersenandung mengikuti irama lagu. Ia mengemudikan mobilnya melaju ke arah tempat kami bekerja.
Suara bisikan itu terdengar lagi di telingaku. Sontak aku menoleh ke belakang dengan mata melotot ke arah hutan.
"Hei, sudahlah! Tidak akan ada seorangpun yang mencuri mobilmu!" Aaron mengucapkannya dengan tawa renyah yang membuatku jengkel.
Aku mendengus tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bisikan itu...
"Hei, kenapa kau menjadi begitu pendiam?" tanyanya.
"Mungkin karena aku sedang jengkel pada si rongsokan tua itu," tukasku.
Sebenarnya aku masih memikirkan bisikan itu. Aku yakin tadi bisikan itu berasal dari hutan itu. Kenapa seolah hutan itu memanggilku untuk mendatanginya. Kenapa pula suara pria dalam mimpiku sama dengan suara yang tadi aku dengar berasal dari hutan? Mungkin ini hanya halusinasiku saja, ujarku untuk menenangkan diriku.
Kami berdua sampai di tempat kerja. Aku keluar dari mobil Aaron dan masuk ke dalam toko. Pagi itu tampaknya belum begitu ramai pengunjung. Aku sekilas melirik ke arah jam tanganku yang menunjukkan pukuk 8.15, itu artinya kami terlambat lima belas menit.
"Hei," sapa Margareth.
"Hai," aku membalas sapaannya seraya melangkah menuju meja kasir tempatku bekerja.
Margareth, si pemilik toko. Ia adalah perempuan paruh baya dengan tubuh lumayan gemuk dan wajah yang selalu tampak ramah. Selama aku bekerja di tokonya, tak pernah sekalipun ia marah padaku ataupun Aaron. Itulah sebabnya aku menyukai tempatku bekerja meskipun pendapatanku hanya cukup untuk biaya hidup saja. Bagiku itu sudah lebih dari cukup.
"Maaf, aku datang terlambat." Aku mengucapkannya dengan ekspresi wajah menyesal.
"Setidaknya aku tidak kesepian karena kau masih datang menemaniku hari ini," balasnya seraya tertawa cekikikan.
"Ya begitulah. Si rongsokan tua ku mulai berulah lagi. Ia mogok di tengah jalan," ujarku sambil mengedikkan bahuku jengkel.
Aku menoleh ke sekeliling toko dan mendapati pagi itu masih belum ada pengunjung.
"Mogok dimana?" tanyanya.
"Di dekat hutan ...," kalimatku terputus saat aku merasakan bulu di belakang leherku meremang ketika aku kembali mengingat tentang hutan itu serta bisikan yang tadi sempat aku dengar di sana.
"Maksudmu hutan misterius?" Ia mengerutkan kedua alisnya.
"Kau percaya pada mitos yang beredar?" Aku menanyakannya dengan alis terangkat.
"Sebaiknya kau jangan pernah dekat-dekat dengan tempat berbahaya itu, Nak!"
"Ayolah! Itu hanya mitos!" seruku dan tertawa.
Tawaku berhenti ketika aku melihat wajah Margareth yang tampak serius dan menatapku dengan tajam. Aku berdiri kikuk karena tatapannya yang terpaku padaku.
"Emmm... Sebenarnya ada apa dengan hutan itu?" tanyaku gugup.
Ia menghembuskan nafas berat sebelum menjawab pertanyaanku.
"Entahlah, aku tidak tahu pasti. Tapi sebaiknya kau jangan dekat-dekat dengan hutan itu."
Aku mengerucutkan bibirku.
"Baiklah."
Ia tampak lega mendengar jawabanku. Aku melanjutkan pekerjaanku.
...****************...
Hari itu toko tidak terlalu ramai seperti biasanya. Aku merasa hari ini berjalan membosankan. Aku ingin segera pulang dan memperbaiki mobilku. Bagaimanapun, mobil tua itu adalah satu-satunya kendaraan yang aku miliki.
Aku kembali teringat tentang ibuku. Seperti apa kehidupannya saat ini? Mungkin dia memiliki fasilitas yang serba ada. Baguslah. Aku bahagia memikirkan ibuku bisa hidup dengan layak dan bahagia.
Aku mendengar suara Aaron yang memanggil namaku.
"Cathleen!"
Aku menoleh ke arahnya.
"Bagaimana kalau kita makan bersama sebelum pulang?" Ia tampak begitu antusias.
"Baiklah," ujarku singkat.
"Apakah kau masih memikirkan rongsokan tua itu?"
"Tentu saja!" jawabku jengkel.
"Baiklah, nanti aku akan menghubungi bengkel agar mobilmu diperbaiki." Dia sengaja menghiburku.
"Jangan repot-repot begitu," ujarku.
"Tidak apa-apa,"
"Baiklah, terima kasih."
Kami berdua membereskan beberapa hal sebelum menutup toko. Setelah semuanya selesai, kami berdua pergi meninggalkan toko. Seperti rencana awal, kami berdua makan bersama.
Aaron mampir di sebuah restoran mewah yang menurutku terkesan terlalu berlebihan jika hanya untuk makan sepulang kerja. Aku menatapnya dengan wajah penuh tanda tanya.
"Ayo turun!" Ia begitu bersemangat.
"Sepertinya tempat ini terlalu mahal," gumamku.
"Tidak jika untuk makan berdua dengan orang spesial." Dia tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke arahku.
Aku mengerutkan kedua alisku.
"Aaron ... " Aku memalingkan wajahku ke arah jendela dan menatap ke luar untuk menghindari tatapan Aaron.
"Cathleen ... " panggilnya dengan suara rendah.
Aku sengaja tidak menjawabnya.
"Aaron, kau tahu, kau adalah teman terbaik yang pernah aku miliki, dan aku ingin kau akan selalu menjadi temanku." Aku harap ia mengerti bahwa aku menolaknya dengan halus.
Sebenarnya sudah sejak lama Aaron menunjukkan perhatian yang berlebihan terhadapku, namun aku sering mengabaikannya.
"Cathleen ... " panggilnya kembali.
Aku menoleh ke arahnya dan berharap ia akan mengerti bahwa aku tidak bisa menganggapnya lebih dari sekedar teman.
Tiba-tiba ia mencengkram bahuku dengan kedua tangannya dan menarik ku dengan paksa ke dalam pelukannya. Aku berusaha untuk melepaskan diri dari pelukannya namun ia begitu kuat.
Ia memaksa untuk mencium ku. Aku meronta dan berusaha untuk menghindari ciumannya. Aku semakin meronta ketika ia mengeratkan cengkraman tangannya di bahuku. Aku seperti seekor hewan yang ingin melarikan diri dari pemangsanya.
Aku semakin meronta dan aku merasakan satu tanganku bisa terlepas dari cengkeramannya. Aku menampar wajahnya dengan kekuatan sekuat tenaga. Sepertinya tamparan ku di wajahnya membuat dirinya sadar. Dia melepaskan cengkraman tangannya di bahuku.
"Mm-maafkan aku," ujarnya tergagap dengan wajah menyesal.
Aku merasakan mataku memanas oleh air mata yang hampir jatuh. Aku tidak mampu berkata apa-apa. Tenggorokanku seperti tercekat. Aku turun dari mobilnya dan berlari sekuat tenaga untuk menjauh dari Aaron.
Aku membiarkan air mataku jatuh. Aku berlari hingga kakiku terasa sakit. Nafasku terasa memburu dan jantungku berpacu begitu cepat. Aku terus berlari dan berlari tanpa memikirkan kemana arah yang akan aku tuju.
Aku seperti kehabisan nafas ketika aku merasakan kakiku begitu sakit akibat berlari. Aku memutuskan untuk berhenti. Aku terengah-engah. Dahiku basah oleh keringat. Aku menundukkan tubuhku dan kedua tanganku berada di lututku.
Aku mencoba mengambil nafas dan mengistirahatkan kakiku dan tubuhku. Aku baru menyadari bahwa aku telah berlari begitu jauh. Aku menghembuskan nafas dan berdiri tegak seraya menoleh ke sekeliling. Aku menyadari saat ini aku telah sampai di dekat hutan tempat mobilku mogok tadi pagi.
Aku menyeka keringat di dahiku dengan punggung tanganku. Aku berdiri untuk menenangkan nafasku. Di sana, si rongsokan tuaku masih berada dalam posisi yang sama seperti tadi pagi ketika aku meninggalkannya.
Setelah nafasku semakin teratur, aku memutuskan untuk berjalan ke arah mobilku. Saat ini mungkin aku hanya berjarak sepuluh meter dari mobilku ketika perhatianku teralih ke arah sebuah cahaya yang menarik perhatianku.
Cahaya itu berasa dari hutan di sampingku. Cahayanya tampak samar. Mungkin itu adalah cahaya dari lampu senter, pikirku. Aku melanjutkan langkahku dan berjalan ke arah mobilku namun cahaya itu menari perhatianku.
Aku menoleh ke arah cahaya itu. Aneh sekali. Barusan aku merasa itu seperti cahaya senter, namun kali ini cahaya itu semakin terang dan tampak semakin lebar. Aku menatap ke arah cahaya tersebut. Semakin lama, cahaya itu semakin melebar dan semakin terang. Anehnya aku sepertinya begitu tertarik untuk mendekatinya.
Tanpa sadar akku melangkah ke arah cahaya tersebut. Aku melangkah semakin dekat. Saat ini aku sudah menginjakkan kaki di bagian tepi hutan itu. Aku semakin mendekati sumber cahaya itu. Aku semakin penasaran. Kakiku terus melangkah mendekat ke arah cahaya yang kini tampak seperti sebuah pintu.
Pintu! Ya, cahaya itu berbentuk seperti sebuah pintu. Apa ini? Tanyaku penasaran dalam hati. Aku memiringkan kepalaku dengan penasaran. Anehnya, pintu yang seperti cahaya itu seolah menarik ku semakin dekat.
Aku melangkah semakin dekat. Saat ini aku telah berdiri tepat di depan sebuah pintu yang bercahaya putih menyilaukan. Aku mengernyitkan mata karena silau. Tanpa aku sadari, tangan kananku terulur ke arah cahaya itu. Aku memekik ketika aku merasakan sensasi seperti ditarik ke dalam sebuah tempat yang aku tidak tahu kemana akhirnya.
Aku ingin kembali namun aku tidak bisa. Aku seolah tersedot ke dalam sebuah dunia yang aku tidak tahu pasti apakah ini nyata ataukah aku hanya bermimpi. Tiba-tiba aku seperti mendarat di sebuah tempat yang terasa tidak asing. Aku menoleh ke sekeliling. Tempat ini adalah tempat yang selalu muncul di mimpiku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!