_KLINIK PERMATA BUNDA_
Sore ini Lisna dan Fauzi untuk pertama kalinya datang ke klinik khusus kandungan untuk memeriksakan rahim Lisna yang mungkin bermasalah sebab sudah tujuh tahun menikah, Lisna masih belum juga bisa hamil.
"Mas, bagaimana kalau ternyata aku mandul…" Bisik Lisna pelan tanpa berani menatap wajah suaminya yang duduk disebelahnya sambil melihat handphone-nya.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Lis. Berdoa saja semoga tidak ada yang salah dari kamu ataupun aku."
Mendengar ucapan Fauzi, tidak membuat hati Lisna membaik. Bahkan matanya mulai berair meski belum menetes. Tatapannya mulai buram tidak lagi jelas melihat ubin lantai klinik itu.
Menyadari kesedihan Lisna, membuat Fauzi berhenti menatap handphonenya. Diaraihnya pergelangan tangan istrinya, lalu digenggamnya erat jemari tangan yang mulai kasar itu tidak selembut dulu lagi.
Ada sedikit rasa bersalah dihati Fauzi menyadari ternyata gadis yang dulunya cantik, memiliki tangan yang lembut dan juga selalu tersenyum manis, kini telah berubah. Wajahnya tetap masih cantik, hanya saja karena terlalu banyak pikiran membuat wajah cantik itu memiliki sedikit kerutan. Kulit yang dulu lembut itu, menjadi kasar karena setiap hari digunakan untuk mengerjakan pekerjaannya sebagai seorang istri sekaligus tulang punggung keluarga kecil mereka. Dan keceriaannya hilang, sejak Fauzi memutuskan untuk berhenti bekerja sejak empat tahun yang lalu dengan alasan tidak menemukan pekerjaan yang cocok.
"Nyonya Lisna Aulia." Panggil perawat.
Lisna melambai kearah perawat cantik itu, kemudian dia dan Fauzi melangkah masuk ke ruangan dokter Hasbi.
"Pasien atas nama nyonya Lisna, ya?" Tanya dokter Hasbi ramah saat Lisna dan Fauzi masuk keruangannya.
"Iya, dokter."
"Silahkan duduk, ibu Lisna dan suami."
Lisna dan Fauzi duduk di kursi yang langsung menghadap dokter Hasbi.
"Baru pertama kali atau sudah pernah konsultasi sebelumnya?"
"Baru pertama kali, dok."
Dokter Hasbi mengangguk, dia mulai mengeluarkan secarik kertas dan pulpen.
"Keluhannya apa, ibu Lisna?"
Sebelum menjawab Lisna menghela napas untuk menepis rasa grogi yang mengganggunya. Fauzi bahkan kembali menggenggam tangannya erat membantu memberi kenyamana pada istrinya itu.
"Saya ingin memeriksa apakah rahim saya sehat atau tidak, dokter…"
"Sudah berapa lama menikah?"
"Tujuh tahun."
Dokter Fauzi melirik sebentar kearah Fauzi. "Mas suami juga mau diperiksa?"
"Tidak dokter. Suami saya baik baik saja, saya rasa masalahnya memang ada pada saya." Sahut Lisna cepat.
"Baiklah. Kalau memang begitu. Tapi sebelum di usg, kita konsultasi sedikit boleh, ibu Lisna?"
"Iya boleh, dokter."
"Apakah menstruasi ibu Lisna lancar?"
"Setiap bulannya saya menstruasi, dokter. Hanya saja memang tidak teratur, kadang telat sampai satu minggu dan kadang juga bisa lebih cepat dari tanggal yang seharusnya."
Dokter Hasbi mengangguk paham sambil mencoret asal pada secarik kertas yang ada didepannya.
"Apa ada keluhan lain, seperti sakit pada bagian rahim atau bagian perut ibu Lisna, mungkin?"
"Tidak dokter."
"Saat menstruasi mengalami nyeri atau sakit berlebihan, tidak?"
"Tidak juga dokter."
"Baiklah, kalau begitu kita lakukan usg. Saya izin untuk memeriksa ibu Lisna loh pak..."
"Fauzi, dokter." Sahutnya memperkenalkan namanya.
"Saya izin periksa ibu dulu bapak Fauzi." Ulang dokter Hasbi.
"Silahkan dokter."
Lisna di bantu oleh seorang asisten dokter untuk berbaring di ranjang pemeriksaan. Sementara Fauzi diajak oleh dokter Hasbi untuk melihat layar yang menunjukkan gambar rahim Lisna yang akan diperiksa.
"Dinding rahim ibu Lisna tipis. Lalu, ini sel telurnya banyak dan kecil kecil yang artinya sel telurnya belum matang hingga susah untuk terjadinya pembuahan." Dokter Hasbi menjelaskan dengan sangat teliti, pelan dan hati hati.
Permeriksaan pun selesai. Kini Lisna dan Fauzi sudah duduk kembali dihadapan dokter Hasbi.
"Ibu Lisna memiliki kelain hormon atau yang kini lebih akrab sisebut PCOS."
Jujur Lisna tidak mengerti apa yang dikatakan oleh dokter Hasbi. Kelainan hormon atau pcos sangat asing ditelinganya. Tapi, Lisna dapat menyimpulkan bahwa dia akan sulit untuk hamil.
"Jangan berkecil hati, ibu Lisna. Banyak kok pasien saya yang mengidap pcos tapi kemudian bisa hamil. Bahkan ada yang sudah memiliki lima orang anak loh."
Kalimat barusan setidaknya membuat hati Lisna sedikit tenang.
"Berarti istri saya tidak harus melalui operasi apapun, dokter?"
"Tidak, bapak. Ibu Lisna hanya harus memperhatikan benar pola makan sehat. Seperti menghindari mengonsumsi karbohidrat yang berlebihan, menggantinya dengan makanan yang kaya akan serat."
Fauzi mengangguk angguk saja seakan paham dengan apa yang dikatakan dokter Hasbi.
"Ibu Lisna juga harus menjaga kesehatan fisik dan juga mental. Jangan terlalu banyak pikiran yang membebani hingga membuat ibu Lisna stres. Itu akan sangat mempengaruhi hormon dalam tubuh ibu Lisna."
"Iya, dokter."
"Bapak Fauzi juga harus terus dampingi dan beri dukungan pada istrinya agar tidak mudah stres. Cara itu yang saya sarankan pada beberapa pasien dengan keluhan yang sama dan mereka berhasil punya anak."
"Baik dokter." Sahut Fauzi.
Setelah memberikan saran dan cara penanganan yang bagus, dokter Hasbi juga memberikan resep obat yang harus ditembus oleh Lisna untuk menunjang perbaikan hormonnya.
"Terimakasih, dokter. Kami permisi."
"Silahkan. Ee tapi, jangan lupa sebulan lagi di tanggal yang sama dengan hari ini, datang lagi untuk konsultasi."
"Baik dokter." Jawab Lisna sambil tersenyum.
Mereka keluar dari ruangan dokter menuju tempat penembusan obat obatan. Setelah selesai, mereka pun keluar dari klinik dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan.
Fauzi memakaikan helem pada istrinya, lalu mulai mengendarai motor untuk menuju rumah kontrakan mereka.
"Maafkan aku ya, mas. Aku bukan istri yang sempurna. Kita akan kesulitan memiliki anak." Ucap Lisna yang memeluk erat pinggang suaminya sambil merebahkan kepalanya dipunggung suaminya itu.
"Jangan terlalu dipikirkan, Lis. Toh dokter tadi bilang, banyak kok pasien yang akhirnya bisa memiliki anak. Jadi, percaya dan yakin adalah kuncinya."
"Terimakasih, mas. Kamu benar, aku harusnya tidak bersedih seperti ini."
Motor melaju semakin kencang berpacu dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Matahari mulai tenggelam menyisakan warna merah menyala menjelang langit berubah menjadi gelap.
Lisna dan Fauzi tiba di rumah tepat setelah azan magrib selesai dikumandangkan. Tidak menunggu lama, Lisna pun langsung mengganti pakaiannya, membasuh wajahnya dengan air wudu, lalu melaksanakan sholat magrib.
Sementara Fauzi, hanya berbaring santai di sofa ruang tamu sambil melihat layar handphonenya. Ya, akhir akhir ini dia kesulitan untuk berhenti memainkan handphonenya.
Beruntung dia punya istri yang super baik dan pengertian dan juga super sabar. Jadi, tidak perlu khawatir diomeli oleh istrinya. Bahkan Lisna tidak pernah sekalipun mencurigainya. Jadi, meski mungkin sekarang Fauzi sedang asik chattingan dengan selingkuhannya pun Lisna tidak akan tahu atau-pun mencoba mencari tahu.
Di kamarnya, di atas sajadahnya, Lisna menengadahkan kedua tangannya. "Ya Allah, berilah hamba kesabaran dalam menghadapi ujian ini. Sungguh jika ujian ini engkau berikan semata karena kasih sayangmu, maka berilah hamba kesabaran seluas samudera. Dan jika ternyata ujian ini justru datang karena banyaknya dosa hamba, maka berilah hamba ampunan seluas luasnya. Ya Allah, setiap saat hamba datang pada-Mu semata meminta agar engkau berikan hamba kesabaran."
.
.
...Hay Readers semua. 👋👋...
...Karya baru Athour abal-abal datang lagi nih.👌😍😍...
...Kisah kehidupan rumah tangga seorang istri yang tidak kunjung hamil, lalu di poligami oleh suaminya. Kehidupannya menjadi penuh tekanan, air mata dan juga menguras emosi setelah di paksa tinggal bersama madunya. 😰😥😭...
...Yuk buru mampir, ramaikan cerita ini.💐🌹🌷...
...Jangan lupa Subcribe, Like, Komen dan Vote juga ya. ...
...Nantikan episode berikutnya!!...
Seperti biasa, pagi ini Lisna bangung jam empat subuh. Dia bangun lebih awal agar tidak terlambat tiba di kantor. Begitu bangun, dia mulai memutar cucian di mesin cuci, lalu memasak sarapan sekaligus masak untuk makan siang suaminya dan bekal untuk dibawanya ke kantor.
Semua pekerjaannya selesai setengah enam pagi dan Lisna selalu menyempatkan sholat subuh. Ya, meski di akhir waktu, Lisna tetap melaksanakan lima waktu nya tanpa terlewatkan sekalipun.
Usai bersiap jam tujuh pagi. Lisna langsung menata makanan di meja makan. Kemudian dia memasukkan kotak betalnya kedalam tas ranselnya yang sudah tampak lusuh tapi masih cukup bagus menurutnya.
"Mas, aku berangkat kerja dulu ya. Sarapan dan makan siang sudah siap seperti biasa." Pamit Lisna pada suaminya yang baru mulai membuka matanya.
"Hati hati, sayang." Fauzi memberi kecupan di kening istrinya setelah istrinya mencium punggung tangannya.
Begitu Lisna hendak melangkah keluar dari kamar, suara Fauzi membuat langkahnya terhenti.
"Lis, apa masih ada uang?"
Lisan menoleh sambil memberi senyuman manis pada suaminya yang masih setengah sadar itu.
"Masih, mas. Mas mau berapa?" Tanya Lisna seperti biasa tanpa menanyakan untuk keperluan apa suaminya meminta uang padanya.
"Tiga ratus, ada?"
"Ada, mas." Lisna mengambil dompet didalam tas ranselnya, lalu mengambil tiga lembar uang berwarna merah dari dompetnya yang menyisakan satu lembar lagi uang warna merah tersebut.
"Ini, mas." Mengulurkan uang itu pada suaminya.
"Mmm maaf ya sayang, mas minta terus. Habisnya mas butuh banget."
Lisna hanya tersenyum, kemudian setelah mengucap salam dia pun langsung berangkat menuju kantor tempatnya bekerja dengan menggunakan motor metik kesayangannya. Sedangkan Fauzi kembali menejamkan matanya dan dia tertidur lelap.
Fauzi sudah menjadi pengangguran sejak empat tahun lalu. Katanya, dia tidak menemukan pekerjaan yang cocok. Jadi, atas izin dari Lisna, jadilah dia seorang suami yang dinafkahi oleh istri. Yang lebih enaknya lagi, istrinya tidak pernah mengeluh atau keberatan sama sekali saat suaminya bermalas malasan di rumah seharian.
*
*
*
_Monday Caffe_
Fauzi sedang nongkrong bersama teman temannya saat jam istirahat makan siang, teman temannya rata rata bekerja kantoran.
"Bro, kantor gue lagi cari karyawan baru. Kalau loe minat, gue bantuin deh."
"Kagak usah ngasih Fauzi kerjaan. Dia mah memang lebih suka kagak ada kerjaan." Celetuk Abdul.
"Jabatan apa, bro?"
Fauzi tampak antusias sok sok-an bertanya jabatan dan itu membuat Abdul merasa geli.
"Staff gudang, bro. Tapi, gajinya lumayan loh."
"Waduh gimana ya bro, gue nggak cocok dengan kerjaan itu. Ya, loe pada pasti tahu lah kalau bekerja itu kita harus mencintai pekerjaan kita agar bisa happy di tempat kerja, kan?"
"Zi, zi.. loe emang kagak pernah berubah." Celetuk Abdul lagi.
"Eh Abdul, loe iri-kan, karena gue punya istri yang pengertian dan tidak menuntut gue harus bekerja. Tidak seperti istri loe yang selalu ngomel kalau loe ngasih uang cuma sedikit."
Fauzi membalas ejekan Abdul yang memang selalu memojokkanya saat mereka sedang nongkrong bareng.
"Loe berdua kalau ketemu selalu saja adu argumen. Heran gue!" Ujar Joko yang mulai risih melihat adu mulut kedua temannya itu.
"Lagian, loe juga, Zi. Apa loe kagak kasihan sama Lisna. Dia harusnya jadi tulang rusuk, eh malah loe jadiin tulang punggung." Celetuk Rino yang memang sedikit banyaknya tahu tentang rumah tangga Fauzi.
"Apa masalah loe, No. Toh Lisna nggak pernah tuh keberatan membiayai hidup gue. Lagi pula, gaji Lisna sudah cukup kok untuk bertahan hidup dari bulan ke bulan."
"Sakit loe, Zi." Gumam Joko dan Rino hampir bersamaan.
"Kalian iri kan? Iri bilang boss. Istri kalian pasti memaksa kalian harus bekerja dan menghasilkan uang yang banyak..." Fauzi mengejek tiga temannya itu sambil berguyon.
"Serah loe dah, Zi." Joko tampak mulai malas bicara pada Fauzi.
*
*
*
Lisna tiba di rumah pukul sembilan malam, karena dia ambil tambahan jam kerja atau lembur. Lumayan untuk mendapatkan tambahan uang gajinya bulan ini.
"Assalamu'alaikum, mas." Lisna masuk ke rumah disambut dengan pemandangan sang suami yang sedang duduk santai di sofa sambil menonton televisi.
"Wa'alaikumsalam, sayang. Sudah pulang."
"Sudah, mas." Mencium punggung tangan suaminya.
"Ini mas, ada martabak coklat keju kesukaan mas."
"Wah, kamu dapat bonus ya.." Antusias membuka bingkisan martabak yang diletakkan Lisna diatas meja.
"Nggak kok, mas. Martabaknya dibelikan mbak Mirna, katanya ucapan terimakasih karena aku tadi bantuin kerjaan dia."
"O gitu. Kirain kamu dapat bonus. Biasanya kan gitu kalau dapat bonus kamu selalu beliin makanan."
Lisna hanya tersenyum, kemudian dia melanjutkan langkahnya menuju kamar.
"Alhamdulillah, ya Allah. Hari ini pekerjaanku lancar seperti hari hari sebelumnya." Gumam Lisna saat tiba di kamar.
Segera dia meletakkan tas ranselnya, lalu berganti pakaian dari seragam kantor menjadi piyama yang nyaman. Lisna tidak mandi, dia hanya mencuci kakinya dengan air panas setiap kali pulang malam. Beruntungnya kamar mandinya lumayan mewah memiliki air panas otomatis.
Sambil merendam kakinya di air panas, Lisna mengosok giginya dan mencuci wajahnya. Setelah selesai barulah dia menghampiri suaminya yang masih asyik nonton sambil makan martabak di depan tv.
"Mas nonton apa sih, seru banget kayaknya?" Duduk di samping suaminya.
"Stand up komedi. Seru, lucu lucu--"
"Mmm."
Lisna ikut menemani suaminya menonton sambil menikmati martabaknya.
"Ambilin minum dong, Lis."
"Mau air putih atau dibikinkan kopi?"
"Kopi boleh juga."
"Tunggu sebentar ya mas."
Lisna yang baru saja duduk beberapa menit langsung melangkah lagi menuju dapur untuk membuatkan kopi untuk suaminya.
"Sayang, kamu sudah makan malam belum?" Teriak Fauzi dari ruang tengah.
"Belum mas. Mas mau dimasakkan apa!" Serunya yang sudah hapal gerak gerik suaminya.
Saat sang suami bertanya apakah dia sudah makan atau belum, itu artinya suaminya memberi tahu bahwa dia belum makan dan tolong buatkan makanan.
"Goreng ikan asin, sayur bayam sama sambel terasi aja deh, sayang."
Segera Lisna membuka kulkas untuk memeriksa apakah ada bayam di sana. "Alhamdulillah masih ada bayam."
"Tunggu bentar ya, mas."
"Iya sayang. Tapi kopinya jangan lupa loh."
Lisna hanya mengangguk sambil melanjutkan membuat segelas kopi instan favorit suaminya. Setelah selesai, Lisna langsung mengantarkan kopi pada suaminya dan kembali kedapur untuk menyiapkan makan malam.
Sejak awal menikah, memang beginilah kegiatan yang selalu Lisna lakukan. Dia memberikan pelayanan terbaik pada suaminya bak seorang raja. Tidak sekalipun Lisna marah, atau merutuk saat tiperintah oleh suaminya secara tiba tiba sekalipun. Bahkan saat sedang sangat lelah dan sakit sekalipun, Lisna akan tetap memberikan pelayanan terbaik untuk suaminya.
.
.
...Gimana gimana teman teman! 😬...
...Lanjut nggak nih??🌷🌷...
...Kalau mau dilanjutin jangan lupa beri dukungan untuk Author ya, supaya Author lebih semangat nulisnya 😁😄😂...
Akhir pekan.
Pagi ini Lisna baru saja tiba di rumah mama mertuanya. Selalunya setiap akhir pekan dia dan suami menginap di rumah mertuanya.
"Kok datang sendiri? Mas Fauzi mana, mbak."
Itu Fitri, adik Fauzi yang bungsu. Masih kuliah semester akhir, tapi dia anaknya kekinian banget, judes dan juga sombong.
"Mas Fauzi nanti menyusul, dia ada janji temu dengan temannya." Jawab Lisna sambil mengeluarkan bahan masakan dari bawah jok motornya.
"Mama mana, Fit?"
"Ada di dapur." Jawabnya langsung melengos masuk ke rumah tanpa mau membantu Lisna yang kerepotan membawa banyak kantong plastik belanjaan.
Lisna menghela napas sebanyak tiga kali, barulah kemudian dia melangkah masuk membawa serta kantong belanjaannya.
"Ma, masak apa?"
Sapa Lisna sambil meletakkan kantong belanjaanya di atas meja makan.
"Eh mantu mama sudah datang." Tersenyum pada Lisna. "Ini mama lagi manasin rendang yang dibeliin Yuni kemarin. Ini rendang mahal katanya."
"Yuni kemarin datang ya, ma?"
"Nggak, dia beliin rendangnya lewat online yang dikirim langsung ke sini sama kurirnya."
Lisna tersenyum, lalu mengambil alih tugas mengaduk redang dari tangan mama mertuanya.
"Tapi katanya Yuni sekeluarga mau nginap juga loh, mereka tibanya nanti sore atau mungkin malam."
Fatimah duduk di kursi meja makan sambil memeriksa kantong belanjaan yang dibawa Lisna.
"Kamu sudah gajian, Lis?"
"Belum, ma. Kenapa?"
"Ya nggak apa apa, tapi kamu kok beli ikan, udang sama daging segala. Apa nggak boros.." Celotehnya khas mama mertua.
"Kebetulan masih ada uang lebih, ma. Jadi ya dibeliin lauk deh. Kan mama suka."
"Iih iya, mama memang suka. Tapi, nanti mama malah dikatai mertua yang suka ngerepotin. Kan anak mama suami kamu itu pengangguran."
"Siapa memangnya yang bilang mama itu mertua merepotkan?"
"Ya ada, tetangga. Mereka selalu bergosip, katanya setiap kamu datang ke rumah mama selalu membawa banyak belanjaan, padahal suami kamu pengangguran." Celotehnya sambil menyusun bahan belanjaan ke dalam kulkas.
"Jangan didengarin lah ma. Biarkan saja mereka bergosip. Lagian aku senang kok bisa bawain banyak lauk untuk mama. Kan mama tahu aku sudah tidak punya kedua orangtua, jadi bagi aku, mama bukan hanya sekedar mertua, tapi orangtuaku." Hibur Lisna.
Dia mengambil mangkuk untuk menaruh rendang yang sudah selesai dipanaskan.
"Masak apa lagi, ma. Mau dibuatin udang sous nggak, ma?"
"Ah nggak usah. Rendangnya kan banyak, cukup itu saja dulu, nanti mubazir kalau terlalu banyak lauk."
Lisna mengangguk paham. Kemudian ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan mama mertuanya.
"Gimana hasil tes ke klinik kemarin? Apa kata dokternya. Kamu tidak mandul, kan?"
Kalimat terakhir membuat Lisna merasa cemas. Dia tidak bisa menjelaskan nama penyakitnya pada mama mertuanya, tapi meski bagaimanapun dia harus memberi jawaban pada mama mertuanya.
"Ee gini, ma. Kata dokternya, aku mengalami kelainan hormon. Jadi, susah untuk terjadinya pembuahan. Tapi, banyak kok ma, wanita yang juga punya kelainan hormon yang sama seperti aku, tapi akhirnya bisa hamil kok, ma."
Wajah Fatimah tampak datar menanggapi cerita Lisna tentang penyakitnya.
"Ya, intinya kalian tidak akan punya anak dalam waktu dekat, kan?"
Lisna mengangguk ragu.
"Huh, cukup lama juga ya mama harus menunggu untuk bisa menggendong cucu dari putra pertama mama." Gumamnya tampak kecewa.
"Maafkan aku, ma."
"Tidak usah meminta maaf, Lis. Lebih baik kamu rutinkan berobat supaya cepat hamil."
Setelah mengatakan itu, Fatimah langsung berlalu pergi meninggalkan Lisna sendirian termenung di dapur.
*
*
*
Usai sholat isa, Yuni dan Firman suaminya dan juga sikembar Mike dan Mika, putra dan putri mereka tiba di kediaman Fatimah.
"Sikembar cucu kesayangan nenek."
Sambut Fatimah langsung memeluk cucu kembar kesayangannya karena memang mereka cucu pertamanya dari putra keduanya, Firman.
"Mbak Lisna. Sehat, mbak?" Sapa Firman tersenyum ramah.
"Alhamdulillah sehat."
"Mbak terlihat lelah?" Bisik Yuni sambil mengelus punggung tangan Lisna lembut.
Lisna hanya tersenyum tipis merespon ucapan istri adik iparnya itu yang sebenarnya tidak menyukainya. Yuni hanya akan bersikap baik pada Lisan saat ada Firman atau Fauzi saja. Sementara jika di depan mama mertuanya Yuni bebas mengejek dan menjelekkan Lisna.
"Mas Fauzi mana, mbak?" Tanya Firman saat tidak kunjung melihat kakaknya di dalam rumah.
"Baru saja keluar. Biasa bertemu teman temannya." Jawab Lisna sambil tersenyum.
Firman mengangguk paham, lalu kemudian mereka mengikuti si kembar yang sudah dibawa masuk ke rumah oleh mama.
Suasana malam minggu selalu ramai saat ada si kembar. Apa lagi tingkah lucu dan menggemaskan mereka yang tidak pernah bisa membuat keluarga itu berhenti tertawa.
"Tante Lis… Mike mau pipis. Anterin." Rengek si kecil Mike pada Lisna saat yang lain sedang memperhatikan Mika dengan tingkah randomnya.
"Mike mau pipis, ya. Ya udah yok, tante anterin ke toilet." Lisna memapah Mike menuju ruang belakang.
Dengan telaten dia membantu Mike melepas celananya, lalu membantunya berjongkok dengan tetap memegangi tangan si kecil itu yang memang sudah menjadi kebiasaannya saat mau pipis atau pun pup jika ditemani Lisna.
"Tidak boleh kan pipis sambil berdiri?"
"Iya sayang. Kalau pipis harusnya jongkok, tidak boleh berdiri."
"Tapi, tante.. tapi Angga pipisnya berdiri."
"O ya?" Lisna membantu Mike mencuci bekas pipisnya.
"Hhmm…" Angguk Mike yakin.
"Nanti Mike bilang saja sama Angga, kalau pipis tidak boleh berdiri, tapi harus jongkok."
"Sudah aku bilang tante. Tapi dia malah marah marah sama aku."
Lisna tersenyum mendengar gaya imut Mike saat mengucapkan kata marah yang menjadi malah malah, karena Mike belum bisa menyebutka huruf R dengan benar. Usia sikembar itu baru masuk lima tahun.
"Pasang celana dulu, sayang."
Itu suara Yuni. Dia menarik paksa celana Mike dari tangan Lisna. Lalu memakaikan kembali celana itu pada Mike.
"Mike duluan kembali ke ruang tengah ya, sayang. Mama mau ngobrol dulu sama tante Lisna."
"Iya, ma." Mike berlari kecil meninggalkan dua orang dewasa yang harus mengobrol.
"Mbak PCOS, ya?" Tanya Yuni tiba tiba.
"Iya, Yun. Kemarin aku periksa ke klinik."
"Berarti benar kan tebakankun, mbak itu nggak subur. Kasihan mas Fauzi dan mama yang selalu sabar menunggu selama tujuh tahun terakhir."
"Mas Fauzi tidak pernah mempermasalahkan hal ini kok, Yun. Lagi pula, kenapa sih kamu suka ikut campur urusan rumah tanggaku.."
"Itu karena aku membenci kamu mbak. Aku berharap banget mas Fauzi menceraikan mbak Lisna."
"Astaghfirullah, Yuni. Kamu membenciku sampai sedalam itu? Apa salahku, Yun. Apa yang sudah aku perbuat sampai kamu membenciku sebanyak ini."
Yuni memalingkan wajahnya, "Karena mbak Lisna cinta pertamanya mas Firman." Gumamnya pelan.
Mata Lisna bergetar saat mendengar pengakuan Yuni yang sama sekali tidak pernah diketahui selama ini. Memang benar, Firman yang lebih dulu mengenal Lisna. Tapi, Firman tidak pernah mengungkapkan hal yang dikatakan Yuni. Malah Fauzi lah yang menyatakan cinta dan melamarnya.
.
.
.
...Hay halo hay 👋👋...
...Terimakasih atas dukungan kalian semua teman teman....
...Kalian semua orang orang baik yang membuat Author bahagia dan semangat dalam menulis....
...Semoga kalian semua sehat selalu teman teman...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!