***
"Sal, bangun, Sal!"
Gadis bernama Salma itu terhenyak dan spontan terbangun dari tidur siangnya.
Kesadarannya belum terkumpul sempurna ketika teman sekamarnya kembali berbicara.
"Tadi aku denger namamu dipanggil bagian penerima tamu lewat speaker. Cepat ke sana siapa tahu ada orang tua atau keluargamu yang datang," titah Sarah antusias.
Walaupun hati kecil Salma meragukan omongan Sarah. Tapi, gadis yang sedang duduk di bangku kelas 1 Aliyah itu pun segera bangkit dari duduk kemudian menyambar kerudung instan yang tersampir di pintu lemari lalu memakainya sambil berjalan terburu menuju pintu keluar asrama.
Belum setahun Salma tinggal di asrama yang dianggapnya mewah itu. Bisa menuntut ilmu dan melanjutkan sekolah ke tingkat madrasah Aliyah sekaligus tinggal di sebuah pondok pesantren memang sudah dicita-citakan Salma semenjak masih duduk di bangku SD. Walaupun berasal dari keluarga tidak mampu, semangat Salma untuk menimba ilmu tidak pernah surut.
Kaki Salma meniti anak tangga dengan semangat menuju lantai dasar karena kamar yang ditempatinya terletak di lantai 3. Setelah melewati lapangan yang berada di depan gedung asrama khusus santri putri itu Salma kini sudah berada di tempat penerimaan tamu.
Salma mengedarkan pandangan ke segala arah. Perempuan berusia lima belas tahun itu berharap bisa menemukan orang tuanya yang akan menjenguk seperti yang dibilang oleh Sarah tadi di kamar. Hari Minggu seperti ini memang hari spesial untuk seluruh santri yang berada di sana karena mereka bisa dijenguk dan berkumpul bersama keluarga tercinta untuk melepas rindu.
Sudah hampir sepuluh menit menit Salma berdiri mematung sambil menelisik setiap orang yang sedang berlalu lalang memadati area tempat penerimaan tamu hingga lapangan dan teras asrama. Tapi, orang yang dicari Salma tak kunjung terlihat. Sehingga perempuan itu pun berinisiatif untuk menanyakan langsung ke bagian penerima tamu yang sedang bertugas di depan pintu gerbang.
"Maaf, Dik, sepertinya sedari tadi kami tidak pernah memanggil nama Dik Salma, karena memang tidak ada keluarga Dik Salma yang datang." Penjelasan dari kakak kelasnya cukup mengiris hati gadis malang tersebut. Membuat dadanya mendadak terasa sesak.
Salma baru menyadari jika dirinya saat ini hanya sedang dibohongi dan dijahilin oleh Sarah teman sekamarnya yang selama ini bersikap sinis dan sering meledek Salma karena hanya Salmalah yang terlihat jarang dijenguk dan dibawakan makanan enak oleh keluarganya.
Dengan langkah lesu Salma kembali ke kamar. Baru saja kakinya memasuki pintu Sarah sudah menyambutnya dengan gelak tawa mengejek.
"Kasian banget yang pengen ditengokin keluarganya. Ha ... Ha .... "
Salma tak menggubris ledekan Sarah. Ia membalikkan badan dan melangkah menuju tangga balkon tempat jemuran demi menghindari Sarah yang selalu terus menguji kesabarannya baik lewat lisan maupun sikap sinisnya.
"Sal, kamu nangis? Kenapa?" Tepukkan lembut di bahu membuat Salma sedikit terkejut. Dilihatnya Emillia, sahabat dekatnya yang berasal dari Lampung itu sudah berdiri di belakang. Karena Salma terlalu larut dengan kesedihannya sendiri hingga ia tak menyadari kehadiran Emillia yang sedari tadi sudah memperhatikannya.
"Kita senasib, Sal, aku juga sama jarang dijenguk oleh keluarga," ungkap Emillia seolah bisa menebak dengan apa yang kini sedang dirasakan oleh Salma.
"Daripada bersedih mending kita mengulang hafalan muthola'ah yang ditugaskan kemarin oleh ustazah Maryamah dan hafalan imriti yang harus disetor besok ke ustaz Akmal, yuk!" ajak Emillia yang dijawab dengan anggukkan dan seulas senyum oleh Salma.
***
Sekitar pukul 20:00 malam semua santri sedang bersiap-siap menuju kelas masing-masing untuk belajar malam setelah sebelumnya menjalani salat Isya berjama'ah di musala sekitar pondok sekaligus belajar membaca Al-qur'an dengan kakak pembimbing.
"Uangku hilang ... Uangku hilang. Duh, gimana ini uangku hilang!" Teriakkan histeris dari salah satu penghuni kamar asrama sejenak mampu mengalihkan kesibukan santri lainnya yang sedang sibuk. Ada yang sedang berganti pakaian, ada yang menyiapkan buku, dan ada juga yang sedang mematut diri di depan cermin sambil memasang hijab.
Dalam sekejap tanpa dikomando mereka berkerumun mendekat ke arah Sarah yang sedang mengobrak-abrik isi lemarinya hingga berantakkan.
"Duitku hilang, teman-teman. Siapa lagi yang mengambil kalau bukan teman kita yang jarang dimudipahin(dijengukin), iya, kan?" Sarah berseru dengan suara lantang diiringi lirikkan sinis tepat ke arah Salma yang sedang berdiri mematung. Kini semua pasang mata tertuju ke arah Salma seolah meminta jawaban dengan apa yang barusan dituduhkan oleh Sarah kepada Salma.
"Berangkat ke kelas sekarang yuk, Sal!" ajak Emillia sambil menarik cepat pergelangan tangan Salma untuk segera keluar dari kamar agar sahabatnya itu tidak terus-terusan menjadi objek perundungan dan tuduhan tanpa bukti yang sebenarnya hanya untuk memojokkan Salma.
"Aku gak sanggup lagi tinggal di sini Mil, aku mau berhenti sekolah dan mencari pondok lain saja," ungkap Salma lirih kepada Emillia. Ketika mereka berdua sudah duduk bersisian di bangku kelas.
"Jangan terlalu terburu-buru mengambil keputusan, Sal. Menuntut ilmu di mana pun tempatnya pasti akan selalu ada ujian yang akan kita hadapi. Baik itu melalui sikap teman atau cobaan lainnya. Kuncinya kita harus tetap terus bersabar dan kuat menjalani dan melewatinya." Emillia berusaha memberikan pandangan kepada Salma berharap sahabatnya tersebut tidak terlalu menanggapi sikap Sarah yang memang kadang sangat keterlaluan.
"Kamu ingat gak nasihat ustaz Akmaluddin saat idofah bakda Subuh kemarin? Beliau menyampaikan jika orang yang sedang menuntut ilmu itu akan diberikan kebaikan di dunia maupun di akhirat kelak jika kita mau terus bersabar. Sebagaimana yang tertera dalam ayat Al Qur'an yang artinya:
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, berdirilah kamu! Maka berdirilah. Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Surat Al-Mujadalah ayat: 11).
"Selain itu pula orang yang sedang menuntut ilmu akan dimudahkan jalannya menuju surga kelak. Karena dalam sebuah hadist tentang keutamaan orang yang menuntut ilmu pengetahuan dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim, no. 2699)
Usai mendengar penuturan dari Emillia yang memang sudah mumpuni dalam hafalan baik kutipan ayat ataupun hadits itu kini perasaan Salma pun jauh lebih terasa membaik dari sebelumnya.
***
Waktu begitu cepat berlalu. Kini Salma sudah duduk di bangku kelas akhir atau kelas 3 Aliyah yang sebentar lagi akan melewati tahap persyaratan pelulusan yang biasa disebut dengan amaliatuttadris, yaitu praktik mengajar di kelas dengan menggunakan 2 pilihan bahasa arab atau bahasa inggris dari pertama memasuki kelas hingga selesai.
Awalnya Salma merasa berat dan merasa dirinya tidak mampu melaksanakan tugas akhir itu. Tapi, setelah menempuh pelatihan beberapa bulan sebelumnya Salma pun merasa seakan semua berjalan dengan ringan dan mudah.
Kini wanita berperawakan ramping itu pun sedang berada di depan kelas 3 Mts yang akan menjadi ajang tempat praktik mengajar yang dipantau langsung oleh ustaz pembimbingnya, yaitu ustaz Yazied Wardi sebagai mudaris pelajaran shorof yang kini akan diampu langsung oleh Salma sendiri.
Usai mengucap salam dan dijawab serempak oleh adik-adik kelasnya. Salma pun memulai pembukaan di depan kelas dengan menggunakan bahasa arab yang cukup fasih.
"Rotibna julusakuna, wadho'na aiydiakuna 'alalmakatib. Al'an ajibna su'alii ... Madza darsukunal'an?"
"Darsunal'an ashorfhu." Semua murid kelas 3 Mts itu menjawab pertanyaan Salma dengan kompak.
Dalam hitungan ke 45 menit akhirnya Salma mampu menyelesaikan tugasnya menyampaikan materi pelajaran kepada adik-adik kelasnya tanpa ada kesalahan.
Setelah beberapa bulan menanti hari kelulusan. Tibalah saatnya acara perpisahan yang digelar dengan cukup meriah dan penuh suka cita oleh semua santri kelas akhir.
***
Belum satu bulan Salma tinggal di rumah setelah lulus dari pondok pesantren selama 3 tahun ia menuntut ilmu di sana. Tiba-tiba pada suatu pagi gadis itu kedatangan tamu yang tak lain bapak kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah tempat sekolah Salma 6 tahun yang lalu.
Pak Mahfuddin, kepala sekolah tersebut meminta Salma untuk berkenan mengajar di madrasah.
"Kebetulan guru bahasa arab di sekolah kami sudah purna bakti beberapa Minggu yang lalu dan belum ada yang ngisi. Saya harap Nak Salma mau membantu kami yang saat ini sedang kekurangan tenaga pendidik." Begitu yang diutarakan pak Mahfuddin kepada Salma dan sang ibu yang kebetulan ikut menemani ngobrol di ruang tamu.
Awalnya Salma merasa ragu dan ingin menolak tawaran tersebut, Tapi, sang ibu dengan sepenuh hati terus mendukung dan menyemangati anak gadisnya agar bersedia menerima tawaran baik itu.
Setelah meyakinkan hatinya sendiri Salma pun akhirnya menerima dan bersedia. Gadis itu mendadak teringat pepatah arab atau mahfudzot yang mengatakan, "Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon tidak berbuah."
Tangan Salma bergetar ketika kali pertama dirinya menerima amplop gaji hasil dari kerja kerasnya selama satu bulan mengajar anak didiknya. Ia menyerukan rasa syukur yang begitu mendalam kepada Sang Maha Pengatur Segalanya yang begitu mudah memberikan kelapangan jalan hidup yang kini ia jalani.
Bayangan kepahitan dan kepedihan hati selama dirinya menuntut ilmu di pondok pesantren berseliweran memenuhi ruang ingatan gadis yang kini berusia sembilan belas tahun itu. Dulu ... Hampir saja dirinya berputus asa dan menyerah saat ujian dan cobaan datang silih berganti dari kekurangan biaya dan bekal serta jarang dijenguk oleh keluarga juga ujian dari teman sekamar yang cukup membuat mentalnya terpuruk.
Namun, kini perempuan itu sudah bisa melewati dan tinggal memetik hasil dari jerih payahnya.
End.
"Kepada saudari Meylani Syafira ditunggu kedatangannya ke ruang sidang setelah salat Isya."
Langkah Melan yang sedang meniti anak tangga untuk turun dari musala itu mendadak terhenti. Santri putri yang masih duduk di bangku kelas satu Aliyah itu berusaha menajamkan pendengarannya dengan seksama. Hatinya menjadi berdebar-debar tak karuan membayangkan dirinya harus berhadapan dengan kismullugoh(bagian bahasa) yang terkenal tegas dan berwibawa.
"Mel, tadi nama ente disebut untuk menghadap bagian bahasa, lho," ucap Ika, teman sekelasnya setelah kini mereka berjalan beriringan menuju kamar asrama.
"Serius itu tadi nama ane yang dipanggil?" tanya Melan memastikan. Perempuan itu berharap tadi yang didengarnya salah.
"Iya, jelas banget gitu, kok, nama ente dari kelas satu experiment," sahut Ika yakin.
Tiba di kamar asrama mereka menuju lemarinya masing-masing. Melan, Ika dan temannya yang lain mulai berganti pakaian rapi bersiap untuk mengikuti kegiatan pondok selanjutnya yaitu belajar malam yang dimulai bakda Isya hingga nanti pukul sepuluh malam.
Hati kecil Melan terus bertanya-tanya kesalahan apa gerangan yang sudah dilakukannya sehingga ia harus menghadap bagian bahasa. Karena baru kali pertama itulah dirinya dipanggil ke ruang sidang.
"Aku tunggu di kelas, ya," ucap Ika ketika melihat Melan mulai berjalan menaiki tangga menuju ruang sidang yang terletak di lantai dua. Ada beberapa santri yang sedang berdiri di depan pintu ruangan yang dijadikan tempat ruang sidang itu.
Seorang gadis berbalut baju setelan muslim serta hijab segi empat warna senada perlahan membukakan pintu lalu menyuruh semua yang berdiri tadi untuk masuk.
Ruang berukuran sedang itu aslinya merupakan ruang perpustakaan pondok yang dimultifungsikan untuk ruang sidang oleh Kaka pengurus.
Melan duduk bersimpuh di lantai bersama yang lainnya. Menunggu detik-detik persidangan dimulai. Setelah mengucap salam dan sedikit pembukaan. Kak Uswah, sebagai bagian bahasa mulai menginterogasi adik-adik kelasnya yang dianggap sudah melakukan pelanggaran aturan pondok, terutama bagian bahasa.
Di pondok pesantren modern Daarul Muttaqin itu memang sudah didisiplinkan mengenai pemakaian bahasa yang hanya boleh menggunakan dua bahasa yaitu bahasa arab dan inggris dalam setiap kegiatan sehari-hari selama masih berada dalam lingkungan pondok. Baik ketika di kamar mandi, di dapur ketika mengambil nasi, di musala ataupun sedang di kelas saat pembelajaran berlangsung. Dilarang berbicara dengan memakai bahasa Indonesia apalagi bahasa daerah. Jika ada santri yang nekat melanggar maka harus berhadapan dan mendapat sanksi dari bagian bahasa itu sendiri.
"Melan, apa kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke ruangan ini?"
Pertanyaan dari Kak Uswah membuyarkan lamunan Melan yang sedang duduk menekuri lantai.
Melan menggelengkan kepala pelan. Pertanda ia sendiri pun belum paham apa kesalahannya.
"Tadi siang kamu terdengar oleh bagian kami sedang berbicara menggunakan bahasa Indonesia ke teman kamu," tutur Kak Uswah memberikan penjelasan.
Melan berusaha mengingat kembali kejadian tadi siang. Benar saja. Perempuan bertubuh kecil itu pun baru menyadari jika siang tadi ia sempat berteriak untuk nitip jajan lupis ketika melihat Yuli, teman sekamarnya hendak pergi ke sirkah(kantin).
Spontan Melan menganggukkan kepalanya. Mengiakan apa yang barusan disampaikan oleh sang kakak kelas.
"Sebagai hukumannya kamu harus menyetor hafalan do'a salat tahajud dan duha tiga hari ke depan," ucap Kak Uswah kemudian.
***
"Ente kenapa melamun terus dari tadi, Mel," bisik Ika prihatin lalu ikut berdiri tepat di samping Melan yang sedang mematung di depan kelas. Kedua tangannya bertumpu di tembok yang memanjang seperti pilar yang berfungsi sebagai pagar pembatas di bangunan lantai dua itu.
Dari tempatnya berdiri itu Melan dapat mengawasi gerak gerik dan aktivitas santri lainnya yang sedang berada di lapangan yang letaknya persis berhadapan dengan kamar asrama.
"Entah, Ka, tiba-tiba saja aku ingat Abah yang berada di rumah," jawab Melan seraya menyeka sudut matanya dengan punggung tangan.
Mendengar jawaban sahabatnya itu mendadak tawa Ika meledak.
"Kenapa ente malah ngetawain ana?" selidik Melan dengan kening mengernyit.
"Emang ada yang lucu, ya?" sambungnya.
"Habis ente kaya anak kecil yang baru sehari berjauhan dari orang tua."
"Bukan hanya itu, Ka, tapi sekarang ini hidup ana terasa sangat berat," ungkap Melan berusaha mengutarakan isi hati kepada sahabat karibnya itu.
"Sabar, Mel, anak yang tumbuh di lingkungan pondok yang jauh dari keluarga seperti kita ini harus pintar-pintar menjaga kecerdasan emosional biar gak oleng," ucap Ika berlagak bijak di depan kawannya itu.
Ika meyakinkan sahabatnya itu jika mereka berdua pasti mampu melewati setiap ujian yang harus dilalui selama tinggal di pondok agar kelak bisa meraih predikat lulus dengan nilai yang cukup baik dan membuat bangga diri sendiri serta orang tua yang sudah banyak memberikan dukungan dan biaya yang sudah dikeluarkan banyak.
Dalam hati Melan menyeru syukur tak terhingga memiliki sahabat sebaik Ika yang selalu ada di kala susah maupun senang.
Walaupun jauh dari keluarga tapi Melan tidak pernah merasa sendiri karena selalu dikelilingi oleh kawan dan sahabat yang baik dan solid. Begitulah kehidupan anak pondok, tinggal bareng di asrama selama bertahun-tahun menjadikan mereka seperti saudara sendiri yang selalu saling menguatkan satu sama lain.
"Kita turun, yuk, nanti ana traktir mie ayam di kantin," ajak Ika menggandeng bahu Melan.
***
Melan baru saja beranjak dari perpustakaan ketika ustazah Halimah memanggilnya dari arah belakang.
Ustazah Halimah mengajak Melan untuk duduk sebentar di kursi yang kebetulan berada persis di depan ruangan itu. Perempuan dewasa dengan penampilan bersahaja itu pun menyampaikan jika tadi orang tua Melan menelpon dan ingin berbicara langsung dengan putrinya itu.
Usatzah berwajah lembut itu kembali melakukan panggilan ulang. Setelah sambungan terhubung kemudian mengulurkan ponselnya ke arah Melan, yang disambut ragu oleh Melan.
"Gak apa-apa, Mel. Bicaralah!" titah sang ustazah meyakinkan.
Melan menjawab salam dari sang ibu melalui sambungan telepon.
"Sehat, Mel?" tanya ibunya di ujung telepon sana.
"Alhamdulillah. Abah dan Ibu juga sehat, kan?"
"Kamu yang sabar, ya, Nak, Abahmu sekarang sudah tiada," ucap sang ibu terbata menahan tangis.
Mendengar kalimat terakhir dari wanita yang telah melahirkannya itu tangan Melan perlahan luruh. Gadis itu tergugu pilu dengan ponsel masih dalam genggamannya. Ia tak sanggup lebih banyak lagi untuk berbicara dengan sang ibu yang menghubunginya untuk membawa kabar duka.
Usatzah Halimah merengkuh Melan dalam dekapan. Membiarkan gadis malang itu menumpahkan nestapa dalam pelukannya. Jemari ustazah berhati baik itu mengusap lembut punggung Melan seolah ingin menguatkan hati anak didiknya yang sedang mendapat cobaan harus ditinggal sang ayah untuk selamanya di usia yang masih belia.
"Melan anak baik, anak solehah pasti kuat dan bisa melewati ini semua, ya, Sayang," lirih sang ustazah di telinga gadis itu.
"Kita harus ingat bahwa semua makhluk pasti akan kembali kepada Sang Pemilik-Nya. Cuman waktunya saja yang berbeda sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur'an,:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al Anbiya: 35)
Sebisa mungkin usatzah Halimah memberikan dukungan moril kepada Melan agar kuat untuk menerima kenyataan pahit yang sedang dihadapinya.
***
Waktu terus bergulir. Melesat seperti anak panah yang membawa kehidupan anak manusia meniti setiap episode yang harus dijalani.
Bagi Melan kehilangan salah satu orang yang sangat dicintainya tak menyurutkan gadis itu untuk terus menuntut ilmu dan tetap memilih bertahan tinggal di asrama hingga perempuan itu menjemput kesuksesan.
Sang ibu di rumah tak henti memberikan dukungan baik dari segi materi ataupun dukungan moril kepada putrinya. Tidak lagi memiliki sosok ayah tak menjadi halangan untuk tetap menimba ilmu di pondok pesantren. Hingga kini Melan bisa lulus dengan nilai mumtazah dan berkesempatan untuk melanjutkan belajar ke negeri seberang dengan biaya beasiswa yang ia dapatkan.
End.
***
"Jangan mau diajak nikah sama Mas Agung, dia ikut pengajian sesat," ujar Mala kepadaku.
Mendengar informasi tak terduga seperti itu seketika membuatku terkejut. Bagaimana mungkin lelaki yang kukenal baik selama ini bisa mengikuti pengajian sesat? Hati ini berusaha menepis dan tidak mendengarkan dengan apa yang sudah Mala katakan barusan. sebelum aku sendiri mengetahuinya dengan pasti. Siapa tahu Mala berbicara seperti itu hanya ingin menghalangiku agar tidak melanjutkan niat kami, aku dan Mas Agung untuk menuju sebuah ikatan suci pernikahan.
Karena aku pun tahu pasti kalau pada dasarnya Mala yang dulu sempat menjadi calon istrinya Mas Agung itu masih menyimpan rasa dan harapan besar kepada lelaki asal suku Jawa itu.
Ya, dulu mereka berdua sudah berencana untuk melangkah ke pelaminan. Mala pun memintaku untuk hadir dan mendampingi di acara resepsi pernikahannya nanti. Ia meminta sebuah kado berupa seprai juga dariku. Aku yang saat itu mendengar celotehannya hanya menanggapi dengan senyuman kecut karena jauh di lubuk hati ada rasa iri menyergap.
Dulu aku selalu merasa iri tiap kali ada teman atau sahabat yang membawa kabar tentang pernikahan. Karena pada saat itu aku sendiri merasa sulit untuk bisa sampai ke tahap yang diimpikan setiap gadis berusia dewasa sepertiku.
Aku pun hanya mengiakan apa yang Mala katakan. Mala tidak tahu kalau hatiku saat itu sulit untuk digambarkan.
Seiring berjalannya waktu. Entah apa yang terjadi di antara Mas Agung dan Mala. Hingga suatu hari Mas Agung menghubungiku dan mengabarkan kalau ia tidak berjodoh dengan calon strinya itu.
Mendengar kabar tak terduga itu terselip sedikit harapan dalam hati. Antara tak percaya dan rasa bahagia melebur menjadi satu.
***
Penuturan Mala yang pernah ia ceritakan beberapa bulan yang lalu tentang pengajian sesat yang diikuti oleh Mas Agung mengusik relung hati. Tak mungkin aku bisa menikah dengan pria yang punya pedoman berbeda bahkan melenceng dari akidah. Apalagi sosok suami sejatinya harus menjadi imam dan panutan istri dan anak-anaknya kelak.
Berawal dari rasa penasaran itu aku pun mencoba memberanikan diri menanyakan semua unek-unek yang selama ini mengganjal dalam hati. Apa benar dirinya mengikuti kajian sesat seperti yang telah Mala sampaikan.
Melalui sambungan telepon, Mas Agung menjawab satu persatu semua pertanyaan dariku. Pria dewasa itu pun menyarankan agar aku mencari tahu sendiri pengajian yang selama ini ia ikuti. Dirinya memintaku untuk mencari informasi via internet di google mengenai pengajian MTA(Majlis Tafsir Al-Qur'an) yang pusat lokasinya katanya berada di kota kota Solo-Jawa Tengah. Sedangkan aku sendiri berdomisili di daerah Pandeglang-Banten.
Aku mengenal Mas Agung selain dari perantara Mala juga ternyata kami dulu saat kuliah pernah satu kampus di daerah Serang. Hanya beda semester. Sama sekali tidak pernah saling mengenal dari pertama kali masuk sampai lulus dan wisuda. Justru dipertemukan setelah Mas Agung sudah bekerja di daerah tempat asalnya.
Mas Agung saat itu sempat meluangkan waktu berkunjung ke rumah dengan niat untuk silaturahmi sekaligus akan melamarku dalam waktu dekat jika setelah bertemu merasa saling ada kecocokan.
Qodarullah kami pun merasa cocok satu sama lain tinggal menunggu waktu yang tepat untuk ke tahap yang paling sakral yaitu ikatan suci pernikahan.
Namun, ucapan Mala tiba-tiba saja membuatku ragu dengan apa yang ia sampaikan kalau Mas Agung ikut jama'ah kajian sesat. Aku sempat berpikir apa ini salah satu godaan atau ujian untuk orang-orang yang akan melaju ke jenjang pernikahan? Setan berusaha menabur rasa ragu agar orang yang tadinya memantapkan hati menuju niat ibadah dalam ikatan pernikahan sehingga mereka gagal di tengah jalan.
Dengan hati berdebar aku mulai menuliskan kata MTA di kolom pencarian situs internet melalui ponsel pintar. Dalam hitungan detik muncul beberapa situs tulisan berkaitan denga MTA. Jari jempolku mengklik salah satu tulisan teratas diantara deretan situs yang berjejer di layar ponsel.
Baris demi baris kubaca habis semua ulasan mengenai pengajian MTA. Yang sayangnya saat itu yang pertama kubaca pemaparan dari seseorang yang katanya dulu pernah jadi jama'ah MTA. Tapi, mengundurkan diri karena banyak kejanggalan di dalamnya. Diantaranya katanya, jama'ah wajib membayar sebesar tiga ratus ribu rupiah setiap kali mengikuti pengajian. Kaejanggalan lainnya katanya sang ustaz menghalalkan anjing.
Aku bergidik ngeri setelah membaca habis semua ulasan dari seseorang mantan santri MTA itu.
Aku pun menceritakan ulang kepada Mas Agung mengenai tulisan yang sudah kubaca tadi. Mas Agung meluruskan dan menyarankan kembali agar aku membaca tulisan versi lainnya yang sesuai dengan yang sebenarnya.
Aku pun semakin penasaran dengan nama MTA yang kala itu masih terdengar sangat asing di telinga. Karena yang kuketahui saat itu pengajian yang benar-benar sesat hanya kelompok jama'ah Ahmadiyah dan NII.
Mas Agung juga menyarankan agar aku mencari tahu profil kiyai Marzuki yang katanya selalu salah satu yang kontra terhadap MTA.
Usai membaca keduanya antara pengajian MTA dan kelompok kiyai Marzuki itu aku berkesimpulan memang MTA tak seburuk dengan apa yang kebanyakan orang kira selama ini. Hatiku semakin yakin dengan niatku untuk memilih Mas Agung sebagai imam dan pendamping hidup.
Namun, rasa yakinku kepada Mas Agung seketika memudar ketika kurasakan perubahan sikapnya beberapa hari ke belakang. Sudah beberapa hari ia tak pernah memberikan kabar. Hingga pada Jum'at malam ia menghubungiku. Tapi, di luar dugaan ia mengutarakan ungkapan yang membuatku merasa terpuruk kala itu.
"Mulai saat ini, jalani saja hidup kita masing-masing. Kalau kita memang ditakdirkan berjodoh Insya Allah nanti pasti ada jalannya untuk kita bersatu."
Begitulah penuturan Mas Agung yang sudah sukses membuat hati ini hancur berkeping. Beribu tanya berkecamuk di kepala. Kenapa tiba-tiba ia bisa berkata seperti itu? Apakah ia memang tidak ada niat untuk menikahiku seperti yang pernah ia utarakan sebelumnya? Kenapa justru sekarang berkata demikian?
Aku berusaha menata hati agar tangisku tidak pecah saat telepon masih tersambung.
"Kenapa Kakak tiba-tiba berkata seperti itu? Lalu bagaimana dengan niat kita yang akan menikah dalam waktu dekat?" Dengan terbata akhirnya keluar juga pertanyaanku.
"Niat untuk melamar dan menikah tetap ada. Tapi untuk saat ini biarlah kita menjalani kehidupan sendiri-sendiri tanpa harus saling bertanya kabar setiap waktu. Tho, kalau sudah waktunya dan takdir Allah menjodohkan kita pasti akan bertemu lagi." Jawabannya saat itu masih belum dapat kuterima.
Kenapa ia berkata seperti itu saat hatiku mulai yakin dengannya. Kenapa tidak dari dulu sebelum ia berkunjung ke rumah. Apa di luar sana ia sudah menemukan gadis lain yang menurutnya lebih cocok di hatinya?
Dengan setengah hati aku pun hanya mampu mengiakan semua yang ia sampaikan. Setelah kudesak apa alasannya hingga ia tiba-tiba berkata seperti itu. Ternyata saat itu ia baru saja pulang dari tempat pengajian. Kajian mingguan yang rutin ia ikuti di salah satu cabang. Sang ustaz menekankan kepada seluruh jama'ah khususnya kepada yang masih berstatus single untuk tidak menjalin hubungan di luar ikatan pernikahan. Karena semua itu selain dilarang agama juga akan menimbulkan fitnah. Begitu katanya.
Mas Agung pun menyampaikan sebuah hadits yang ia dapat dari hasil ngajinya yang artinya:
“Ditusuknya kepala seseorang dengan besi panas, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir 20: 211.
Hadits itulah rupanya alasan pria itu mengambil keputusan agar kami untuk sementara waktu harus menjaga jarak dan tidak menjalin komunikasi terlalu intens.
Usai mendengar ulasannya yang cukup lumayan panjang lebar itu aku pun seakan menemukan kekuatan baru untuk meneguhkan hati. Berusaha menerima keputusan Mas Agung apalagi alasannya yang memang hati kecilku pun menyetujui. Dan aku semakin yakin jika Mas agung sosok pria baik. Bisa menjaga diri dari hal-hal buruk yang dilarang oleh agama.
***
Beberapa bulan kemudian Mas Agung menepati janjinya. Menemuiku untuk kedua kalinya langsung dengan beberapa keluarga besarnya untuk langsung melamar.
Hari dan tanggal pun langsung ditetapkan tanpa ada hitungan hari baik atau hari buruk seperti yang dipakai oleh kebanyakan orang.
Untuk biaya dan mahar pun Mas Agung hanya ngasih sekadarnya. Aku pun tidak mempermasalahkan. Karena menurutku menikah tak harus dilaksanakan dengan pesta yang mewah dan meriah. Dengan acara sederhana asal terpenuhi rukun dan syarat sah nikah saja sudah cukup.
"Bu, apa ibu gak keberatan jika pernikahanku nanti digelar dengan cukup sangat sederhana tidak ada resepsi seperti yang lain?" tanyaku hati-hati kepada ibu ketika aku membantunya memotong sayur di dapur.
Perempuan sepuh itu pun menjeda aktivitasnya yang sedang menggoreng ikan. Menoleh ke arahku dengan lengkung senyum khasnya beliau berucap," Tak apa-apa, Nak. Itu bukan masalah besar yang harus dipikirkan. Bagi ibu kamu sudah dipertemukan dengan jodoh yang baik dan soleh saja itu sudah suatu anugerah yang harus disyukuri."
"Kamu sebagai perempuan jangan pernah merasa kecewa dan bersedih hati ketika diberi mahar seadanya oleh calon suamimu. Jangan memberatkan dengan meminta yang diluar batas kemampuannya" pungkas ibu kemudian.
Sebagaimana dengan salah satu ayat dalam kitab suci Al-Qur'an:
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An Nisa: 4)
Begitu wejangan yang ibu berikan sehingga aku lebih bisa memantapkan hati menikah dengan niat semata untuk menyempurnakan agama dan semata mengharap Ridha-Nya.
***
Memasuki satu tahun usia pernikahan kini aku sedang mengandung calon buah hati yang sebentar lagi akan lahir untuk melengkapi kebahagiaan kami
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!