NovelToon NovelToon

I Love You Dr. Gagu

Namaku ....

Konon katanya manusia sebelum dilahirkan ke dunia telah dituliskan takdirnya di Lauhul Mahfudz. Kisah ini cuma fiksi tidak ada sangkut pautnya andai ada kemiripan nama dan tempat dan bukan juga untuk menggambarkan Lauhul Mahfudz yang sebenarnya. Ini murni hanya imajinasi penulis saja.

Part 1

Ruh itu membuka kelopak matanya. Nampak fresh layaknya makhluk yang baru saja diciptakan. Ibarat roti fresh from the oven hihihi... Di hadapannya ada sesosok makhluk yang tidak bisa ia lihat dan tidak bisa ia gambarkan namun dia tahu dan bisa merasakan makhluk itu ada di situ. Di sebelah sosok itu ada satu sosok ruh pula yang terlihat rupawan dan begitu menarik dipandang mata. Sosok itu sepertinya sejenis dengannya hanya saja dengan rambut lebih pendek.

"Hai, anak cucu Adam. Ketahuilah, engkau baru saja diciptakan dan sebentar lagi akan ditiupkan engkau ke rahim ibu yang mengandungmu. Maka hiduplah dengan layak di muka bumi dan jadilah manusia bertakwa pada Tuhanmu."

Dia ruh wanita itu mengangguk. Sepertinya langsung memahami kata-kata yang baru diucapkan padanya. Sepertinya memang telah disetel otomatis agar langsung memahami perkataan begitu ia diciptakan.

"Dia adalah pasangan hidupmu. Seperti Adam dan Hawa, kau juga diciptakan dari tulang rusuknya," ujar sosok itu sebelum pergi.

Entah apakah dia malaikat atau makhluk ciptaan istimewa Tuhan yang lainnya, ruh wanita itu kembali lagi hanya mengangguk faham.

Ruh wanita itu melihat ke sosok ruh pria yang rupawan itu. Ruh pria itu menatapnya juga.

"Jadi, kau adalah jodohku?" tanyanya.

Ruh pria itu tersenyum dan mengangguk.

"Iya," jawabnya singkat.

Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak. Suasana terasa sejuk meski tak ada semilir angin. Di sekeliling mereka banyak pepohonan yang rindang. Di pinggir kiri jalan ada sungai yang airnya jernih dengan banyak bebatuan di dalamnya. Riak suara air seolah ingin menegaskan betapa tenang dan damainya tempat ini.

"Kita akan kemana?" tanya ruh wanita memecah keheningan.

"Kita akan kesana." Ruh pria itu menunjuk ke satu arah.

Ruh wanita itu melihat kesana. Nampak olehnya satu gerbang yang sangat besar. Namun itu terlihat bukan seperti gerbang bangunan. Namun sulit dijelaskan, gerbang itu seperti gerbang atau pintu sebuah tempat berwarna putih mutiara yang menjulang jauh ke langit tinggi.

Ruh wanita itu menoleh ke arah ruh pria yang katanya adalah jodohnya di dunia dan akhirat itu. Mimik wajahnya seperti bertanya tempat apa itu.

"Itu kitab Lauhul Mahfudz, kita akan kesana. Sebelum dilahirkan ke bumi, di tempat itu takdir kita akan dicatat dan itu akan menjadi janji dalam perjalanan hidup kita," kata ruh pria itu.

"Takdir?"

"Iya, takdir. Takdir berjuta-juta umat manusia, dan segala hal yang mencakup alam semesta, di langit dan bumi beserta isinya, seperti takdir kita yang akan menjadi pasangan hidup."

Ruh wanita itu terlihat takjub. Dia tersenyum. Ruh lelaki ini benar-benar sangat membuat tenang dan terasa damai berjalan di sampingnya. Atau, memang tempat ini yang suasananya begitu hangat namun sejuk?Ahhh ... entahlah, yang jelas dia begitu menyukainya. Namun berikutnya keheningan pun terjadi di antara mereka. Mereka lebih memilih diam dan melanjutkan perjalanan.

 ***

"Takdir apa yang kamu minta?"

Ruh wanita bertanya pada ruh pasangannya itu.

Ruh pria itu tersenyum penuh arti.

"Aku tidak boleh tau? Ayolah, aku sudah melihat takdir yang menghubungkan kita, yang ada kamu dan aku di dalamnya. Tapi aku tidak melihat keseluruhan yang menjadi takdirmu."

Ruh pria itu menghela nafas panjang. Matanya menerawang jauh.

"Sesuatu yang buruk?"

Ruh pria itu menggelengkan kepalanya. "Sesuatu yang diciptakan Tuhan tidak ada yang buruk, tidak ada yang sia-sia."

"Lalu?"

"Hanya saja kita yang tidak memahaminya."

Ruh wanita itu mengangguk-angguk setuju.

"Sebentar lagi aku akan ditiupkan ke rahim ibu yang mengandungku. Apakah kita akan pergi bersama?"

"Tidak. Aku akan menyusul 7 tahun kemudian pada waktu yang berlaku pada manusia. Di hari yang sama dengan hari dan bulan kamu dilahirkan."

"Ohh, apakah itu yang dimaksud aku menjadi tua dan kau muda?"

Ruh pria itu menyeringai. "Iya.Tapi bagi manusia cinta tidak mengenal usia."

"Apa itu cinta?"

"Entahlah, sepertinya istilah itu populer di kalangan manusia. Aku melihatnya sekilas tadi di Lauhul Mahfudz."

Ruh wanita itu tersenyum. Sebenarnya tadi di Lauhul Mahfudz

dia sempat melihat dan mendengar istilah itu di perjalanan hidupnya. Namun tidak benar-benar memahami maknanya. Sebentar lagi ia akan ditiupkan ke rahim ibunya. Dia harus tahu nama jodohnya ini sebelum terlahir ke dunia. Meski pada akhirnya segala ingatannya akan dihapus dan ia akan terlahir begitu polos dan tak akan mengingat apa pun lagi yang terjadi di tempat ini.

"Siapa yang akan menjadi namamu begitu terlahir ke dunia nanti? Meski aku tidak akan mengingatnya nanti tetapi aku ingin mengetahuinya sekarang. Entah bagaimana kita akan saling menemukan kembali, namun aku senang kamu yang menjadi pasangan hidupku nanti."

Ruh pria itu menatapnya dan dibalas tatap dengan seksama olehnya.

"Namaku ...."

***

"Raya ...! Raya, bangun!!! Sudah siang ini. Memangnya kamu nggak ke rumah sakit hari ini?"

Suara Ummik membangunkanku. Perlahan-lahan ku buka mataku. Terasa berat kepala ini karna kurang tidur. Kulihat jam di telpon selulerku menunjukkan jam 07.56.

"Aduuh, Ummik! Ummik kok bangunkan Raya sih. Raya baru pulang jam 6 tadi. Raya dapat shift malam. Baru juga tidur sebentar udah dibangunin. Mana Raya lagi mimpi in .... dahh ...."

Sampai situ aku termenung mengingat-ingat kembali mimpiku tadi. Mimpi apa ya? Indah apaan? Wong nggak ingat apa-apa juga. Tapi benar, walaupun kepala berat efek begadang di IGD semalam, tapi mimpi itu terasa masuk hingga ke kalbu. Terasa tenang dan damai rasanya.

"Mimpi indah apa kamu?Jangan kebanyakan mimpi, Ray. Yang benar itu mimpi itu dijadikan jadi nyata. Coba kamu menikah agar mimpi kamu dapat pangeran seperti di film-film cina itu bisa terwujud," omel Ummik.

"Bukan film, Mik.Tapi drakor. Drama korea," ujarku meralat kata-kata Ummik.

"Hallah, sama saja korea, cina, jepang, hongkong podo wae sama-sama matanya sipit kulitnya putih," bantah Ummik.

"Ahhh .... terserah Ummik deh," ujarku mengalah. Sadar ummik nggak akan bisa didebat kalau sudah merasa benar.

"Ngomong-ngomong Ummik pulang jam berapa tadi, Mik?Nenek sehat?" tanyaku.

Selama dua hari ini Ummik memang lagi mengunjung nenek di kota sebelah.

"Justru itu, Ray. Nenek itu nanya terus kapan kamu menikah. Umurmu sudah menginjak kepala tiga. Udah 30 tahun loh Ray. Kok ya, masih nggak kepikiran mau nikah, toh."

"Belum ketemu jodohnya, Mik," jawabku singkat seperti tak tertarik membahas soal itu. Jawaban seperti itu memang selalu otomatis keluar dari mulutku kalau ada yang menanyakan kapan aku akan menikah.

Sebenarnya bukan aku tidak kepikiran ingin menikah seperti orang-orang seumuranku yang di usia sedewasa ini harusnya udah punya anak satu, dua, bahkan ada yang telah memiliki tiga bahkan empat anak. Teman-teman sebayaku juga hampir semua sudah menikah dan punya keluarga lengkap sepaket dengan anak masing-masing. Hanya saja pengalaman di tinggal kawin oleh seseorang laki-laki yang dulu pernah mengisi hatiku membuatku enggan berusaha agar segera menikah. Menurutku jodoh akan menemukan jalannya sendiri untuk saling menemukan. Dan aku tau Ummik tidak sependapat denganku. Menurut Ummik jodoh dan rejeki itu harus diikhtiarkan.

"Yah, gimana mau ketemu kalau tidak saling mencari? Kamu itu gimana, toh?"

Tuh benarkan kataku? Ummik pasti akan menyeretku ke pembahasan seperti ini dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan ide perjodohan dengan anak teman-teman Ummik atau kenalannya.

"Terus, maunya Ummik apa? Masa Raya yang harus mencari laki-laki?Aduh apa kata dunia kalau anak ummik yang cakep ini mengejar-mengejar cowok, Mik? Bisa-bisa digosipin Ummik sama teman-teman pengajiannya Ummik, dibilang 'ihhh.. katanya anaknya dokter, berpendidikan tapi ga tau malu ngejar-ngejar laki-laki', Hayooo kalau tetangga dan teman-teman ummik ngomongin Raya kayak begitu, bagaimana?"

Ummik menatapku serius. "Ummik tidak peduli apa kata orang, Nak! Yang Ummik mau kamu itu segera menikah. Kamu itu perempuan, Nduk. Perempuan itu gampang menua. Kalau kamu terus begini kamu menua sampai usia 35 tahun atau sampai usia 40 tahun gimana? Siapa nanti yang mau sama kamu?"

Aku menghela nafas panjang. Aku memegang tangan Ummik.

"Ummik, Ummik percaya jodoh di tangan Allah, kan Mik? Jodoh Raya itu sudah tertulis di Lauhul Mahfudz, Ummik! Hanya saja belum bertemu dengan Raya. Ummik yang sabar. Jika memang sudah tiba waktunya, Raya pasti akan menikah juga."

Aku segera mengambil handuk bersiap untuk mandi. Pembicaraan dengan Ummik ini tidak akan mencapai titik temu. Dan juga membuat aku tidak merasa mengantuk lagi sekarang.

"Tapi sampai kapan, Ray? Nenek sudah sepuh, dan bagaimana kalau beliau nggak sempat melihat kamu menikah? Kamu loh nggak pernah berpikir sampai sana."

"Mik, Raya tau nenek sudah sepuh tapi Raya tau nenek itu masih sangat sehat. Malah lebih sehat dari Ummik. Jadi jangan khawatir. Raya yakin umur nenek masih sangat panjang, masih sempat bangetlah melihat Raya punya anak sebelas," candaku sambil nyengir.

"Ihh, kamu itu Ray! Diomongin serius malah becanda lagi. Gimana kalau Ummik yang berumur pendek gara-gara mikirin kamu yang berhati dan kepala batu itu?"

" Aduuuh .... Ummik! Jangan drama lagi deh! Raya mau mandi dulu mau jalan aja hari ini. Raya pusing di rumah. Siapa tau hari ini ketemu jodoh dengan menantu idaman Ummik," selorohku seraya ngacir ke kamar mandi, sebelum Ummik menemukan sesuatu untuk dilemparkan padaku.

Pedofilia

Dengan santai aku mengendarai motor matic kesayanganku. Sesekali aku melihat bayangan wajahku yang memakai jilbab warna biru muda di kaca spion. Banyak yang bilang wajahku tergolong baby face di usiaku yang 30 tahun ini. Wajah baby face itu pun dikarunia cacat yang indah, yakni sebuah lesung pipi di sebelah kiri. Aku tersenyum memamerkan senyum manisku pada diri sendiri. Masa iya, secantik ini ga ada yang mau lagi sama aku meski umurku 35 tahun nanti? Yah, benar sih kata Ummik perempuan itu cepat menua. Apalagi bagi perempuan yang akan melahirkan di usia 40 tahun ke atas, akan sangat beresiko. Tapi kan sekarang jaman sudah modern. Bukan hal yang aneh kalau kaum wanita lebih memikirkan karir dulu daripada pernikahan. Lagi pula aku yakin, sebelum usiaku 40 tahun aku sudah menemukan jodohku. Mungkin di usia 33 tahun, batinku.

Tujuanku saat ini adalah ingin mampir di sebuah toko di salah satu pusat perbelanjaan. Ingin membeli sekotak coklat kesukaanku, lalu kemudian menuju kolam renang tempat aku biasa berenang di tiap kali aku punya waktu senggang. Berenang memang adalah hobby sehatku. Selain sehat juga membuat fresh tubuh lahir dan batin.

Masuk ke area mall aku memarkirkan motor kesayanganku. Sempat bercermin di pintu kaca dan tersenyum sambil memuji diri sendiri dalam hati. Perfect! batinku. Celana panjang warna navy, baju kaos lengan panjang warna putih, serta dipadukan dengan jilbab warna biru muda dan tidak lupa sepatu kets warna putih yang menurutku sangat mendukung penampilanku untuk menikmati me time ku hari ini.

Usai mendapat coklat yang kumau segera aku meninggalkan tempat itu. Namun, ketika aku hendak keluar dari pintu keluar mall tiba-tiba aku melihat adegan menarik yang membuat jiwa kejombloanku semakin bergelora.

Dari dalam mall seorang gadis berusia sekitar 12 tahunan sedang berlari dikejar oleh seorang pria yang menurutku perbedaan usia mereka berjarak sepuluh tahunan. Gadis yang beranjak remaja itu terlihat cantik meski sedang menangis. Rambutnya yang pendek sebahu membuat ia terlihat semakin manis bak boneka. Lelaki yang mengejarnya itu kemudian menangkap tangannya dan menarik gadis kecil itu kepelukannya tanpa berkata apa-apa. Setelah gadis itu agak tenang, sang pria mengeluarkan sesuatu dari tas sandangnya. Dia mengeluarkan sebuah buku dan spidol. Terlihat jelas dia menulis sesuatu dan memperlihatkannya pada gadis kecil itu.

[I'm really sorry, Nadya!]

Gadis kecil bernama Nadya itu sesenggukan. Kemudian lelaki itu membalik lagi halaman kosong pada buku itu dan menulis lagi.

[Aku tidak tahu akan begini]

Lalu ia kembali menulis lagi.

[Tapi satu yang harus kamu tau]

[I love you]

[Really love you]

[Always love you]

Gadis itu tambah terharu dan memeluk lelaki itu.

Oh, my God!!! Apakah mereka berpacaran?batinku. Anak sekecil itu sudah pacaran? Kemana orang tua anak itu, gerutuku dalam hati, tapi tanpa berusaha menegur pasangan kekasih beda usia itu, karena itu memang bukan urusanku.

Sadar diperhatikan olehku anak itu melepas pelukannya dan melihat ke arahku. Pria itu menoleh ke arahku juga. Tak ingin dianggap sebagai orang yang kepo urusan orang lain aku bergegas ngacir ke parkiran dan langsung tancap gas menjemput sahabatku dulu sebelum ke kolam renang umum tempat kami akan berenang.

\*\*\*\*

Siti Hawa sahabatku dari sejak masa kuliah menyambutku dengan hangat. Aku menjemputnya di rumah sakit tempat ia bekerja sekaligus juga rumah sakit milik mertuanya itu. Di rumah sakit itulah dulunya Hawa koas dan akhirnya saling jatuh cinta dengan dokter senior yang kebetulan juga adalah anak dari pemilik Rumah Sakit Medika Rahayu. Sungguh sahabatku yang sangat beruntung.

"Rayaaaa!!!" pekiknya girang. Namun segera ia tutup mulutnya sadar banyak orang memperhatikan.

"Iya, Bu Boss!" jawabku. "Supir siap mengantar Bu Boss mau kemana pun hari ini."

"Apa sih kamu, ihh." Hawa mencubit kecil pinggangku pertanda ia tak mau dipanggil Ibu Boss.

"Habis kamu .... Susah banget ngatur waktu buat bisa have fun bareng kayak dulu, berenang kek, jalan kek, apa kek,mentang-mentang udah jadi Bu Boss sekarang lupa deh sama sahabat sendiri," cibirku.

"Maaf, maaf.... Kamu kan tau, selain ngurusin kerjaan di rumah sakit aku juga harus ngurusin Yusuf dan mas Ibrahim, Ray. Nasib jadi ibu rumah tangga sekaligus jadi pekerja ya begini Ray,hidup sudah kaya sapi pekerja, kerja lembur bagai kuda," selorohnya. "Makanya buruan nikah biar kamu juga bisa ngerasain."

"Nah, mulai, mulai deh! Kamu sama deh kayak Ummik. Yang dibahas apa jawabnya apa. Pasti ngerembet ke masalah pembahasan jodoh. Jadi sebal aku."

"Ihh, Ummik loh nggak salah, Ray. Wajar donk, Ummik pengen momong cucu yang kiyut kiyut gemesin dari kamu. Anaknya Ummik kan cuma kamu doank. Kalau kamu kerja Ummik kesepian tau di rumah. Kalau ada cucu kan rame, Ray."

"Aihhh .... Gampang mah kalau itu. Nanti aku culik Yusuf dari rumahmu buat temani Ummik, atau sekalian aja aku nungguin Yusuf gede aja, Wa?! Siapa tau Yusuf adalah menantu yang selama ini dinantikan Ummik buatku," selorohku ringan.

"Garing ahh, becandamu nggak lucu tau. Ogah aku punya mantu kayak kamu. Kepala batu!!!"

"Aku ini bisa jadi mantu yang baik, Mami," ledekku.

Hawa menjulurkan lidahnya menandakan ekspresi tak sudi dan masih sambil membawa mobil yang langsung kusambut dengan gelak tawa. Yusuf adalah anak dari pernikahannya dengan Mas Ibrahim.

"Ya, mungkin aja donk Mami Hawa, kalau aku berjodoh dengan Yusuf. Apa sih yang nggak mungkin di dunia ini. Kalau semisalnya namaku dan nama Yusuf yang tertera di Lauhul Mahfudz, kamu mau apa, hayooo??? Buktinya kata orang, jodohnya Adam itu adalah Hawa. Kok kamu malah berjodoh sama Ibrahim? Nah, Siti Hajar kemana sampai kamu menikung Ibrahim???Hahahaha..." gelakku. "Udah gitu anaknya Yusuf lagi."

"Nggak! Ogah punya menantu kayak kamu!Slenge'an!" celanya.

Kami masih saling ejek mengejek ketika mobil yang kami kendarai memasuki jl. Danau Toba. Di situ sedang ada demonstrasi mahasiswa yang memakai jas almamater berwarna biru tua tepat di depan kantor DPRD. Salah seorang mahasiswa yang jadi leader memegang pengeras suara dan menyampaikan aspirasi mereka. Sepertinya kalau disimak para mahasiswa itu keberatan akan seorang terduga koruptor yang belum ditahan dan juga masih aktif bekerja. Mereka menuntut agar pejabat terduga koruptor itu dinonaktifkan dalam bertugas dan dihukum setimpal dengan perbuatannya.

Aku melihat ke arah orator yang sedang memimpin aksi unjuk rasa itu. Dia kan .... Keningku langsung mengernyit heran.

"Itu kan .... Wah, wah .... Nggak benar ini. Dia sok mau jadi orator memimpin demonstrasi kayak udah benar aja hidupnya, ihh!" kataku sinis.

"Siapa sih?" Hawa penasaran melihat ke arah aku melihat, sambil tetap membawa mobil perlahan. "Kamu kenal?" tanyanya.

"Itu loh, aku tadi melihat dia di mall pas aku beli coklat. Dia kayaknya pedofil deh, Wa!" jawabku masih terus melihati orang itu dengan seksama.

"Haaa??? Masa sih?pedofilia gimana? Kamu tau dari mana?" Hawa serius bertanya.

"Aku melihat sendiri, Wa! Dia pacaran dengan lolli. Mesra pake pelukan ungkapan cinta ditulis di buku gitu selembar demi selembar, Wa! I,m sorry, i love you, really love you, always love you, gitu, Wa! Di depan mall, nggak tau malu kan!" geramku.

"Wait, wait... maksudmu, lolli itu anak kecil? Serius kamu, Ray?" Hawa masih tak percaya.

"Iya .... Serius! Beneran, aku nggak bohong, Wa! Anak itu yang jadi pacarnya paling masih seumuran 11 atau 12 tahun gitu, ngeri banget kan pedofilia jaman sekarang. Merajalela, kasihan anak itu. Entah kemana orang tuanya, mungkin dia kurang kasih sayang."

Hawa terlihat bergidik mendengar ceritaku. Mungkin karna ia punya anak balita juga. Yusuf masih berusia kurang lebih 6 tahun. Memang dia anak laki-laki. Tapi predator seksual jaman sekarang tidak mengenal gender.Mau perempuan atau lelaki bisa jadi target mereka. Wajar Hawa khawatir mendengar ceritaku.

Kolam Renang

"Ray, ayo cepat!" Hawa menarik tanganku buru-buru begitu aku membuka pintu ruang ganti, padahal aku baru saja selesai mengganti pakaian dengan baju renang.

"Kenapa?" tanyaku.

"Itu kayaknya ada orang tenggelam. Ayo kesana! Siapa tau ga ada nakes di sana."

Aku melihat ke arah yang ditunjuk Hawa. Di seberang sana terlihat kerumunan orang di pinggir kolam. Dari dalam air seorang pria terlihat membawa seorang gadis remaja dari dalam air. Sepertinya pria itu menyelamatkannya.

"Ayo cepat!!!"

Aku dan Hawa berlari-lari kecil tergopoh-gopoh takut kepleset karna keramik lantai yang licin. Dari jarak kami ke kerumunan itu cukup jauh karna kolam renang umum ini lumayan besar dan luas dengan 2 kolam dewasa dan satu kolam anak-anak.

"Minggir- minggir!!! Permisi! Kami dokter."

Hawa segera menyeruak di antara kerumunan orang yg melihat kejadian itu, disusul aku. Dan kerumunan orang-orang itu langsung memberi jalan kepada kami.

Aku terkejut melihat korban tenggelam yang tiada lain adalah orang yang aku lihat di mall tadi. Siapa tadi namanya? Oh, Nadya. Aku masih ingat. Di sebelahnya lelaki itu, adalah pria yang sama dengannya ketika di mall, yang dugaanku adalah kekasih dari remaja kecil ini. Lelaki ini tengah berusaha membuka restleting depan baju renang gadis kecil itu.

"Dasar cabuuul!!!" Spontan aku mendorong lelaki ini dari tubuh anak itu. Pedofil ini tidak bisa dibiarkan.

Lelaki itu terkejut, dan menatapku marah. Dia mendorongku dan berusaha ingin mendekati gadis itu lagi. Aku tak terima dan balas menarik laki-laki itu.

"Kamu jangan kesempatan dalam kesempitan, ya!" ancamku sambil jariku menunjuk mukanya.

Aku berpaling ke arah Nadya. Di sebelahnya, Hawa, tengah memeriksa kondisinya, memeriksa denyut nadinya, dan mendekatkan telinganya ke pipi gadis itu. Hawa ingin mendengar suara nafas dari mulut dan hidung Nadya pasti.

"Dia henti nafas, Ray!kita harus segera melakukan CPR!!"

"Nad!!! Nadya!!!" panggilku lantang, memastikan kalau anak itu benar-benar tidak sadar.

"Kamu kenal?" tanya Hawa.

"Nggak." jawabku sambil menyempatkan diri melotot ke arah lelaki itu.

Hawa bingung mendengar jawabku, namun memutuskan untuk tidak bertanya dulu.

"Aku akan telpon ambulance dulu," katanya. "Sambil kamu lakukan CPR, Ray!"

Hawa berlari ke tempat penitipan tas dan barang berharga lainnya.

Aku segera mengambil posisi berlutut di antara leher dan bahu Nadya, meluruskan lenganku, namun sebelumnya aku menginginkan agar kerumunan orang-orang ini menjauh dari kami dulu.

"Bapak, Ibu, Adek- adek mas- mas dan mbak-mbak tolong ya, mundur sekitar 1 meter ke belakang! Mohon berikan kami tempat yg leluasa agar tidak pengap bernafas," himbauku.

Semua segera patuh refleks mundur, kecuali lelaki yang tadi bersama gadis kecil ini.

Dengan sigap aku membuka baju Nadya seperlunya, meletakkan sebelah telapak tanganku persis di dadanya dan menimpanya dengan telapak tanganku yang satunya. Tidak lupa mengucapkan bismillah sebelumnya, aku mulai melakukan CPR atau yang biasa disebut juga RJP (Resusitasi Jantung Paru).

Dalam satu menit pertama aku melakukan kompresi jantung. Menekan dada Nadya sedalam 5 cm sebanyak 30 kali. Selanjutnya sesuai prosedur melakukannya sebanyak kurang lebih 100-120 kali permenit, atau melakukan satu kali atau dua kali tekanan permenit.

Belum ada tanda- tanda bahwa Nadya akan bernapas. Aku melakukan tindakan selanjutnya yaitu pemberian nafas buatan. Dengan lembut aku mendongakkan wajah Nadya, memperbaiki posisi lehernya, meletakkan sebelah tanganku di dahinya dan membuka rongga mulutnya. Setelah itu, aku menjepit hidungnya dan memberi nafas buatan sebanyak 2 kali hembusan.

Belum ada respon dari gadis ini. Aku melakukan CPR lagi sebanyak 30 kali dan memberi nafas buatan lagi terus menerus sebagai sebuah siklus pertolongan pertama bagi seseorang yang mengalami henti napas.

Kurang lebih 15 menit aku sudah melakukan tindakan CPR ini untuk menyelamatkan anak ini, namun sepertinya belum ada tanda-tanda dia akan bernafas. Aku mulai khawatir ditambah lagi aku mulai merasa lelah memompa dada Nadya terus menerus tanpa henti. Tapi aku tak boleh menyerah. Sementara orang-orang di sekitarku yang berkerumun mulai berisik. Entah itu karena mengkhawatirkan nasib anak itu atau sedang mempertanyakan kompetensiku sebagai dokter sebagaimana pengakuan kami tadi kepada mereka.

"Wa, gimana? Ambulancenya udah dihubungi belum?" tanyaku pada Hawa yang kini ikut berlutut di sampingku sambil aku tetap terus menekan dada Nadya. Peluh mengucur deras di keningku dan seluruh wajahku.

"Udah, Ray! Mereka sedang menuju kesini. Hmm ....Tapi aku menghubungi Rumah Sakitmu loh ya, tadi aku hubungi ke RS katanya ambulance semua lagi dipake," jawab Hawa.Tentu saja yg dimaksudnya tidak bisa adalah rumah sakit milik mertuanya.

"Oh, iya. Sudah nggak apa-apa, Wa!"

"Kamu capek, Ray?" Hawa mengelap keringat di keningku dengan handuk kecil miliknya.

Aku menggeleng.

Aku hampir saja menyerah ketika aku merasakan detak jantung anak itu kembali. Dia bernafas dan terbatuk-batuk. Keluar air dari mulut dan hidungnya. Namun, aku merasa ada yang janggal dari suara tarikan nafasnya.

"Dia mengi, Ray!" Hawa mendahuluiku.

Aku mengangguk mengiyakan. Kelihatannya anak ini adalah penderita asma atau sesak nafas.

Hawa membantu memiringkan tubuh Nadya, agar air yang keluar dari mulutnya tidak masuk lagi lewat hidung. Sementara itu, aku mencari- cari sosok laki- laki yang menemani gadis ini. Dia pasti tau riwayat penyakit gadis ini kalau memang dia adalah orang terdekatnya.

Wah, kemana lagi dia? Apa dia kabur? batinku.

Namun prasangkaku itu segera tertepiskan ketika aku melihat dari jauh dia tergopoh-gopoh mendekati kami lagi sambil membawa tas sandang miliknya.

Tanpa banyak ba bi bu, aku to the point bertanya.

"Dia penderita asma?" tanyaku.

Lelaki itu mengangguk sambil menyerahkan sesuatu yang segera kutahu kalau itu inheler "Ya, Na-dia as-maa .... Na-dia .... se-sak .... na-pas"

"Haa? Apa ...." Aku tertegun ketika menyadari sesuatu.

Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Menuliskan sesuatu di kertas itu dan menunjukkannya padaku.

[Nadya, keponakanku. Dia sesak nafas]

Aku terperangah namun tetap menyerahkan inheler itu pada Hawa untuk membantu Nadya melegakan pernafasannya, walaupun tidak akan banyak membantu karna yang dibutuhkan Nadya sekarang adalah oksigen.Terlebih lagi aku heran lelaki itu bersikap seperti orang yang memiliki gangguan bicara.

Lelaki itu menulis lagi di kertas.

[Aku heran kenapa kamu menganggapku cabul pada ponakanku sendiri? Tadi aku membuka bajunya agar ia bisa mudah bernapas dan agar bisa leluasa melakukan CPR]

"Kamu mengerti prosedur CPR?" tanyaku tak percaya.

Dia mengangguk. Lalu menulis lagi.

[Iya. Aku nakes juga. Aku dokter]

Aku tertawa kecil meremehkan. "Mas, please! Kamu jangan mengada-ada, membualmu kelewatan! Kamu bisa aja membodohi orang termasuk anak kecil seperti Nadya ini. Kamu juga pasti cuma pura-pura jadi gagap kan biar kelakuanmu yang cabul tidak ketahuan? Jelas-jelas tadi aku melihatmu berdemo di depan kantor DPRD. Pakai pengeras suara nyaring sekali, sekarang kamu pura-pura bisu. Ihhh .... Please deh!"

Dia menulis lagi.

[Kamu melihat orang yang salah, itu bukan aku, aku sudah sedari tadi disini]

"Lalu itu siapa? Hantu?" tanyaku ketus.

Aku mengingat-ingat lagi. Sepertinya mereka memang bukan orang yang sama. Jarak antara kantor DPRD tempat aksi unjuk rasa tadi itu jaraknya tidak begitu jauh dari kolam renang ini. Sementara aku dan Hawa tadi lewat dari situ, unjuk rasa itu masih berlangsung. Dan kami baru saja sampai kolam dan masih ganti baju, lelaki ini dan Nadya sudah ada di sini. Itu berarti mereka sudah ada di sini sebelum kami datang.

Kuperhatikan lagi wajah lelaki itu dengan seksama. Benaran mirip kok!

"Jadi itu siapamu?Kembaranmu?"

Dia menulis lagi.

[Iya, mungkin saja. Aku memang memiliki kembaran, dia aktivis di kampus Universitas Bhakti Nugraha]

Aku manggut-manggut memikirkan kalau penjelasannya memang masuk akal karena memang mahasiswa kampus itu yang demonstrasi tadi.

"Okelah, masuk akal. Meski begitu aku tidak percaya kamu dokter."

Lelaki itu menghela napas pasrah. Sementara suara sirene ambulance terdengar semakin dekat, pertanda mereka sudah sampai di area kolam renang umum ini.

Benar saja yang datang adalah rekan-rekan perawat di rumah sakit tempat aku bekerja.

"Dokter Raya ada disini?" tanya mereka.

"Iya" jawabku." Tolong dibantu ya, Mid, Mi" Kataku pada Hamid dan Fahmi.

"Siap! Bu dokter!" kata Fahmi sambil menaruh tangannya di pelipis persis seperti orang yang memberi penghormatan pada atasan.

"Dia juga butuh oksigen. Kalian bawa?"

"Bawa donk. Kan tadi instruksinya begitu dari RS?"

"Yang jaga di IGD ada dokter siapa, Mid?" tanyaku pada Hamid yang pendiam.

"Harusnya sih dokter Aris, Dok! Tapi tadi beliau ada urusan mendadak. Kayaknya istrinya mau melahirkan deh."

Aku menatap Hawa sebentar "Wa, kayaknya kita nggak usah jadi berenang dulu deh, nggak ada yang jaga IGD"

"Ya, sudah nggak apa-apa, Ray. Kita bisa kesini minggu depan lagi"

"Apa kamu mau berenang sendiri aja?Tanggung loh, udah nyampe sini juga. Udah ganti baju pula."

"Nggak ah, aku pulang aja, nggak enak berenang sendirian"

"Beneran nggak apa-apa nih? Kamu pulang sendiri apa ikut aku aja ke RS?"

"Aku pulang aja Ray, kangen Yusuf"

"Kekasihku," ledekku yang disambut tonjokan di kepalaku.

" Ya udah. Aku titip motorku di rumahmu dulu, ya!"

"Ya .... Jangan lupa bayar parkirnya," canda Hawa.

"Ok, ok. Aku ikut kalian," kataku pada Hamid dan Fahmi. "Tunggu aku ambil tasku di tempat penitipan dulu."

"Dan kamu! Ikuti kami juga dari belakang." suruhku pada lelaki yang belum kutahu namanya itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!