NovelToon NovelToon

Ummu Sibyan

Bab 1. Ummu Sibyan

Allahuakbar Allahuakbar!

Azan maghrib terdengar menggema dari pengeras suara mushola yang tidak jauh dari rumah Aruna. Bergegas Aruna menutup seluruh jendela rumah. Ketika tatapan Aruna terlempar keluar melewati kaca rumahnya, langit tampak pekat, tidak seperti biasa. Alis Aruna berkerut dalam. "Aneh sekali," gumamnya.

"Aruna! Cepat tutup seluruh jendela dan pintu depan!" pekik suara dari arah dapur, yang membuat lamunan Aruna tersentak.

"Iya, Bu! Ini sedang aku lakukan!" jawab Aruna lalu segera melakukan tugasnya. Namun, Aruna tidak bisa bergerak cepat karena usia kandungannya sudah tujuh bulan serta kondisi perut yang sudah membesar.

Hingga tiba Aruna di depan pintu rumahnya. Pintu itu ada dua lapis. Lapis di dalam merupakan pintu kayu seperti kebanyakan pintu, sedangkan lapis terluar merupakan pintu besi layaknya pintu pagar, hingga mampu memperlihatkan pemandangan di baliknya.

Aruna justru terpaku. Entah hal apa yang menahannya untuk tetap di sana, menatap halaman rumahnya yang lapang. Seperti ada sesuatu yang menahan kaki Aruna untuk tak beranjak.

"Aruna!" pekik Bu Gayatri lagi. Ibunya itu muncul dengan wajah lelahnya.

Aruna kembali tersadar dan bergegas menutup pintu. "Maaf, Bu. Tadi malah terbawa suasana sore yang menenangkan," ucap Aruna sambil tersenyum manis.

Bu Gayatri menggelengkan kepalanya pelan. "Ditutup dulu 'kan bisa, Na. Azan maghrib sudah selesai loh. Nggak baik kalau jendela dan pintu masih terbuka. Apalagi, kamu lagi hamil," nasehat beliau yang kini turut membantu menutup tirai.

"Memangnya kenapa, Bu? Apa hubungannya ibu hamil dengan waktu maghrib?" tanya Aruna sambil terkekeh geli. Usia ibunya memang bisa disebut wajar bila masih mempercayai mitos seperti itu.

Bu Gayatri berdecak pelan. Kesal sekaligus marah pada putrinya yang sulit untuk di nasehati perkara hal mistis. "Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Ayo, kita makan!" ajak beliau sambil menuntun lengan Aruna menuju ruang makan.

Tentu saja hal itu membuat Aruna kesal. Rasa penasarannya belum terjawab, tetapi ibunya seperti enggan menjelaskan. Saat tiba di meja makan, Aruna kembali melemparkan tanya. "Bu? Tadi, maksudnya apa? Aku nggak akan percaya kalau Ibu nggak jelasin secara spesifik," cecarnya dan Bu Gayatri hanya menatap datar sang Putri.

"Kenapa sih, Yang? jelasin soal apa? Sampai harus spesifik?" Suara suaminya terdengar memasuki ruang makan. Aruna terkesiap dan langsung beranjak untuk menyambut kepulangan suaminya.

"Mas Kala! Udah pulang? Nggak jadi lembur ya?" runut Aruna langsung menghampiri dan menyalami Kalandra. Suaminya itu menggeleng. Sebuah kecupan di kening menjadi hadiah untuk Aruna. Lalu, Kala mengacak pelan puncak kepala istrinya tercinta.

"Kebetulan, tadi sore udah selesai semua. Ya udah, aku pun pulang lebih awal," jelas Kala sambil menatap Aruna dengan pandangan meneduhkan. Mulut Aruna baru akan terbuka, tetapi niatnya urung ketika suara Bu Gayatri kembali terdengar.

"Kala. Pergilah ke kamar mandi lebih dulu. Tidak baik baru dari luar dan pulang maghrib langsung menemui istri yang sedang hamil." Mendengar itu, Aruna memutar bola matanya jengah, tidak habis pikir dengan sikap ibunya yang masih mempercayai hal demikian.

"Baik, Bu." Akhirnya, Kala memutuskan untuk membersihkan diri lebih dulu. Aruna pun kembali ke kursinya dengan wajah tertekuk. Semenjak dia hamil, ibunya memang berubah posesif.

"Tidak perlu cemberut seperti itu. Ikuti nasehat orang tua karena kami lebih berpengalaman," sergah Bu Gayatri sebelum Aruna melemparkan protesnya.

Aruna menghembuskan napasnya kasar. Bahunya melorot, seperti tak memiliki tenaga. "Memangnya kenapa, Bu? Kalau Ibu kasih alasan, aku pasti tidak akan banyak protes lagi," rajuk nya masih belum bisa menerima gagasan mitos sang Ibu.

Bu Gayatri kini menatap putrinya serius, membuat Aruna merubah ekspresi wajah memohon agar ibunya berbelas kasihan mau menjelaskan. "Ibu terpaksa harus mengatakan ini demi keselamatan kamu dan bayi yang kamu kandung," putus beliau pada akhirnya.

Saat akan mulai bercerita, Kala telah kembali untuk bergabung bersama keduanya, melakukan makan malam. "Ada apa sih, Bu? Serius sekali?" tanya Kala penasaran, dengan membagi fokusnya untuk duduk tepat di sebelah Aruna.

Bu Gayatri menarik dan menghembuskan napas sebelum memulai bercerita. "Jadi, setiap mau masuk maghrib itu, seluruh jendela, tirai, dan pintu harus di tutup. Di waktu tersebut, tepat pergantian siang dan malam terjadi, makhluk dari dunia lain mulai melakukan aktifitasnya. Karena mereka juga sama seperti kita. Makan, minum, sampai memiliki sebuah keluarga."

Mendengar itu, alis Aruna berkerut dalam. Dia melempar padangan pada Kala yang ternyata sama bingungnya. "Lalu, apa hubungannya dengan kehamilan ku, Bu?" tanyanya masih belum puas dengan penjelasan Bu Gayatri.

Bu Gayatri terdiam sejenak dengan tatapan yang kelam. "Mereka dari bangsa jin ada yang baik, ada juga yang berniat jahat. Ada juga, sosok jin yang menganggu ibu hamil dan anak-anak berusia kurang dari dua tahun. Dia adalah Ummu Sibyan."

Aruna justru tertawa, membuat Bh Gayatri menghela napas lelahnya. "Ummu Sibyan? Kok mirip grup gambus yang sedang terkenal itu?" ledek Aruna.

"Itu beda nama, Aruna. Kalau kamu tidak mau percaya, ya sudah. Yang penting, ibu sudah menasehati kamu," putus Bu Gayatri mulai menyendok makanan ke mulutnya.

Kala yang turut hadir di ruang itu, entah mengapa bulu kuduknya terasa merinding setelah mendengar penjelasan dari ibu mertuanya. Dia terdiam dan coba untuk tidak memikirkan hal itu.

Setelah selesai makan, Kala dan Aruna memutuskan untuk masuk kamar. Bu Gayatri yang masih ingin melakukan aktifitas lain, mendatangi ruang tengah demi bisa menonton sinetron kesukaan beliau. Ketika telah duduk dan menyalakan televisi, entah mengapa udara dalam ruangan terasa dingin. Padahal, beliau tidak menggunakan AC maupun kipas angin.

Krieeet..

Alis Bu Gayatri bertaut. Beliau hapal sekali jika suara itu merupakan decitan pintu depan. Bergegas beliau berjalan menuju ruang tamu. Kerutan di kening beliau semakin bertambah ketika mendapati pintu rumahnya terbuka lebar. "Apa Kala lupa menutup pintu ya?" gumam Bu Gayatri heran.

Beliau melempar pandangannya keluar. Malam sudah semakin pekat, padahal waktu masih menunjukkan pukul tujuh. Aneh memang. "Semoga tidak akan ada hal buruk yang terjadi." Lalu, Bu Gayatri menutup pintu itu rapat dan menguncinya.

Bab 2. Mimpi buruk

“Jika sore hari mulai gelap maka tahanlah bayi bayi kalian, sebab iblis mulai bergentayangan pada saat itu. Jika sesaat dari malam telah berlalu maka lepaskan mereka, kunci pintu-pintu rumah dan sebutlah nama Allah, sebab setan tidak membuka pintu yang tertutup. Dan tutup rapat tempat air kalian dan sebutlah nama Allah. dan tutup tempat makanan kalian dan sebutlah nama Allah. meskipun kalian mendapatkan sesuatu padanya.” (HR Muslim)

Hah.. Hah...

Napas Aruna terengah-engah karena harus lari berkilo-kilo meter yang entah kemana tujuannya. Kakinya berhenti melangkah saat sosok yang mengejarnya tak lagi terlihat. Sosok seram yang membuat kakinya sangat berat untuk berlari kencang.

[Aruna... Aruna...]

Panggilan itu terdengar lagi, membuat Aruna terpaksa kembali berlari. Dia ingin sembunyi, tetapi tidak ada satu pun tempat persembunyian. Hingga entah sejak kapan dari jarak lima meter di depan ada sebuah tembok besar. Aruna bernapas lega dan segera bernaung di sana.

"Aruna. Aruna, Sayang," panggil suara itu lagi. Terdengar lembut, tetapi suara khas seorang wanita tua tidak bisa di manipulasi.

"Bayimu itu milikku." Suara itu terdengar seperti bisikan disusul sebuah tawa menyeramkan, membuat Aruna menutup telinga ketakutan.

"Tidak. Ini adalah anakku. Aku yang mengandungnya! Kamu tidak boleh mengambilnya!" teriak Aruna coba melawan.

Setelah Aruna berucap demikian, tidak ada lagi suara. Hanya ada kesunyian, membuat Aruna menurunkan tangan dan menoleh ke belakang secara perlahan. Namun, hal yang selanjutnya dia lihat adalah wajah wanita tua yang sudah beruban, dua bola matanya berwarna biru, dan dua tanduk di keningnya.

Belum lagi, rambutnya yang kusut persis seperti nenek sihir di film-film dan mulut yang menganga lebar mengeluarkan puncak api, berhasil membuat mata Aruna membeliak dengan tubuh gemetar. Aruna seperti kehilangan suaranya hanya untuk berteriak. Tenggorokannya tercekat dengan lidah yang terasa kelu.

Sosok itu tertawa dan terbang di atas kepala Aruna. Bisa Aruna lihat, sosok itu memiliki betis yang kecil dengan kuku kakinya yang panjang dan menghitam.

"Aaaaaaaaargh!" Aruna berteriak kencang bersamaan dengan tubuhnya yang terbangun dari tidur. Butiran keringat sebesar biji jagung menghiasi kening dan pelipisnya. Napas Aruna terengah-engah seperti baru mengikuti lomba lari.

Aruna meraup wajahnya dan menghembuskan napas lega. "Untung cuma mimpi," gumamnya khawatir karena kejadian barusan seperti begitu nyata. Aruna berniat untuk tidur lagi. Namun, suara azan subuh membatalkan niatnya. Dia memilih bangkit dan membersihkan diri.

Sang Surya mulai menampakkan sinarnya, membuat bumi disirami kehangatan yang digadang-gadang bermanfaat bagi kesehatan tulang. Para penghuninya mulai melakukan rutinitas seperti biasa. Petani ke sawah atau ladang, pegawai ke kantor, pedagang mulai menjajakan dagangan, dan masih banyak lagi.

Aruna baru saja mengantar Kala hingga teras. Suaminya itu harus bekerja lebih giat untuk biaya rumah sakit dan kehidupan anaknya kelak. Dia belum sempat bercerita pada ibu dan suaminya tentang mimpi buruk yang di alami. Aruna rasa, itu hanya bunga tidur yang kebetulan menyeramkan.

"Aku pulang malam, Yang. Pintu dikunci aja. Aku sudah bawa kunci cadangan," beritahu Kala saat Aruna mencium punggung tangannya.

"Pulang jam berapa, Mas?" tanya Aruna sedikit khawatir. Kala pun terkekeh pelan sambil mengecup kening sang Istri penuh sayang.

"Jam delapan aku usahakan udah di rumah, Yang. Aku berangkat dulu ya." Lalu, Kala menunduk dan mengelus perut buncit sang Istri sembari berkata. "Ayah kerja dulu demi kamu dan Bunda ya? Baik-baik di dalam sana." Aruna tersenyum manis, sangat bahagia dengan kehidupannya yang sekarang.

Selepas mobil Kala tak terlihat lagi, Aruna merenggangkan seluruh otot tubuhnya yang terasa kaku. "Padahal cuma mimpi. Kenapa capeknya sampai ke dunia nyata?" monolog Aruna bertanya.

"Memang kamu mimpi apa, Na?" Suara Bu Gayatri tiba-tiba terdengar, membuat tubuh Aruna terkesiap dengan debaran jantung tak beraturan. "Ibu! Aku kaget," kesal Aruna sambil mengusap-usap dada.

Bu Gayatri menatap putrinya dengan alis bertaut. "Kamu mimpi apa semalam? Kok sampai pegal-pegal badannya?" cecar beliau penasaran.

Aruna menatap ibunya sebentar. Seperti ragu untuk menceritakan mimpi yang semalam menimpanya, karena paham betul bagaimana sikap sang Ibu. "Cuma bunga tidur kok, Bu."

Mendengar itu, Bu Gayatri berdecak pelan. Anaknya itu bodoh atau bagaimana? Mimpi juga bisa diartikan sebagai sebuah pertanda. "Ibu tahu. Namun, mimpi juga bisa menunjukkan sebuah tanda. Jangan sepelekan masalah mimpi, Na."

Benar bukan dugaan Aruna? Ibunya akan mulai mengaitkan mimpi dengan hal-hal mitos? Itu sudah tidak asing lagi. "Jadi, semalam aku mimpi di kejar oleh wanita tua yang menyeramkan." Pada akhirnya, Aruna harus berkata jujur.

Bu Gayatri menutup mulutnya terkejut dengan mata membeliak lebar. "Di kejar wanita tua yang menyeramkan?" gumam beliau hampir nyaris tak ada suara. Beliau menatap Aruna penuh selidik. "Apa ada kalimat yang terucap dari wanita itu?"

Aruna mengangguk pelan. Dia masih ingat jelas ucapan wanita tua itu semalam. Bagaimana Aruna bisa lupa? Sedangkan wanita itu dengan mudah mengatakan hak kepemilikan bayinya. "Dia berkata jika bayi yang aku kandung adalah miliknya," ungkap Aruna yang membuat Bu Gayatri berteriak kesal.

"Hah! Lalu, kamu jawab apa?"

"Aku jawab jika ini anakku. Bukan miliknya."

Bu Gayatri sontak mengedarkan pandangan ke sekitar dan berakhir menatap Aruna. "Kita masuk, Na. Ada yang mau ibu sampaikan," ajak beliau sambil menarik lengan putrinya memasuki rumah.

Setibanya di ruang tengah, Bu Gayatri meminta Aruna duduk. Pandangan beliau begitu serius menatap putrinya. "Semalam ibu mendapati pintu rumah terbuka lebar. Apa kamu atau Kala sempat keluar?" cecar beliau memastikan, yang langsung mendapat gelengan kepala dari Aruna.

"Ibu 'kan tahu kalau setelah makan, aku dan Mas Kala langsung masuk kamar."

Bu Gayatri sontak memegangi dada, terlalu syok dengan pengakuan Aruna. Hal itu membuat Aruna memutar bola matanya jengah. "Paling, Mas Kala yang lupa tutup pintu waktu baru pulang, Bu," jelas Aruna tidak ingin ibunya kembali mengaitkan dengan hal gaib.

"Baiklah. Semoga saja benar begitu. Oh iya. Ibu cuma mau berpesan agar kamu mulai mendekatkan diri pada Tuhan. Minta perlindungan padaNya dari segala mara bahaya. Ibu hamil dan bayi biasanya rawan menjadi incaran kaum jin dan iblis," pintar beliau lembut sambil menyentuh punggung tangan putrinya.

Tidak ingin terjadi perdebatan, Aruna mengangguk saja. Dia memang bukan golongan manusia rajin beribadah. Namun, dia masih mengakui agamanya.

"Mengenai mimpi kamu semalam, tidak perlu di pikir panjang. Kalau kamu dekat dengan Tuhan, hal buruk tidak akan terjadi. Bila kamu mimpi hal sama lagi, beritahu Ibu ya? Ibu akan bantu doa dan mencari solusi," pinta beliau lagi sarat akan harapan yang besar.

Entah mengapa, Aruna merasa jika ibunya sedang begitu kalut setelah mendengar cerita mimpi yang dia alami. "Tidak akan terjadi apa-apa, Bu. Aku sehat, bayiku sehat. Semua akan baik-baik saja."

Bab 3. Bekas tangan di perut

Sambil menunggu ibunya selesai sholat maghrib, Aruna duduk menunggu di meja makan sambil memainkan ponsel. Jemarinya menggulir sosial media untuk menghilangkan rasa bosan. Azan masih saling bersahutan antara masjid satu ke masjid lainnya.

Namun, ada suara yang begitu menarik perhatiannya. Suara itu ikut larut dalam lantunan azan.

Kukuruyuk... Kukuruyuk... Petok.

"Itu nggak salah ada suara ayam berkokok? Perasaan, tetangga nggak ada yang pelihara deh." Kening Aruna berkerut dalam, kepalanya berpikir keras tentang mengapa dia mendengar suara ayam.

Kukuruyuk... Kukuruyuk... Petok.

Lagi. Suara ayam berkokok membuat Aruna beranjak dan memeriksanya. Seluruh jendela dan tirai rumahnya sudah tertutup. Namun, suara itu seakan begitu dekat dengannya. Hingga saat Aruna memeriksa ruang depan, pintu rumah ada yang mengetuk dari luar. Aruna sempat terkesiap karena ketukan itu terdengar lumayan kencang.

"Siapa sih, bertamu di jam seperti ini," gerutu Aruna, tak urung memutar kenop dan memeriksa siapa yang berkunjung.

Ceklek.

Pintu kayu di depannya terbuka, menampakkan Kala dengan senyum lebarnya. "Mas! Sudah pulang? Nggak jadi lembur ya?" Lalu, Aruna membuka pintu kedua dan mempersilahkan Kala masuk.

Tanpa suara, Kala melenggang begitu saja dan masuk ke kamar, membuat Aruna menggelengkan kepalanya pelan. Mungkin, sikap Kala yang seperti itu tidak lain karena teguran ibunya kemarin. Setelah kembali menutup pintu, Aruna menyusul ke kamar.

Setibanya di sana, Aruna melihat Kala yang duduk di sisi ranjang dengan senyum misterius. Senyum yang belum pernah Aruna lihat sebelumnya. "Kamu nggak mandi, Mas?" tanya Aruna yang kini berjalan mendekat.

Bukannya menjawab, Kala justru menepuk sisi kosong di sampingnya, meminta Aruna untuk duduk. Menurut. Aruna duduk berdekatan dengan sang Suami yang hari itu tampak aneh. "Kamu kenapa sih, Mas? Kok sejak tadi diam terus? Bukannya jawab pertanyaan ku." Aruna memprotes sikap suaminya yang berbeda.

Lagi-lagi Kala hanya tersenyum lebar dan memeluk Aruna erat. Kedua telapak tangan laki-laki itu diletakkan tepat di atas perut buncit Aruna. Elusan lembut itu membuat Aruna nyaman dan perlahan, kelopak matanya mulai memberat.

Di ruang lain, Bu Gayatri baru selesai melaksanakan kewajibannya pada Tuhan. Ketika ekor matanya melirik jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Beliau bergegas keluar dimana Aruna pasti sudah menunggu dengan kelaparan.

"Anak itu pasti masih menunggu tanpa ada niatan untuk makan lebih dulu," gumam beliau khawatir. Bagaimana pun, bukan hanya Aruna yang membutuhkan asupan nutrisi. Calon cucunya juga membutuhkan itu.

Setelah selesai melepas mukenah dan menaruh Al Quran kembali ke tempat semula, langkahnya keluar meninggalkan kamar. "Aruna ke mana?" tanya beliau saat tak menemukan Aruna di ruang makan.

"Apa di dapur ya?" Beliau segera menuju dapur, tetapi tak menemukan putrinya di sana. Saat akan berbalik, beliau sempat melihat jika pintu yang menghubungkan dengan ruang jemuran terbuka. "Masa iya, Aruna jemur di jam segini?" Alis beliau saling bertaut heran.

"Aruna! Ini sudah malam loh. Jangan berjemur di malam hari," ucap beliau dengan suara yang lebih kencang agar terdengar hingga keluar. Namun, tidak ada sahutan dari sang Putri yang membuat Bu Gayatri terpaksa memeriksa keluar.

"Aruna! Kamu di sana kan?" Beliau sudah berdiri di ambang pintu, tetapi tak menemukan Aruna di sana. "Apa Aruna lupa menutup pintu belakang? Huh! Anak itu memang susah untuk di nasehati." Namun, tidak ada siapa-siapa di sana.

"Apa Aruna ke kamar?" gumam beliau segera berjalan menuju kamar putrinya. Benar saja. Saat pintu terbuka, Aruna sedang tertidur pulas dengan posisi telentang. Bu Gayatri yang kesal, sontak berteriak untuk membangunkan Aruna.

"Aruna! Waktu maghrib tidak boleh tidur!" Sambil berjalan mendekat di sisi ranjang. Aruna menggeliat dan mulai membuka kelopak mata secara perlahan.

"Ibu? Mas Kala mana?" tanya Aruna dengan suara seraknya. Dia bangkit dan duduk bersandar pada kepala ranjang.

"Kala? Bukannya dia lembur ya?" Bu Gayatri justru balik bertanya, membuat Aruna kebingungan setengah mati.

"Mas Kala sudah pulang, Bu. Tadi aja Mas Kala di sini, sambil elus perut aku. Saking nyamannya, aku tertidur," ungkap Aruna dan mata Bu Gayatri kini membeliak lebar.

"Ibu tidak lihat siapa-siapa di depan. Kala juga belum pulang, Na. Kamu mimpi kali."

kini, Aruna yang terdiam untuk mengingat kejadian yang baru saja dia alami. Dia ingat jelas jika suaminya sudah pulang dan berbaring di sampingnya. Ketika menoleh, Aruna tidak menemukan siapapun. "Lalu, siapa tadi, Bu?" tanya Aruna mulai cemas.

Jantung Bu Gayatri rasanya seperti mencelos. Beliau menyingkap dress yang Aruna kenakan untuk memeriksa perut putrinya. Mata beliau semakin membeliak ketika melihat ada bekas tangan yang membiru di perut Aruna.

"Aruna! Ini apa!" pekik beliau panik.

Aruna sama paniknya. Jantungnya sudah berdebar tidak karuan. Dia mengelus perut untuk memastikan jika anaknya baik-baik saja. "Aruna tidak tahu, Bu. Seingat aku, tadi Mas Kala pulang dan langsung elus perut aku lama," jelas Aruna tidak ingin berpikir yang macam-macam.

Decakan kesal pun terdengar dari Hu Gayatri. "Tapi, Kala belum pulang, Aruna! Tadi sebenarnya siapa? Kok bisa seperti itu." Beliau mengusap wajahnya frustasi dan menghembuskan napas dalam-dalam.

"Ya aku nggak tahu, Ibu!" jawab Aruna seperti ingin menangis saking kesalnya pada semua. Pada suaminya yang sekarang entah kemana padahal sejak tadi sudah pulang, pada ibunya yang membuat merinding sekujur tubuh karena menemukan cap tangan lengkap lima jari yang sudah membiru.

"Ada apa sih, ribut-ribut?" tanya sebuah suara dan Kala muncul dengan wajah lelahnya. Tangannya masih menenteng tas kerja, sedangkan kedua lengan kemejanya sudah di gulung hingga siku hingga menimbulkan lipatan-lipatan.

"Kamu sudah pulang sejak tadi kan, Mas?" kejar Aruna tidak ingin berburuk sangka lebih dulu. Alis Kala justru saling bertaut. Belum sempat Kala menjawab, Aruna kembali melemparkan pertanyaan.

"Kamu tadi pulang maghrib 'kan? Terus kamu elus perut aku sampai aku tertidur?" Aruna seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa kejadian tadi bukanlah ilusi.

"Kamu bicara apa sih? Aku baru aja pulang, Yang. Mana ada aku pulang maghrib?" jawab Kala seketika membuat Aruna dan Bu Gayatri saling lempar pandang.

"Ini ada apa sih?" tanya Kala penasaran. Lalu, Aruna pun menceritakan kejadian yang baru saja di alami tanpa ada yang ditutup-tutupi. Hingga Aruna menunjukkan sebuah bekas tangan di perutnya yang sudah membiru.

"Kok bisa? Lalu, yang datang sebagai aku siapa? Aku beneran baru pulang ini loh, Yang. Mobil aku juga belum masuk garasi itu." Kala pun ikut panik setelah mendengar cerita dari istrinya.

"Makanya. Kalau ibu suruh ibadah ya ibadah, Na. Ibu sudah bilang berapa kali sih? Perbanyak ibadah." Bu Gayatri kesal sekaligus khawatir pada putrinya. Apalagi ketika ingat jika pintu belakang dalam keadaan terbuka, membuat pikiran beliau semakin kalut.

"Terus kami harus bagaimana, Bu? Aku khawatir pada Aruna dan anakku," tanya Kala memohon.

Bu Gayatri menghela napas lelahnya. "Besok pagi temani Aruna periksa ke dokter. Dia harus USG kalau perlu yang layar 3D. Ibu juga akan ikut untuk memastikan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!