Di sebuah desa yang sebagian besar penduduknya seorang petani, ada juga yang berkebun dan buruh serabutan.
Irma Sukma Ayu lahir dengan keadaan fisik yang kurang sempurna, membuat kedua orang tua bayi itu menjadi sedih dan cemas akan masa depan putrinya kelak.
Kisah ini berawal sekitar tahun 50-an, di mana meski di KTP mereka beragama Islam, tapi kebanyakan orang masih percaya akan hal klenik dan mistis. Meski sampai saat ini pun hal gaib seperti tidak ada matinya, hanya saja tidak sekental di masa lalu.
***
Malam itu hujan begitu deras, kilat petir menyambar-nyambar, guntur menggelegar tak membuat Agus gentar. Kakinya melangkah cepat, menginjak genangan-genangan air di jalanan yang berlubang, sesekali langkahnya terpeleset karena licinnya jalanan akibat hujan deras.
Seorang pria usia 30 tahun itu sampai di depan rumah tua dengan baju yang basah kuyup, dengan segera pria itu mengetuk pintu rumah itu dengan tergesa-gesa.
Tok! Tok! Tok!
"Nyi, Nyi Inang. Nyi!" seru Agus dengan wajah piasnya, sesekali kedua tangannya mengusap kedua lengan karena merasa mengigil.
Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam kamar dengan langkah tergopoh-gopoh menuju pintu depan. "Iya ada apa?" tanya wanita paruh baya yang bernama Nyi Inang itu saat dia membukakan pintu kayu yang mulai lapuk itu.
"Nyi, tolong istri saya, Nyi. Ratna sudah mau melahirkan!" kata Agus dengan sangat panik.
"Iya, iya tunggu sebentar!" titah Nyi Inang yang langsung masuk ke rumahnya kembali, tak lama keluar dengan membawa payung hitam di tangannya.
"Sudah, ayo kita pergi!" ajak Nyi Inang segera menutup pintu kayu rumahnya.
Agus dan Nyi Inang segera menerobos derasnya hujan, berlari menuju ke rumah Agus dan Ratna. Dari kejauhan suara rintihan terdengar samar, diiringi lolongan hewan malam menambah mencekamnya malam ini.
"Aaaaaah! Kang Agus ... sakit, Kang ... tolong ... " jeritan dan rintihan kesakitan dari seorang wanita yang ada di dalam rumah kayu di dekat pohon randu besar itu begitu menusuk pendengaran.
"Ayo, Nyi Inang cepat! Kita sudah hampir sampai, kasihan Ratna, Nyi. Dia sudah menjerit kesakitan," ucap Agus yang terus berlari menarik-narik tangan tua Nyi Inang.
Wanita tua itu terus mempercepat langkahnya mengimbangi langkah kaki Agus yang cepat. "Ya, sebentar Nak Agus." Nyi Inang cukup kewalahan mengimbanginya, hingga ia akan mengutarakan protes lagi. "Pelan-pelan, Nak. Nyai--" ucapan wanita tua itu tiba-tiba terhenti saat dengan jelas sesosok wanita bergaun putih memasuki raga Nyi Inang. Namun, Agus tidak menyadari apa yang terjadi pada Nyi Inang yang ia tarik-tarik tangannya.
"Ayo, Nyi cepat Nyi masuk! Ratna di sana, Nyi." Agus yang langsung membuka pintu rumahnya seraya menarik tangan Nyi Inang untuk ikut masuk ke dalam rumahnya.
"Ka-kang ... tolong aku ... " rintihan seorang wanita yang sedang terbaring di atas tempat tidur kayunya, kakinya mengangkang dan tangan memegangi perutnya yang besar.
"Iya, Ratna kau sabarlah, aku sudah bawa dukun beranak untuk menolongmu, Ratna," ucap Agus yang sudah ada di samping istrinya mengelus puncak kepala Ratna dengan lembut. Namun, ia menatap tajam pada wanita tua yang dari tadi hanya melihat keadaan istrinya yang sudah tak berdaya.
"Hey, Nyi Inang! Kenapa kau diam saja?! Cepatlah tolong istriku, Nyi!" ucap Agus dengan nada sarkas. Agus sesungguhnya mulai heran dengan sikap dukun beranak itu.
Nyi Inang tersenyum menyeringai menatap Agus dan wanita yang sedang berbaring dengan kaki yang mengangkang di depannya.
"Kau pergilah, Gus! Bawakan aku baskom dan handuk kecil," titah Nyi Inang, dengan nada bicara bukan seperti Nyi Inang pada biasanya.
Agus pun merasakan kejanggalan pada diri Nyi Inang, tapi pikiran itu ia tepis jauh-jauh, dirinya memutuskan terus berlari keluar pintu kamarnya itu menuju dapur.
Nyi Inang menghampiri kedua kaki Ratna yang terbuka lebar, mengulurkan tangannya ke perut besar milik ratna, mengurutnya dari atas ke bawah dengan ekspresi wajah yang tidak biasanya. Ratna merasakan sakit yang luar biasa, kedua bola matanya bergulir liar menatap ke segala arah dengan cucuran air mata yang terus menetes, peluh keringat membasahai seluruh wajah Ratna.
"Aaaaaakkh! Sakit, Nyi ... tolong Nyi, sakit ... aaaaa!" jeritan Ratna sangat keras di dalam ruangan yang tertutup itu, tapi tidak terdengar dari luar, seakan ruangan itu diberi peredam suara.
Tangan Nyi Inang semakin liar dengan ekspresi yang mengerikan, tangannya menekan dan menarik bagian perut Ratna dari atas ke bawah secara terus menerus membuat Ratna menjadi histeris karena merasakan rasa sakit yang teramat sangat.
"Aaaaaaaaaa!" Ratna teriak, saat Nyi Inang menarik bayi dari tubuh bagian bawah Ratna.
"Hihihihi!" Seketika tawa Nyi Inang mengelegar di seisi ruangan itu.
Ratna yang masih sadar, ia menatap ke wanita dukun beranak yang sedang mengendong bayi merah yang masih dilumuri darah juga ari-ari yang masih mengantung. Mata Ratna melotot menyaksikan perubahan wajah Nyi Inang yang sangat menyeramkan itu, Nyi Inang seakan mau menelan bulat-bulat bayinya.
Pandangan Nyi Inang yang buas mengarah pada wajah Ratna yang pias, seketika suara Ratna tercekat seakan terkunci, mulutnya hanya menganga dan matanya hanya melotot menyaksikan apa yang sedang dia lihat.
"Hihihihi!" Suara tawa Nyi Inang lagi-lagi menggelegar di seisi ruangan, seakan puas melihat ketidak berdayaan Ratna.
Tiba-tiba seberkas cahaya masuk dari celah-celah jendela kayu yang ada di ruangan itu.
Sheet!
"Hoaaaaaaa!" Nyi Inang menjerit, tubuh tua rentanya terpental ke dinding kayu di ruangan itu, seketika membuatnya tak sadarkan diri.
"Ka-kaannngg! Kang Agus!" teriak Ratna yang sangat panik, mulutnya sekarang bisa mengeluarkan suara setelah sekian lama tercekat di tenggorokan.
BRAK!
Suara pintu didobrak oleh Agus dengan membawa baskom berisi air dan handuk bersih, pria itu tampak merasa bingung menatap pada pintu kayu kamarnya.
"Kang, kenapa kau lama sekali?! Itu anak kita, Kang, tolong dia!" seru Ratna seraya telunjuknya mengarah ke dinding di mana Nyi Inang terduduk tak sadarkan diri.
Agus segera menaruh baskom dan kain itu di meja dan berlari mengambil bayinya yang ada di gendongan Nyi Inang.
"Apa yang terjadi Ratna? Aku dari tadi di luar mengetuk-ngetuk apa kau tidak dengar? Pintu ini seakan terkunci," kata Agus merasa aneh, dia menceritakan kejadian tadi.
"Kau juga apa tidak mendengar Kang kalau tadi Nyi Inang tertawa cekikikan sangat keras hingga membuat gendang telingaku mau pecah? Nyi Inang bersikap aneh, tapi tiba-tiba ada cahaya yang masuk dari celah jendela yang menyambar tubuh Nyi Inang, sehingga membuat dia tak sadarkan diri seperti itu." Ratna juga menceritakan kejadian yang tadi dia lihat.
"Benarkah itu, Ratna?" tanya Agus tak percaya, Agus menoleh pada wanita tua itu.
"Tapi kenapa tadi sepi-sepi saja, aku tidak mendengar apa pun yang berasal dari sini, aku hanya ke dapur mengambil baskom, air hangat dan handuk itu, dan tidak mendengar apa pun," kata Agus dengan sangat heran sekaligus takut.
"Agus, apa kau tadi waktu menjemputku tidak membawa pelindung apa pun?" tanya Suara yang berasal dari belakang tubuh Agus, membuat Ratna dan Agus terkejut.
"Nyi Inang, kau sudah sadar?" tanya dari Agus.
Nyi Inang bangun dari duduknya lalu berdiri tertatih menghampiri Agus yang tengah berdiri dengan bayi di gendongannya.
"Maksud Nyi Inang apa tadi?" tanya Agus yang masih tak mengerti apa maksud dari ucapan Nyi Inang padanya.
"kau harusnya tadi bawalah senjata tajam atau bawa dua tiga helai sapu lanang di tangnmu, biar makhluk halus tak mengikuti kita kemari, aku tadi ketika di jalan mau sampai di rumahmu sempat melihat sosok itu di atas pohon besar di sisi rumahmu ini, dan aku tak tahu apa yang terjadi padaku selanjutnya, lalu bangun dalam keadaan aku terduduk di sana." Nyi Inang menunjuk ke tempat ia tadi terbangun dari pingsannya.
"Benarkah itu, Nyi? Ya Gusti, aku tidak tahu soal itu, lalu kenapa tadi Nyai tidak memberitahukanku," ucap Agus seraya menatap wajah Nyi Inang yang sepertinya masih merasakan sakit di pinggangnya yang berdenyut sakit.
"Aku tadi lupa karena melihat kau panik menarik-narik tanganku, tapi syukurlah kalau semua baik-baik saja," timpal Nyi Inang lega, begitu juga Ratna dan Agus yang juga ikut merasa lega.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Note Author:
Hai, Reader's
Novel ini sedang masa perbaikan yah, semoga lebih nyaman membacanya, terima kasih sudah berkenan mampir.
Nyi Inang mengambil bayi itu dari tangan Agus dan meletakannya di dipan kayu.
"Anak kalian perempuan," kata Nyi Inang tersenyum. Namun, saat ia melihat teliti lagi pada wajah bayi itu tepatnya di bagian kening bagian kiri ada garis merah yang tak begitu jelas.
"Syukurlah, Kang. Anak kita perempuan," sambung Ratna bahagia, dan Agus hanya mengangguk dan membelai puncak kepala istrinya.
"tapi ... rupanya anak kalian memiliki tanda lahir yang aneh, lagipula tanda lahir bayi kalian ada di bagian wajahnya, lihatlah bayi ini sangat cantik, tapi tanda ini akan mampu mengurangi kecantikannya. Sekarang memang tidak terlalu jelas, tapi jika anak ini tumbuh besar maka tanda ini juga akan terlihat lebih jelas nantinya," papar Nyi Inang menjelaskan membuat Agus menatap pada bayinya, penasaran dengan apa yang ada di wajah bayinya.
"Kasihan sekali bayi kita, Kang. Kenapa semua ini terjadi padanya," sesal Ratna dengan air mata yang meneteskan tak terbendung.
"Sabarlah Ratna, kita akan cari cara untuk menghilangkan tanda itu dari anak kita," ucap Agus, berusaha menenangkan hati Ratna seraya merengkuh pundaknya dan menyandarkan kepala istrinya tepat di dadanya.
"Tanda ini tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan cara .... " Kalimat Nyi Inang yang ragu untuk mengatakan sesuatu, meski begitu tangannya masih sibuk membersihkan tubuh bayi Ratna dan Agus.
***
20 Tahun kemudian
"Dek Irma, ayolah kau terima saja penawaran manggung malam ini, malam ini akan ada para tetua adat dan petinggi desa yang akan datang ke pentas kita, apa kau mau melewatkan kesempatan ini, Dek?" bujuk Tama ketua dari group ronggeng Tama Jaya, tempat gadis cantik bernama Irma itu bekerja sebagai penari ronggeng.
"Maaf, Kang Tama. Bukannya Irma menolak, tapi malam ini Irma sedang tidak bisa, Kang. Tolonglah Akang jangan memaksa yah, kata ibu ini demi kebaikan Irma," jawab Irma dengan nada lemah lembutnya.
"Baiklah, Dek. Tapi kalau Adek berubah pikiran, segera hubungi akang, yah," timpal Tama dengan senyum penuh pengharapan pada Irma.
"Pasti, Kang. Ya sudah, sekarang Irma pulang dulu ya, Kang," pamit Irma seraya tersenyum manis, lalu ia melangkahkan kakinya menjauhi Tama.
Tama adalah pria baik dan tampan. Usianya tidak jauh beda dengan Irma, pria itu sesungguhnya menaruh hati pada Irma. Bagaimana tidak, Irma wanita yang sangat cantik, sikapnya lemah lembut dan bersopan santun. Tidak hanya itu, tubuhnya yang sintal membuat seorang Irma sangat dikagumi oleh kaum pria, apalagi jika saat dirinya tengah menari di atas panggung, semua mata pria seakan terhipnotis olehnya.
***
Di sebuah rumah sederhana ada dua orang yang sedang berbincang-bincang, mereka sepertinya sedang berbicara dengan sangat serius.
"Kang, malam ini bulan purnama, ini sudah saatnya Irma membalas budi baik dari mahluk itu. Irma sudah menginjak usia 20 tahun. Kang, aku tidak setuju, kasihan Irma, Kang. Aku tidak tega jika harus membiarkan Irma," tutur Ratna seraya menangis meratapi apa yang akan terjadi pada putri semata wayangnya itu.
"Sudahlah Ratna, sekarang nasi sudah jadi bubur, ini keputusan kita. Jadi, ini resiko yang harus kita tanggung, Rat," timpal Agus, pria itu menunduk sedih.
"Aku menyesal, Kang. Karena menuruti saran dari Nyi Inang waktu itu." Ratna kembali menangis tersedu, wanita itu sangat menyesali semua yang berlalu adalah sebuah kesalahan.
13 Tahun yang lalu
"Kang, anak kita sudah berumur 7 tahun sekarang, Nyi Inang benar. Tanda di wajah Irma semakim jelas saja, membuat Irma dijauhi oleh teman-temannya, Kang. Kasihan dia." Ratna memandang putrinya yang hanya duduk sendiri, gadis kecil itu hanya memperhatikan teman-temannya yang bermain dengan gembira.
"Ya ... mau gimana lagi, Ratna. Itu sudah takdir yang maha kuasa, kita ya harus terima saja toh, Rat," timpal Agus pasrah, pria itu menyuruput kopi hitam setelahnya kembali menaruhnya di atas meja.
Agus juga merasa iba pada nasib putrinya, karena dia cacat semua temannya menjauhinya, dan merasa takut padanya. Mereka juga mengatai gadis malang itu dengan berbagai hal, terkadang membuat gadis itu mengeluh dan menangis pada ibunya.
Hati orang tua mana yang tak sakit dan sedih, melihat putrinya menangis dan bersedih. Dosa apa yang telah mereka perbuat hingga sang pencipta memberi cela pada wajah putri yang sesungguhnya cantik.
"Kang, apa kita ikuti saja saran dari Nyi Inang waktu itu saja, Kang. Aku mau anak kita jadi wanita yang sempurna kelak, aku tak mau Irma dikucilkan oleh semua orang, Kang," bujuk Ratna seraya menyentuh punggung tangan suaminya agar suaminya mensetujui sarannya.
"Apa kau yakin? Aku khawatir ini membahayakan Irma sendiri nantinya," sergah Agus mengingatkan istrinya.
"Tapi, bagaimana? Apa kita biarkan masa depan Irma hancur, Kang? Mana ada pemuda yang mau menikahi gadis cacat seperti Irma," lirih Ratna lagi-lagi membuat hati Agus bimbang. Karena ia juga tak ingin anak semata wayangnya itu jadi menderita nantinya.
Semuanya tampak sulit bagi Agus, mengikuti saran dari dukun beranak itu atau tidak, Irma akan tetap sama-sama menderita, karena setiap keputusan pasti ada konsekwensi yang harus ditanggung nantinya.
"Ayo, Kang! Kita ke rumah Nyi Inang sekarang, kita meminta petunjuk darinya," ajak Ratna antusias.
Agus yang awalnya ragu-ragu kini ia menuruti keinginan istrinya, dia mengangguk pada akhirnya.
***
Ratna mengetuk pintu kayu rumah Nyi Inang saat sudah sampai di rumah nenek tua itu, siang itu keduanya memutuskan pergi ke rumah dukun beranak itu untuk meminta petunjuk.
Tok! Tok! Tok!
Ratna kembali mengetuk pintu rumah reot itu karena pintu tak kunjung dibuka oleh sang punya rumah. Agus dan Ratna tidak menyadari ada sepasang mata yang mengintai mereka berdua dengan senyum seringainya.
"Kalian ada apa kemari?" tanya suara mirip Nyi Inang yang tiba-tiba sudah ada di belakang Agus dan Ratna, membuat pasangan suami istri itu terjingkat kaget.
"Duh, Nyi! Bikin kaget saja!" gerutu Ratna seraya mengelus dadanya yang berdebar kuat.
"Maafkan aku," sahut Nyi Inang dengan senyum miring di wajahnya.
Melihat senyuman wanita tua itu, Agus dan Ratna sejujurnya takut, entah kenapa sikap Nyi Inang terlihat aneh. Tapi, mereka berdua menghempas pikiran buruk itu dari benaknya. "Begini, Nyi. Tujuan kami kemari untuk minta bantuan kau Nyi, ucap Ratna yang tak mau basa basi.
"Apa maksud kamu Ratna?" tanya Nyi Inang basa basi.
"Irma anak kami kini sudah semakin besar, Nyi, dan tanda di wajahnya juga semakin jelas terlihat. Kami takut Irma jadi minder, ia jadi dijauhi teman-temannya karena punya tanda itu di wajahnya," kata Ratna yang tidak langsung pada inti pembicaraannya.
"Hmmm!" geraman kecil dari mulut Nyi Inang terdengar, sesungguhnya membuat kedua orang tua itu merinding.
"Jadi, maksud kami kemari, kami ingin tahu bagaimana cara menghilangkan tanda di wajah putri kami itu, Nyi." Agus menjelaskan.
"Oh ... begitu, kalau begitu ikutlah denganku sekarang!" ajak Nyi Inang yang langsung membalikan tubuh bungkuknya meninggalkan rumah reot itu, Agus dan Ratna hanya saling pandang.
"Mau ke mana dia, Kang?" bisik Ratna penasaran.
"Kita ikuti saja, Rarna. Ayo!" Agus menarik tangan istrinya mengikuti langkah nenek tua di depannya yang berjalan begitu cepat, meski mereka berusaha berjalan cepat menyusul, tapi langkah Nyi Inang tidak pernah bisa mereka dampingi, dan lagi-lagi Agus dan Ratna mengabaikan kejanggalan itu.
***
Krreoott!
Pintu kayu lapuk rumah Nyi Inang terbuka, wanita tua itu muncul dari dalam rumahnya dengan wajah yang bingung.
"Kenapa tadi pintu ini sulit sekali dibuka?" gumam Nyi Inang seraya pandangannya melihat ke kiri dan ke kanan tak melihat siapa pun.
"Tidak ada siapa pun di sini, tapi tadi perasaan ada yang mengetuk pintu?" gumamnya lagi, Nyi Inang bingung merasakan kejanggalan ada dalam rumahnya, lalu Nyi Inang memutuskan masuk kembali ke dalam rumah reotnya.
***
"Ini di mana, Nyi?" tanya Ratna yang merasa tidak nyaman di dalam sebuah goa yang sangat menakutkan itu.
"Jangan berisik!" geram Nyi Inang yang berada di depan Agus dan Ratna saat ini.
Mendengar suara Nyi Inang yang begitu berat, membuat suara Agus dan Ratna tercekat seketika, keduanya segera menutup mulut mereka rapat-rapat. Nyi Inang mulai merapalkan mantra-mantra entah apa yang ia ucapkan, hanya gumaman-gumaman tak jelas yang Agus dan Ratna dengar.
Beberapa saat setelah Nyi Inang komat-kamit membaca mantra-mantra seketika kabut putih mengepul memenuhi ruangan goa itu.
Agus dan Ratna seketika terbatuk-batuk, kedua tangan mereka bergerak-gerak di depan wajah mereka masing-masing berusaha mengusir kabut asap yang mengepul yang membuat nafas mereka sangat sesak.
Asap putih itu lambat laun menipis dan menipis, lama-lama menghilang dan udara kembali jernih di pandangan Agus dan Ratna.
"Ke mana Nyi Inang?!" tanya Ratna, merasa terkejut karena sosok tua renta itu tiba-tiba menghilang tanpa bekas.
Agus dan Ratna celingukan bingung, tapi tiba-tiba terdengar suara yang misterius. "Apa niat kalian datang kemari wahai anak manusia?!" Suara berat dan menggelegar itu seketika membuat Agus dan Ratna terkejut, mereka langsung melihat ke arah sumber suara yang membuat Agus dan Ratna semakin terjengkit kaget.
"Si-siapa dia, Kang?!" tanya Ratna ketakutan, dan Agus sendiri tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Laki-laki itu hanya melotot ke arah sosok misterius di depannya.
Sosok hitam tanpa memperlihatkan rupa wajahnya seperti apa, tapi tubuhnya hitam dipenuhi oleh bulu-bulu kasar, postur tubuh yang sangat tinggi juga besar hampir menyentuh dinding atas goa itu.
Agus dan Ratna seketika mengigil merasakan hawa dingin di sekujur tubuh mereka. "A-anu, ka-kami ke-ke sini ma-mau ...."
"Ah, lama! Aku sudah mengetahui maksud kalian kemari. Apa kau mau anak gadis kalian memiliki wajah yang cantik sempurna tanpa cacat di wajahnya?" tanya sosok hitam besar itu menggelegar.
"I-iya, ka-kami ingin anak kami tidak memiliki wajah yang cacat, ka-kami ingin anak kami memiliki wajah yang sempurna layaknya gadis-gadis lainnya," jawab Ratna, suara wanita itu bergetar melawan takut di hatinya, tapi ia memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ia maksud kepada sosok itu, sementara Agus hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja, nyali Agus seakan ciut kali ini, kalah oleh istrinya yang memang lebih bertekad kuat.
"Hahaha!" Suara tawa makhluk itu memenuhi ruangan goa membuat nyali Agus dan Ratna semakin menciut. "Ada syaratnya, apa kau akan sanggup memenuhinya?" tanya makhluk itu kembali, dengan penuh tekanan.
"A-apapun syaratnya akan kami penuhi, a-asal anak kami bisa lebih cantik," sahut Ratna yang kembali membuka suaranya, seketika Agus langsung menatap tajam pada istrinya, hatinya berkecamuk memikirkan apa syarat dari makhluk hitam itu.
"Harusnya kau pikirkan terlebih dahulu sebelum datang kemari, karena jika kalian sudah datang ke tempatku, kalian takan bisa mundur lagi!" ucapan makhluk hitam itu membuat jantung Agus seakan berhenti berdetak.
"Ke-kenapa dia bisa tahu apa yang aku pikirkan?" batin Agus seraya mengusap tengkuknya yang terasa dingin.
"Hahaha! Dasar manusia bodoh! Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau pikirkan?!" ejek sosok hitam itu yang terdengar menyeramkan yang kini sosok itu menunjukan dua cahaya merah yang diduga Agus dan Ratna adalah kedua mata makhluk itu.
"Ma-maafkan a-aku," ucap Agus dengan nada yang bergetar hebat, kepalanya sampai pusing menahan takut, tapi tetap saja ia berusaha kuat menghadapi situasi genting itu.
"Kau harus sediakan aku gadis perawan untuk aku tiduri setiap bulan purnama tiba, tapi jika kau tidak sanggup maka kalianlah yang akan jadi gantinya!" ucapan makhluk itu membuat kengerian di diri pasangan Agus dan Ratna semakin menjadi, bagaimana caranya mendapat anak gadis untuk ditumbalkan pada sosok hitam itu?
"Dan ketika usia putri kalian sudah menginjak 20 tahun, tugas kalian akan berhenti, karena itu saatnya anak kalian dinikahkan denganku. Dia akan menjadi ratu di istana jin selama-lamanya, kalian paham?! Hahaha!" perkataan makhluk itu semakin mengejutkan kedua manusia yang sudah terjerat oleh tipu daya jin itu.
"A-apa tidak ada cara lain, selain anak kami menikah denganmu?" tanya Agus, pria itu memberanikan dirinya untuk bernegoisasi dengan makhluk hitam besar itu, meski hatinya benar-benar takut.
"Apa kau keberatan, hah?!" Suara makhluk itu seperti marah, Agus dan Ratna tidak bisa melihat ekspresi wajah makhluk itu, tapi mereka tahu kalau makhluk itu kini sedang kesal, terdengar dari geraman di telinga mereka dan dua sinar merah yang diduga dari mata makhluk itu yang membuat bulu kuduk mereka meremang seketika.
"Ka-kang, bagaimna ini?" tanya Ratna bergetar lirih, Ratna ketakutan dan sangat menyesali keputusannya.
"Ini salahmu Ratna, kau paksa aku untuk mengikutimu. Sekarang ini sudah terlanjur kita harus menerimanya!" balas Agus lirih pada istrinya, sungguh ia sangat merasa bimbang dan kesal, tapi seperti yang sudah diketahui, setelah mereka datang ke tempat itu, mereka sudah tidak bisa pulang tanpa membuat janji.
"Ba-baiklah, kami bersedia," jawab Agus dengan segala penyesalan yang ada dalam hatinya, pria paruh baya itu hampir menangis karena keputusan ini.
"Hahaha! Bbagus, sekarang pulanglah kalian jaga calon istriku hingga waktunya aku akan menjemputnya, dan kalian jangan lupa tumbal untukku! Hahaha!"
Zeeep!
Sosok itu seketika menghilang menjadi asap putih tebal, lalu mengecil dan hilang, yang ada hanya keheningan di antara Agus dan Ratna saja, perjanjian itu sudah dibuat dan tidak bisa diganggu gugat.
Ratna menangis memeluk suaminya, dan Agus hanya bisa mengelus punggung Ratna. Sungguh penyesalan memang selalu datang di akhir, karena kalau datang di awal itu namanya pendaftaran.
Keduanya pulang ke rumah mereka saat hari sudah senja, Agus dan Ratna mempercepat langkah mereka agar segera sampai di rumahnya.
"Ibu, Bapak! Kalian dari mana saja? Lihatlah, Bu, Pak, wajah Irma sekarang cantik, tanda hitam di wajah Irma sekarang hilang!" seru Irma kecil dengan gembira saat melihat Ibu dan bapaknya baru sampai di rumah, gadis kecil itu menari-nari riang dengan bahagianya.
Agus dan Ratna yang masih ada di ambang pintu pun hanya saling pandang, mereka tersenyum melihat putrinya sangat bahagia, mereka melupakan sejenak perjanjian mengerikan yang akan mereka jalani mulai dari sekarang hingga waktunya mereka akan menyerahkan putri mereka sendiri pada makhluk hitam berbulu itu.
***
Desa Regong, Kecamatan Suka Jaya geger. Bahwasanya akhir-akhir ini selama 12 tahun ke belakang beberapa gadis dari desa mereka hilang tiba-tiba.
Diceritakan gadis-gadis itu dibawa oleh makhluk halus sebangsa jin yang sering disebut Genderuwo, makhluk hitam, besar, berbulu, pecinta wanita itu. Dia sering menculik dan memperkosa korbannya, sekitar 12 gadis yang hilang setiap tahunnya di sepanjang 12 tahun terakhir dan itu hanya terjadi jika setiap bulan purnama ada pada puncaknya.
Tahun ke-13 ini baru 11 gadis yang menjadi korban, lantas siapa yang akan menjadi korban selanjutnya di tahun ini?
"Pak, Bu. Irma pulang!" Suara lembut seorang gadis mengejutkan sepasang orang tua itu.
"Irma, kau mengagetkan saja!" kata Ratna menatap anak gadisnya itu dengan rasa keterkejutan luar biasa, Ratna sampai mengelus dadanya yang berdebar, dia takut diskusiannya dengan suaminya tadi didengar oleh putri mereka.
"Maafkan Irma, Bu," sahut Irma dengan tersenyum manis.
"Masuklah, Irma. Kau tak boleh keluar dari rumah malam ini, kau tahu kan di desa ini sering terjadi penculikan gadis-gadis secara misterius?!" peringat Ratna mengingatkan anaknya.
"Iya Bu, Irma tahu itu, tapi kang Tama mengajak aku pentas malam ini, Irma ingin sekali bisa pentas malam ini, Bu," lirih Irma kepalanya menunduk dalam.
"Irma kau dengar ibu! Malam ini kau jangan pergi ke mana-mana dulu, ingat itu, Irma!" peringat ibunya lagi, menekankan setiap perkataan pada anak gadis satu-satunya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!