Polesan bibir yang mengkilap. Kalung permata. Wangi berbagai produk make up memenuhi indra penciumannya. Jemari letik ikut terangkat. Menyentuh ranum bibir bawah. Gadis itu menatap cermin tidak percaya. Di sana ia melihat sosok cantik dalam balutan gaun putih pernikahan.
Mengigit bibir bawahnya. Ia meremas gaun putih itu kencang. Mencoba menetralkan degup jantung yang menggila.
“Reya”
Gadis itu menolehkan kepalanya cepat. Seorang wanita paruh baya dalam balutan kebaya merah muda berjalan pelan ke arahnya. Senyum tulus terpancar, membuat hati sang gadis terasa lebih tenang.
“Mama”
Citra menatap anak gadisnya sayu. Tidak pernah menyangka akan melepaskan putrinya untuk memulai hidup baru dalam usia sebelia ini.
“Kamu baik-baik aja sayang?”
“Reya baik-baik aja, Mama jangan khawatir.” Senyum kecil ia berikan guna membalas raut cemas wanita di hadapannya.
“Tapi sayang, ini terlalu tiba-tiba. Mama ga mau kamu menyesali keputusan ini.” Citra tidak dapat menyembunyikan kegundahan hatinya lagi. Ia menggenggam tangan putrinya erat. “Maafin mama sayang, maafin mama... Andai mama dan ayah mu mampu—“
“Ma, Reya mohon. Kita semua udah janji untuk nggak bahas soal ini lagi.”
Hening merayap diantara ibu dan anak tersebut. Reya memeluk ibunya pelan, isyarat bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak butuh waktu yang lama bagi wanita itu untuk membalas pelukan putrinya.
Tirai ruangan itu kembali tersibak. Friska, kakak perempuan sekaligus anak tertua berdiri di sana tanpa mengatakan sepatah katapun. Terpukau dengan penampilan adik kecilnya yang sebentar lagi akan menjadi istri dari seseorang. Ia hanya bisa memberikan senyuman yang entah untuk adiknya, Reya. Atau justru untuk menenangkan hatinya sendiri.
“Ada apa Friska? Apa semuanya sudah siap?” Pertanyaan dari sang ibu dibalas dengan anggukan. Reya menggenggam tangan ibunya erat, menarik nafas untuk yang kesekian kali sebelum akhirnya melepaskan tautan tangan tersebut.
Gadis itu di tuntun untuk melewati tirai di hadapannya. Ada sebuah lorong disana. Bisa ia lihat kelima saudaranya menatap ke arahnya tidak percaya. Rasya adik bungsunya terus berteriak tentang betapa cantik kakak perempuannya dalam gaun putih tersebut. Sedangkan yang lain hanya mengangguk mengiyakan. Ia hanya bisa membalas semua itu dengan senyum. Berbeda dengan mereka semua. Dian, adik lelaki pertama Reya diam tanpa sepatah katapun. Setelah ekspresi mengangumi, hanya ada raut suram yang kentara di wajah remaja yang baru menginjak usia sekolah menengah atas tersebut.
Reya tau itu, tentu saja. Dari semuanya, Dian yang paling menentang pernikahan gadis itu. Remaja itu memalingkan muka saat melihat senyum sang kakak. Dengan langkah lebar meninggalkan tempat tersebut.
“Dian! Mau ke mana kamu?!” Teriakan Friska sang kakak tertua tidak membuat langkah tersebut berhenti.
“Biar aku aja Kak.” Rizki sebagai anak ketiga mengajukan diri. Berjalan pelan mengikuti jejak sang adik.
“Kak Dian kenapa pergi?” Rasya menatap Kakak lelaki tertuanya. Agus tersenyum sendu, mengelus kepala si bungsu. “Kak Dian lagi kebelet pup.” Balasnya singkat. Bocah kelas tiga sekolah dasar itu mengangguk paham. Tila, anak perempuan terakhir di keluarga itu menghela nafas kesal. Jengah dengan situasi yang sedang dihadapinya sekarang.
Saat pintu ruangan di hadapan mereka terbuka, Reya melihat sang Ayah menghampirinya. Lelaki paruh baya itu memeluk putrinya erat. Darma mengulurkan tangan, menunggu sang putri tercinta untuk meraihnya. “Ayo kita masuk.” Ucap lelaki itu pelan.
Perasaan itu kembali menghampiri sang gadis. Reya merasakan sekujur tubuhnya mendingin. Isi perutnya terasa di aduk-aduk. Berulang kali mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Ia seolah akan kehilangan tempat untuk berpijak, hingga tepukan kecil pada bahunya menyadarkan gadis tersebut.
“Semua akan baik-baik saja.”
Friska berkata dengan pandangan lurus, ikut menatap pintu besar ruangan di depannya.
Pintu ruangan itu terbuka sepenuhnya. Reya sedikit menyipitkan matanya saat cahaya terang menyambut kornea gadis itu.
“Ini saatnya,” pikirnya.
Semua kejadian itu terulang kembali dalam benak sang gadis. Awal dari semua garis takdir yang harus dihadapinya kini.
-----***-----
“Aku mau kita putus.”
Kalimat singkat itu sukses membuat Reya kehilangan kemampuannya dalam mencerna informasi. Ini bukan pertama kalinya ia dihadapkan dengan situasi dan pertanyaan yang lebih rumit. Tetapi gadis yang berhasil mempertahankan gelar peringkat pertama serta juara umum berturut-turut selama tiga tahun itu mendadak menjadi bodoh total.
“Hah?”, adalah kata pertama yang terlintas setelah kesadaran gadis itu kembali sepersekian detik berikutnya.
“Aku ngerasa hubungan kita gabisa berjalan lagi. Jadi sebaiknya kita akhiri disini saja.” Pernyataan lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama dua tahun terakhir itu semakin membuat sang gadis kebingungan.
“Tapi kenapa? K-kamu lagi bercanda ya ahaha, gak lucu loh sayang ihh.” Mengingat jaman sekarang sedang maraknya aksi Prank untuk sekedar konten semata, Reya sudah menelusuri seluruh area sekitar dengan kedua bola matanya. Berjaga-jaga jika ada salah satu kamera disana, maka ia harus bersikap sedikit dramatis agar usaha sang kekasih terkesan mulus dan berhasil.
Namun, harapan gadis itu sepertinya tidak terwujud. Tidak ada tanda keberadaan satu orang pun selain mereka berdua di sana. Tentus saja, bel tanda istirahat telah berakhir sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Seolah belum cukup, angin ikut berhembus kencang. Membuat daun beringin kering menghujani kepala dua remaja dengan jenis kelamin berbeda tersebut. Tepat saat cuaca menjadi mendung, Reya menyadari bahwa dewi fortuna sedang tidak berpihak pada dirinya.
Alih-alih ikut membalas pertanyaan sang kekasih dengan gelak tawa. Lelaki bernama Zaif itu justru tidak menampilkan ekspresi apapun. Reya merasa sekujur tubuhnya kedinginan. Tidak, ini bukan karena mereka sedang berdiri di bawah pohon beringin tua yang gosipnya berpenghuni tersebut. Dibandingkan merinding ketakutan, gadis itu merasa terkejut setengah mati. Tidak pernah melihat ekspresi dingin tersebut di wajah sang kekasih.
“Sayang, kamu ga lagi kesurupan penghuni pohon beringin ini kan?” Tanya sang gadis memastikan.
“Hahh.... karena ini gue sebenarnya males berurusan sama lo.” Remaja lelaki itu mengusap wajahnya asal. Lirikan sinis ia layangkan pada sang lawan bicara. “ Apa ucapan gue segitu susahnya buat lo pahami? Matematika, fisika, kimia lo khatam. Masa soal ginian aja lo kaga ngerti-ngerti si?!” Ujar sang lelaki sedikit frustasi.
“Tapi kenapa? Aku ngelakuin kesalahan ya? Aku minta maaf kalau itu bikin kamu kesal. Tapi aku mohon kamu jangan tiba-tiba minta putus begini, aku—“
“Reya! Lo paham gak si apa yang gue omongin?! Putus ya artinya putus. Kenapa? Karena gak ada lagi yang bisa gue manfaatin dari lo! Ujian akhir kita udah selesai, dan gue udah dapetin semua yang gue butuh dari otak cerdas lo.”
Gadis dengan rambut kucir kuda itu diam membisu. Jika bisa, ia ingin lari dari keyataan yang sedang dihadapinya saat ini. Berharap kalau yang keluar dari mulut orang yang dicintainya itu hanya sebuah kebohongan belaka. Reya merasakan matanya memanas, seolah ada yang mengganjal dalam tenggorokannya. Gadis itu bahkan tidak sanggup untuk membuka suara.
“Gue harus berterima kasih sama pacar gue karena udah ngusulin ide ini. Sejak awal gue deketin lo itu cuma buat manfaatin reputasi baik lo di sekolah aja. Dan lo dengan begonya malah jatuh cinta sama gue.” Sindiran pedas itu ikut dibumbui dengan kekehan, seolah itu adalah hal paling jenaka yang pernah remaja lelaki itu ucapkan. Tidak hanya berpura-pura baik dan memanfaatkannya, selama ini lelaki itu juga telah berselingkuh. Lebih tepatnya ia menjadikan Reya sebagai selingkuhannya.
Hening merayapi percakapan kedua remaja dengan seragam putih abu-abu tersebut. Deru angin serta langkah kaki dari siswa yang mulai mengisi lapangan di samping mereka mendominasi pendengaran. Reya tidak bisa menahan perasaannya lagi, ia membiarkan kedua pipinya basah. Terlalu menyakitkan untuk mendengar semua hal itu terucap dari orang yang selama ini ia cintai. “Jadi selama ini semuanya bohong? Semua kata dan perlakuan manis kamu itu juga cuma pura-pura?” Reya mengutuk dirinya sendiri saat sadar bahwa suaranya terdengar gemetar.
“Shreya, ternyata lo cukup bodoh juga ya. Lo pikir bakal ada cowo yang mau sama lo kalau bukan untuk manfaatin reputasi sama kepintaran lo?” Reya menunduk dalam, noda lumpur di kedua sepatu Zaif sekarang menjadi lebih menarik dibandingkan wajah lelaki itu. Gadis itu baru mengangkat wajahnya saat merasakan sang lawan bicara mendekat ke arahnya. Zaif berdiri di sana dengan senyum miring yang terpatri di wajahnya, berikutnya remaja lelaki itu mencondongkan badan dan berbisik pelan di telinga sang gadis.
“Lo tau? Satu-satunya hal baik yang lo punya selain otak cerdas lo itu cuma ukuran dada lo yang besar.”
Reya merasakan rahangnya mengeras, detik berikutnya ia melihat Zaif tersungkur di tanah dengan ekspresi kesakitan. Tentu saja, gadis itu meninju lelaki itu dengan cukup keras hingga mengundang perhatian warga sekolah di sekitar mereka.
“Cewe br*ngs*k, berani banget lo mukul gue!” Zaif masih terduduk sambil memegangi pipinya yang terasa nyeri dan terbakar.
Reya merasa akal sehatnya hilang detik itu juga. Gadis itu mengambil langkah lebar, mengabaikan jahitan roknya yang mulai merenggang. “Ngomong apa lo b*ngs*t?! Dasar cowo K*NT*L!!!”
Selanjutnya hanya terdengar suara pukulan yang diringi sumpah serapah serta ricuh siswa yang mendukung aksi perkelahian gadis yang terkenal tenang dan berwibawa tersebut. Teriakan guru yang berusaha melerai kalah dengan antusias siswa haus drama dan hiburan yang mengelilingi ring tinju dadakan yang Reya buat. Gadis itu benar-benar mendominasi. Oh, andai Zaif tau bahwa hal baik lainnya yang gadis itu punya adalah keahlian bela diri yang sudah ia latih sejak kecil. Remaja lelaki itu pasti akan menarik kembali kata-katanya.
TBC....
Hal terakhir yang Reya ingat selain wajah babak belur Zaif sang mantan kekasih adalah bahwa sekarang dirinya harus menjalani skors selama tiga hari karena telah memulai perkelahian di saat jam pelajaran sedang berlangsung. Sebenarnya tanpa di suruh pun, gadis itu akan memilih bolos di minggu tenang setelah ujian akhirnya.
Layaknya orang patah hati pada umumnya. Harinya ia habiskan dengan mengurung diri di kamar. Tidak ada yang berani mengganggu, bahkan orang tua dan kakak tertuanya, Friska tidak menanyakan satu pertanyaan pun saat menerima surat skors dari sekolah. Sedikit bersyukur saat hal tersebut tidak memperngaruhi nafsu makan sang gadis.
Reya mengabaikan semua panggilan dari Naura sang sahabat. Saat notifikasi grup sekolah berbunyi, gadis itu melempar ponselnya ke dalam keranjang baju kotor. Langit-langit kamar menjadi lebih menarik di matanya. Ia baru tau kalau patah hati bisa semenyakitkan ini. Hey, dia tidak mendramatisir. Zaif adalah kekasih pertamanya setelah ia lelah bercinta dengan buku dan kertas essay usang milik Pak Baha.
“lo jahat banget sumpah.” Ujarnya gemetar menahan tangis.
Demi apapun, Reya sebenarnya sangat benci menangis. Lihat tumpukan tisu bekas ingus yang memenuhi tong sampah di sudut kamar itu. Sepertinya ia harus menggantinya dengan tong sampah sekolah jika tidak ingin ada tisu bekas yang berserakan di lantai. Mata bengkak, hidung yang memerah. Reya tidak berani menatap penampilan dirinya saat ini di cermin. Lagu tembang kenangan terus mengalun merdu di kamar dengan cat dasar putih yang mulai mengelupas di beberapa sisinya itu.
“Pulangkan saja... Aku pada Ibuku atau Ayahku...”
Lagu yang biasa menemani gadis itu saat belajar, kini ikut menemani dalam tangisnya. Seolah sekarang ia bisa ikut merasakan sakit dalam setiap lirik yang dikumandangkan oleh penyanyi lawas ternama Betharia Sonata itu. Reya sudah berhenti menghitung di angka kedua puluh mengenai Naura yang berkomentar tentang selera musiknya yang menurut gadis itu terlalu kuno. Reya menarik ingusnya kencang sebelum bersiap dengan gelombang air mata berikutnya. Tidak ada yang bisa menghentikan kesedihannya saat ini.
“Aku gadis tapi bukan perawan. Keperawananku sudah hilang—“ Tidak sampai lagu berikutnya bersenandung. Ia memaki, kesal karena air di mata kirinya berhenti turun saat radio tua peninggalan sang kakek memainkan lagu yang salah. Rasanya seolah sang kakek di alam sana sedang tertawa di atas penderitaan cucu perempuannya. Oh gusti Allah, tolong sembuhkan patah hati yang di derita gadis malang itu.
Setelah lebih dari dua belas lagu terputar, Reya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Makan malam adalah hal wajib dalam peraturan keluarga tersebut. Tidak ada yang boleh melewatkan makan malam bersama bagaimanapun kondisi mu. Entah itu sedang mengerjakan tugas, menyaksikan serial tv favorit, serangan alien, kerbau masuk parit, sapi terlepas, ular dalam rumah, apalagi hanya sekedar kegalauan remaja yang sedang patah hati. Sang Ayah memberi kebebasan waktu dan privasi kepada mereka semua kecuali saat makan malam yang ia yakini sebagai momen untuk menjaga hubungan dalam keluarga kecil, yang sebenarnya besar itu.
Alat make up milik sang kakak adalah penyelamat untuk mata bengkak yang memerah itu. Reya memilih aman, sangat tidak ingin berurusan dengan berbagai pertanyaan yang akan terlontar dari mulut Rasya, si bungsu. Tila adik perempuannya melirik Reya sekilas sebelum kembali fokus pada makanan di hadapannya. Terdapat dua kursi yang masih terlihat kosong. Sang Ayah dan kakak perempuan tertua, Friska belum memunculkan batang hidungnya. Reya memilih kursi kosong di samping Tila, adiknya.
“Rizki, tidak ada dokumen pekerjaan di atas meja makan.” Citra datang dari arah dapur dan menegur putra keduanya.
“Iya Ma.” Workaholic, hanya itu satu kata yang menurut Reya tepat untuk menggambarkan kakak laki-lakinya yang bernama Rizki tersebut. Laki-laki berusia 24 tahun itu menutup laporan tersebut kemudian melepas kacamatanya asal. Tidak biasanya ia yang berjiwa perfeksionis berpenampilan acak-acakan. Reya bahkan bisa merasakan kakak laki-lakinya menghela nafas seperti orang tua. Lupakan, pikirnya. Reya harus kembali fokus pada patah hatinya sendiri. Tidak punya waktu untuk memikirkan patah hati orang lain. Sang Ayah ikut bergabung bersama mereka tidak berapa lama kemudian.
Suasana makan malam hari itu terbilang sunyi. Tidak seperti biasanya, tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka semua larut dalam pikiran masing-masing. “Di mana Friska?” Ujar Pak Darma kemudian.
“Engga tau pa, kakak ga jawab panggilan telpon aku.” Keluh Tila dengan muka masam.
Detik berikutnya terdengar suara pintu yang terbanting hebat. Gumaman kecil yang Reya yakini sebagai sumpah serapah ikut mengiringi setelahnya. Friska muncul dengan wajah yang mereka semua setujui cukup menyeramkan. Perempuan itu membawa sebuah dus yang lumayan besar bersamanya. Masih dengan wajah masam, ia meletakkan barang bawaan tersebut asal di lantai.
“Gus, nanti bantu kakak bawa masuk itu ke ruang kerja.” Friska ikut bergabung setelah menyalami Ibu dan Ayahnya.
“Kok gue sih kak, yang lain aja. Gue lagi patah hati, ga mood.” Teguh mengeluh, sambil sesekali fokus memisahkan duri ikan di atas piringnya.
“Lo kalau gue suruh jangan banyak ngebantah!”
Oh apa sekarang, Reya hampir mati tersedak dengan bonggol jagung di sayur asem saking kagetnya. Agus yang dibentak seketika lupa kalau usianya kini sudah berkepala dua, rasanya ia kembali berusia 13 tahun saat Friska masih sering memukulnya karena membuat gadis itu naik pitam.
“Friska. Jangan melampiaskan kekesalan kamu pada adik-adikmu.” Darma menegur putri sulungnya.
Friska mengusap wajahnya kasar, menerima gelas yang di sodorkan sang ibu lalu meminumnya. Gadis itu terlihat sama kacaunya dengan Rizki.
Agus yang tidak ingin memperkeruh suasana menyudahi makan malamnya. Lelaki itu beranjak dengan membawa serta dus yang sebelumnya friska taruh di lantai. Rasya mengikuti di belakangannya, jelas penasaran dengan isi dus tersebut.
“gus”, panggil Friska kemudian saat punggung sang adik hampir hilang di ujung tangga. Agus berhenti dan menoleh kecil, membuat Rasya menabrak punggungnya.
“Makasih”
Lelaki itu membalas dengan gumaman sebelum akhirnya hilang di ujung koridor lantai atas.
Suasana kembali hening. Reya, masih dengan muka masam. Secara mengejutkan menghabiskan seluruh lauk di piringnya.
“Friska, sebenarnya ada masalah apa?” Pak Darma membuka suara. Sang istri yang ikut duduk, menunggu putri sulung mereka angkat bicara. Tila yang terlihat cuek, sebenarnya ikut memasang telinga dengan seksama.
Friska, yang sejak awal terlahir dengan wajah tegas. Kini menampilkan ekspresi seperti hendak melenyapkan nyawa seseorang. Perempuan itu bahkan menggenggam garpu di tangannya kelewat erat. Jika bukan terhalang oleh akal sehat, Reya yakin kakak perempuannya itu akan membolongi piring di hadapannya hanya dengan satu tusukan. Tusukan garpu perak dengan gagang bermotif teratai yang tentu juga cukup untuk melubangi kepala orang yang membuat amarah perempuan itu meledak-ledak.
“Friska nampar atasan di kantor pa."
Suara benda logam yang jatuh menghantam piring keramik menjadi satu-satunya hal yang menjawab pernyataan perempuan itu. Rizki, sang workaholic yang menjunjung tinggi hubungan serta kenyamanan dalam bekerja hanya bisa terdiam dengan mulut menganga.
“Kamu udah gila kak!?” teriaknya kemudian.
“Atasan gue yang gila! Kalau bisa gue tikam, udah gue mampusin itu tua bangka c*b*l!”
“Ok, dia yang gila!” Serunya lagi dengan perasaan ikut kesal. Rizki harus mempertimbangkan untuk mengikuti keinginan sang kakak. Menikam atasan yang telah berbuat tidak senonoh tersebut.
Friska memulai kisahnya. Dari bagaimana ia menikmati menyusun laporan keuangan perusahaan di pagi yang cerah, hingga momen sang atasan yang mengajak wanita itu berbuat hal tidak senonoh di ruang pribadinya. Emosinya terasa cukup pekat saat wanita itu kemudian memperagakan bagaimana ia menampar sang atasan dan memutuskan untuk angkat kaki dari perusahaan tersebut.
“Untunglah kamu memilih segera keluar dari tempat itu. Tapi papa sedikit kecewa, kenapa hanya tamparan? Bukannya papa udah ajarin kamu jurus tendangan rahasia.” Darma cemburut, seharusnya lelaki yang mencoba menyentuh putri sulungnya itu sekarang berakhir di rumah sakit.
“Ga bisa pa, aku pake rok sempit. Tapi Friska nampar itu orang sampai mimisan kok.” Friska mengernyit saat merasakan sayur asem yang hari itu terasa lebih masam dari biasanya. Sang ibu yang menyadari itu tertawa kecil.
“Bagus. Kalian juga harus lebih hati-hati dan menjaga diri.” Darma melirik kedua putrinya yang lain. “Terutama kamu Tila.”
Gadis itu hendak beranjak dari kursinya. “Hah, kenapa aku pa. Secara usia, bukannya Kak Reya yang rentan di godain sama cowo. Lagian aku ga tertarik berhubungan sama cowo manapun” Kernyitnya tidak terima karena merasa sang Ayah menganggap dirinya lebih lemah.
“Kamu lesbi?” tanya lelaki paruh baya itu santai. Kue kering buatan istrinya memang yang terenak segajat raya.
“BUKAN BEGITU!”
Tila buru-buru menyanggah. Lalu melirik sang ibu dengan pandangan meminta bantuan. Ingin percakapan ini segera berakhir. Citra hanya tersenyum, kemudian menepuk kecil pundak sang suami. Sebelum akhirnya meninggalkan ruang makan dengan piring kotor di tangannya.
“Biar aku bantu ma.” Rizki berlari kecil mengikuti sang ibu.
“Hah.... lagian, kamu lihat sendiri wajah kakak mu itu. Kamu pikir bakal ada orang yang berani gangguin dia?” Darma menunjuk putri tengahnya dengan lidah kucing yang baru saja ia ambil dari toples kue kering.
Tila melirik Reya, kakak perempuannya itu terlihat cukup berantakan. Sambil mengaduk-aduk sisa makanan di piring dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mengabaikan hampir separuh percakapan yang sudah berlangsung sejak bermenit-menit yang lalu.
Menghela nafas, Tila memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Baru beranjak sebentar, langkahnya harus terhenti lagi saat ponselnya bergetar tanda sebuah pesan masuk. Detik berikutnya ia melebarkan kedua matanya.
“Kak, sebaiknya kakak periksa ponsel kakak.” Ujarnya pada Reya.
“hmmm” Reya enggan melirik, makanan sisa di piringnya terlihat lebih menarik.
Kesal karena diabaikan, Tila memukul punggung gadis berpenampilan putus asa itu. Membuat sang kakak sedikit terlonjak, kemudian mengaduh kesakitan. “Kak, kamu ngapain aja seharian ga ngecekin hp hah?! Kak Naura ngirimin aku pesan, katanya ada kesalahan pengisian data di program beasiswa kakak dan batas perubahannya sampai malam ini!”
Reya yang sebelumnya merasa kesal setengah mati karena di pukul secara tiba-tiba. Kini berpikir kalau ada baiknya ia lenyap saja dari muka bumi.
Oh, kakek di surga. Sepertinya cucu perempuanmu itu ingin segera menyusul ke tempat mu.
TBC.....
Dulu, saat Reya masih suka memuntahkan bubur sumsum melalui hidungnya. Sang ibu pernah bercerita tentang betapa sulitnya ia dan sang suami memilih nama untuk calon bayi ke empat mereka, yaitu Reya.
Mengingat janji manis saat masa berpacaran dulu. Darma dan Citra hanya menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka di masa depan kelak. Satu untuk anak laki-laki, dan yang satunya untuk anak perempuan. Mereka bahkan sudah jauh hari berencana untuk mengikuti program dua anak lebih baik. Namun, entah karena terlalu mencintai atau satu dua faktor lainnya. Mereka baru tersadar untuk menyudahi kerja keras mereka di anak yang ke delapan, si bungsu Rasya.
Saat mengandung bayi keempatnya, Citra memilih untuk tidak memeriksa jenis kelamin si calon bayi.
“Biar jadi kejutan aja mas.”
Begitu katanya. Maka meninjau dari waktu kelahiran yang diperkirakan jatuh pada bulan oktober. Disiapkanlah dua nama, Dian jika sang bayi berjenis kelamin laki-laki, dan Shreya jika ia berjenis kelamin perempuan.
“Begitu doang?”
Itu bidan Chatterin, pemilik klinik “Wanita Korban Lelaki” atau biasa disebut dengan Klinik WKL. Satu-satunya klinik yang ada di pinggiran kota saat itu. Sesuai namanya, bidan Chatterin diberi kelebihan untuk suka berceloteh tanpa lelah. Jika mengingau saat tidur masuk dalam hitungan. Maka waktu yang dihabiskannya untuk berceloteh adalah satu kali dua puluh empat jam.
“Ya, hanya itu.” Balas Darma malas. Wanita itu tidak tahu saja betapa sulitnya hanya untuk menentukan dua nama tersebut.
“Oh Tuhan.” Bidan Chatterin menepuk kepala tidak habis pikir. “Kalian sebagai pasangan muda seharusnya lebih kreatif dalam memilih nama anak.” Ia memberi wejangan selaku yang lebih tua.
“Kami hanya ingin nama sederhana yang mudah di ingat.” Citra mengelus perutnya yang sudah memasuki usia kandungan tujuh bulan itu. “Lagipula nama itu adalah doa, dan kedua nama yang kami pilih sudah cukup untuk mendoakan segala keberuntungan dalam hidup mereka kelak.”
“Karena nama itu adalah doa, seharusnya kalian memberi nama yang lebih manjur. Bagaimana dengan Lucky putra beruntung , istimewa cantik sejahtera, bahagia dunia akhirat, atau semacamnya.” Ujar bidan Chatterin dengan bangga.
Darma mengernyit, dalam hati menolak mentah-mentah. Ia tidak sanggup memikirkan jika nama anaknya kelak justru menjadi bahan olokan.
“Bagaimana dengan Oktaviana? Bayi ini nantinya akan lahir di bulan oktober bukan.” Citra memberi pendapat, berusaha menyudahi celotehan bidan Chatterin.
“Ya! Oktaviana, sudah diputuskan. Itu nama yang sangat cocok.” Darma buru-buru menanggapi.
Seolah tidak menyerah, bidan Chatterin kembali membuka suara. “Oktaviana? Bagaimana jika anak kalian nanti berjenis kelamin laki-laki?”
“Buang saja huruf a di belakangnya. Oktavian.” Darma terenyum miring, merasa diatas angin karena telah berhasil membungkam bidan Chatterin si spesialis berceloteh.
Maka itulah keputusan pasangan muda itu untuk nama calon bayi mereka. Kombinasi dari nama yang keduanya mempunyai makna keberuntungan. Namun, seolah ingin memberikan kejutan kepada kedua orang tuanya. Bayi yang seharusnya lahir pada bulan oktober itu, justru lahir dua minggu lebih awal dari waktu yang diperkirakan.
“Bagaimana ini mas? Apa kita harus mencari nama lain?” Bayi perempuan itu lahir dengan sehat.Darma yang saat itu sudah kehabisan ide memutuskan untuk menamai putrinya dengan nama yang sebelumnya sudah mereka siapkan.
Begitulah bagaimana Reya mendapatkan nama yang penuh dengan keberuntungan itu. Namun, gadis berusia sembilan belas tahun yang saat ini sedang gemetar menahan diri untuk tidak menangis itu mencaci dirinya sendiri.
“Shreya Oktaviana, lo manusia paling t*l*l yang ada di muka bumi.”
Reya mencengkram ponselnya erat. Layar benda itu menyala, menampilkan riwayat panggilan dengan sebuah kontak bernama “Naura cute sejagat raya”.
Berita yang ia terima dari sang sahabat malam itu, cukup untuk membuat kedua tungkainya lemas. ‘Kenapa ini bisa terjadi?!’ pertanyaan itu terus menggema dalam kepalanya. Reya yakin seratus persen bahwa ia sudah mengisi data beasiswanya dengan benar. Gadis itu bahkan sudah memeriksanya sebanyak limabelas kali. Bagaimana bisa terjadi error pada data jurusan yang ia pilih. Demi kain jarik kesayangan si bungsu Rasya, Reya yakin sudah mengisi semuanya dengan benar. Bau anyir memasuki penciumannya saat Reya tanpa sadar mengigit bibirnya kelewat kencang. Rasa besi memenuhi alat perasanya.
“Reya, lo bego! Seharusnya lo periksa data itu untuk terakhir kalinya.” Jambakan kecil yang ia berikan tidak membuat rasa pusing di kepala gadis itu menghilang. Semua salah nya, Reya telah menghancurkan masa depan yang selama ini sudah susah payah ia raih. Gadis itu menangis dalam diam. Berusaha menelan rasa sakit yang mulai menggerogoti kesadarannya. Ini semua terjadi karena dia terlalu mementingkan rasa patah hati sialan itu.
Tidak! Ini tidak sepenuhnya kesalahan dirinya sendiri. Zaif! Ya, semua ini salah lelaki sialan itu! Kalau bukan karena dia, Reya tidak akan merasa patah hati hingga melakukan kesalahan sebesar ini.
Reya meninju bantal dengan sarung merah muda lusuh di hadapannya. Membenamkan wajah untuk meredam teriakan yang sudah sejak tadi ia tahan.
“AAAAAAARRRGGHHHH!!!!!”
Tentu saja, gadis itu kembali menangis. Bedanya kali ini tanpa alunan tembang kenanga yang ikut menemani.
-----****-----
Hari itu terik. Sangat amat panas terik. 38 derajat celius. Cukup untuk membuat eskrim di tangan mu meleleh dalam waktu kurang dari tiga menit. Anehnya, cuaca panas itu tidak membuat Reya terusik sama sekali. Ia berdiri di tengah lapangan, seorang diri. Seolah sedang menantang sang matahari untuk adu siapa yang lebih panas. Salah satu bintang di tata surya itu, atau isi kepalanya yang sudah mendidih sejak lima belas menit yang lalu.
Gadis itu baru saja keluar dari ruang tata usaha sekolah. Bertemu guru yang berwenang mengurus semua data yang bersangkutan dengan perkuliahannya nanti. Reya menjelaskan, A sampai Z tanpa terkecuali. Tentu saja sedikit berbohong soal patah hatinya. Bu Julia mendengarkan, sesekali mengangguk pelan.
“Tidak ada yang bisa dilakukan. Satu-satunya pilihan kamu harus melakukan pembayaran mandiri.”
Hati kecil imut dan mungil Reya mencelos. Sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menangis. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lagi, gadis itu bangkit setelah mengucapkan terima kasih. Namun, seolah tidak ingin membiarkan Reya dan pikirannya sendiri. Bu Julia yang memiliki nama panjang Julianti itu berkata julid. “Salah kamu sendiri toh, kenapa bisa miss data seperti itu. Jadi anak gadis itu tidak boleh sembrono.”
Beliau mengernyit kecil, mengelus perutnya yang hamil besar itu sambil berbisik amit-amit dalam hati. Tidak ingin calon anaknya di masa depan kelak ikut menjadi gadis yang sembrono.
Reya terdiam. Mencerna tindakan bijak apa yang harus ia lakukan. Menonjok ibu muda yang sedang hamil sembilan bulan lalu masuk surat kabar nasional, atau ikut berkata berang sambil menyumpahi calon anak beliau bernasib sial di masa yang akan datang. Maka setelah mengambil tiga langkah mundur, Reya hanya tersenyum kecil. Menatap Bu Julid-anti dengan pandangan iba.
“Pasti berat ya Bu, hamil sembilan bulan. Mengurus semuanya sendiri, saat suami harus kerja di luar kota. Semoga beneran kerja ya Bu, soalnya belakangan ini lagi ngetrend aksi perselingkuhan.”
“Apa maksud kamu?”
Reya mendengus saat Bu Julid-anti terpancing, ohh hormon ibu hamil.
“Ihh tetangga saya Bu, katanya kerja di luar kota, taunya tidur Bu sama biduan. Mana setelah diusut, ternyata biduannya berbatang!” Gadis itu mendelik jijik. “Kalau begitu saya pamit dulu, permisi Bu.”
Detik berikutnya bisa Reya lihat dari kaca pintu ruangan tersebut, Bu Julid-anti nampak berbicara kesal pada telepon pintar yang ada di tangannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!