Prolog Kelahiran yang dinanti sepasang suami istri keluarga Pak Riko, adalah hal yang paling dinanti saat ini. Bagaimana tidak sudah tiga puluh tahun mereka mendambakan seorang anak. Inilah akhirnya dan tiba saatnya mewariskan yang mereka miliki selama ini.
Suara tangisan bayi memenuhi isi rumah itu. Sang ayah yang sedari tadi mondar-mandir tidak karuan, akhirnya ia menghentikan langkah kakinya dan segera memandang pintu kamar yang terkunci dari dalam itu dengan penuh haru. Namun keharuan itu berganti jadi sambaran petir yang menusuk hati dan menghilangkan semua harapan selama ini.
Seorang dukun beranak keluar dengan berteriak ketakutan. "Kuyang! Kuyang! Anakmu dibawa kuyaang!"
"Ti-tidak! Kamu bohong, 'kan Bu? Tidak mungkin anakku hilang?" Riko masih berusaha menenangkan pikirannya.
"Tu-tuan!" Dukun beranak itu menuding di pojok ruangan.
Riko segera memandang arahannya dan betapa terkejutnya ia. Ada seorang wanita dengan kepala
serta usus yang bergelantungan dibawanya melayang. Kuyang itu menatap sekilas mereka berdua, kemudian segera melayang menembus dinding.
Uwe... uwe.... Suara bayi mengagetkan mereka berdua dari keterpanaannya. Riko dan dukun beranak itu segera berlari ke dapur dan mendapati bayi itu tergeletak di meja makan. Tubuhnya bersih tidak berdarah sama sekali. Diduga kuat Kuyang itu menjilatnya hingga bersih dan anehnya bayi itu dibiarkan hidup
begitu saja. Riko segera menggendong anaknya untuk menemui istrinya yang sedang beristirahat di kamar dan menidurkannya di samping ibunya. Keanehan terjadi tiba-tiba saja bayinya bisa membuka matanya dan bercahaya merah menyala.
----------------------------------------------------------------------
TITISAN PUTRI KUYANG
25 tahun kemudian
G A D I S berusia dua puluh lima tahun, cukup matang dengan bibir yang ranum dan pipi yang bulat seperti apel namun kecil dan mungil. Dengan rambut dicepol asal-asalan, berpakaian putih dan sedang memandang pasien yang sedang terbaring di ruang operasi dengan sedikit liar. Gadis cantik itu menelusuri setiap lekuk tubuh pasien itu dengan mata liarnya. Saat sebuah tangan menyentuhnya ia baru sadar akan keterpanaannya.
"Hey, Van, apa kita bisa memulai operasi ini?" tanya seorang pria bertubuh sedikit gemuk dan memakai kacamata.
"Tunggu! Saya keluar sebentar, udara di sini sedikit gerah," ujar Vanesa.
Gadis itu keluar dan segera menuju kamar kecil. Ia membasuh wajahnya dengan air sebanyak-banyaknya kemudian memandang pada cermin cukup lama.
"Aku merasakan hal yang sama seperti itu," gumamnya.
"Kenapa tidak kaunikmati saja dia?" Wajah di cermin mirip dengannya bertanya.
"Tidak! Aku bukan kamu!" teriak gadis itu.
"Hihihi ... mau tidak mau kau juga harus melakukannya, hihihi ...." Wajah di pantulan cermin itu berubah menjadi sesosok Kuyang berkepala buntung dengan jeroan yang menjuntai di lehernya.
Prang!! Suara kaca cermin pecah.
"Tidak lagi!" Vanesa segera keluar setelah memecahkan kaca cermin kamar kecil itu dengan tangannya.
Vanesa segera berlari ke ruangannya. Ia mengambil kotak P3K untuk merawat tangannya yang terluka
akibat pecahan kaca. Namun belum sempat ia menyeka darah, sebuah lidah terjulur panjang menjilati lukanya. Vanesa terkejut, ia terlonjak dan segera menghindar sembari menutupi lukanya.
"Pergi!" usirnya.
"Kenapa kaututupi luka itu Vanesa, Aku sangat lapar? Ingin makan," ucap Kuyang itu sembari mendekati Vanesa dengan cara melayang setinggi pinggang orang dewasa.
"Aku bukan makanan, bukan pula budakmu. Pergi jangan lagi merasukiku!" Vanesa segera mundur
dan ternyata ia tertubruk meja dan terjatuh.
Kuyang itu merendahkan terbangnya sehingga usus yang menjuntai terseret ke lantai dan menyisakan darah segar.
Vanesa mundur perlahan dan mencoba bangkit berdiri. "Mau apa kamu?!" Vanesa berteriak ketakutan.
"Vanesa kamu kenapa?" tanya sebuah suara yang Vanesa sudah akrab dengan suara itu.
"Kak!" Vanesa berteriak dan segera berlari keluar.
"Kamu kenapa, Van?" tanya Gina.
Vanesa memandang ke dalam ruangannya, tidak ada lagi iblis itu di sana. Kemudian ia memandang Gina perempuan bertubuh sintal yang sangat manis itu dengan tatapan terima kasih.
"Kamu kenapa Van, kok berteriak?" tanya Gina lagi seraya memandangi gadis itu dengan heran.
"Ah, it-itu ... tidak apa. Saya hanya terjatuh," jawab Vanesa gugup.
"Ya sudah, bukannya hari ini kamu ada operasi, kenapa lama di sini? Yang lain sudah menunggumu."
"Baik, saya akan ke sana," jawab Vanesa sembari mengambil baju operasi di kursinya.
°°*°°
Operasi dilakukan dengan tenang dan teliti. Sesekali Vanesa berkeringat, tetapi Anton asistennya selalu menyeka keringatnya.
"Tolong gunting bedah ukuran sedang," pinta Vanessa pada Anton.
Pemuda berusia dua puluh empat tahun itu dengan sigap menyiapkan sepaket peralatan steril yang akan dipakai oleh Vanesa.
Gadi situ memilih sendiri gunting yang ingin ia gunakan. Dengan menghela napas dulu sebelum melakukan pengguntingan. Ia berusaha menetralkan gejolak rasa laparnya karena melihat darah segar yang kini berada di hadapannya.
"Apa bisa kita mulai Dokter Vanesa?" tanya Hariadi. Pemuda yang mengenakan kacamata bening dan berwajah tampan dengan kemilau kulit yang bersih terawat.
"Iya, kita lanjutkan," jawab gadis itu sembari mengenakan masker dan menggulung lengan bajunya ke atas untuk memudahkannya melihat dengan jelas.
"Kamu yakin, dengan memotong bagian ini tidak berbahaya untuk pasien?" tanya Anton ragu. Walaupun ia hanyalah asisten tapi sedikit banyaknya ia tahu soal operasi.
"Kalau begitu kau sajalah yang kerjakan." Vanesa merajuk. Ia bahkan membuka masker dan memberikannya pada Anton.
"Eh, bukan begitu maksud saya," jawab Anton kelabakan.
"Ini sebenarnya ada apa? Mau kita operasi atau kita bunuh saja pasien ini.
Kalian malah menekan kematian pasien begitu cepat," tegur Hariadi dengan nada tegas.
Vanesa melotot pada Anton sebelum merampas maskernya. "Sini!" ucapnya sinis.
Hariadi geleng-geleng kepala. Ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Vanesa yang tadinya haus darah akhirnya bisa fokus juga. Diam-diam ia juga berterimakasih pada Anton yang tadi sudah mengalihkan perhatiannya.
Setelah semua beres, Vanesa keluar dari ruang operasi dengan lega. Ia melakukan perenggangan otot tangan dan lehernya. Vanesa menyadari sesuatu dan tak sadar mengusap lehernya yang tergores sedikit. Gadis itu meraba-raba hingga ke seluruh lehernya.
"Ini pasti perbuatan iblis itu!" gumamnya perlahan.
Vanesa yakin Kuyang itu sudah merasukinya dan menyebabkan ia harus memutus kepala dari badannya. Sudah pernah berobat ke dukun dan ustad sekalipun, tapi tidak satu pun berhasil. Ada yang bilang ia memang terlahir sebagai Kuyang sejati. Tetapi menurut pengakuan kedua orang tuanya, ia bukan keturunan dari penganut ilmu sesat, tapi mengapa Kuyang itu malah memilihnya? Inilah yang jadi pertanyaan Vanesa sedari dulu. Sempat ingin bunuh diri tapi ia ingat Tuhan dan ingat orang tuanya. Menjadi dokter juga bukan kemauannya, hanya cita-cita ibunya yang mulia yang perlu diwujudkan. Ia tahu itu sulit bila harus berhadapan dengan darah dan ia pun tidak punya pilihan untuk membahagiakan mereka yang sudah berkorban merawatnya sedari kecil. Bagaimana menderitanya mereka ketika harus bolak-balik ke Rumah sakit, ke dukun, ke tabib. Hanya untuk membuat Vanesa diam dan mau makan. Orang tua mana yang tidak cemas melihat bayinya tidak makan dan minum dan kerjanya hanya menangis tiada hentinya? Itulah Vanesa sekarang gadis yang dulunya sewaktu bayi sempat dihampiri Kuyang dan telah terbiasa melihat arwah halus di dekatnya.
Mereka tidak menemukan apa-apa yang mencurigakan di dalam rekaman sebuah CCTV di gedung bertingkat apartemen milik Abraham Pratama. Kasus penculikan bayi diduga terjadi di dalam gedung, menurut keterangan para saksi yang terakhir melihat bayi mereka berada di tempat penitipan itu masih belum dijemput orang tuanya.
Memang ada sebuah kamar yang dihuni oleh para pengasuh bayi yang sengaja diadakan oleh Tuan Abraham sendiri untuk membantu mereka para ibu rumah tangga yang ingin bekerja di luar rumah dan tidak perlu repot mencari pengasuh bayi selagi ia menyediakan fasilitas itu.
"Saya tidak tahu, tempat ini biasanya aman dan mudah terekam CCTV, saya dapat laporan dari salah satu pengasuh di sini juga, katanya ada bayi yang hilang," kata Abraham kepada polisi yang bertugas.
"Apa tidak ada lagi yang mencurigakan menurut Anda?" tanya Polisi itu.
"Entah, sejauh ini baik-baik saja, hingga masalah ini pun terjadi," jawab Abraham yang juga kebingungan atas kasus yang menimpanya.
Lelaki berumur itu sangat pusing kepalanya karena kasus ini juga ia mendapat tuntutan berat dari anggota keluarga korban. Sebagai pemilik apartemen dan usaha penitipan anak, tidaklah bisa didiamkan saja, ia takut hal ini akan merambat turun pada usaha yang sedang dijalaninya saat ini.
****
Vanesa pulang dengan lelah di tubuhnya. Merasa haus dan penat. Ia harus terburu-buru pulang setiap hari tepat pada pukul 4 sore, karena lebih dari itu ia harus mencari tempat untuk bersembunyi. Di jam 5 sore adalah jam yang pas bagi ia memutus kepalanya. Tidak atau suka ia terpaksa melakukan itu karena rasukan di tubuhnya. Hal yang paling menyiksa adalah saat terputusnya kepala dari leher, sakitnya bukan main.
'Tutup pintumu menjelang sore jangan biarkan jendelamu terbuka, jaga anakmu agar tidak bermain saat itu. Jangan biarkan mereka bersuara di dalam rumah hingga menjelang Isya. Kuyang selalu mengintai rumahmu' Nasehat itu masih berlaku hingga sekarang.
Vanesa menyingkap gorden jendelanya, melihat ke bawah dari ketinggian 15 meter. Ada seorang polisi sedang berjalan di antara kerumunan warga yang berkumpul karena kasus di bawah. Ya, saat ini Vanesa berada di lantai atas. Ia pulang langsung menerobos mereka yang sedang sibuk tidak memerhatikannya. Vanesa sadar hanya dia saja yang belum dimintai keterangan. Saat nyeri di lehernya terasa, Vanesa mengusap goresan di lehernya yang mulai berdarah. Suara ketokan pintu membuatnya panik dan berusaha mencari tisu. Ia menyeka darah itu dengan tisu lalu membuangnya ke tempat sampah. Vanesa segera mencari kain untuk menutupi lukanya. Darah masih mengalir di sela luka.
Tok! Tok! Tok. Pintu diketuk dari luar.
"Tu--tunggu sebentar!" teriak gadis itu dari dalam sembari mengenakan selendang di lehernya.
*Kriet* ... Pintu terbuka Seorang Polisi pria berwajah lumayan dengan tubuh kurus memandang Vanesa dan satu lagi temannya yang berwajah tampan, bertubuh sedang sedang melihat-lihat di sekitar pintu-pintu kamar yang berada di lorong apartemen tersebut.
"Maaf mengganggu ...em, dengan nyonya atau-"
"Nona, saya masih lajang," potong Vanesa saat Polisi kurus itu berbicara.
"Boleh kami masuk?" tanya Polisi kurus itu yang di tanda pengenalnya bertuliskan Arsa.
Dengan berat hati Vanesa akhirnya memersilakan mereka untuk masuk. Kedua polisi itu kemudian duduk. "Saya tinggal dulu membuat minuman," pamitnya.
"Tidak perlu, kami hanya sebentar," cegah Polisi tampan itu.
Vanesa diam dan duduk di hadapan mereka sembari mengepal telapak tangannya yang berkeringat.
"Anda tahu kasus yang menimpa di bawah?" tanya Arsa.
"Saya tidak terlalu mengerti, karena saya baru tiba sepulang dari Rumah sakit," jawab Vanesa seyakin mungkin.
"Boleh saya tahu profesi Anda?" tanya Polisi tampan itu.
"Saya seorang dokter bedah," jawab Vanesa sembari menghindari tatapan mata Polisi itu. Apa dia mencurigaiku?
"Hem." Polisi kurus itu mengangguk kemudian beralih menyapu seluruh ruangan itu dengan pandangan matanya.
"Di bawah ada seorang bayi yang hilang dan sedang dalam pencarian, apakah Anda tahu atau mencurigai sesuatu akhir-akhir ini?" tanya Polisi tampan itu. Vanesa diam sejenak, ia mencari nama lelaki itu. Sepertinya lelaki itu tahu apa yang Vanesa lihat darinya. "Nama saya Anggara. Maaf, tanda pengenal saya hilang entah terjatuh di mana," jawabnya. Anggara memerhatikan wajah gadis itu dengan kerutan di dahinya.
"Saya sehari-hari hanya bekerja, berangkat pagi, pulang kadang larut. Tidak terkecuali juga saya mesti berangkat sangat malam sekali karena keadaan darurat di Rumah sakit. Kalau soal pengasuh anak-anak itu pun baru dua bulan ini saya tahu, walaupun mereka mengatakan sudah ada sejak tiga tahunan. Pokoknya saya jarang menghabiskan waktu di rumah," jabar gadis itu.
Arsa dan Anggara memaklumi pekerjaan Vanesa. Maka mereka hanya memangut-mangut saja.
"Baiklah, bila ada sesuatu kita akan menghubungi seluruh orang di apartemen ini, termasuk Anda," kata Arsa sembari menatap Anggara yang memberi kode untuk segera pergi.
"Baiklah, ini kartu nama saya, bila membutuhkan sesuatu." Vanesa segera menyodorkan kartu namanya pada Arsa.
Mereka menerimanya dan segera ke luar. Vanesa segera menutup pintunya dan membuka syalnya. Ia memekik tertahan saat luka itu menganga dan hampir merobek lehernya.
"Akh! Jangan sekarang! Aku tidak mau!!" jerit sakit tertahan dari gadis itu. Ia tidak mampu mencegah kepalanya agar jangan meninggalkan tubuhnya. Setelah tubuh itu lunglai, kepala Vanesa terbang menembus dinding. Rambutnya panjang dengan taring yang menghiasi bibirnya. Darah segar yang dibawanya menetes di jalanan. Itu darah Vanesa. Ia terus mencari dan mengintai dari pintu ke pintu. Dari jendela ke jendela.
"Aku lapar. Aku lapar!!" gumamnya dengan suara serak dan basah.
uwe ... uwe.... Suara bayi berada di ujung kamar penginapan itu. Vanesa menyerigai dengan taring yang tumbuh memanjang. Terlihat seorang ibu yang sedang menimang anak tersebut, tetapi si anak rupanya tidak mau diam dan malah menjerit ketakutan. Disusul dengan menegangnya tubuh si kecil kemudian membiru.
"Loh! Kenapa ini?!" Terheran ia melihat bayinya yang seperti memiliki penyakit epilepsi(ayan)mengejang dan membiru. "Bapak! Bapak! Bayi kita!" teriaknya. Melalui rasa panik segera membawa anak tersebut lari ke luar dan mencari suaminya.
"Dibawa ke mana makananku?" protes Kuyang Vanesa. Matanya melotot marah. Mencoba mengejar dengan menerobos penghalang dinding, tetapi usahanya terhenti saat dilihat Anggara sedang menghampiri si ibu tadi.
"Sialan! Mengapa lelaki selalu jadi penghalangku? Kuhancurkan mereka nanti!" geramnya. Kuyang Vanesa berbalik untuk kembali ke kamarnya.
Kepala itu kini melayang menembus pintu kamar Vanesa. Menghampiri raganya dan menyatu kembali di tubuh yang tergeletak tidak berdaya di lantai ruang tamu. Seperti tidak pernah terjadi apa pun, kini gadis itu terlihat sedang tertidur pulas.
Biar kaututup pintu dan jendelamu, percuma saja bila gordenmu terbuka.
Biar kaututup gordenmu percuma saja bila suara tawa dan tangis mereka tetap kudengar. Aku ada di atasmu, di bawahmu, di dindingmu dan di manapun kalian makananku.
_______________________________________
Vanesa mengintai jendela kaca yang tidak tertutup gorden, seorang ibu telah selesai menyusui bayinya. Ia segera pergi dan meninggalkan bayinya seorang diri. Saat tidak ada orang Vanesa menembus kaca itu dan menjilati bayi yang gelisah ketakutan. Suara tangisan itu begitu nyaring hingga sang ibu yang sedang berada di dapur mengeluh kesal.
"Aduh, rewel banget sih. Masih capek, tapi kamu nangis terus," keluhnya sembari berjalan ke kamar. "Iya Nak, mama datang!" teriaknya sembari berjalan.
Ue...! Uwe! Tangisan bayi itu sampai serak dan tangisannya sungguh keterlaluan.
"Kamu ini ma ... hah! Anakku mana?! Anakku hilang!" Ibu itu langsung panik mencari-cari bayinya.
*******
Bangun tidur Vanesa segera mencuci wajahnya dengan air hangat, sesekali ia meraba goresan kecil di lehernya. Keadaan yang sudah lumrah dilihatnya. Sembari menghela napas pasrah ia segera berjalan untuk membuat susu.
Vanesa mengambil air mineral dingin dalam kulkasnya sembari berdecih. "Rupanya dia menyimpannya di sini." Vanesa menatap mayat beku tiga bayi yang disimpan di dalam kulkasnya.Sesuatu yang sudah biasa dijalaninya. Tanpa merasa jijik sama sekali, ia kemudian tetap makan dan minum sarapan yang dibuatnya dengan begitu tenang. Awal mula ia ketakutan dan muntah. Sekarang hal ini sudah jadi makanan sehari-hari baginya.
"Sial! Entah sampai kapan dia menjadikan diriku ini rumahnya!" kecamnya sembari mengambil remot TV.
Tok! Tok! Tok! Ketukan keras mengetok pintu kamar apartemennya. Vanesa buang napasnya cukup keras.
"Ada apalagi sekarang?" dengusnya.
Kriet ... Pintu terbuka. Polisi yang kemaren datang lagi ke tempatnya. Tanpa basa-basi mereka masuk kemudian duduk di sofa.
"Apakah Anda mau berobat? Maaf saya di hari Minggu sedang libur," ucap Vanesa.
Arsa menatap lekat gadis itu. Di pandangannya Vanesa jadi lebih cantik dan segar dari kemarin. Sama halnya dengan Anggara ia takjub melihat Vanesa jauh lebih bercahaya dengan bibir merah muda segar tanpa polesan kosmetik sama sekali, cantik dari kemarin. Mereka tidak tahu bahwa iblis yang memakan daging itu memiliki ilmu pengawet muda dan kecantikan yang makin bertambah.
"Saya sedang beristirahat, tolong bila ada yang ingin disampaikan, sampaikanlah?" Vanesa segera berbicara pada pokoknya.
"Terjadi lagi hilangnya bayi saat sore kemaren, tepat pada pukul 6 menjelang magrib," kata Arsa.
"Saya baru tahu ini dari Anda. Saya juga tidak paham," ucap Vanesa sedikit lirih berpura-pura tidak tahu.
"Anda seorang dokter tentunya bisa membantu kami, 'kan? Apa saat ini ada seseorang yang baru saja bertamu ke rumah Anda?" tanya Anggara.
"Alasan kalian tidak masuk akal, apa hubungannya dokter dengan hilangnya bayi. Bantu ... apa yang bisa saya bantu dari kekurangan saya sebagai perempuan." Vanesa pura-pura menyindir. "Untuk tamu, itu saya akhir-akhir ini belum ada tamu yang datang. Lagipula wajar mengingat saya adalah seorang dokter," lanjutnya.
Dua polisi itu saling tatap. Vanesa yang gerah dan takut terbongkar rahasianya segera berdiri. "Saya akan buatkan minum dulu," ucapnya.
Kedua polisi itu hanya diam saja. Setelah ke dapur, terdengar seperti dua orang polisi itu sedang berdiskusi.
Beri dia makan itu, maka mereka akan tunduk padamu. Bisikan iblis itu menggema di telinganya. Vanesa tidak menghiraukan bisikan itu. Ia menuangkan air panas dan mengaduk gulanya. Mereka akan terus mengintai kita, kaum lelaki itu sangat suka kecantikan. Bunuh mereka dengan kecantikanmu, hi hi hi.... Bisikan itu terdengar lagi. Lakukanlah, lakukanlah!
Vanesa mengambil pisau yang terdapat di meja dapur dan segera membuka kulkas. Kesadarannya segera pulih kembali saat Anggara menegurnya.
"Apa saya boleh meminjam kamar mandimu?" tanya Anggara.
Vanesa segera menutup kulkasnya dan menyimpan pisaunya. "Silakan, letaknya di ujung sisi kiri," jawab Vanesa dengan sedikit panik.
"Em," gumam Anggara.
"Silakan diminum," ucap Vanesa saat mereka sudah berada di depannya lagi.
Arsa mengambil teh cangkir yang akan diminumnya itu. Darah segar menetes di minumannya. Iblis itu tepat berada di plafon sedang menempel di sana. Tanpa khawatir sama sekali Arsa langsung minumnya.
"Eh maaf, yang ini ada serangganya, lebih baik saya ganti," cegah Vanesa saat Anggara yang akan meminum tehnya.
"Tidak perlu Nona, saya akan beli di luar saja," ucap Anggara.
"Maaf," ucap Vanesa lirih.
"Boleh saya pribadi bertemu dengan Anda?" tanya Anggara. Vanesa mengangguk. "Baiklah, Arsa sepertinya tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, kami permisi dulu, Nona Vanesa," pamit Anggara sembari berdiri.
Vanesa pun berdiri melepas kepergian mereka hingga di luar pintunya.
Hihihii .... Sepertinya kamu tertarik dengan dia, lelaki itu pantas mati, Vanesa. kita kaum perempuan selalu saja ditindasnya, jangan mau dipermainkan! Suara iblis itu.
"Kamu saja yang mati. Kalau harus membunuh diriku sendiri untuk memusnahkanmu, akan kulakukan, apa pun caranya," kata gadis itu dengan sedikit emosi.
Hihihi ... lakukanlah kalau kau mampu.
Gadis itu menutup telinganya dengan perasaan kesal dan segera kembali ke dapur untuk membersihkan kulkasnya dan membuang semua sampah itu ke dalam kantung plastik hitam khusus sampah
Jangan dibuang! Itu makananku! Kuyang itu memekik dalam pikiran Vanesa.
Vanesa nampak tersenyum miring dan sepertinya memang ingin membuat marah iblis itu.
Jangan! Bisikan itu makin keras sehingga Vanesa terpaksa harus meremas kepalanya karena sakit yang diakibatkan oleh getaran suara gaib tersebut. Jangan!
"Pergi!" teriak Vanesa murka. Ia membuang kasar bungkusan sampah itu ke dinding, hingga isinya berhamburan ke lantai. Noda darah segar mengotori dinding dan alas. "PERGI!" usirnya untuk kesekian kalinya.
Sebuah kepala muncul di hadapan Vanesa. "Tidak! Kamu rumahku, ke mana lagi aku berdiam?"
Vanesa menciut ketakutan. Ia mundur perlahan, tanpa sadar menelan ludah dan tubuh bergetar. "Pergi!" Mencoba meraih sesuatu di dekatnya.
"Tidak!" tekannya dengan suara serak menyeramkan. Kuyang itu maju menghampiri Vanesa.
Selangkah demi langkah Vanesa berusaha mundur. Ia sesekali menoleh ke samping kiri-kanannya. Masih mencari benda yang dapat melukai Kuyang tersebut.
Tok, tok, tok. Suara ketukan dari luar kamarnya membuat Vanesa terkejut. Diam-diam gadis itu bersyukur karena adanya ketukan dari luar tadi mampu membuat Kuyang itu panik dan lenyap begitu saja.
"Nona, apa Anda di dalam? Apa Anda sedang dalam masalah?" tanya suara dari luar.
"I-iya! Tunggu!" Vanesa bergegas membersihkan semua yang berantakan tadi dan setelah semua beres ia mencuci tangan kemudian pergi membuka pintu sambil menyeka kedua tangannya dengan kain serbet yang ia ambil di meja dapur tadi.
"Anda tidak apa-apa?" tanya Anggara saat Vanesa membuka pintu.
"Ya, maaf kalau mengganggu. Saya cuma sedang kaget karena ada tikus di dapur saya," jawab Vanesa dengan wajah dibuat datar.
"Apa masih ada?" tanya Anggara.
"Apanya?" tanya Vanesa bingung.
"Tikusnya?"
"Oh, sudah tidak ada."
"Biar saya periksa sekali saja."
"Tidak usah!" cegah Vanesa saat Anggara akan menerobos masuk.
"Tapi-"
"Sudah tidak ada." Vanesa mendorong perlahan tubuh Anggara. "Sebaiknya Anda pergi saja. Saya tidak apa-apa, kok."
Anggara berkerut dahi, walau heran ia hanya mengangguk pelan dan segera pergi. Kini Vanesa segera menutup pintu dan segera menuju kamar mandi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!