Tujuh tahun berlalu tak lantas membuat ingatan tentang pengkhianatan oleh adik sepupunya menghilang. Kejadian itu masih melekat erat di ingatannya. Mencintai setulus hati, tapi dibalas dengan sebuah pengkhianatan yang tidak bisa ditoleransi. Gavin Agha Wiguna, lelaki tampan yang tak beruntung dalam hal percintaan.
Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya. Hari ini adalah hari terkahir dia bertugas di perusahaan sang kakak. Dia ditarik oleh sang ayah ke Indonesia untuk mengelola perusahaan yang memang sudah disiapkan untuknya.
"Sudah waktunya."
Suara sang kakak membuyarkan lamunannya. Agha menatap sang kakak yang masih sangat tampan dan terlihat muda.
"Ya."
Agha sudah membereskan semua barang miliknya yang ada di ruangan tersebut. Semuanya dia masukkan ke dalam ke kardus. Rangga menepuk pundak Agha dengan begitu lembut. Dia sangat suka dengan kinerja Agha yang sangat luar biasa.
"Lakukan ini juga di perusahaan Daddy."
Agha hanya mengangguk. Semakin ke sini sifat dinginnya semakin menjadi ketika ada salah satu karyawan di perusahaan Rangga mengajak Agha berkencan sekaligus tidur bersama. Sungguh membuat Agha geram karena itu sama saja merendahkan dirinya.
Nasib wanita itu berkahir naas. Di mana dia keluarkan dari perusahaan secara tidak hormat karena Agha membuat wanita itu tak memiliki wajah. Juga dibenci semua orang. Selain dingin, dia juga termasuk lelaki kejam yang bisa melakukan apapun tanpa orang lain ketahui.
.
Agha sudah berada di dalam pesawat menuju Jakarta. Dia sudah memasang airpods untuk menemani penerbangannya. Baru juga memutar lagu lokal, dia sudah disuguhkan lagu melow.
Andai sejak awal
Ku tahu akhirnya begini
Ku tak akan mau mencintaimu
Tlah sedalam ini
Entah apa salah dan dosaku
Hingga Tuhan pertemukanku denganmu
Hancurkan diriku
"Ku kira lagu, ternyata kisahku," gumam Agha dengan begitu pelan. Bibirnya pun sedikit terangkat. Menertawakan kebodohannya.
Penerbangan yang memakan waktu cukup lama dia gunakan untuk beristirahat. Padahal sang ayah sudah menawarkan penjemputan dengan menggunakan pesawat pribadi. Namun, Agha menolak. Dia tidak ingin menggunakan fasilitas ayahnya selagi dia masih bisa menggunakan fasilitas umum.
Dia juga melarang ayah, adiknya dan juga sang ibu untuk menjemputnya. Serta dia melarang ayahnya untuk memberitahu keluarga besarnya bahwa dia akan kembali ke Jakarta hari ini.
Setelah mengudara cukup lama, akhirnya dia tiba di Jakarta. Agha tersenyum ketika dia menginjakkan kaki lagi di tanah di mana dia dibesarkan. Sebelum pulang ke rumah, Agha mampir terlebih dahulu ke kedai kopi. Agha bukan orang yang senang keramaian. Dia malah senang menikmati waktu sendiri.
Ponselnya dia aktifkan kembali dan sudah banyak pesan masuk. Semuanya adalah laporan mengenai adik-adiknya. Agha membaca dengan seksama. Hingga nama Ahlam tertera juga di sana.
"Dia dikirim Tuan Aksara ke LN dan ditangani oleh Axel."
Agha menghela napas kasar. Dia tidak pernah berkomentar apapun tentang setiap laporan yang dia terima. Dia hanya memantau adik-adiknya. Begitu juga dengan adik kandungnya yang dulu pernah mengejar anak dari Rindra Addhitama, Rio. Padahal, usianya terpaut sangat jauh.
Sekarang, adiknya tengah fokus di dunia tarik suara. Di mana itu menjadi hobinya yang menurun sang mommy. Agha menutup ponselnya dan menyesap es kopi yang dia pesan. Ketika dia menoleh ke arah luar kedai kopi, dia melihat seorang wanita berjalan menggunakan jaket yang dia kenali. Matanya memicing.
"Woiy!"
Suara seseorang membuat Agha terkejut. Pandangannya pun langsung terputus. Dia berdecak kesal ketika seorang lelaki tampan seusianya sudah melebarkan senyum.
"Susah punya teman mata-mata mah," oceh Agha.
"Mau lu ke bulan pun pasti gua tahu."
Siapa lagi jika bukan Reksa, sahabat Agha yang kini sudah menjadi ahli IT sekaligus mata-mata. Jujur, Agha sangat merindukan si telinga lebar itu yang selalu menyebarkan happy virus. Setelah puas berbincang, mereka berdua pergi dari bandara menuju rumah Agha.
"Bohong kalau bokap lu gak tahu," ujar Reksa.
"Bokap gua mah miara cenayang. Jadi, apapun tentang gua dan adik gua dia pasti tahu." Reksa terbahak mendengarnya.
Tibanya di rumah, Reksa tak ikut turun. Dia memilih untuk pulang karena dia tidak ingin mengganggu lepas kangen keluarga Agha.
Ghea yang memang tengah libur kuliah dan tidak ada jadwal manggung hanya bersantai di rumah. Dia yang sedang berada di ruang keluarga berdecak kesal ketika mendengar suara bel berbunyi.
"Ke mana sih para penghuni rumah," omelnya sembari bangkit dari posisi uwenaknya.
Tubuhnya menegang ketika dia melihat lelaki tinggi berdiri di depannya. Dia membeku sesaat hingga senyum lelaki jangkung itu terukir.
"Mas Agha!!"
Dia berhambur memeluk tubuh sang kakak. Ada air mata yang menetes dari pelupuk mata Ghea saking rindunya dia kepada sang kakak yang sulit sekali memberi kabar. Juga sangat sulit untuk ditemui.
"Kenapa gak bilang? Adek kan bisa jemput."
Ghea masih memeluk erat tubuh Agha. Seakan dia tidak ingin ditinggalkan oleh kakaknya lagi.
"Mas ingin memberi kejutan kepada kamu."
Agha tersenyum ketika dia kembali merasakan kehangatan yang sudah lama dia rindukan dan dia pendam sendirian. Rumah yang masih sama seperti dulu.
"Mas, mau minum apa?"
Sungguh banyak perubahan dari adiknya. Ghea dengan cekatan menyiapkan cemilan dan minuman untuk sang kakak. Agha pun nampak bahagia melihat adiknya yang tidak manja lagi.
"Mommy ke mana?"
"Katanya mau ke rumah Bubu."
Baru saja menanyakan hal itu, suara sang ibu yang memanggil namanya terdengar. Riana memeluk tubuh Agha dengan begitu erat.
"Kenapa pulang gak bilang?" tanya sang ibu yang sudah menatap Agha dengan penuh rindu.
"Kejutan."
Aksa pun tersenyum. Agha menunduk hormat kepada sang ayah. Kemudian, dia menghampiri ayahnya dan mencium tangan sang ayah dengan begitu sopan. Aksa menepuk lembut pundak sang putra.
"Sudah siap mengelola perusahaan Daddy?"
"Siap, Dad."
Ghea dan Riana terkejut mendengar percakapan dua lelaki berbeda usia itu. Mereka saling pandang dengan raut penuh kebingungan.
"Agha akan membantu Daddy untuk mengurus perusahaan."
Aksa sudah memberikan clue. Namun, dua wanita itu masih belum mengerti.
"Jadi, Agha akan tinggal kembali di sini bersama kita."
Riana dan Ghea pun berteriak gembira. Mereka berdua berhambur memeluk tubuh Agha. Aksa menggelengkan kepala.
"Mas akan memantau Adek dua puluh empat jam. Semua jadwal Adek, Mas harus tahu."
Ghea yang tengah bahagia pun berdecak kesal. Mantap sang kakak dengan tatapan tajam.
"Kamu adalah permata berharga yang harus Mas jaga dan lindungi."
Kalimat itu membuat hati Ghea mencelos. Dia yang hendak marah pun dia urungkan. Ghea kembali memeluk erat tubuh sang kakak kembali.
"Makin sayang sama Mas."
"Pipo, Mas sudah kembali ke pelukan keluarga. Mas janji, Mas akan menjaga dan melindungi adik-adik Mas. Juga menjadi panutan untuk mereka."
...****************...
Komen dong ...
Gavin Agha Wiguna tersenyum bahagia karena tidak ada sedikit pun yang berubah dari kamarnya. Dia memang berpesan kepada kedua orang tuanya agar tak merubah kamarnya. Dia ingin ketika dia kembali ke Jakarta, tidak ada yang berubah dan masih tetap sama ketika dia meninggalkan tanah air.
Langkahnya terhenti ketika dia melihat figura yang berisi foto dirinya dan juga adik sepupunya, Ahlam. Dia menatap dengan lekat foto tersebut hingga terdengar helaan napas begitu dalam yang keluar dari mulut Agha.
"Bukan hanya uang yang dapat merusak persaudaraan. Wanita pun bisa membuat yang tadinya dekat semakin menjauh. Bahkan tak saling sapa," gumam Agha dengan begitu pelan.
.
Pagi hari Agha sudah siap dengan pakaian kerjanya. Sungguh dia sangat tampan dan wajahnya amat berkharisma. Auranya sangat terpancar.
Sang ibu yang sedang menyiapkan sarapan terkejut ketika melihat sang putra sudah rapi. Agha teramat tampan melebihi ayahnya sewaktu muda.
"Loh, Mas? Emangnya langsung ngantor?"
"Iya, My," jawabnya sambil menarik kursi meja makan yang akan dia duduki.
"Tapi, Mas kan baru sampai, harusnya--"
"Nothing special for me and the others." Agha menjawab sambil tersenyum ke arah sang ibu.
"Tidak ada kata manja dalam dunia kerja."
Didikan keras sang ayah membuat Agha menjadi seseorang pekerja keras penuh tanggung jawab. Dia juga sangat totalitas dalam bekerja. Buktinya, di perusahaan sang kakak pun dia melakukan yang tebaik hingga perusahaan itu semakin berkembang dan juga semakin disegani. Bukan karena Agha anak dari Aksara, ataupun cicit dari mendiang Genta Wiguna. Dia disegani banyak orang karena kemampuannya yang membuat dia terkenal di Sydney, Australia. Bahkan, Agha meminta sang ayah untuk tidak menggemborkan siapa dirinya kepada khalayak umum. Dia merasa belum pantas untuk dikenal sekarang. Walaupun prestasinya sudah diakui di salah satu negara di negara kangguru.
Riana hanya terdiam mendengar ucapan sang putra yang tutur katanya percis seperti suaminya. Di balik rasa kasihan, ada rasa bangga yang Riana rasakan karena sang putra kini sudah sangat dewasa.
Aksa yang baru bergabung tersenyum penuh bangga kepada sang putra. Agha sangat disiplin dalam hal waktu.
"Are you ready?"
"Ya."
Aksa menepuk lembut pundak sang putra yang tak terasa sudah menginjak dewasa. Di mana usianya kini sudah hampir seperempat abad.
"Adek mana?" tanya Aksa. Ketika anak bungsunya belum bergabung bersama mereka.
"Palingan lagu siap-siap. Adek ngampus pagi hari ini."
"My, nanti kirimin jadwal Adek hari ini ke Mas," balas Agha.
"Untuk apa, Mas?"
"Mulai sekarang Mas yang akan memantau Adek."
Sesayang itu Agha terhadap adiknya. Padahal, dia sendiri sibuk, tapi masih mau memantau kegiatan adiknya.
.
Agha memilih untuk membawa mobil sendiri menuju perusahaan keluarga. Dia tidak mau disebut mendompleng nama besar sang ayah. Dia tengah berjuang untuk membesarkan namanya dari kerja kerasnya..
Rapat dadakan di pagi hari membuat para petinggi keheranan. Begitu juga dengan Aska yang diwajibkan untuk hadir. Begitu juga dengan Radit dan Echa.
"Sepenting apa sih rapatnya?" omel Aska ketika dia baru sampai di perusahaan keluarga. Pasalnya, Aska pun sibuk dengan perusahaan anak cabang yang tengah dia kelola.
Mereka semua sudah ada di ruang meeting dan tinggal menunggu Aksara. Radit dan Echa pun ikut pula hadir. Lima menit kemudian, Aksa datang seorang diri. Tak banyak berbasa-basi. Dia segera menjelaskan maksud dan tujuannya di acara rapat tersebut.
"Kita tahu, posisi direktur utama sudah sebulan ini kosong. Hari ini, saya akan mengumumkan direktur utama kita yang baru."
Para petinggi pun mengangguk mendengar ucapan sang pemilik Wiguna Grup. Beda halnya dengan Aska, Radit dan Echa. Mereka sangat tahu bagaimana Aksara menyeleksi manusia yang berkerja di sini. Apalagi, jabatan yang sedang kosong bukan jabatan sembaranga.
"Beliau sudah memiliki pengalaman kerja di Australia, dan saya yakin beliau akan membuat perusahaan ini lebih maju lagi."
Adik dan kakak Aksa kini menukikkan kedua alis mereka. Mendengar negara Australia membuat mereka berpikir keras dan mencoba untuk menerka.
"Rangga?" Echa menebak pelan sambil menatap Askara. Sang adik menggeleng pelan. Dia juga tidak yakin.
Hingga sebuah nama dipanggil oleh Aksara, "Gavin Agha Wiguna."
Mata ketiga saudara Aksa pun melebar. Mereka benar-benar terkejut dan masih tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Aksa. Kedatangan seorang pria muda, tampan dan memiliki aura yang kuat membuat mereka terpana seketika.
"Selamat pagi semua."
Suara yang begitu tegas terdengar di telinga. Aska, Echa dan Radit masih speechless melihat keponakan mereka yang selama tujuh tahun ini jarang sekali bisa mereka temui. Kini, ketika Agha ada di depan mereka, mereka bertiga nampak terpana sampai tak bisa berkata.
"Beneran itu keponakan gua? Si Empin?"
Aska masih tak percaya. Waktu terlalu cepat berlalu hingga dia tidak sadar jika keponakannya sudah tumbuh besar.
Agha memperkenalkan diri dan juga menyebutkan pengalaman kerjanya kepada para petinggi Wiguna Grup. Di sela perkenalan diri ada yang bertanya perihal dirinya.
"Ada hubungan apa Anda dengan keluarga Wiguna?"
Ya, mereka meyakini jikalau direktur utama yang baru dan masih muda itu bukanlah dari orang sembarangan. Mereka tahu bagaimana selektifnya seorang Ghassan Aksara Wiguna.
"Saya adalah cucu dari Kakek Genta Wiguna."
Sengaja Agha menjawab seperti itu agar mereka berpikir dengan keras. Anak siapakah dirinya? Pasalnya Genta Wiguna memiliki dua orang anak kembar. Giondra dan Giandra, tapi Giandra lebih dulu dipanggil sang maha kuasa sebelum dia menikah.
Giondra Aresta Wiguna adalah penerus tunggal Wiguna Grup yang dibangun oleh sang ayah. Beliau memiliki dua orang anak kembar, Aksara dan Askara. Juga, satu orang anak sambung Elthasya Afani. Sedangkan kedua anak Gio sama-sama memiliki anak lelaki.
Agha tersenyum tipis, dia melihat mereka semua tengah berpikir keras. Menebak anak siapa dirinya. Setelah perkenalan selesai, mereka yang ada di ruang meeting bubar. Sedangkan Aska, Echa dan Radit masuk ke ruangan Aksara di mana ada Gavin juga di sana.
"Empin!"
Aska memeluk tubuh sang keponakan dengan begitu erat. Ada senyum penuh bangga yang sang paman berikan untuknya.
"Si ninja Hatori udah dewasa sekarang. Udah jadi Dirut."
Agha tersenyum mendengar pujian dari Askara. Dia menunduk hormat, lalu mencium tangan sang paman dengan penuh kesopanan.
"Berarti gua udah tua, ya."
Seketika mereka pun tertawa. Echa memeluk erat sang keponakan tampan yang kini sudah pantas disebut the next of Aksara.
"Bubu bangga sama kamu, Mas."
"Jangan memuji Mas, Bubu. Mas masih dalam proses belajar. Mas juga masih butuh bimbingan dari Bubu, Baba dan Uncle."
Aska menatap ke arah Aksara dengan sorot mata penuh bangga. Sungguh didikan keras sang kakak kepada Agha membuatnya menjadi orang yang begitu sopan dan penuh kharisma.
"Didikan keras bukan berarti tak sayang kepada anak, tapi itu membuat anak lebih kuat untuk menghadapi kerasnya dunia yang sesungguhnya. Apalagi masuk ke dunia kerja yang sikut sana-sini. Jika, bermodalkan mental tempe, tak akan menjadi manusia yang berkembang. Hanya bisa mengeluh, tanpa mau bangkit dan memperbaiki diri."
Agha tersenyum mendengar kalimat yang diutarakan sang ayah. Didikan ayahnya membuatnya menjadi manusia yang tak pernah menyerah dan tidak pernah puas dengan apa yang sudah dia gapai. Hingga menjadikannya seperti ini karena tempaan sang ayah.
"Di balik pria sukses, pasti ada wanita hebat si belakangnya. Spill dong ceweknya."
Agha menggelengkan kepala mendengar godaan sang paman. Sikap jahilnya masih tidak berubah. Seketika bayang seorang wanita berambut sebahu muncul di kepalanya. Wanita yang Agha lihat sekilas kemarin di bandara yang menggunakan jaket yang sama seperti jaket miliknya.
"Siapa dia? Kenapa bayangnya kini hadir di memori kepalaku?"
...***To Be Continue***...
Komen dong ...
Gavin Agha Wiguna sangat totalitas dalam bekerja. Dia selalu memberikan yang terbaik untuk tempat di mana dia bekerja. Sebulan menjadi direktur utama sudah banyak perubahan di Wiguna Grup. Aksa pun tersenyum bangga kepada putranya.
"Mas, jangan pulang malam terus. Jaga juga kesehatan kamu."
Sang ibu sudah menasihati Agha yang sedang fokus menatap layar segiempat di depannya. Agha menoleh sebentar kepada sang ibu. Lalu, menyunggingkan senyum.
"Iya, My."
Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Agha. Sudah sebulan ini dia selalu pulang tengah malam karena sedang banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Sang ayah sudah menegurnya, tapi tetap saja Agha tak mendengar. Selain pekerja keras, Agha pun keras kepala.
.
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Agha ketika sedang mengecek berkas-berkas yang tidak sesuai dengan keinginannya.
"Pada bisa kerja gak sih?"
Dia pun mengomel di malam hari di ruangannya. Ya, dia masih berada di kantor Wiguna Grup.
Terbuai dengan pekerjaan yang menumpuk dan meminta untuk diselesaikan membuat Agha lupa waktu. Dia meregangkan otot-ototnya yang terasa sangat kaku. Ketika dia melihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
"Semakin besar perusahaan dan jabatan, semakin besar juga pressure yang diterima," gumamnya.
Selelah apapun Agha, dia tidak pernah mengeluh. Dia tetap enjoy menjalani semuanya. Hingga dia rela tak memiliki waktu istirahat karena tanggung jawab yang dia emban sangat besar. Meskipun sudah satu bulan berada di Jakarta, dia belum bertemu dengan keluarga besarnya. Dia masih fokus pada pekerjaan dan belum mau bertemu dengan orang-orang. Dia memang sangat merindukan mereka (keluarga), tapi ini belum saatnya untuk Agha menunjukkan wajahnya kepada mereka semua.
Agha sudah keluar dari kantor Wiguna Grup. Dia berjalan menuju mobilnya. Baru saja duduk di balik kemudi, mulutnya sudah menguap dengan begitu lebar.
"Puas-puasin deh besok tidur," ujarnya.
Akhir pekan kali ini akan dia gunakan untuk beristirahat. Itulah kenapa dia ingin menyelesaikan semua pekerjaannya. Selama satu bulan ini, setiap akhir pekan selalu dia gunakan untuk bekerja dan bekerja. .
Jalanan yang begitu sepi membuat Agha menginjak pedal gas cukup kencang. Dia ingin cepat sampai. Pandangannya terus menatap ke arah jalanan dengan sesekali menguap. Agha terus melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Tanpa dia sadari dia terpejam beberapa detik sampai pada akhirnya dia berteriak.
"Aarggh!!"
Darah pun mengucur di dahinya. Agha sangat terkejut dan masih mengatur napasnya. Sakit di dahinya tak dia rasakan. Padahal bau amis darah segar sudah dapat Agha cium.
Kaca mobilnya ada yang mengetuk. Agha menoleh dan ada seorang polisi di sana. Agha membuka pintu mobil dan polisi itu melakukan hormat kepada Agha.
"Apa Anda baik-baik saja?"
"Saya hanya mengantuk, Pak." Kalimat itu begitu lemah dan akhirnya Agha tak sadarkan diri.
.
Perlahan Agha membuka mata dan dia sudah berada di rumah sakit. Sudah ada perawat yang ada di sampingnya juga polisi yang tadi menyapanya.
"Syukurlah, Anda sudah sadar."
"Terima kasih, sudah membawa saya." Polisi itupun mengangguk.
Agha merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Dia menghubungi seseorang dan menyuruhnya untuk datang ke rumah sakit.
"Apa luka saya ini parah?" tanya Agha kepada pihak kesehatan yang menanganinya.
"Kami harus menjahit dahi Bapak karena luka robeknya cukup lebar," jelas pihak medis.
"Untuk memastikan kondisi bagian dalam kepala, kami akan melakukan CT scan besok pagi. Kami menduga ada benturan cukup keras."
Setengah jam berselang, seorang pria datang dengan wajah cemas. Dia menggelengkan kepala ketika melihat sang sahabat terbaring dengan perban di kepala.
"Kalau mau bunuh diri bilang. Biar gua videoin."
"Emang si alan!"
Perawat yang ada di sanapun menggelengkan kepala. Wajah tampan tak lantas membuat ucapannya sopan, tetap saja keluar kata kasar.
"Urus biaya rumah sakit."
Perintah Agha membuat Reksa berdecak kesal, tapi tetap saja Reksa menjalankan tugas dari sahabatnya itu. Dia pun menengadahkan tangan. Agha memberikan dompetnya kepada Reksa. Reksa sudah hendak mengambil kartu hitam nan ajaib.
"Pake debit aja."
Dahi Reksa mengkerut ketika mendengarnya. Dia menatap dalam wajah sang sahabat.
"Itu kartu buat bekel nikah."
Etdah!
Reksa menatap kesal ke arah Agha yang malah memejamkan mata. Pacar saja tidak ada sudah menyebut kata nikah. Namun, dia menuruti saja apa yang diperintah sang baginda. Setelah sampai resepsionis, dia berdecak kesal karena lupa menanyakan pin. Baru saja hendak menghubungi Agha, sudah ada pesan dari anak Aksara.
"Gunain keahlian lu!"
"Bang sat!"
Reksa mengumpat di dalam hati. Terkadang sahabatnya itu di luar prediksi BMKG otaknya. Kini, Reksa yang malah harus berusaha meretas pin kartu milik sahabatnya sendiri.
"Padahal tinggal bilang aja berapa PIN-nya. Malah ngasih PR pan. Bukannya gua gak mampu ngeretas pin ini, tapi asli gua lagi males."
Reksa terus mendumal di dalam hati sambil meretas pin milik sahabatnya itu. Tak memakan waktu lama dia pun berhasil. Pembayaran biaya rumah sakit pun sudah selesai.
Dia kembali lagi ke ruang IGD di mana Agha masih terbaring. Dia masih harus berada di sana sampai besok pagi.
"Lu udah bilang keluarga lu?" Agha menggeleng.
Lelaki yang terbaring di ranjang pesakitan itu mengirim pesan kepada ibunya dan menunjukkan pesan tersebut kepada Reksa.
My, Mas nginep di rumah Reksa ya. Besoknya mau langsung ke Bandung, liburan sedetik.
"Gila emang!" Reksa sangat tidak mengerti jalan pikiran lelaki tampan sahabatnya itu.
"Gua gak mau buat nyokap dan Adek gua khawatir."
"Tapi, lu yakin bokap lu gak tahu akan hal ini?" Reksa sudah menatap dalam Agha.
"Bokap gua pasti tahu semuanya tentang gua, tapi gua gak takut walaupun bokap gua galak. Air mata nyokap gua yang lebih gua takutin."
Hati Reksa mencelos mendengar penuturan Agha. Di balik sikap Agha yang keras dan songong, ada kelembutan hati yang sampai saat ini tak berubah dari seorang Gavin Agha Wiguna. Seorang anak yang selalu menjunjung tinggi dua perempuan yang dia sayangi.
.
Dada seorang perempuan masih berdegup sangat kencang sampai saat ini. Dia masih bersandar di lorong sepi sendirian. Memandang tangannya yang baru saja menyentuh dahi yang begitu bersih dan putih. Menatap wajah lelaki tampan yang begitu mulus bak jalan tol dalam jarak dekat.
Dia teringat ketika dia melakukan pertolongan kepada lelaki itu. Dia terus memastikan jika lelaki itu tak membuka mata di setiap tusukan jarum dan tarikan benang yang dia lakukan. Dia ingin memandang wajah tampan lebih lama dan lebih dekat. Wajah yang dulu hanya bisa dia pandang dari jauh, kini bisa dia lihat dari jarak beberapa sentimeter saja.
"Masih tetap sama. Masih sangat tampan."
...***To Be Continue****...
Komen dong ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!