NovelToon NovelToon

I LOVE YOU TOO, MR. MAX!

1 - Awal Mereka Bertemu

Seperti malam-malam sebelumnya, mata gadis itu sulit terpejam. Bergerak gelisah di atas ranjang, gadis itu mencoba mencari posisi terbaik agar bisa segera tertidur. Namun, usahanya sia-sia. Matanya hanya terpejam. Akan tetapi tidak bisa memasuki alam mimpi sama sekali.

Tak lama gadis itu beringsut duduk. Meraih ponsel yang berada di atas nakas, memeriksa pukul berapa sekarang. Waktu menunjukkan pukul 00:23 malam.

Menyibak selimut yang menututupi kaki, gadis itu berpindah duduk di pinggir kasur. Mengusap wajah perlahan, memikirkan hal apa yang harus ia lakukan agar bisa segera tertidur. Besok, dia harus bangun pagi untuk berangkat bekerja.

Dia melirik dua botol obat tidur yang berada di meja kecil di sudut kamar. Kedua botol itu sudah kosong sejak tiga hari yang lalu. Dia tidak berniat membeli lagi. Tidak ingin ketergantungan lebih lama lagi. Dia bertekad untuk berhenti mengonsumsi obat itu.

Menghela napas berat, gadis itu bangkit, berjalan perlahan menuju beranda kamar. Mungkin, setelah melihat langit malam yang gelap dan suasana kota yang senyap, dirinya bisa segera merasakan rasa kantuk yang hebat.

Di tengah memperhatikan sekitar. Mata gadis itu menangkap pemandangan yang tidak wajar. Di bawah sana, di sebuah gang kecil, tepatnya di tempat pembuangan sampah yang sangat jarang dilewati. Gadis itu melihat dua orang pria bertubuh besar, memakai jaket kulit berwarna hitam, juga topi hitam, sedang membawa sesuatu, tepatnya ... seseorang. Tidak jelas apakah seseorang yang mereka bawa itu laki-laki atau perempuan, yang jelas seseorang itu terkulai lemas tidak berdaya di tangan kedua pria besar itu.

Gadis itu beringsut mundur ketika kedua pria besar itu melempar begitu saja seseorang itu ke sudut gang persis di samping kontainer sampah. Dia segera bersembunyi di balik pintu ketika kedua pria itu menatap sekeliling. Sepertinya untuk memastikan bahwa tidak ada saksi mata yang menyaksikan perbuatan mereka itu.

Lima menit berlalu sejak kedua pria itu pergi, gadis itu masih duduk bersandar di pintu beranda. Dia masih syok dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.

Apakah saat ini dirinya adalah seorang saksi sebuah kasus pembunuhan?

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Menghubungi pihak yang berwajib? Memberi tahu tetangga yang bahkan ia sendiri tidak tahu namanya meski sudah satu tahun tinggal di rumah susun ini?

Atau ... berpura-pura tidak tahu sampai ada orang lain yang menemukan jasad orang itu?

"AKH!!! SIAL!!! Kenapa aku harus menyaksikan adegan itu, sih?" keluh gadis itu sembari mengacak rambut kasar.

Meski wajahnya terkesan ramah, namun dia adalah seseorang yang sangat malas melakukan interaksi dengan orang lain. Apalagi dengan orang-orang baru yang tidak ia kenal sama sekali.

Gadis itu bangkit. Dia sudah memutuskan, dia akan berpura-pura tidak tahu mengenai kejadian malam ini. Toh, itu bukan urusannya. Lagi pula, seseorang itu sudah meninggal, dia tidak bisa mengubahnya.

Namun, saat gadis itu melihat kembali ke arah gang sempit itu. Dia melihat seseorang itu bangkit. Besusahpayah melangkah sembari memegangi perut. Baru satu langkah dia berhasil melangkah, seseorang itu kembali terjatuh. Dia berusaha bangkit lagi, namun sia-sia, dia kembali terjatuh sebelum berdiri tegak.

Seseorang itu masih hidup?

Dengan sisa-sisa rasa kemanusian yang masih melekat di hati, gadis itu segera bergegas. Mengambil dompet, jaket, kaca mata, juga kunci mobil tua yang ia miliki. Gadis itu mengikat rambut asal, kemudian berlari, meninggalkan rumah yang berada di lantai tiga rumah susun menuju gang sempit tempat pembuangan sampah yang berjarak sekitar seratus meter dari gedung rumah susun.

Dia bertekad untuk menyelamatkan seseorang itu.

***

Mata pria itu perlahan terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit berwarna putih, juga dinding yang berwarna senada. Pandangannya segera menjelajah ke belbagai arah dengan awas. Tidak ada seorang pun di ruangan ini selain dirinya. Aroma tempat ini familiar. Tentu saja otaknya bisa langsung memproses dan mengetahui di mana tempat ia berada sekarang. Rumah sakit, dia berada di rumah sakit.

Tapi, siapa yang membawanya ke tempat ini?

Seingatnya, orang-orang itu membuangnya ke tempat pembuangan sampah di pinggiran kota. Mungkin mereka berpikir dirinya sudah mati setelah dipukuli habis-habisan dan ditusuk di bagian perut beberapa kali. Sebenarnya, dirinya juga berpikir demikian. Dia juga berpikir bahwa dirinya sudah pasti mati. Tapi nyatanya, dia di sini, terbaring di ranjang sebuah rumah sakit. Meski sekujur tubuhnya terasa sakit dan lemah, tapi dia masih bernapas, jantungnya masih berdetak. Dia masih hidup.

"Wah!!! Anda akhirnya sadar, tuan," ucap seorang suster yang memasuki ruangan. Di tangannya terdapat beberapa lembar kertas catatan yang diselipkan pada papan kerani. Ekspresi wajah perawat itu nampak senang sekaligus lega. "Sebentar, saya segera kembali bersama Dokter."

Suster itu kemudian pergi. Tidak lama kemudian, suster itu kembali bersama seorang dokter laki-laki dan satu suster lainnya.

Mereka langsung melakukan pemeriksaan secara intensif pada pria itu. Ekspresi wajah sang dokter nampak cerah. Puas dengan hasil pemerikasaan.

"Tuan Jerome, saya sangat bangga pada anda," ucap sang dokter usai melakukan serangkaian pemeriksaan.

Jerome? Siapa Jerome? Dirinya? Batin pria itu.

"Anda dapat bertahan setelah segala hal buruk yang terjadi pada diri anda. Itu adalah sesuatu hal yang luar biasa dan jarang saya temukan selama ini," lanjut sang dokter kemudian mengulas sebuah senyum tipis ke arahnya.

Pria itu hanya diam. Tidak merespon apapun yang dokter katakan. Sang dokter mengerti, pria ini baru sadar setelah menjalankan operasi tiga hari yang lalu.

"Saya akan menghubungi wali anda. Beliau pasti senang mendengar kabar bahwa anda sudah siuman."

Wali? Siapa? Victor? Papa? Kakek? Siapa?

***

Gadis itu sedang dalam perjalanan ke rumah sakit seusai pulang dari butik tempat ia bekerja. Ponselnya berdering, sebuah nomor asing dengan kombinasi nomor yang unik menghubungi dirinya.

Gadis itu segera mengangkat telepon sembari tetap fokus mengemudi.

"Selamat sore? Benar ini dengan Nona Maudy, wali pasien atas nama Jerome di rumah sakit Setia Kasih?"

"Sore. Benar, dengan saya sendiri," jawab Maudy santai.

"Kami ingin memberitahukan bahwa pasien atas nama Jerome telah siuman sekitar dua puluh menit yang lalu. Mungkin Nona Maudy bisa langsung menuju rumah sakit untuk melihat kondisi pasien secara langsung," ucap seseorang di seberang sana dengan nada dan intonasi profesional.

"Ah, ya. Saya segera ke sana," jawab Maudy. Meski dengan nada dingin terkesan cuek, tapi di dalam hatinya merasa lega mendengar pria itu akhirnya sadar.

Panggilan berakhir. Maudy meletakkan ponsel di dashboard. Dia memperbaiki posisi kaca mata yang sedang ia kenakan. Menaikkan tingkat kecepatan, gadis itu ingin segera tiba di rumah sakit.

***

Membuka pintu ruangan, Maudy menatap pria yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit dengan tatapan dingin.

"Halo?" sapa Maudy begitu pandangan mereka bertemu.

Pria itu tidak menjawab, hanya menatap dirinya lekat. Dari bawah hingga atas, seperti sedang menilai seperti apa sosok dirinya.

Maudy tidak peduli dengan cara pria itu memandangnya, dia juga tidak peduli dengan apa yang sedang pria itu pikirkan tentangnya.

Tanpa basa-basi, Maudy menarik kursi dan memposisikannya tepat di sebelah ranjang, lalu dia duduk di sana.

"Saya tidak bisa berlama-lama," ungkap gadis itu dengan nada datar seperti biasa. Dia tidak berniat untuk berbasa-basi sama sekali. "Mungkin ... ada seseorang yang bisa saya hubungi untuk mengurus anda dan semua hal di sini?"

Tidak ada jawaban dari pria itu. Maudy menghela napas. Berusaha untuk tetap tenang dan bersabar. Mungkin ada yang salah dengan otak pria itu setelah kejadian yang menimpanya beberapa hari yang lalu. Tapi, dari yang dokter katakan padanya mengenai kondisi pria ini, semuanya normal. Pria ini baik-baik saja, tidak ada organ vital atau apapun di tubuhnya yang mengalami masalah serius. Dia hanya perlu beristirahat untuk memulihkan tenaga dan mengeringkan bekas operasi di perut.

"Halo? Anda ... mendengar dan mengerti apa yang saya ucapkan, kan?" tanya Maudy.

Pria itu masih diam. Dia hanya menatap Maudy dengan ekspresi yang tidak bisa gadis itu baca.

Kehabisan kesabaran, Maudy bangkit, hendak pergi. Pria ini sudah sadar. Dia adalah seseorang yang sudah dewasa. Dia pasti bisa mengurus dirinya sendiri. Tanggungjawab Maudy sampai di sini saja.

"Baiklah kalau anda tidak ingin menjawab pertanyaan saya. Saya sudah berusaha sebaik mungkin. Anda sudah sadar dan sudah dalam keadaan baik-baik saja. Saya rasa anda sudah bisa mengurus diri anda sendiri. Saya permisi," ucap Maudy dan hendak meninggalkan tempat itu.

"Nama saya Max. Maxime Dewanggara. Usia saya 26 tahun. Bukankah kita seharusnya berkenalan dulu sebelum membahas hal yang lainnya, nona?"

Kalimat pria itu menghentikan langkah Maudy. Gadis itu segera berbalik, kembali menatap pria di atas ranjang rumah sakit. Pria itu mengulas sebuah senyuman untuknya. Meski bukan senyuman yang lebar, tapi cukup membuat hati Maudy yang selama ini dingin menjadi sedikit hangat.

"Tapi, saya tidak butuh nama anda. Saya hanya butuh kontak wali anda agar saya bisa menghubunginya."

Max tertawa renyah. Membuat Maudy bertanya-tanya hal lucu apa yang membuat pria itu tertawa.

"Adakah hal yang lucu, tuan Max?" tanya Maudy dengan kening sedikit mengerut.

Max menghentikan tawa. Tapi, ekspresi wajahnya masih nampak cerah.

"Tidak ada. Hanya saja, baru kali ini aku bertemu orang sepertimu," ungkap Max menatap takjub ke arah gadis itu.

"Apakah saya harus tersanjung atau malah terhina dengan kalimat anda barusan?" Maudy menatap pria itu tajam

Max cepat-cepat menggeleng. "Tidak, tidak, anda tidak perlu merasa tersanjung apalagi terhina. Kalimat itu lebih ke arah rasa takjub. Sepertinya, anda adalah seseorang yang tulus," jelas Max tidak ingin membuat gadis itu tersinggung.

Gadis itu hanya bergumam.

"Jadi ... ada seseorang yang bisa saya hubungi, Max?" tanya gadis itu kali ini dengan nada penekanan.

Tidak ingin menguji kesabaran gadis di hadapannya, Max segera mengangguk.

"Di mana ponselmu?" tanya Max berniat mengetik sendiri.

"Biar saya yang mengetik dan menghubunginya sendiri. Anda cukup sebutkan nomornya," ucap Maudy enggan ponselnya disentuh orang lain.

Max menurut. Dia pun menyebutkan nomor Victor, sahabat sekaligus asisten, orang paling ia percayai saat ini.

Di dering kelima, panggilan itu dijawab. Terdengar suara berat khas pria di seberang sana.

"Apa anda mengenal seseorang bernama Max ..." Maudy mencoba mengingat-ingat nama lengkap pria itu.

"Max? Maksudmu ... Maxime?" tanya pria di seberang sana seketika berubah heboh.

Maudy melirik pria yang duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit itu. Pria itu sedang menatap dirinya dengan tatapan serius.

"Iya, benar dia," ungkap Maudy.

"Di mana dia? Bagaimana keadaannya? Dan ... siapa anda?"

Maudy memutar bola mata mendengar serentetan pertanyaan dari pria itu.

"Anda tidak perlu tahu siapa saya. Dan jika ingin bertemu dengan Max, silahkan datang ke rumah sakit Setia Kasih. Dia dirawat atas nama Jerome."

"Hah? Jerome? Kenapa? Siapa anda sebenarnya? Kenapa dia dirawat di sana? Halo? Hal—"

Tut! Tut! Tut!

Tidak tahan mendengar celotehan pria di seberang sana, Maudy segera mematikan sambungan telepon. Gadis itu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas kemudian menatap Max dengan tatapan tidak jauh berbeda dengan tatapan saat pertama masuk tadi.

"Wali anda segera datang. Kalau begitu, saya pergi dahulu."

Maudy hendak berbalik.

"Nona? Tunggu dulu!" seru Max. Dia nyaris melompat dari ranjang untuk menahan gadis itu agar tidak segera pergi. Namun, nyeri di perut menghentikan pergerakannya.

Maudy hanya menatap pria itu datar, menunggu kalimat pria itu selanjutnya.

"Saya belum tahu nama anda. Dan bagaimana cara saya membalas kebaikan, nona? Setidaknya, saya harus tahu nama nona dan beberapa informasi lain agar saya bisa membalas kebaikan nona di lain hari," ungkap Max tulus. Terpancar sebuah harap dari tatapan pria itu.

Gadis itu menggeleng. "Tidak ada lain hari tuan. Sebaiknya kita tidak bertemu lagi," ungkap Maudy dengan nada datar dan segera meninggalkan tempat itu.

"Nona? Tunggu!"

Ingin rasanya Max berlari mengejar gadis itu, tapi apa daya tubuhnya masih sangat lemah bahkan untuk sekadar bangkit berdiri.

***

2 - Menolak Bertemu

Tidak membutuhkan waktu lama, Victor sudah tiba di rumah sakit Setia Kasih. Dia segera bergegas menuju resepsionis untuk menanyakan letak ruangan tempat Max dirawat. Awalnya petugas tidak menemukan pasien atas nama Maxime Dewanggara. Lalu, Victor teringan dengan perkataan wanita yang menghubunginya tadi. Wanita itu berkata bahwa Max dirawat dengan nama Jerome.

Barulah setelah Victor menyebut nama Jerome, kamar tempat Max dirawat ditemukan. Dia segera bergegas ke ruangan yang dimaksud.

"Astaga, Max!" keluh Victor setelah tiba di ruangan itu dan melihat keadaan Max. "Apa yang terjadi padamu?"

"Akh! Akhirnya kau tiba. Bisakah kau mengurus kepulanganku? Aku tidak betah jika berlama-lama di rumah sakit."

Bukannya menjawab pertanyaan Victor, Max malah langsung menghujani pria itu dengan sebuah tugas.

Victor berdecak. "Setidaknya, ceritakan dulu apa yang terjadi! Kau bahkan tidak tahu bagaimana khawatirnya orang-orang setelah mendengar berita kehilanganmu, kan?" omel Victor.

Max memasang wajah seolah tidak peduli. "Nanti saja aku ceritakan. Yang penting sekarang adalah, aku baik-baik saja dan aku ingin pulang. Aku ingin dirawat di rumah saja. Atmosfer rumah sakit benar-benar tidak cocok untukku," ujar Max keras kepala.

Victor menghela napas dalam. Berdebat pun tidak ada guna. Jika sudah menginginkan sesuatu, tidak ada orang yang bisa menghalangi seorang Tuan Muda Maxime Dewanggara.

"Baiklah, aku akan mengurus semuanya. Tapi, aku harus tetap berbicara dengan dokter mengenai kondisimu yang sebenarnya."

Max mengangguk, setuju.

"Oh ya, jangan sampai papa atau pun kakek tahu mengenai kondisiku yang sebenarnya. Jika mereka bertanya, bilang saja aku memang sengaja menghilang karena menolak perjodohan dengan Leana."

"Kamu yakin menolak perjodohan itu?" tanya Victor memastikan. Dia masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang di hadapannya ini. Leana itu sudah cantik, berpendidikan, baik, dari keluarga terpandang yang sudah pasti bisa membantu segala sesuatu dalam bisnis yang dijalankan oleh keluarga Dewanggara.

Max mengangguk mantap.

"Kenapa? Pasti ada alasannya?" tanya Victor penasaran. "Seorang pria normal pasti akan sangat sulit untuk menolak pesona seorang Leana Adiwijayanagara," lanjut Victor tegas.

Max menatap Victor tajam. "Maksudmu ... aku bukan pria normal karena menolaknya?"

"Aku tidak berkata seperti itu, ya. Kau yang mengatakannya sendiri," jawab Victor seolah membenarkan kalimat Max bahwa pria itu tidak normal.

Ekspresi Max berubah datar. "Sudahlah, tidak ada gunanya membahas hal itu denganmu."

Victor tertawa jenaka. "Aku hanya bercanda."

"Aku tahu," jawab Max menyandarkan diri lebih nyaman di kepala ranjang lalu memejamkan mata.

Victor menatap sekeliling, seperti mencari seseorang. "Ngomong-ngomong, di mana wanita yang menghubungiku tadi? Kenapa tidak terlihat?"

Mendengar itu, Max kembali membuka mata. Pria itu menghela napas berat, seolah ada beban yang sangat berat yang menimpa hatinya.

"Entahlah, aku sendiri bingung," gumam Max.

Ekspresi pria itu terlihat nelangsa. Victor menjadi tertarik. Seperti ada sesuatu di sini.

"Kenapa bingung?" pancing Victor.

Max kembali menegakkan badan. Dia menatap Victor dengan ekspresi serius. Victor menjadi semakin penasaran dengan kalimat yang akan pria itu ucapkan.

"Bagaimana menurutmu? Ada seorang wanita asing yang menyelamatkan mu. Dia membawamu ke rumah sakit dan mengurus semua hal agar bisa menyelamatkanmu. Tapi, begitu kau sadar dan memastikan dirimu baik-baik saja, dia malah pergi bahkan tanpa memperkenalkan nama sama sekali. Dia bahkan menolak untuk bertemu lagi." Max kembali mendengus. "Aneh, bukan?"

Victor diam sebentar, mencerna kalimat Max dulu.

"Cukup aneh, sih. Tapi bisa saja dia memang tipe orang yang suka menolong tanpa pamrih. Atau bisa jadi dia tipe orang yang malas berurusan dengan orang lain. Atau ... dia adalah seseorang yang sangat sibuk? Tapi ... entahlah, kenapa aku jadi ikutan pusing memikirkan sosok wanita itu?"

Victor menggaruk kepala yang tak gatal.

Max seperti mendapat pencerahan setelah mendengar kalimat terakhir Victor. Pria itu tiba-tiba menatap Victor dengan tatapan berbeda. Jenis tatapan yang belum pernah Victor lihat sebelumnya dari Max.

"Ada apa denganmu? Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Victor heran sekaligus wanti-wanti jika Max melakukan sesuatu hal yang aneh. Bisa saja insiden yang menimpa Max sudah mengubah pria itu menjadi seseorang yang bisa berbuat hal di luar nalar.

"Tentu saja kau harus ikut pusing memikirkan wanita itu," ucap Max tiba-tiba.

Mata Victor berkedip cepat beberapa kali. "Maksudnya?"

"Ya, kamu juga harus ikutan pusing memikirkan wanita itu. Lebih tepatnya harus ikutan pusing mencari keberadaannya. Aku ingin segera bertemu lagi dengannya," ucap Max lebih jelas.

"Kenapa? Kenapa aku harus mencarinya? Dan kenapa kau harus bertemu lagi dengannya?" Victor tidak terima. Selain aneh, dia juga tidak ingin menambah-nambah pekerjaannya yang sudah banyak.

"Kenapa kau harus mencarinya? Karena kau adalah asistenku. Sebagai asisten yang baik kamu harus menuruti perintah dari atasanmu, bukan?" jelas Max memanfaatkan posisi di saat-saat seperti ini.

Ingin rasanya Victor berkata kasar, namun apa daya, dia hanyalah seorang pegawai yang memang harus menjalankan perintah bosnya.

"Benar sekali." Victor tersenyum pasrah. "Tapi, apa alasanmu ingin bertemu lagi dengan wanita itu? Bukankah sudah jelas kalau wanita itu tidak ingin bertemu denganmu lagi?"

Max terlihat gelagapan untuk menjawab, Victor menjadi curiga.

"Ya ... tentu saja untuk berterima kasih. Untuk apalagi?" jawab Max berusaha tegas.

Tapi, Victor mencium alasan lain.

"Benarkah? Bukan karena ada maksud lain?" pancing Victor sembari mengedipkan mata beberapa kali guna menggoda Max.

"Alasan apa maksudmu? Sudahlah, aku ingin istirahat. Lebih baik kamu segera mengurus kepulanganku. Paling lama besok, aku sudah harus ada di rumah," tegas Max. Tapi, seperti menghindar dari pertanyaan sebelumnya.

Victor akhirnya mengalah. "Baiklah, baiklah. Silahkan istirahat tuan muda. Asisten mu ini akan mengurus semuanya."

Max kembali menyamankan diri di ranjang. Menguap, dia memberi kode agar Victor segera keluar dari kamarnya.

Victor menatap Max sinis. "Iya, iya. Aku keluar."

Max tersenyum. Pria itu memejamkan mata setelah memberi kode berupa jempol kanan pada Victor.

***

Seperti biasa, Maudy bangun pukul enam pagi. Tidak langsung membereskan tempat tidur, gadis itu malah meraih ponsel di atas nakas dan memeriksa apakah ada notifikasi penting yang masuk.

Sembari memeriksa ponsel, gadis itu berjalan menuju dapur. Mengambil air putih, gadis itu lalu duduk di kursi makan. Meminum satu gelas air putih dalam tiga kali tegakan saja, lalu membalas sebuah pesan dari salah satu rekan kerjanya di butik.

Selesai dengan masalah ponsel. Gadis itu kembali ke kamar. Mengganti pakaian tidur dengan pakaian olahraga, juga mengenakan sepatu. Gadis itu mempunyai kebiasaan baru, yaitu lari minimal lima kilometer setiap pagi. Katanya, olahraga itu bagus untuk orang insomnia.

Setelah mengunci rumah, Maudy memasang headphone di telinga kemudian mulai berlari. Menuruni satu demi satu anak tangga. Lari gadis itu semakin cepat begitu kakinya menginjak tanah.

Hal yang paling gadis itu sukai ketika berlari adalah, pikirannya yang selalu penuh bisa menjadi kosong. Dia menjadi lebih fokus pada setiap langkah, jalanan di depan, juga deru napas. Musik yang ia dengarkan mengisi sedikit kekosongan. Dengan fokus berlari, gadis itu bisa melupakan semua masalahnya sejenak.

Tidak terasa, dia sudah berlari sejauh lebih dari tiga kilometer dalam waktu setengah jam. Dia segera memutar arah kembali ke rumah. Dia harus sampai di rumah dalam waktu setengah jam. Dia masih harus memasak dan membereskan beberapa pekerjaan rumah lainnya sebelum berangkat bekerja pukul sembilan nanti karena butik tempat ia bekerja buka pada pukul sepuluh pagi.

Maudy tiba di depan gedung rumah susun tepat waktu. Dia menatap tangga panjang yang seperti tidak memiliki ujung di hadapan. Gadis itu menghela napas, meski lelah tapi tidak masalah. Kakinya sudah terbiasa melangkah naik turun setiap hari ke lantai tiga gedung, tempat rumahnya berada.

Dirinya sudah menginjak anak tangga terakhir, dia juga sudah melihat rumahnya di ujung sana. Maudy mengurangi kecepatan berjalan ketika melihat pintu tetangga sebelahnya terbuka. Tidak lama, sesosok pria tinggi berkulit cerah keluar dari sana. Mengenakan pakaian rapi, pria itu sepertinya hendak pergi bekerja.

"Pagi," sapa pria itu dengan senyuman canggung di bibir.

"Pagi," balas Maudy tanpa senyum sama sekali.

Biasalah, hanya basa-basi antara tetangga yang tidak akrab.

Mungkin Maudy terkesan sombong. Namun, begitulah dirinya, tidak biasa mengulas senyuman palsu pada orang-orang. Senyuman manisnya hanya dapat kalian lihat ketika ia melayani costumer saat ia bekerja. Itu pun bukan senyuman yang tulus karena ia melakukannya hanya karena tekanan pekerjaan. Hal itu juga yang membuat stok senyumannya habis untuk orang-orang di luar pekerjaan.

Ponsel Maudy berdering begitu tiba di dalam rumah. Sebuah nomor asing yang tidak dikenal, tapi kombinasi nomornya terasa familiar. Awalnya, dia ingin mengabaikan panggilan itu saja, namun setelah berpikir sebentar, gadis itu akhirnya memilih untuk mengangkat. Toh, jika orang yang meneleponnya itu bukanlah seseorang yang penting bagi dirinya, dia bisa langsung mematikan sambungan telepon.

"Halo?" jawab Maudy dengan nada dingin seperti biasa.

"Benar ini dengan Nona Maudy?" tanya seseorang di seberang sana.

Ada jeda beberapa saat hingga Maudy menjawab. "Benar."

"Wah, perkenalkan, saya Victor, asisten tuan Maxime Dewanggara. Tentu nona masih ingat dengan nama itu, kan?" Suara di seberang sana terdengar antusias.

"Hmm ... ya," jawab Maudy singkat. Dia memang mengingat nama itu, tidak mungkin ia lupa dengan seseorang yang ia tolong setelah dibuang dan nyaris meninggal di depan matanya sendiri.

"Begini nona, jika nona berkenan, tuan Max ingin bertemu dengan anda. Apakah anda bisa meluangkan sedikit waktu nona untuk bertemu?"

"Tidak. Saya sibuk," jawab Maudy singkat, padat, dan jelas.

Terdengar dehaman canggung di seberang sana. "Begini nona, tuan Maxime hanya ingin mengucapkan terima kasih dan memberi sesuatu kepada nona sebagai bentuk rasa terima kasihnya pada nona."

"Maaf, bukan saya bermaksud lancang menolak niat baik kalian. Tapi, saya rasa saya sudah mengatakan dengan jelas bahwa saya tidak bisa. Untuk ucapan terima kasih kalian, saya menerimanya. Tapi, jika untuk bertemu, maaf saya tidak bisa. Saya sibuk," jelas Maudy kali ini dengan kalimat panjang.

"Tapi, nona—"

"Maaf, saya harap kalian tidak menghubungi saya lagi. Saya merasa tidak nyaman. Terima kasih," ucap Maudy memotong kalimat pria itu dan segera mengakhiri panggilan. Namun, beberapa detik kemudian, panggilan dari nomor itu datang lagi. Maudy langsung mematikan panggilan itu dan memasukkan nomor itu dalam kotak hitam.

Mengubah setelan ponsel menjadi mode hening, gadis itu menyalakan musik dan bersiap-siap memasak.

***

3 - Diblokir

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area. Cobalah beberapa saat lagi ...

"Bagaimana?" tanya Max pada Victor yang berdiri di hadapan.

Victor menggeleng, kecewa. "Tidak bisa dihubungi lagi. Sepertinya nomorku sudah diblokir."

"Yah ..." Max terdengar lebih kecewa lagi. "Coba pakai nomorku," pinta Max sembari menyodorkan ponsel pada Victor.

Pria itu segera mengambil ponsel dari tangan Max dan mencoba menghubungi gadis bernama Maudy itu lagi.

"Panggilannya tersambung," beritahu Victor pada Max. Hal ini membenarkan jika gadis bernama Maudy itu memang telah memblokir nomor Victor.

Max menatap Victor yang mencoba menghubungi Maudy dengan harap-harap cemas.

"Bagaimana? Diangkat?" tanya Max.

Lagi, gelengan kepala Victor membuat dirinya kecewa.

"Sepertinya, gadis itu memang bukan tipe orang yang bisa diganggu. Sepertinya, kau harus menyerah Max," ujar Victor.

"Enak saja! Tidak ada kata menyerah di dalam kamus seorang Maxime Dewanggara! Aku pasti bisa mendapatkannya, lihat saja nanti," tegas Max optimis.

"Baiklah, baiklah. Aku memercayaimu, Max. Semoga kamu berhasil dengan apapun usahamu itu," ucap Victor tidak ingin meruntuhkan kepercayaan diri teman sekaligus atasannya itu. Dia kemudian mengembalikan ponsel milik Max kepada pemiliknya. Mengambil jas yang ia letakkan di atas meja kemudian mengenakannya.

"Mau ke mana?" tanya Max.

"Tentu saja bekerja. Melihat kondisimu sekarang membuat pekerjaanku bertambah berkali-kali lipat. Ditambah aku tidak bisa mengatakan hal yang sebenarnya pada ayah dan kakekmu. Jadi, aku juga harus menghandle pekerjaanmu yang terbengkalai di kantor, tuan muda," ucap Victor seolah telah menjadi orang paling dirugikan atas kejadian yang menimpa Max.

"Saya permisi, tuan muda," lanjut Victor sedikit membungkuk ke arah Max, dia sengaja menambah penekanan pada kalimat tuan muda.

"Dasar! Tenang saja, aku akan memberikan bonus yang besar padamu," ucap Max sedikit berteriak sebelum Victor benar-benar meninggalkan kamar.

"Oh ... saya sangat menantikannya, tuan muda," sahut Victor tanpa menoleh ke arah Max.

Max hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Victor. Meski sifatnya kurang ajar seperti itu, tapi dia adalah sahabat sekaligus rekan kerja yang sangat berharga bagi Max. Mereka sudah saling mengenal sejak kuliah. Sudah banyak hal yang mereka lewati bersama. Sejauh ini, Victor adalah orang yang paling ia percaya. Bahkan, dia lebih percaya kepada Victor dibanding ayah dan kakeknya.

Max mencoba menghubungi nomor gadis itu lagi. Bagaimana pun, keinginannya untuk bertemu lagi dengan gadis itu semakin lama semakin besar.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area. Cobalah beberapa saat lagi ...

"Sial! Apa nomor ini diblokir juga?" gumam Max tidak habis pikir dengan jalan pikiran gadis itu. Dia mencoba menghunginya lagi, namun lagi-lagi suara costumer service yang ia dengar.

"AKH!!" Max nyaris berteriak dan melempar ponselnya.

Kenapa? Kenapa gadis itu sangat sulit untuk diajak bertemu? Jangankan bertemu, untuk sekadar dihubungi saja sesulit ini. Apakah dia memang orang sesibuk dan sepenting itu? Batin Max terus bertanya-tanya.

"Bagaimana pun, aku harus segera menemuinya," gumam Max. Dia bisa mati penasaran jika lama-lama seperti ini. Dia harus segera bertemu gadis itu dan menggali semua misteri tentangnya.

"Maudy ... Nama yang bagus. Maudy ...," Max terus menggumamkan nama gadis itu. Setidaknya dia sudah tahu nama gadis itu. Untung saja dokter yang merawatnya di rumah sakit memberitahu dirinya nama gadis itu.

Apakah dia harus kembali ke rumah sakit itu untuk menggali lebih dalam mengenai gadis bernama Maudy itu?

***

"Terima kasih sudah berbelanja di butik kami. Kami menunggu kedatangan anda kembali," ucap Maudy ramah memamerkan senyum termanis kepada sepasang kekasih yang telah membeli dua dress dengan harga cukup fantastis di butik mereka.

Namun, beberapa detik setelah pelanggan itu pergi ekspresi wajah Maudy kembali datar. Tanpa banyak bicara dia menuju ke rak dress untuk membereskan susunan yang cukup berantakan. Sejauh ini, belum ada pelanggan yang memasuki toko mereka lagi.

Anya. Salah satu rekan kerja, menghampiri dirinya.

"Kak Maudy hebat banget bisa jual dua dress mahal itu ke pasangan tadi," celetuk Anya seolah memuji.

"Kenapa hebat?" tanya Maudy dengan kening sedikit mengerut, sementara tangannya tetap lincah membereskan tatanan dress di depan.

"Ya, hebat aja. Secara ceweknya itu loh, ribet banget, galak, manja. Berbelit-belit, enggak tahu maunya apa. Kak Maudy sabar banget ngehadapinnya. Untung jadi beli. Kalau enggak, sia-sia kakak udah bongkar sana bongkar sini tapi ujung-ujungnya enggak jadi."

Maudy menghentikan kegiatannya sebentar, menatap Anya yang juga sedang menatap dirinya.

"Enggak ada yang hebat, Anya. Itu memang tugas kita sebagai pegawai di butik ini. Juga, enggak ada perkerjaan yang sia-sia. Jikalau pun mbak tadi enggak jadi beli, ya itu hak dia. Tugas kita ya, hanya melayani," jelas Maudy dengan nada rendah. Anya baru bekerja selama satu bulan, juga baru lulus dari sekolah menengah atas. Mungkin, dia belum tahu bagaimana dunia kerja berjalan. Maudy ingin memberitahunya pelan-pelan. Tanpa membuat gadis itu tersinggung apalagi berkecil hati.

"Begitu ya, kak, heheh ... Maaf ya, kalau Anya ada salah ngomong," ucap gadis itu pelan, sinar matanya sedikit meredup . Sepertinya dia sadar kalau tidak seharusnya dia berkata seperti itu, apalagi itu menyangkut costumer mereka. Orang yang secara tidak langsung ikut berpartisipasi dalam menggaji mereka.

Maudy tersenyum tipis, berniat menghibur. "Ya sudah, yang penting jangan diulangi. Bentar lagi toko tutup. Mending bantuin kakak beres-beres dress ini," ucap Maudy.

Anya mengangguk cepat. Dia langsung membantu Maudy membereskan barang-barang sisa pelanggan tadi.

Tepat pukul tujuh malam, butik mereka tutup. Maudy dipercaya untuk menyimpan kunci toko. Dia sedang mengunci pintu saat tiga rekannya yang lain menghampiri untuk pamit pergi terlebih dahulu. Maudy hanya mengangguk. Toh, dia juga akan selesai.

Setelah memastikan semua aman, Maudy melangkah. Awalnya, dia ingin langsung ke parkiran untuk mengambil mobil, namun dia tiba-tiba kepikiran untuk pergi ke mall besar yang berada tepat di depan bangunan butik mereka. Dia berencana membeli komik Jepang terbaru. Stok komik yang belum dibaca di rumah sudah habis. Ini waktunya untuk membeli komik-komik lainnya.

Sekitar lima belas menit, Maudy sudah tiba di toko buku dalam mall. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu mulai memutari rak buku komik. Mencari-cari judul yang ia inginkan.

Ketemu.

Maudy hendak mengambil komik itu, sedikit lagi tangannya menyentuh komik itu, tangan seseorang terlebih dahulu mengambilnya.

Maudy menoleh cepat ke arah orang yang terlebih dahulu mengambil komiknya.

Deg!

Tertegun.

Orang yang mengambil komiknya adalah tetangga samping rumah yang sampai saat ini belum ia ketahui persis siapa namanya.

Pria itu juga terkejut melihat Maudy.

"Eh, mbak Maudy. Suka baca komik juga, mbak?" tanya pria itu. Pakaiannya masih sama dengan yang ia kenakan tadi pagi saat berpapasan dengan Maudy, meski sekarang pakaian itu sedikit lebih berantakan dibanding tadi pagi.

Pria ini ... tahu namanya?

Maudy jadi tidak enak. Bagaimana perasaan pria ini jika tahu kalau Maudy tidak tahu namanya padahal sudah satu tahun bertetangga?

Maudy tersenyum tipis, mencoba melawan rasa canggung. "Iya, mas," jawab Maudy singkat tanpa menyebut nama pria itu.

Bagaimana mau menyebut, dia sendiri tidak tahu nama pria itu.

"Mbak tadi mau ngambil komik ini juga, ya?" tanya pria itu menampilkan komik di tangan.

Maudy mengangguk.

"Untung stoknya masih banyak, jadi kita enggak perlu rebutan," ungkap pria itu dengan sedikit nada bercanda.

Pandangan Maudy tiba-tiba mengarah pada kartu karyawan yang menggantung di leher pria itu. Maudy mecoba melirik namanya diam-diam.

Da-Da ... David ... Ar ... data. Akh! Nama pria ini David Ardata, toh! Seru Maudy dalam hati, sedikit lega karena sudah tahu nama tetangganya ini.

"Eh, iya, Mas David. Untung stoknya masih banyak," jawab Maudy kemudian mengambil satu buah komik seri itu.

Ekspresi pria itu nampak terkejut.

"Mbak Maudy ... tahu nama saya?"

Eh?

"Hmmm ... tahulah, mas. Mas, kan, tetangga saya," ucap Maudy mencoba senatural mungkin.

"Wah!" Entah kenapa, tapi pria ini menjadi lebih antusias. "Saya pikir, selama ini cuma saya yang tahu nama mbak Maudy, sementara mbak Maudy enggak tahu nama saya."

"Kenapa masnya berpikir seperti itu?"

"Soalnya, mbak Maudy orangnya cuek banget. Kayak orang yang enggak peduli sekitar. Cenderung menghindari orang lain. Awal-awal mbak pindah di rusun, beberapa kali saya ingin mencoba berkenalan. Tapi, selalu saja gagal karena mbak seperti menghindar."

"Hah?" Maudy bengong. Dia tahu dan sadar. Apa yang pria itu katakan memang benar. Dia memang orang yang seperti itu. Namun, mendengar secara langsung bagaimana dirinya dari mulut orang lain rasanya sedikit aneh.

Pria itu seperti baru menyadari perkataannya. "Aduh, maaf mbak Maudy. Kayaknya saya terlalu banyak ngomong. Maaf kalau perkataan saya sebelumnya menyinggung mbak Maudy."

Maudy tidak merespon selama beberapa saat. Hal itu membuat ekspresi di wajah pria itu seperti semakin merasa bersalah.

Maudy tersenyum tipis. Sangat tipis, nyaris tak terlihat.

"Enggak masalah kok, mas. Masnya enggak salah. Saya memang orang yang seperti itu. Saya permisi dulu, mas," ucap Maudy segera pergi dari tempat itu menuju kasir.

Entah mengapa, mendengar ucapan terakhir Maudy, bukannya membuat David lega. Malah semakin merasa bersalah.

Apa ucapannya keterlaluan?

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!