NovelToon NovelToon

Hasrat Suami Lumpuhku

Bab 1 Abian Alfredo

“Ah...yes honey…”

“Emph, faster Daddy please…”

Terdengar suara de sa han dan le ngu han yang menggelitik di telinga. Bahkan sepasang insan yang sedang terbakar gairah tersebut sudah melakukan pelepasan untuk kesekian kalinya.

Mereka berdua sama-sama berada di puncak kenikmatan saat ini. Tanpa peduli jika sejak tadi ada seorang pria yang mendengar suara menjijikan mereka dengan jelas dari luar.

“Bagaimana dengan Abian, apa kamu tidak berniat bercerai dari si lumpuh itu sayang?” tanya pria yang masih berada di atas tubuh sang wanita.

“Tentu saja, aku akan meninggalkannya saat hartanya sudah menjadi milikku. Dan yang pasti bukan sekarang. Karena kami baru saja menikah.” jawab wanita itu.

“Milikku? Bukan milik kita?”

“Tentu saja milik kita, sayang. Semua yang ada padaku adalah milikmu…”

“Juga tubuh ini, hum?” pria tersebut meremas kuat kedua benda kenyal milik sang wanita dan meng hisap nya seperti bayi yang sedang kehausan. Sedangkan tubuhnya masih terus bergerak naik turun untuk memuaskannya.

“Ya, tubuhku juga ah…”

Abian hanya bisa menghela nafas dengan kasar dan diam di tempat tanpa bisa melakukan apapun. Ia sadar dengan kekurangannya selama ini, bahkan istrinya dengan tega meninggalkannya di malam pertamanya demi laki-laki lain.

“Ternyata semua wanita sama saja, mereka hanya menginginkan uang dan uang.” tangan Abian terkepal erat.

Lalu menyuruh anak buahnya untuk mendobrak pintu kamar hotel tersebut.

Membuat mereka berdua yang masih berada di atas ranjang reflek menoleh ke arahnya dengan wajah terkejut setengah mati.

“Abian sayang? A-apa yang kamu lakukan di sini?!” seru wanita itu yang langsung  menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua.

“Berhenti memanggilku namaku dengan mulut kotor dan menjijikan mu itu!” tanpa menunggu lama, Abian menjalankan kursi rodanya dan  menarik tubuh si pria yang polos tersebut lalu menghajarnya habis-habisan.

Bugh!

Bugh!

Entah kekuatan dari mana, Abian melayangkan beberapa pukulan ke wajah dan perut pria itu tanpa rasa kasihan sama sekali. Yang ada saat ini hanya emosi dan kemarahan yang menggebu.

“Abian hentikan! Kamu bisa membunuhnya!” wanita itu tidak terima dan malah memukul tangan Abian berulang kali agar dia melepaskan cekikan itu pada pria nya.

“Kamu masih membelanya saat kamu tahu kalau kamu lakukan ini salah?!” tanya Abian geram mendengar ucapan istrinya.

“Tentu saja aku membela nya. Karena hanya dia yang bisa memberikanku kepuasan di atas ranjang. Bukan kamu!” seru wanita seraya menunjuk wajah Abian. “Kamu impoten, lumpuh dan bahkan milikmu tidak bisa bangun sama sekali. Apalagi--”

Brugh!

Mendengar hinaan yang diucapkan wanita  yang masih berstatus istrinya, membuat Abian gelap mata dan mendorong tubuhnya hingga membentur tembok.

“Argh…”

“Berani sekali kamu mengkhianatiku, setelah apa yang sudah aku lakukan untukmu selama ini! Aku mengorbankan segalanya, tapi ini balasanmu padaku, hah?!” Abian menatap wanita itu dengan penuh kebencian.

“Kamu tahu, ini malam pertama kita, seharusnya kamu menghabiskannya bersamaku. Bukan dengan ba ji ngan ini!” teriak Abian.

Sungguh, hatinya benar-benar sangat terluka.

Untuk pertama kalinya seorang Abian, pria dingin yang terkenal kejam dan angkuh jatuh cinta. Dan untuk pertama kalinya juga pria itu dikhianati oleh seorang wanita.

“Malam pertama katamu? Bahkan aku sama sekali tidak mencintaimu Abian! Untuk apa kau menginginkan malam pertama bersamaku?” wanita tersebut menghampiri pria nya yang terkapar di lantai akibat perbuatan Abian.

“Baiklah jika itu mau, kita bercerai saja! Jangan pernah menyesali perbuatanmu dan kembali padaku suatu hari nanti!” setelah mengatakan itu Abian pergi meninggalkan mereka berdua.

Blam!

“Abian, apa kamu mendengar ku?!” Mike menepuk pundak Bastian berulang kali. Ternyata sahabatnya itu malah tertidur dengan keringat yang menetes deras.

“Shits!” Abian terbangun dan membuka lebar kedua matanya lalu melirik tajam ke arah Mike.

“Kamu selalu saja mengganggu mimpi indah ku brengsek!”

Abian hendak bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil air minum yang berada tidak jauh dari sana. Namun, ditahan oleh Mike karena ia tahu Abian tidak bisa berjalan selama ini.

Mimpi buruk yang baru saja dialami Abian membuat tenaganya terkuras habis.

“Aku bahkan tidak yakin kalau kamu sedang mimpi indah, lihat saja keringat yang sebesar biji jagung itu," ejek Mike terkekeh geli mendengar kebohongan Abian.

“Ayolah, kita datang ke mansionkku untuk bersenang-senang ‘kan? Lalu untuk apa kau masih memikirkan mantan istrimu itu? Seperti tidak ada wanita lain saja.” Mike memberikan satu gelas wine pada Abian dan langsung diteguk begitu saja oleh pria itu.

“Beberapa jam lalu kamu resmi menjatuhkan talak padanya bukan? Lalu apa yang membuatmu gelisah? Atau kamu menyesal sudah menceraikannya?” Deretan pertanyaan yang keluar dari bibir Mike malah semakin membuat Abian bertambah pusing.

“Kamu sok tahu!” ketusnya.

Abian Alfredo, seorang pria berusia dua puluh delapan tahun dengan wajah tampan dan rahang tegas. Di usianya yang sudah cukup matang, ia baru saja menyandang status duda.

Kecelakaan yang terjadi beberapa tahun silam, membuat dirinya dinyatakan lumpuh. Ia harus hidup dan bergantung pada sebuah kursi roda. Tidak hanya itu, aset kebanggaan miliknya juga ikut mengalami gangguan yang cukup fatal.

“Ini sudah malam, lebih baik kita pulang sekarang, Tuan.” ucap seorang pria yang tak lain adalah Theo, asisten pribadi Abian. Yang kemanapun pria itu pergi, Theo selalu mengikutinya.

“Apa kalian tidak ingin minum bersamaku?” Mike mengangkat gelasnya dan tersenyum tipis seraya menyugar rambutnya ke belakang. “Aku akan memesan wanita untuk kalian berdua, bagaimana?” ucap Mike yang sejak tadi bersama dengan dua orang wanita di sisi kanan dan kirinya.

“Tuan Mike, bisakah anda tidak memancing Tuan Abian? Beliau baru saja putus cinta.” Theo melirik tajam Mike yang sengaja memancing Abian untuk melakukan sesuatu di luar keinginannya.

Meski Theo tahu, sampai kapanpun tuannya itu tidak akan pernah tertarik dan terpancing dengan ucapan Mike.

“Aku sama sekali tidak memancingnya bodoh! Hanya sedikit membantunya, siapa tahu ‘kan benda pusaka nya yang sudah lama tertidur itu bisa bangun sendiri.” Mike tersenyum tipis. Ia berdiri lalu menarik lengan sahabat Abian. “Benar ‘kan ucapanku?”

Theo memutar bola mata malas. Kenapa tuannya bisa punya sahabat yang sedikit gila seperti Mike yang doyan main wanita? Apa dia tidak takut terkena penyakit ke la min?

“Kalau anda menolak untuk ikut saya pulang, maka tuan besar yang akan datang menjemput anda, Tuan.” ancam Theo.

“Jangan mulai mengancamku lagi Theo! Kamu itu sekretarisku, aku yang membayarmu kenapa kamu malah berpihak pada Papa? Lagipula aku masih ingin berada di sini sebentar.” Abian menundukkan wajahnya. “Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan pada mereka, saat tahu aku bercerai dengan istriku di malam pertama. Benar-benar menyedihkan.”

Mark dan Theo saling menatap lalu mendekati Abian dan berusaha menghiburnya. Mereka seakan bisa merasakan apa yang sedang pria itu rasakan saat ini.

“Sudahlah, lebih baik kamu pulang dan tenangkan dirimu sobat! Jika butuh bantuan atau apapun itu, kamu bisa menghubungiku.” Mike mengkode Theo agar segera membawa Abian pergi dari sana.

*******

*******

Selama berada di dalam perjalanan, Abian masih saja diam tanpa bicara sepatah katapun. Membuat Theo jadi merasa bersalah karena sudah bicara kasar seperti tadi.

“Tuan, apa anda ingin pergi ke suatu tempat sebelum pulang?” tanya Theo seraya melirik Abian dari kaca spion bagian depan. “Saya tahu tempat yang bisa membuat anda tenang.”

“Tidak perlu. Aku ingin pulang dan beristirahat.” jawab Abian. Ia kembali murung dan memanyunkan wajahnya. Sepertinya Abian memang sedang benar-benar galau.

Mobil yang mereka kendarai berhenti di sebuah taman bermain. Cukup sepi karena semua pengunjung sudah pulang dan tempat itu ditutup.

“Kenapa kamu malah mengajakku kemari? Apa kamu berniat kencan dengan kekasihmu?” sorot mata tajam Abian mengedar dan berkeliling ke arah sekitar.

Tempat itu terlihat begitu sempurna dan cocok untuk sepasang kekasih yang sedang di mabuk asmara. 

Abian menghela nafas kasar. Lagi-lagi ingatannya tertuju pada Sandra, wanita yang baru saja ia nikahi pagi tadi.

“Sepertinya aku salah karena membawa tuan Abian kemari.” gumam Theo dalam hati. Lalu mendorong kursi rodanya dan membawa pria itu jalan-jalan sebentar untuk mencari angin.

Brugh!

Tiba-tiba saja seorang gadis yang entah darimana asalnya, jatuh begitu saja tepat di pangkuan Abian. Membuat Theo langsung reflek dan berniat mendorongnya, namun ditahan oleh tuannya.

“Maaf, maafkan saya Tuabn.” ucap gadis itu yang masih menundukkan kepala tanpa berani mendongak. “Tadi ada beberapa orang yang mengejar saja jadi--”

Kalimat gadis itu terhenti. Ia melirik tangan kananya yang ternyata sudah mendarat dengan mulus di sela paha Abian. “Oh astaga! Apa yang sedang aku sentuh ini?” gumamnya.

Ingin rasanya, ia menjerit saat itu juga. Tetapi ia tahan mati-matian dan berpura-pura jika tidak pernah menyentuhnya.

“Mau sampai kapan kamu duduk di pangkuanku, Nona?” suara serak milik Abian mampu membuat bulu kuduk gadis itu berdiri. Dan dengan cepat gadis itu menyingkirkan tangannya lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi.

“Hei, Nona anda mau kemana? Dasar tidak sopan!” teriak Theo. Tatapannya kini beralih pada Abian yang sepertinya sedang menahan sesuatu. “Anda tidak apa-apa ‘kan, Tuan?” tanya Theo dengan raut wajah khawatir saat melihat wajah Abian memerah seperti kepiting rebus.

“Bawa aku pulang, Theo!” pinta Abian dengan suara tertahan.

“Baik Tuan!” Theo mendorong kursi roda Abian dan membawa pria itu pergi dari sana secepat mungkin.

Bersambung...

Bab 2 Anaya Anderson

“Aku tidak mau, Ayah!” ucap seorang gadis yang berdiri dari duduknya, terlihat raut wajah kecewa pada ketiga orang yang berada di hadapannya.

Namanya Anaya Anderson, gadis berusia sembilan belas tahun yang baru saja masuk universitas terkenal di kota. Ia harus menelan pil pahit saat mendengar permintaan keduanya yang meminta dirinya untuk menggantikan sang kakak menikah.

Bagaimana tidak kecewa, impiannya untuk menjadi seorang dokter pupus sudah. Sedangkan kakaknya, lebih memilih fokus di dunia modeling daripada menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia cintai.

“Kamu harus mau Nay, demi aku,” Amara menggenggam erat tangan gadis itu. Ia mulai mengeluarkan jurus andalannya, yang berpura-pura sedih untuk menarik perhatian adiknya.

Karena, jika ia menerima perjodohan bodoh ini, bisa dipastikan karirnya di dunia modeling akan hancur. Ditambah lagi dirinya adalah salah satu model yang baru saja naik daun.

“Kenapa harus aku Kak? Aku juga ingin mengejar cita-citaku sebagai dokter!” ucap Anaya dengan sendu, matanya berkaca-kaca menahan tangis yang sudah ia tahan sejak tadi.

Vania dan Mario hanya bisa diam dan menghela nafas panjang, menatap bergantian kedua putrinya. Mereka juga tidak bisa berbuat apapun, selain menyetujui permintaan Amara.

Perjodohan itu sebenarnya sudah diatur saat mereka masih kecil sebelum kakeknya meninggal. Karena sebuah hutang budi di masa lalu, mereka terpaksa menerima perjodohan ini dan mengorbankan salah satu putrinya.

“Naya masih ingin kuliah dan mengejar mimpi Naya, Yah. Naya janji setelah Naya sukses nanti, Naya akan membalas semua jasa kalian karena selama ini sudah membiayai sekolah Naya,” ucap Anaya berlutut di hadapan Vania dan Mario. Berharap agar mereka mau membatalkan perjodohan ini.

Namun serempak keduanya menggeleng pelan. Membuat gadis itu menunduk lemas merenungi nasibnya yang buruk.

“Kamu itu akan menikah, bukan pergi ke medan perang Naya!” sarkas Vania menatap tajam Anaya. “Lagipula, kakakmu sudah jelas bekerja sebagai model, sedangkan kamu? Masih belum jelas akan kemana setelah lulus kuliah! Hanya menghamburkan uang saja!” ketusnya.

Anaya terdiam mematung mendengar ucapan Vania yang begitu menusuk hatinya. Dadanya terasa sesak, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mulai berjatuhan membasahi pipi.

Berbeda dengan Amara, gadis itu tersenyum lega. Karena sejak tadi Vania terus membelanya tanpa memojokkannya sedikitpun. Akhirnya bukan dia yang akan menikah dan menjadi suami seorang Abian Alfredo, pria lumpuh yang rumornya memiliki sikap dingin dan kejam. Melainkan Anaya, adiknya.

“Pernikahan kalian akan dilakukan satu minggu lagi, jadi Ayah harap kamu tidak kabur dan membuat keluarga kita malu,” ucap Mario. Ia kemudian beranjak untuk menghubungi seseorang. Bermaksud memberi kabar pada keluarga Alfredo kalau salah putrinya bersedia menikah dengan Abian.

“Kalian keterlaluan, kenapa mengambil keputusan seenaknya seperti ini tanpa meminta persetujuan dariku?!” ucap Anaya dengan tangan terkepal erat, lalu beranjak dan pergi dari sana.

“Naya mau kemana kamu malam-malam begini?!” teriak Mario berusaha mencegah putrinya karena takut jika Naya akan berbuat nekat.

“Putrimu itu tidak akan pernah kabur kemanapun, Yah! Dia mau kemana tanpa uang?” sahut Vania, melirik Mario sekilas. Ia langsung menghampiri Amara, memberikan tisu pada gadis yang sedang sedih itu.

“Bagaimana kalau Naya menolaknya, Bu? Aku tidak mau ya menikah dengan si cacat itu,” ucap Amara, mengadu pada Ibunya.

Vania mengusap kepala putrinya seraya berbisik lirih. “Tenang saja, Naya akan tetap menikah dengan Abian. Dan kamu bisa bebas mengejar cita-citamu sebagai model. Tapi ingat jangan lupakan Ibu saat kamu sukses nanti.”

Amara mengangguk senang mendengar ucapan Vania.

******

******

Anaya saat ini sedang berada di tepi danau yang terletak cukup jauh dari rumahnya. Ia selalu  pergi kesana ketika suasana hatinya sedang buruk.

Biasanya tempat ini selalu ramai pengunjung. Tapi karena cuaca yang kurang bersahabat, jadi terlihat sepi. Kebetulan hujan juga turun begitu lebat.

Anaya sama sekali tidak memperdulikan itu, ia malah bersandar di salah satu tembok pembatas dan mendongak ke atas langit. Ia memejamkan matanya erat, tanpa di sadari butiran-butiran bening kembali menetes dari kedua sudut matanya namun tak terlihat bersamaan dengan air hujan yang jatuh membasahi pipi.

Gadis itu merenung. Entah apa kesalahannya di masa lalu, sampai takdir tak pernah berpihak padanya.

Sejak dulu Vania dan Mario selalu memanjakan Amara. Bahkan sampai sekarang, mereka berdua selalu mengacuhkan Anaya. Seakan menganggap jika dirinya tidak pernah ada.

Bahkan ia sempat berpikir, mungkin lebih baik jika dirinya tidak pernah lahir ke dunia. Karena selama ini tidak ada tempat untuknya bersandar dan juga berkeluh kesah.

“Aku membenci takdirmu! Aku benci!” Anaya berteriak dan terus mengucapkan kalimat yang sama berulang kali. Tanpa peduli kalau sekarang tubuhnya sudah basah kuyup. Ia hanya ingin meluapkan kekesalan dan isi hatinya.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seseorang yang sedang duduk di atas kursi roda. Pria dengan rahang tegas dan sorot mata tajam, melirik sekilas ke arahnya kemudian menikmati kembali suara rintik hujan yang semakin deras berjatuhan.

“Tuan, sebaiknya kita pulang. Sudah hampir satu jam anda berada disini. Saya tidak mau alergi dingin anda kambuh lagi.”

Abian hanya diam dan mengangguk. Semenjak duduk di kursi roda, ia sering sakit-sakitan. Rasanya benar-benar memuakkan.

“Apa gadis kecil itu gila Theo? Sejak tadi dia terus berteriak di tengah hujan.” kedua manik mata Abian terus tertuju pada Anaya, gadis kecil yang berdiri di pinggir pembatas.

Hanya saja, Abian tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena posisi Anaya yang membelakanginya.

Theo reflek menoleh tapi tidak melihat siapapun di sana.

“Gadis mana yang anda maksud Tuan? Tidak ada siapapun di sana. Atau mungkin saja anda salah lihat.” jawab Theo. Meyakinkan Abian kalau memang tidak gadis seperti yang disebutkan olehnya.

“Aneh. Aku tadi melihatnya dan gadis itu sangat tidak asing di mataku,” gumam Abian namun hanya dalam hati. “Kalau begitu kita kembali sekarang. Tapi jangan katakan pada mereka kalau aku baru saja datang kemari,” perintah Abian dengan ekspresi wajah datar dan dinginnya.

“Tentu Tuan.” Theo membawa Abian pergi dari sana, menuju ke mobil dan diikuti oleh beberapa orang anak buahnya yang mengiringi mereka dengan payung.

Gebrugh!

Baru saja Abian hendak masuk, terdengar suara seseorang menabrak mobil bagian belakang.

“Aw!” gadis itu memekik menahan sakit. Ia terjatuh bersamaan dengan sepeda yang ia kendarai. Namun sesaat kemudian ia tersadar kalau sudah menabrak sebuah mobil.

Theo berbalik untuk memeriksa suara apa yang baru saja di dengarnya. Matanya langsung mendelik saat melihat sisi kanan mobil lecet.

“Nona, apa kamu lakukan? Kamu sengaja menabrakkan diri ‘kan?!” hardik Theo pada gadis yang terus menunduk sejak tadi.

Anaya menggelengkan kepalanya, “saya benar-benar tidak sengaja Tuan. Padahal tadi tidak ada benda ini disini bagaimana sekarang--”

“Cukup Nona! Anda harus mengganti rugi dan jangan mencoba untuk lari dari tanggung jawab!” potong Theo.

Namun, sesaat kemudian Theo segera menoleh saat mendengar Abien memanggil namanya dan menyuruhnya untuk mengabaikan gadis itu.

“Jangan buang-buang waktuku yang berharga untuk meladeni bocah miskin seperti dia,” ketus Abian tanpa menatap ke arah Anaya sedikitpun.

“A-apa kamu bilang? Bocah miskin?!” Anaya yang tak terima mendengar ucapan Abian, langsung berkacak pinggang dan menatap tajam pada pria di balik kaca hitam itu.

“Theo!”

“Baik, Tuan.” Theo segera menuruti perintah Abian.

“Ingat, urusan kita belum selesai Nona bocah.” Theo menyeringai tipis dan menutup pintu mobilnya, meninggalkan Anaya yang masih menganga dengan wajah polosnya.

“Nona bocah? Asal kalian tahu, aku ini sudah sembilan belas tahun kurang satu hari!” teriak Anaya tak terima.

Byurr!

Mobilnya yang dikendarai anak buah Abien melaju begitu saja, melewati genangan lubang air yang tepat mengenai wajah Anaya.

“Yak! Apa kalian bisa menyetir hah?!” teriaknya kesal. “Awas saja kalau aku bertemu lagi dengan mereka lagi.” Anaya membenarkan posisi sepedanya dan berlalu dari sana.

Disisi lain, sejak tadi Abian menatap keluar jendela dengan senyuman yang terus mengembang dari sudut bibirnya. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan saat ini.

“Apa anda sedang bahagia malam ini, Tuan?” tanya Theo.

“Apa kamu masih ingat gadis yang kita temui di taman hiburan kemarin malam, Theo?” bukannya menjawab pertanyaan dari Theo, Abian malah balik bertanya padanya.

Tentu saja Theo langsung menggelengkan kepalanya karena malam itu dia sama sekali tidak melihat wajah gadis itu dengan jelas. Karena malam yang sudah semakin larut.

“Memangnya ada hubungan apa anda dengan gadis itu, Tuan?”

“Dia adalah gadis yang berhasil membangunkan milikku,” ucap Abian.

“What? Anda bahkan baru pertama kali bertemu dengannya. Bagaimana bisa--”

“Ya, tapi memang itu kenyataannya, bodoh!” potong Abian. Mencoba mengingat kembali wajah gadis yang sudah berhasil membangkitkan gairahnya itu.

Bersambung...

Bab 3 Duda Perjaka

“Tuan mari kita masuk ke dalam karena anda harus mengganti pakaian.” dengan perlahan Theo mendorong kursi roda tersebut dan membawa Abian masuk ke kamarnya.

Theo adalah sahabat Abian, bukan tanpa alasan pria itu mau menjadi asisten pribadinya yang selalu mengurus kebutuhannya. Dulu sebelum Abian mengalami kecelakaan, dia mengambil Theo dari jalanan dan membawanya pulang ke mansion.

“Saya akan menyiapkan air hanya dulu untuk anda berendam.” Abian hanya menganggukkan kepala, mengiyakan ucapan Theo.

Di apartemen yang cukup besar dan mewah tersebut, Abian hanya tinggal bersama dengan Theo juga ada beberapa pelayan dan bodyguard.

Kedua orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masih yang selalu pergi keluar kota, seakan tak memperdulikannya sama sekali. Abian sampai berpikir negatif, apakah selama ini mereka menganggap dirinya ada atau tidak.

Kesepian dan kesendirian, itulah yang selalu Abian rasakan.

Prang!

Terdengar suara benda terjatuh ke lantai, membuat Theo yang berada di kamar mandi segera berlari melihat keadaan Abian.

“Astaga Tuan, apa yang terjadi?” Theo mendekati tuan Abian dan menjauhkannya dari pecahan kaca tersebut. “Tetaplah disini Tuan, biar saya akan membersihkannya.”

Theo mulai memunguti pecahan kaca tersebut agar tidak mengenai kaki Abian. Setelah selesai, Theo memapah pria itu untuk duduk di sisi ranjang.

“Kenapa kamu masih setia berada di sampingku Theo? Aku lumpuh dan tidak bisa berjalan lagi seperti dulu.”Abian memalingkan wajahnya, ia menatap ke luar jendela. “jika kamu mau, kamu boleh pergi dan mencari majikan baru.”

Abian memejamkan matanya sekilas, merasakan hembusan angin malam yang menerpa wajahnya melalui balkon yang sejak tadi terbuka.

Theo tersenyum tipis lalu menatap Abian. Ia kemudian berjalan ke arah balkon dan menutup pintu itu.

“Jika saya mau, saya sudah meninggalkan anda dari dulu, Tuan.” jawab Theo. “ Tapi saya tidak melakukannya. Karena saya sudah menganggap anda seperti Kakak saya sendiri.” Theo berbalik dan berjalan mendekati Abian. “Meskipun anda tidak membayar saya sepeserpun, saya akan tetap berada di samping anda.”

Abian terdiam mendengar jawaban Theo.

 Ya, meski ia tahu jika Theo akan menjawab seperti itu. Tapi tetap saja Abian ingin Theo juga bahagia bersama wanita yang tulus mencintainya.

Bukankah suatu saat nanti Theo juga harus menikah? Lalu bagaimana dengannya? Dia juga tidak ingin terus bergantung pada Theo.

“Apa suatu saat nanti ada wanita yang mau menikah denganku, Theo? Duda lumpuh dan banyak kekurangan ini. Aku bahkan tidak bisa berdiri dengan kaki ku sendiri.”

Theo merasa sedih dengan ungkapan isi hati Abian. Memang benar selama ini tidak ada wanita yang mau menikah dengannya. Bahkan mendekat pun seakan jijik.

Padahal jika dilihat wajah Abian sangat tampan. Hanya saja ia memang tidak pernah tersenyum dan selalu memperlihatkan wajah ketus.

“Tuan, saya suatu saat akan ada wanita yang mau menerima keadaan anda dengan tulus dan apa adanya. Tanpa memandang fisik.”

Abian tersenyum kecut mendengar ucapan Theo yang menurutnya tidak masuk akal.

“Sampai sekarang saja tidak ada satu wanita pun yang mau mendekat. Sekalinya ada, mereka hanya melihat hartaku. Tetapi setelah tahu keadaanku yang sebenarnya, mereka menjauh.” Abian menghela nafas kasar.

“Apa mungkin aku ditakdirkan menjadi duda sampai tua, Theo?” tanya Abian membuat Theo terdiam dan tidak bisa berkata-kata.

“Kenapa kamu diam, hah? Aku merasa sedang berbicara dengan tembok,” ucap Abian dengan nada kesal. Ia lalu duduk di atas kursi rodanya, menuju ke kamar mandi.

“Pergilah, tinggalkan aku sendiri dan jangan menggangguku!”

“Tapi Tuan, anda tidak bisa mandi sendiri bukan. Bagaimana kalau anda--" belum selesai Theo bicara, ia sudah mendapat tatapan tajam dari Abian.

Brak!

Pintu kamar mandi di tutup begitu kuat oleh oleh Abian membuat Tersentak kaget dan mengusap dadanya berulang kali.

“Huh! Tuan memang selalu menganggap ku seperti butiran debu yang menempel padanya.” gumamnya lirih.

******

******

Satu bulan sejak kejadian itu, Abian memilih untuk mengurung diri di kamarnya tanpa mau menemui siapapun. Membuat kedua orang tuanya, Darrel dan Luna merasa khawatir.

Mereka langsung mengunjungi Abian yang memutuskan untuk menyendiri di apartemen pribadinya dan menolak untuk pulang ke mansion utama.

Dan saat ini mereka berdua sudah berada di lantai bawah,menunggu dengan gelisah karena hampir satu jam Abian belum turun untuk menemui mereka.

“Papa yakin Abian baik-baik saja?” Luna menarik lengan suaminya dan menyandarkan kepalanya  di bahu kokoh pria itu.

“Papa yakin, Ma. Tidak akan terjadi sesuatu pada putra kita.” Darrel mengusap punggung Luna, mencoba menenangkan wanita itu. “Lagipula ada Theo ‘kan? Dia pasti mengurus Abian dengan benar.”

Ting!

Lift pun terbuka. Abian keluar dengan Theo yang setia berada di belakangnya, Mendorong kursi roda Abian dengan perlahan lalu menghampiri kedua orangtuanya.

“Sayang, Mama sangat merindukanmu.” Luna mendekati Abian dan memeluknya erat. Begitupun dengan Darrel, yang juga ikut memeluk mereka berdua.

“Apalagi Papa, Abian. Papa lebih merindukan kamu. Pulang dan tinggal lah bersama kami.” Darrel ikut menimpali, berharap jika kedatangannya bisa membuat Abian sadar dan ikut bersama dengan mereka.

“Mama tahu, penghianatan yang dilakukan istrimu itu--”

“Cukup Ma! Abian malas membicarakan hal yang tidak penting itu lagi. Kalau kalian kemari hanya untuk itu, lebih baik pulang saja!” ketus Abian.

Reflek membuat mereka terdiam dan menghela nafas kasar. Mau seperti apapun ia berusaha meyakinkan Abian, tetap saja Abian adalah pria keras kepala yang tidak mau mendengar nasehat orang lain.

“Tuan dan Nyonya mau minum apa?” tawar Theo, sengaja ingin mengalihkan pembicaraan agar tidak tegang.

“Terserah kamu saja Theo, asal minuman itu tidak beracun!” jawab Luna.

“Hah? Maksud Nyonya?”

“Mama, jangan bercanda.” Darrel menghampiri Luna dan menenangkan wanita itu.

“Habisnya Theo itu nyebelin Pa. Dia sama sekali tidak bisa membawa  Abian pulang ke rumah!” Luna menjejak-jejak kan kakinya di lantai seperti anak kecil.

“Maaf Nyonya, saya sudah berusaha sebisa saya. Tapi, Tuan--”

“Cukup!” Abian memotong pembicaraan mereka, menatap tajam kedua orangtuanya bergantian. “Tumben sama Papa datang kemari.” sindir Aban.

Selama ini mereka berdua sibuk dengan urusan bisnis yang berada di luar kota. Sampai di hari pernikahan Abian pun tidak bisa datang dengan banyak alasan.

Sebenarnya bukan karena tidak mau datang, karena sejak awal Darrel dan Luna tidak setuju kalau Abian menikah dengan Sandra. Karena mereka tahu, wanita seperti apa Sandra itu.

Tapi, jika mereka mengatakannya, Abian pasti akan tetap memberontak.

“Lihat ini sayang…” Luna mengeluarkan beberapa foto dari dalam paper bag dan menunjukkannya pada Abian, “mereka semua anak temen-teman Mama. Cantik-cantik ‘kan?” ucapnya dengan bangga.

“Iya cantik, tapi  kalau mata duitan buat apa?” kalimat savage yang keluar dari bibir Abian membuat Luna menelan saliva susah payah.

Sedangkan Darrel, hanya bisa menahan tawanya mati-matian. Apalagi saat mendengar jawaban putranya yang sudah bisa dia tebak.

“Pokoknya Mama mau kamu memilih salah satu diantara mereka untuk jadi istrimu, Abian!” tegas Luna. “Mama jamin, mereka berasal dari bibit unggulan kualitas super. Karena Mama tidak mau kamu jadi duda perjaka seperti dia sayang.” Luna menunjuk Theo yang sejak tadi berdiri di samping Abian.

“Loh kok jadi saya Nyonya? Saya salah apa?” Theo menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.

“Abian tidak berminat! Lagipula, Abian sedang tidak tertarik pada wanita manapun saat ini. Sudah ada Theo dan Abian tidak butuh siapapun!” jawab Abian.

Selama lumpuh, kedua orang tua Abian tidak tahu kalau dirinya juga menderita impoten. Yang menyebabkannya minder dan enggan dekat dengan wanita manapun kecuali Sandra.

“Tapi, Theo bukan istrimu Abian! Memangnya kamu tidak mau menyalurkan hasrat mu itu pada seorang wanita?” Luna mulai terbawa emosi melihat Abian yang terus saja menolaknya setiap dirinya membahas tentang perjodohan.

Darrel mendekati Abian yang masih diam dengan tangan terkepal, lalu berbisik lirih padanya. “Turuti saja kemauan Mama mu, Abian. Atau drama mencari pendamping hidup ini tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun.”

“Huh! Menyebalkan!” Abian menghela nafas kasar. “Baiklah kalau begitu. Abian setuju. Lakukan saja apa yang membuat Mama bahagia!”

Abian memang terkesan dingin dan keras kepala. Namun, jika sudah menyangkut tentang Mama nya pasti akan dia langsung menurutinya. Karena Abian tidak ingin lagi membuat Luna sedih.

“Berikan foto-foto gadis jelek itu padaku!” ucap Abian, mengambil beberapa foto tersebut dan mengamatinya satu persatu.

Cukup lama, hingga tatapan matanya jatuh pada sebuah foto seorang gadis kecil. Entah kenapa ia langsung tertarik padanya saat pertama melihatnya.

“Abian akan menikah dengan gadis ini,” ucapnya, memberikan satu lembar foto tersebut pada Luna.

“Pilihan yang tepat. Terima kasih sayang.”Luna tersenyum bangga, sudah berhasil mengelabui Abian.

Yang sebenarnya, foto-foto tersebut adalah foto dari satu gadis yang sama. Hanya saja memakai pakaian dan pose yang berbeda. Karena Luna tahu, pasti Abian hanya asal memilihnya.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!