NovelToon NovelToon

Rich People In A Parallel World

BAB 1 LORONG MISTERIUS DAN DUNIA PARALEL

ali Nasr, seorang pemuda penuh impian, sangat ingin memulai bisnis. Namun, keterbatasan modal membuatnya bimbang. Ia baru saja kehilangan pekerjaannya di minimarket, dan tanpa penghasilan, ia tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, ia mengambil keputusan besar—merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan mengumpulkan modal.

Meskipun berat meninggalkan orang tuanya, Ali merasa ini satu-satunya jalan. Malam itu, ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kamar dengan mata menerawang.

"Bagaimana ini? Aku ingin sekali memulai bisnis, tapi aku tidak punya modal. Sementara, aku juga belum mendapatkan pekerjaan sejak dipecat. Sepertinya, merantau ke Jakarta adalah satu-satunya cara agar aku bisa mengumpulkan uang," gumamnya lirih.

Setelah mempertimbangkan matang-matang keputusannya, Ali akhirnya berbaring di tempat tidur. Malam semakin larut, rasa kantuk mulai menyergap. Esok hari, ia harus meminta izin kepada ibunya sebelum benar-benar berangkat.

"Besok aku harus bicara dengan Ibu... Lusa aku pergi," ucapnya pelan sebelum akhirnya terlelap.

Namun, di tengah tidurnya, sesuatu yang aneh terjadi. Pada pukul dua belas malam, ia bermimpi berada di sebuah lorong hitam yang tak berujung. Tiba-tiba, lorong itu berputar dan menghisapnya masuk ke dalam dunia yang asing.

Ali terbangun dengan kaget. Ia mendapati dirinya berada di tempat yang berbeda. Dunia di sekitarnya tampak futuristik—gedung-gedung menjulang tinggi dengan teknologi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Namun, anehnya, tak ada satu manusia pun di sekelilingnya.

"Di mana ini? Kenapa aku tiba-tiba ada di sini? Bukankah tadi aku sedang tidur di kamar?" Ali bertanya-tanya, kebingungan.

Meskipun takut, ia memutuskan untuk menjelajah. Selama tiga jam berjalan kaki, ia tak menemukan satu manusia pun. Sampai akhirnya, ia melihat sebuah bangunan bertuliskan Bank.

"Setelah sekian lama berjalan, tak ada satu pun orang di tempat ini. Haruskah aku masuk ke bank itu? Siapa tahu ada seseorang di dalamnya," pikir Ali.

Dengan hati-hati, ia melangkah masuk. Namun, bank itu pun kosong. Ia terus menjelajah hingga menemukan sebuah ruangan dengan pintu besi besar—ruang brankas. Rasa penasaran mendorongnya untuk membukanya.

Saat pintu terbuka, matanya membelalak. Ruangan itu dipenuhi tumpukan uang dan emas dalam jumlah yang luar biasa banyaknya.

"Apa-apaan ini? Kenapa di dunia tanpa manusia ini ada begitu banyak uang?" Ali bergumam, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Ali mendekati tumpukan uang itu dan memeriksanya. Betapa terkejutnya ia saat menyadari bahwa uang itu persis sama dengan uang di dunia nyata.

Pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan.

"Bagaimana kalau aku membawa sebagian uang ini ke dunia nyata?" gumamnya.

Tanpa berpikir panjang, Ali mencari tas dan mengisinya dengan uang serta emas sebanyak yang ia bisa bawa. Setelah tasnya penuh, ia berjalan keluar dari bank, mencari cara untuk kembali ke dunia nyata.

Namun, setelah berjam-jam mencoba, ia tetap tidak menemukan jalan keluar. Rasa panik mulai merayapi dirinya.

"Bagaimana kalau aku terjebak di sini selamanya?" pikirnya, pasrah.

Karena kelelahan, Ali akhirnya duduk di tepi jalan, masih memegang tas berisi harta itu. Rasa kantuk kembali menyerangnya, dan tanpa sadar, ia tertidur.

Saat itu juga, lorong hitam yang sama muncul dan menghisapnya kembali. Dalam sekejap, Ali terbangun di kamarnya.

"Apa?! Aku sudah kembali?" Ali terperanjat.

Ia melihat sekeliling, memastikan bahwa ini benar-benar kamarnya. Tapi yang lebih mengejutkan, tas yang ia bawa dari dunia paralel itu masih ada di sampingnya! Dengan tangan gemetar, ia membuka tas tersebut.

Uang dan emas itu benar-benar ada.

Saking terkejutnya, Ali berteriak tanpa sengaja.

"Ibu!" panggilnya, sebelum buru-buru membungkam mulutnya sendiri. Ia harus merahasiakan ini.

Tak lama, ibunya mengetuk pintu kamar. "Ali, kenapa kamu berteriak tengah malam begini?"

Ali dengan cepat menyembunyikan tas itu ke dalam lemari sebelum menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Aku cuma mimpi buruk."

Ibunya menatapnya curiga, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, kalau begitu, tidurlah lagi."

Begitu ibunya pergi, Ali kembali memeriksa tasnya. Semua uang itu masih ada. Ia menghela napas panjang, menyadari satu hal—ini bukan mimpi.

Dan sekarang, ia memiliki cukup modal untuk memulai bisnis impiannya.

BAB 2 PERSIAPAN BERANGKAT KE JAKARTA

Keesokan harinya, sinar mentari menembus jendela kamar Ali. Ia mengerjapkan mata, lalu segera bangun dari tempat tidurnya. Hal pertama yang ia lakukan adalah membuka lemari dan memeriksa tas berisi uang yang ia bawa dari dunia paralel semalam.

Napasnya lega ketika melihat uang itu masih ada. Tanpa membuang waktu, Ali bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, suara ibunya memanggil dari ruang makan.

"Ali! Sarapan dulu!" seru ibunya.

Ali segera mengenakan pakaian dan menuju meja makan. Sambil menikmati sarapannya, ia memberanikan diri untuk membicarakan niatnya merantau ke Jakarta.

"Bu, Ali mau pergi merantau ke Jakarta. Boleh, kan?" tanyanya sambil menatap ibunya penuh harap.

Ibunya terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan cemas. "Ngapain jauh-jauh ke sana, Nak?"

Ali meletakkan sendoknya dan menghela napas panjang. "Ali ingin mengadu nasib, Bu. Kalau tetap tinggal di kampung, susah cari kerja. Semua orang tahu soal masalahku dengan minimarket kemarin, dan nggak ada yang mau menerima Ali bekerja."

Mendengar ucapan itu, ibunya akhirnya mengerti. Ia tidak ingin melepas anaknya pergi, tetapi juga tak ingin menghalangi masa depannya. "Nanti Ibu bicarakan dulu dengan Bapak, ya."

Malam harinya, setelah makan malam, Ali duduk bersama kedua orang tuanya. Mereka membicarakan rencana keberangkatannya ke Jakarta. Setelah berdiskusi panjang, akhirnya mereka memberi restu.

"Ali, ke sini sebentar," panggil ibunya.

"Iya, Bu! Aku datang," jawab Ali seraya mendekat.

Bapaknya menatapnya lekat-lekat. "Ibumu bilang, kamu mau pergi merantau?"

Ali mengangguk. "Iya, Pak. Rencananya besok Ali berangkat."

Setelah berbicara cukup lama, keputusannya sudah bulat. Ali segera memesan tiket pesawat melalui aplikasi, lalu membereskan barang-barangnya. Karena merasa lelah, ia pun beranjak tidur lebih awal.

Namun, baru beberapa saat tertidur, sesuatu terjadi. Lorong hitam yang sama seperti sebelumnya muncul dan kembali menghisapnya. Dalam sekejap, Ali sudah berdiri di dunia paralel lagi.

"Apa?! Aku ada di sini lagi?" serunya, terkejut.

Kali ini, ia muncul di tempat yang berbeda. Dunia paralel itu tetap penuh dengan teknologi canggih, tetapi bangunan di sekitarnya jauh lebih unik dari sebelumnya. Salah satu bangunan menarik perhatiannya—gedung futuristik yang tampak lebih maju daripada yang lain.

Dengan hati-hati, Ali melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling, mencari sesuatu yang mungkin berguna. Di tengah ruangan, ia melihat sebuah kotak mewah yang terbuat dari berlian dan besi titanium.

Rasa penasaran mendorongnya untuk membuka kotak tersebut. Saat tutupnya terbuka, di dalamnya hanya ada sebuah cincin. Tidak ada yang terlihat spesial dari cincin itu, tetapi Ali tetap mengambilnya.

"Kotaknya saja semewah ini... pasti cincin ini punya sesuatu yang istimewa," pikirnya.

Saat hendak keluar dari gedung itu, tanpa sengaja tangannya menyentuh ujung besi tajam. Darah menetes dan mengenai cincin di tangannya. Seketika, cahaya menyilaukan keluar dari cincin tersebut.

Ali terkejut. Panik, ia mencoba melepaskannya, tetapi cincinnya tetap menempel di jarinya. Tanpa sengaja, tangannya menyentuh keramik di dekatnya—dan tiba-tiba, keramik itu terserap masuk ke dalam cincin!

"Apa?! Cincin ini... bisa menyerap benda?"

Ali makin terkejut ketika tanpa sengaja menyentuh barang lain. Semua benda yang tersentuh oleh cincinnya ikut terserap masuk. Ia mencoba mengayunkan tangannya, berusaha mengendalikan cincin itu. Setelah beberapa saat, ia mulai tenang dan kembali ke kotak berlian tadi.

"Mungkin ada petunjuk soal cincin ini," pikirnya.

Ali menggeledah bagian dalam kotak tersebut dan menemukan selembar kertas berisi tulisan dalam bahasa Inggris. Karena tidak memahami sepenuhnya, ia mengambil kertas itu dan bergegas keluar dari bangunan.

Lelah berjalan dan ingin segera kembali ke dunia nyata, Ali memejamkan matanya dan memikirkan dirinya pulang. Tak lama, lorong hitam muncul lagi dan menghisapnya.

Dalam sekejap, ia sudah kembali ke kamarnya.

Ali langsung melihat tangannya—cincin itu masih ada di jarinya!

Ia menyalakan lampu dan buru-buru mengambil ponselnya. Dengan bantuan aplikasi penerjemah, ia menerjemahkan isi kertas tersebut.

Setelah membaca terjemahannya, Ali mulai mengerti cara kerja cincin itu. Ia mencoba mengeluarkan kembali keramik yang tadi terserap. Tiba-tiba, benda itu muncul di depannya dan jatuh di atas kasur.

"Luar biasa! Aku bisa menyimpan barang di dalam cincin ini," pikirnya.

Setelah beberapa saat mencoba, Ali mulai terbiasa dengan kemampuan cincin itu. Ia segera membuka lemari, mengambil tas berisi uang, dan menyimpannya ke dalam cincin.

"Sekarang aku tak perlu khawatir soal tempat penyimpanan," gumamnya puas.

Ia menatap cincin itu sebentar, lalu tersenyum. "Aku akan menamainya... Cincin Penyimpanan."

Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ali masih terus memeriksa cincin itu, tetapi akhirnya ia ingat bahwa besok ia harus berangkat ke Jakarta. Dengan perasaan penuh antusias dan sedikit penasaran tentang cincin itu, ia akhirnya merebahkan diri di tempat tidur.

"Jakarta... aku datang."

Dan dalam hitungan detik, Ali pun terlelap.

BAB 3 PERJALANAN MENUJU KE JAKARTA

Pagi menjelang, sinar matahari menembus jendela kamar Ali, membangunkannya dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu melirik jam di dinding.

"Astaga! Udah jam setengah tujuh!"

Ali langsung terduduk, rasa kantuknya seketika lenyap. Ia segera melompat dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Setelah mandi dan mengenakan pakaian, ia keluar menuju ruang makan.

"Bu, sarapan udah siap?" tanyanya sambil berjalan cepat.

"Udah, Al. Itu ada di meja makan," jawab ibunya.

Tanpa banyak bicara, Ali langsung duduk dan mulai menyantap sarapannya. Gerakannya terburu-buru, membuat ibunya menggeleng pelan.

"Jangan makan terlalu cepat, nanti keselek," tegur ibunya.

Ali menelan suapannya dengan cepat. "Nggak bisa, Bu. Pesawatku jam 10, sementara perjalanan ke bandara butuh empat jam. Sekarang udah jam tujuh, kalau lambat sedikit bisa ketinggalan pesawat!"

Setelah menyelesaikan sarapannya, Ali beranjak untuk mengambil barang-barangnya. Ia keluar dari kamar dengan membawa tas ransel, lalu berdiri di depan keluarganya untuk berpamitan.

"Ibu, Bapak, Al pamit dulu, ya. Jaga kesehatan."

Ibunya menatapnya dengan mata berkaca-kaca, sementara bapaknya mengangguk pelan.

Kakaknya, Erhan, menepuk pundaknya dengan pelan. "Al, hati-hati di tempat orang. Jangan sampai berbuat macam-macam."

Ali mengangguk. "Iya, Kak."

Sementara itu, Intan, adik perempuannya yang berusia belasan tahun, menatapnya dengan ekspresi polos. "Kakak mau kerja apa di sana? Kalau sukses nanti jangan lupa sama kita, ya!"

Ali tertawa kecil. "Hahaha, kalau aku sukses, aku beliin apa aja yang kamu mau!"

"Wah, beneran, Kak? Janji, ya!"

"Iya, aku janji."

Bapaknya menatapnya serius. "Jangan lupa kewajibanmu sebagai seorang Muslim, Nak."

Ali tersenyum. "Iya, Pak. Kalau begitu, saya berangkat dulu. Assalamu’alaikum."

"Wa’alaikumussalam," jawab keluarganya serempak.

Dengan langkah mantap, Ali pun berangkat menuju bandara.

 

Perjalanan Udara Pertama

Empat jam perjalanan terasa cukup melelahkan, tetapi akhirnya Ali tiba di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Tanpa membuang waktu, ia segera melakukan check-in tiket. Setelah semua proses selesai, ia duduk di ruang tunggu, menanti pesawatnya.

Tak lama kemudian, pengumuman terdengar bahwa pesawat tujuan Jakarta telah tiba. Ali segera bangkit dan berjalan menuju pesawat. Setelah masuk dan menemukan tempat duduknya, ia menunggu pesawat untuk take-off.

Saat pesawat akhirnya mengudara, Ali merasakan sensasi aneh di perutnya. Ia memejamkan mata sejenak, lalu melihat keluar jendela. Pemandangan kota Makassar dari atas begitu memukau.

"Jadi begini rasanya naik pesawat..." pikirnya, kagum.

Setelah sekitar 30 menit di udara, pesawat mencapai ketinggian 35.000 kaki. Namun, Ali mulai merasa bosan. Ia melirik cincinnya—Cincin Penyimpanan—dan teringat bahwa ia belum merapikan barang-barangnya.

Dalam pikirannya, ia memanggil isi cincin tersebut. Di dalam ruang penyimpanan cincin, terlihat tas uang, koper pakaian, dan bahkan potongan keramik yang terserap sebelumnya.

"Berantakan banget..."

Ali mulai menyusun barang-barangnya. Ia memisahkan uang dan emas dari tas, lalu menyimpan emasnya ke dalam koper pakaian. Baju-bajunya ia biarkan mengambang di dalam ruang cincin.

Karena hanya membawa uang 10 juta dari orang tuanya, ia memutuskan untuk mengeluarkan tambahan 100 juta untuk disimpan di ranselnya. Ia mengingat video YouTube yang ditontonnya semalam, tentang biaya hidup di Jakarta.

Dengan satu pikiran, uang itu langsung muncul di tangannya. Beruntung, orang di sebelahnya tertidur, sehingga tidak ada yang menyadari apa yang baru saja ia lakukan.

Setelah menyimpan uangnya di tas, ia kembali bersandar di kursi. Perjalanan masih panjang.

 

Pertemuan Misterius di Bandara

Setelah dua jam mengudara, akhirnya pesawat mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

"Huuuh... akhirnya sampai juga," gumam Ali sambil menghela napas.

Para penumpang mulai turun satu per satu, termasuk Ali yang hanya membawa tas ransel. Ia tidak perlu mengambil koper di bagasi, sehingga langsung menuju pintu keluar bandara.

Saat berjalan di keramaian, tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang.

"Ahh...!" Ali hampir kehilangan keseimbangan.

Ia menoleh dan melihat seorang wanita berdiri di belakangnya. Wanita itu memakai masker, jadi wajahnya tidak terlihat jelas.

"Maaf, Kak! Aku lagi buru-buru!" ujar wanita itu dengan nada tergesa.

Ali mengusap lengannya yang sedikit tersenggol. "Oh, nggak apa-apa. Lain kali hati-hati ya, Mbak."

Wanita itu mengangguk cepat. "Iya, maaf ya!"

Sebelum Ali sempat membalas, wanita itu sudah berlari pergi, menghilang di kerumunan.

"Siapa dia...?" pikir Ali. Namun, ia mengabaikan pertemuan itu dan melanjutkan perjalanannya.

 

Mencari Tempat Tinggal

Keluar dari bandara, Ali berjalan menuju halte untuk mencari taksi. Saat menunggu, pikirannya melayang ke satu pertanyaan besar: di mana ia akan tinggal?

Ia menimbang-nimbang beberapa pilihan, lalu memutuskan untuk menginap di hotel terlebih dahulu. Setidaknya, itu lebih nyaman dibanding mencari tempat tinggal permanen dalam kondisi lelah seperti sekarang.

Tak lama, sebuah taksi melintas di depan halte. Ali segera melambaikan tangan untuk memberhentikannya.

Mobil berhenti tepat di depannya. Ali membuka pintu, masuk ke dalam, dan menyebutkan tujuan pertamanya di Jakarta.

"Petualangan baru dimulai," batinnya, menatap gedung-gedung tinggi Jakarta dari balik jendela.

...jangan lupa like komen dan berikan dukungan yah gaisss...

...----------------...

...Terimakasih ✌️...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!