" Apa yang kalian lakukan. Astagfirullah."
Ratih berteriak karena saking terkejutnya. Sepulang dia dari toko siang itu karena merasa pusing, ia mendapati Hari sang suami yang tengah bercumbu mesra dengan seorang gadis muda. Gadis cantik itu pada bagian atasnya tak lagi berbaju, hanya menyisakan pakaian dalam yang berbentuk kacamata.
Tapi rupanya bukan hanya Ratih saja yang terkejut, Hari dan si wanita itu juga terkejut melihat Ratih yang sudah berada di sana. Biasanya saat siang begini Ratih masih di toko miliknya.
" Sialan, mengapa wanita itu bisa pulang di jam-jam begini sih." Hari menggerutu pelan. Tidak tampak penyesalan sama sekali di wajah pria itu.
Pun dengan si wanita, wanita muda itu dengan santainya memakai kembali bajunya dan pergi melewati Ratih begitu saja tanpa merasa bersalah. Wajah congkak dengan kepala terangkat, menandakan wanita itu tidak peduli pada air mata Ratih yang mulai mengalir deras dari pelupuk matanya.
" Dasar wanita tidak tahu malu, bisa-bisanya bermesraan dengan suami orang. Apa kamu tidak tahu hah Mas Hari adalah pria beristri."
Wanita itu sungguh tidak peduli dengan omongan Ratih. Malah Hari yang menarik tangan Ratih lalu menutup mulut sang istri. " Anjiing, diam nggak, awas kalau sampai tetangga dengar."
" Mas, apa yang kamu lakukan? Coba jelaskan!" ucap Ratih di sela isak tangisnya. Dadanya sungguh sesak kata-kata kasar dan umpatan yang Hari tujukan kepada dirinya membuat Ratih merasa takut. Selama ini yang Ratih tahu Hari adalah pria yang lembut. Sebenarnya Ratih sungguh takut untuk berbicara tapi ia tentu ingin tahu kebenaran dari apa yang ia lihat.
" Apa kamu buta hah, masih tanya apa yang ku lakukan. Tck, sialan. Kau sungguh merusak mood ku."
Ratih terduduk dilantai. Hijab panjang yang membalut kepalanya itu seketika basah karena air mata yang tak kunjung berhenti. Ratih mengusap dada nya dengan tangan sesekali ia memukulnya agar rasa sesak itu sedikit berkurang.
" Cobaan apa lagi Rabb yang Kau berikan padaku. Apa sepertinya aku masih kurang Kau uji dengan kematian kedua orang tuaku?" Ratih tergugu. Rasa sakit di hatinya seperti tidak tertahan.
Harapan Ratih setelah kedua orangtuanya tiada lalu menikah dengan Hari ialah untuk membina kehidupan berkeluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Tapi dengan kejadian tadi saja Ratih bisa menyimpulkan bahwa impiannya itu hanyalah keinginan semu.
Tepat sebulan menikah dengan Hari, dia menemukan fakta suaminya berselingkuh tepat di depan kedua matanya. Wanita mana yang tidak sakit melihat hal yang seperti itu. Selingkuh itu jelas menyakitkan, valid no debat. Tidak ada alasan yang membenarkan untuk seseorang berselingkuh.
Ratih bangkit dan menyusul Hari ke ruang makan. Di sana Hari terlihat begitu santai menikmati makan siang yang sudah Ratih siapkan sedari pagi.
Kreeek
Ratih menarik satu kursi dna ikut duduk di sana. Ia menahan bibirnya untuk kembali bertanya mengenai apa yang ia lihat tadi. Ratih akan menunggu Hari agar menyelesaikan acara makan siangnya tersebut.
" Mau tanya apa hah! Kamu sungguh membuatku kehilangan selera makan." Hari meletakkan sendok nya diatas piring dengan sedikit lebih keras hingga bunyi kedua benda tersebut lumayan terdengar jelas di telinga Ratih dan membuat wanita berusia 26 tahun itu terkejut.
" Astagfirullaah mas, kenapa sekarang mas berubah. Mas nggak kayak dulu sebelum nikah. Bahkan sehari lalu mas masih baik sama aku. Lalu tadi, mas kenal wanita itu dari mana. Mengapa kalian sampai berbuat begitu, apa hubungan kalian sebenarnya?"
Rentetan pertanyaan Ratih ditujukan kepada sang suami. Dna diluar ekspektasi, Hari tersenyum sinis. Pria itu bahkan tertawa terbahak seolah-olah apa yang dikatakan Ratih adalah hal yang lucu.
" Dia pacarku. Udah setahun ini aku pacaran sama Cita. Jadi nggak usah sok merasa tersakiti, dia yang lebih dulu hadir dalam hidupku ketimbang kamu."
Bagai disambar petir di siang hari nan panas, Ratih tentu sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Hari. Otak Ratih berpikir cepat dan mengambil sebuah analisa.
" Jadi maksudmu, aku lah yang jadi selingkuhan begitu? Tapi mengapa mas, mengapa kamu sudah punya kekasih tapi mau menikah dengan ku? Kenapa mas?"
Skak
Pria itu kicep. Hari seperti sedang salah bicara, atau lebih tepatnya dia keceplosan. Hari tidak lagi berbicara apapun. Dia hanya diam.
" Baiklah, kalau kamu tidak mau menjawab, aku minta pisah. Apa yang kamu lakukan tadi sudah cukup membuatku mengambil keputusan."
Ratih bangkit dari duduknya dan langsung masuk ke kamar. Brak!! Ratih menutup pintu kamarnya dengan rapat, tidak lupa ia menguncinya juga. Tubuhnya seketika jatuh, ia menangis sejadi-jadinya. Sebuah fakta baru yang ia temukan. Ternyata dia lah orang ketiganya, ternyata dia lah yang selingkuhan. Satu hal dalam hidup yang ia tidak menyangka adalah dibuat sakit seperti ini oleh orang yang ia cintai.
Keinginannya menikah dengan Hari dan mantab menerima pinangan Hari selain Ratih memang mencintainya, juga karena ia ingin memiliki keluarga yang utuh. Keluarga Hari yang baik kepada dirinya, membuat Ratih seperti mendapat keluarga baru setelah kedua orang tuanya meninggal.
" Apa aku bilang saja ke ibu ya. Ya, ibu pasti akan menasehati Mas Hari."
Ratih menghapus air matanya, ia kemudian masuk ke kamar mandi mengambil wudhu lalu menjalankan ibadah 4 rakaat.
Ratih memanjatkan sebaris doa agar diberikan jalan terbaik untuk kehidupan rumah tangganya yang masih sangat baru itu.
Ratih mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia melipat sajadah dan mukenanya dan menaruhnya ke atas meja rias. Wanita itu berdiri di depan cermin, mengambil jilbab lebarnya dan kembali memakainya.
" Bismillaah," ucap Ratih mantab ingin menuju ke rumah mertuanya. Ia berharap besar mendapat perlindungan sang ibu mertua.
" Mau ke mana kamu?" tanya Hari saat melihat Ratih yang keluar dari kamar dengan pakaian rapi.
" Mau ke tempat ibu," jawab Hari singkat.
" Heh, percuma kalau tujuanmu mau mengadu. Ibu sudah tahu mengenai Cita. Dia tidak akan sedikitpun membela mu nanti."
Hari berkata sinis, tapi bukan perkataan Hari yang membuat Ratih kembali menangis. Fakta yang ia baru ketahui itulah yang membuatnya kini tergugu. Tubuh Ratih terhuyung, bersandar pada pintu kamar.
" Ya Allaah, apalagi yang belum ku ketahui. Mengapa semua ini baru terbuka sekarang."
TBC
Hay manteman, ini karya othor buat untuk event. Dan ini terinspirasi dafi kisah nyata teman othor. Sedih pol pas beliau bercerita. Tapi disini banyak fiktif nya ya. Inga inga, hanya terinspirasi. Bukan berdasarkan kisah nyata.
Minta doanya biar bisa jadi pemenang hehehhe.
Tekad Ratih sudah bulat. Ia akan mengajukan gugatan ke pengadilan. Semalaman Ratih sudah memikirkan hal ini. Dia terbiasa hidup sendiri, jadi apa salahnya ia hidup sendirian lagi. Bahkan tadi malam pun Ratih tidak tidur sekamar bersama Hari beruntung Hari memang sedang mendapat jatah shift malam.
" Baiklah, semua berkas sudah siap. Aku harus berangkat sekarang."
Nguuuuung
Bruuk
" Ratih!"
Hari terkejut saat berteriak saat melihat Ratih yang jatuh tak sadarkan diri di depan pintu kamar. Pria itu langsung melempar tas yang disandangnya ke sembarang arah dan berlari menghampiri sang istri. Hari mencoba menepuk-nepuk kedua pipi Ratih tapi tidak ada respon. Ia meletakkan Ratih sejenak dan memanggil bantuan. Beberapa tetangga datang dan membantu Hari membawa Ratih ke klinik terdekat.
Sepintas raut waja Hari terlihat khawatir. Namun apa persisnya yang dirasakan pria itu tidak ada yang tahu kecuali dia dan Tuhan, mungkin.
" Kamu kenapa Tih, kalau kamu sakit waaah tambah repot lagi nanti aku. Huh!"
Waaah, benar-benar raut wajah tidak mencerminkan isi hati seseorang. Bisa para tetangga lihat betapa khawatirnya Hari terhadap Ratih. Namun rupanya bukan khawatir istrinya sakit tapi khawatir jika dia nanti lah yang repot jika istrinya sakit.
Atas bantuan tetangga yang memiliki mobil, Ratih di gendong oleh Hari masuk ke dalam klinik. Beruntung Klinik tidak ramai saat pagi begitu.
Para tetangga yang membantu berpamitan, Hari mengucapkan terimakasih dan ia kini sedang menunggu Ratih diperiksa. Sungguh Hari tidak ingin terjadi apa-apa kepada Ratih. Jelas Hari tidak mau mengurus istri yang sakit.
" Pak, istrinya sudah siuman. Dan ada kabar bagus untuk anda. Selamat ya, sebentar lagi Anda akan jadi ayah. Istri Anda tengah hamil. Usia kehamilan nya baru 3 minggu."
Haro berdiri mematung. Terkejut? Pasti, bagaimana tidak terkejut saat mengetahui kabar kehamilan Ratih. Rencana dia ingin mentalak Ratih otomatis tidak bisa. Padahal dia sudah berjanji kepada Cita untuk segera menikahi wanita itu.
" Mas pokoknya kamu harus segera pisah. Kalau nggak, aku beneran mau nikah sama Ridwan."
" Lhoo kok gitu. Kan kamu udah janji kau nunggu aku. Iya aku bakalan nalak Ratih. Lagi pula urusan itu sudah selesai. Jadi nggak akan lagi lah susah-susah."
Hari teringat pembicaraannya dengan Cita beberapa hari yang lalu. Ya, sang kekasih ternyata juga mempunyai hubungan serius dengan pria lain. Bahkan mereka merencanakan pernikahan juga. Tapi Cita masih berharap Hari segera berpisah sehingga mereka bisa melancarkan hubungan mereka yang tersendat karena Hari harus menikah dengan Ratih.
" Arghhh, sialan. Mengapa bisa hamil sih. Jadi sekarang dia hamil anakku. Terus aku harus gimana." Hari bergumam pelan sambil mengacak rambutnya dengan kasar. Ia kini dilema, antara bertahan atau melanjutkan rencana menalak sang istri. Satu hal yang Hari ketahui, ia tidak boleh mentalak istrinya ketika tengah hamil.
Dengan pikiran yang masih berkecamuk, Hari masuk ke ruang pemeriksaan. Di sana Ratih masih terbaring di brankar dengan infus yang menempel pada tangan kirinya. Terlihat wajah pucat Ratih ditambah mata yang sembab.
" Tih ... " Hari memanggil Ratih lirih. Wanita itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sakit sungguh jika mengingat apa yang diperbuat Hari kemarin. Terlebih kata-kata Hari yang mengatakan bahwa sang ibu mertua juga mengetahui hubungan Hari dengan wanita lain.
" Jangan bicara di sini. Kita bicara setelah sampai rumah," ucap Ratih tegas.
Hari hanya mengangguk tanpa suara. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Ia lalu duduk dan menunggu infus tersebut habis. Kata dokter, Ratih boleh pulang setelah cairan infus tersebut habis.
🍀🍀🍀
Keduanya duduk di ruang tamu. Baik Ratih maupun Hari kini terdiam. Mereka sepertinya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.
" Baiklah, mari kita bicara," ucap Ratih memecah keheningan yang beberapa saat tercipta itu.
Ratih mengambil nafasnya dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Ia memejamkan matanya sejenak mengumpulkan semua tenaga dan juga keberaniannya.
" Mari kita berpi~."
" Aku tidak akan menceraikanmu. Kau sedang hamil anakku sekarang."
Ratih tentu terkejut, bukannya kemarin sepertinya Hari begitu acuh. Terlebih saat ia bersama wanita muda itu, Hari tampak sengaja memperlihatkan kedekatannya. Ia juga mengaku mereka pacaran lama, tapi mengapa dia tidak setuju saat Ratih menginginkan perpisahan?
" Terus, maumu aku harus menerima kelakuan burukmu itu. Aku tidak sudi."
" Bukan Ratih, bukan begitu. Aku ... Aku akan berubah. Demi anak kita. Aku berjanji tidak akan berhubungan lagi dengan Cita. Sungguh, aku mengatakan ini dengan kesungguhan hati."
Ratih memicingkan matanya. Ia mencoba mencari tahu kesungguhan itu dari wajah sang suami. Memang terlihat kesungguhan di sana tapi Ratih tidak ingin serta merta percaya. Hatinya sudah terlanjur sakit kemarin.
Melihat keraguan dari wajah Ratih, Hari berpikir keras. Ia harus membuat Ratih percaya. Sekarang Ratih tengah mengandung anaknya, cita-cita Sarti adalah memiliki cucu laki-laki. Maka dari itu Hari harus bisa menahan dirinya hingga ia mengetahui jenis kelamin anak yang dikandung Ratih.
" Aku mohon Tih, beri aku kesempatan. Aku janji akan berubah."
" Aku tidak akan langsung mempercayaimu. Kita lihat saja bagaimana kedepannya kamu bersikap kepadaku. Jika kamu bisa membuktikan bahwa kamu benar-benar berubah maka aku akan memikirkan kembali untuk berpisah atau tidak."
Ratih berdiri dari duduknya dan melenggang masuk ke kamar. Wanita itu mengusap perutnya yang masih rata, kali ini hidupnya tidak lagi sendiri. Ada nyawa di dalam tubuhnya yang harus diperhatikan.
" Ibu, akan selalu melindungimu nak."
Di luar kamar Hari mengepalkan erat kedua tangannya. Kesal sekali rasanya saat ini. Ia sudah berusaha merendahkan dirinya di hadapan Ratih, tapi Ratih tampak acuh.
" Wanita sialan, kalau saja kamu tidak hamil aku tidak sudi memohon. Mau tidak mau aku harus membatalkan rencana ku dan semua ini harus ku bicarakan kepada ibu dan Mbak Watik. Cita ... Aaah kampret. Aku lupa soal Cita. Aku juga harus ngomong ke dia kalau Ratih hamil. Haisssh, semakin ribet pula hidupku ini. Semua gara-gara Mbak Watik, kalau dia nggak nyuruh aku buta deketin dan nikahi Ratih saat ini aku pasti udah bahagia hidup dengan Cita. Kampret memang Mbak Watik. Huh!"
TBC
Mau tidak mau Hari harus bersikap baik terhadap Ratih. Ia sungguh muak sebenarnya tapi ia kepalang berjanji untuk berubah. Bagaimanapun yang ada dalam kandungan Ratih adalah anaknya. Entah atas dasar suka atau nafsuu saat menggauli Ratih tapi yang jelas dia adalah istrinya dan sekarang itu adalah hasil dari apa yang ia perbuat.
Tapi sekarang yang buat bingung adalah mengatakannya kepada kekasihnya, Cita. Ia harus jujur dengan Cita mengenai kondisi Ratih yang hamil.
Hal tersebut tentu membuat rencana mereka untuk segera menikah harus kembali ditunda. Hari mengambil ponselnya, ia mencoba mengirim pesan kepada Cita. Awalnya ia menulis keadaan Ratih yang sedang hamil, tapi Hari berhenti dan menghapus kembali pesan itu.
" Tidak, aku tidak bisa mengatakan ini lewat pesan atau telepon. Aku harus datang untuk menemui dan mengatakannya langsung kepada dia."
Hari urung mengirim pesan dan hendak kembali menyimpan ponselnya. Tapi tiba-tiba dia merindukan Cita. Hari kemudian mengambil foto selfie dan mengirimkannya kepada Cita dengan menambahkan keterangan dalam foto.
" Sedang merindukan mu, sayang." Begitulah isi keterangan dalam foto.
Tring
Tak lama Hari mendapat balasan dari Cita. Sama, sebuah foto dikirimkan oleh Cita untuk Hari. Foto tersebut memperlihatkan Cita yang baru saja mandi. Dengan rambut basah dan masih mengenakan handuk yang jelas memperlihat bahu dan paha mulus wanita tersebut.
" Sama, aku juga rindu kamu mas. I love you mas. Nih aku baru aja mandi." Isi keterangan dalam foto yang Cita kirimkan kepada Hari membuat Hari tersenyum. Terlebih foto itu yang sungguh sangat seksi membuat pikiran Hari berkelana.
Ratih yang baru keluar dari kamar sedikit merasa aneh dengan perilaku Hari. Ia pun berjalan pelan menghampiri Hari. Saking fokusnya memandangi foto Cita, ia tidak sadar dengan kehadiran Ratih.
Di belakang tubuh Hari, Ratih bisa melihat jelas apa yang sedang dilihat oleh Hari dan kepada siapa Hari berkirim pesan. Dada Ratih langsung sesak, sekujur tubuhnya terasa panas. Ia tidak habis pikir, baru saja Hari mengatakan akan berubah dan apa ini, dia sudah berkirim pesan mesra bahkan dengan foto yang sungguh tidak layak diperlihatkan.
Syut
Ratih mengambil ponsel Hari. Ia kemudian men-scroll pesan dua orang itu.
" Ratih, apa-apa na sih kamu. Sini kembalikan ponselku."
" Kamu yang apa-apa an mas. Baru aja kamu bilang mau berubah tapi kamu masih berkirim pesan mesra kepada jalangg itu."
" Stop, jangan ngatai Cita kayak gitu."
" Apalagi kalau bukan jalangg dan murahan, mengirim foto hampir telanjangg kepada suami orang."
Plak
Bruk
Sebuah tamparan keras diterima oleh pipi Ratih. Fatih bahkan sampai terhuyung ke belakang. Beruntung ia tidak sampai terjatuh ke lantai. Ratih masih bisa menahan tubuhnya dengan tangannya.
Air mata Ratih luruh seketika itu juga. Bukan karena sakit yang ia rasakan di pipi tapi sakit di hati yang sungguh luar biasa. Hari sang suami sungguh tega menampar dan mendorongnya karena membela wanita lain.
" Ka-kamu sungguh tega melakukan itu mas. Kamu sungguh keterlaluan. Karena wanita itu kamu tega melakukan ini padaku? Apa kamu lupa kalau aku sedang hamil anakmu?"
Hari terdiam, ia memundurkan tubuhnya. Pria itu kemudian melihat tangannya sendiri. Tangannya juga kebas karena tamparan yang ia layangkan tersebut ke pipi sang istri. Tapi sifat egois hari mengalahkan logikanya. Ia langsung merebut ponsel miliknya yang masih di genggam oleh Ratih.
" Makanya jangan sok ikut campur dengan urusanku. Dasar anak tidak punya orang tua. Kamu benar-benar tidak pernah diajari cara untuk tidak ikut campur urusan orang lain hah!"
" Maksudmu, aku harus diam saja melihat suamiku main gila di luar? Dan satu lagi stop membawa nama kedua orang tuaku yang telah tiada. Mereka cukup baik mendidikku hingga sekarang."
" Aku tidak pernah main gila, dia kekasihku sebelum kamu masuk dalam hidupku. Apa kamu paham akan hal itu?"
Ratih membuang nafasnya kasar. baru saja mereka berbicara baik-baik kini harus kembali adu otot untuk kembali berdiskusi. Ratih memejamkan matanya sejenak mencoba berpikir harus melakukan apa.
" Baiklah jika itu maumu? Mati kita berpisah seperti apa yang tadi aku bicarakan."
Hari langsung diam seketika. berpisah? Ya, dia juga ingin berpisah. tapi bukan sekarang. Ia harus bertanya dulu kepada ibu dan mbaknya. Ia tidak bisa memutuskan itu sendiri. Apalagi Ratih sedang mengandung. Seperti yang diketahui, Sarti, ibu dari Hari itu sangat menginginkan cucu. terlebih jika itu cucu laki-laki. Kini Hari kembali memutar otaknya.
Greb
Hari beringsut maju dan langsung meraih kedua tangan Ratih yang seketika ditepis oleh Ratih. Tapi Hari tak mau tinggal diam, ia kembali meraih tangan Ratih.
" Maafkan aku Tih. Tadi aku sungguh emosi. Aku khilaf. Aku tidak akan melakukan ini lagi kepadamu. Sungguh aku hanya kelepasan tadi. Aku mohon ya. Aku janji benar-benar akan berubah. Dan apa yang aku katakan mengenai kedua orang tuamu sungguh aku tidak berniat bicara begitu. Aku ... Aku hanya tidak suka kamu terlalu ingin tahu isi ponselku."
Ratih terdiam, sungguh hati kecilnya tidak bisa percaya apa yang keluar dari mulut suaminya itu. Baru sebulan menikah dia berani melakukan kekerasan. Ratih ingat betul, puluhan tahun kedua orang tuanya menikah tidak pernah sekalipun sang bapak berbuat kasar kepada emaknya.
" Simpan saja omonganmu itu. Aku tidak suka jika itu hanya bualan. Buktikan, maka aku akan menerimamu kembali. Oh iya satu lagi, hapus semua tentang wanita itu baik foto ataupun chat. Sekalian saja blokir nomornya jika memang kamu merasa menyesal. Aku tidak ingin melihat."
Ratih melenggang masuk ke kamar dan menutup pintu dengan kuat. Hari yang masih berdiri terpaku kini mengacak rambutnya dengan sangat kasar.
Sialaaan, Asuuuu, rasanya ingin ku tambah tadi. Sabar, aku harus sabar. Ya, aku harus bilang ke ibu dan Mbak Watik. Aku ingin segera pisah dengan Ratih.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!