"Freya, keparat kau!" teriak William setelah membaca sebuah pesan yang ada di ponselnya. Dia segera menghubungi anak buahnya untuk menangkap wanita itu, lalu melempar benda pipihnya ke atas ranjang.
Dengan dada bergemuruh William menatap seorang gadis yang berdiri ketakutan di hadapannya.
Pria itu terlihat sangat marah, sebab ia tak mendapatkan apa yang ia inginkan. Sebelumnya ia telah memesan seorang wanita malam pada Freya, tetapi wanita itu justru mengirim gadis yang terlihat masih sangat polos, dan mengirim sebuah pesan yang membuatnya meradang.
"Dia pikir dia siapa? Berani menyuruhku?"
William bermonolog dengan dirinya sendiri, tetapi tatapannya tak beralih sedikit pun dari Bella. Gadis itu semakin ketakutan kala William melangkah ke arahnya, hingga reflek mencengkram bajunya sendiri.
Ya Tuhan, kenapa pria ini mengerikan sekali?
Dia benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa tantenya menjual dia pada pria hidung belang. Meski ia akui bahwa William memang tampan, tetapi tetap saja pria itu tak bisa hidup dengan satu wanita. Dan ia sangat yakin, William tak pernah mengenal apa itu cinta?
"Tuan," lirih Bella dengan bibir bergetar saat William sudah sukses berada di depannya.
Tangan William bergerak untuk mengapit dagu Bella, hingga wajah gadis itu terangkat. Sekali lagi William berdecih melihat mata Bella yang sendu dan nampak seperti gadis lemah, "Kau yakin bisa memuaskanku dengan tubuh itu?" tanya William, mencibir Bella yang sedari tadi berdiri dengan kaki gemetar. Bagaimana tidak? Ini untuk pertama kalinya dia dalam satu kamar bersama seorang pria asing.
Jantung Bella bergemuruh mendengar itu. Tak pernah ia bayangkan bahwa hidupnya akan seperti ini setelah kepergian sang ayah. Andai saja ia tahu kalau Freya akan menjualnya, ia akan memilih untuk tetap hidup bersama ibu tiri dan dua adiknya.
Masih jelas teringat, saat Freya menjemputnya secara paksa di rumah ibu tirinya, Lena.
Wanita itu datang dengan membawa dua bodyguard, dan langsung mengatakan apa tujuannya. "Aku ingin membawa keponakanku."
"Freya, kita bisa bicarakan ini semua dengan Bella. Biarkan dia memilih. Karena meskipun aku hanya ibu tirinya, aku masih sanggup untuk membiayai hidup Bella!" tegas Lena, tak ingin Freya, seorang yang dikenal sebagai mucikaari, membawa anak tirinya.
"Cih, aku lebih berhak dari pada kamu. Karena Bella anak adikku, Fania. Jadi, jangan cegah aku untuk membawanya! Ingat, kau hanyalah orang asing!" ketus Freya dengan tatapan sinis. Ingin membungkam mulut Lena.
Bersamaan dengan itu, Bella baru saja pulang kuliah. Dia nampak terkejut, karena melihat kedatangan sang tante, padahal selama ini Freya tidak pernah peduli dengannya.
Freya tersenyum lebar melihat kedatangan Bella, dia langsung bangkit dan melangkah ke arah gadis itu. "Bel, kemasi barang-barangmu dan ikutlah dengan Tante. Aku akan memberikan kehidupan yang layak untukmu mulai sekarang."
Namun, bukannya lekas mengiyakan, Bella justru mematung, karena mengingat apa profesi yang dijalani oleh Freya saat ini.
"Tapi, Tan. Bolehkah aku pikirkan terlebih dahulu?" tanya Bella.
"Bel, kita ini keluarga. Sekarang kamu adalah tanggung jawabku, jadi ayo ikut denganku. Di sini kamu bukanlah siapa-siapa," jawab Freya sambil mengelus rambut keponakannya, meyakinkan Bella untuk hidup terpisah dengan Lena.
"Tapi bagaimana dengan adik-adikku, Tan?" Bella berusaha mencari alasan, supaya Freya tak jadi membawanya. Karena jujur saja, perasaan Bella tak enak.
"Ya ampun, Bel, berpisah bukan berarti tidak akan bertemu lagi. Biarkan mereka di sini dengan Ibu mereka."
Bella melirik ke arah Lena yang menatapnya dengan sendu. Setelah kepergian sang ayah dan bangkrutnya perusahaan, mereka memang hidup dengan sederhana. Namun, bersama Lena, Bella merasa hidupnya baik-baik saja.
"Aku hanya menjalankan wasiat dari Ibumu, Bel. Kalau kamu tidak mau terserah, hiduplah dengan Ibu tirimu itu dan lupakan tentang Fania. Lupakan bahwa kamu pernah lahir dari rahimnya!" cetus Freya tiba-tiba, membuat Bella kembali dilema.
Tak ingin tali kekeluargaan itu terputus, akhirnya dia memutuskan untuk ikut dengan Freya. Dan di sinilah ia sekarang, terjebak dalam situasi yang sangat rumit karena nyatanya dia telah dijual.
"Berhenti menatapku dengan wajah menyedihkan. Aku tidak suka!" cetus William seraya melepaskan tangannya pada dagu Bella. Harusnya malam ini dia bisa bersenang-senang dan melepas semua penat yang ada di kepalanya. Namun, karena perbuatan Freya bebannya justru bertambah.
"Sekarang buka pakaianmu! Aku telah membayarmu mahal, jadi jangan kecewakan aku!" sambung William memberi perintah pada Bella. Dia berjalan menjauh sambil membuka jas yang sedari tadi melekat di tubuh kekarnya.
Namun, Bella malah semakin mencengkram kuat bajunya. Tidak mungkin dia memberikan kehormatannya pada pria yang tidak dia cinta.
"Jangan membuatku marah. Atau kau akan tahu akibatnya, lekas lakukan perintahku!" sambung William berteriak, semakin membuat Bella ketakutan.
Dengan tangan gemetar, Bella mulai melucuti semua yang terpakai di tubuhnya, William melirik dengan bibir yang tertarik ke atas. Saat ia berbalik, bagian atas tubuh Bella sudah tak berpenghalang.
William mendekat dan tanpa aba-aba mencium bibir Bella dengan rakus. Namun, karena terkejut Bella hanya bisa terhenyak, dia membeku seperti patung. Karena ini adalah pengalaman pertamanya.
Jangankan membalas, merespon ciuman William saja tidak.
"Cih, Brengseek! Bahkan kau tidak mengerti apa-apa. Pakai pakaianmu kembali, aku sudah tidak bernafsuu!"
Dalam hati Bella mengucap syukur yang sangat banyak. Karena William tidak jadi menyentuhnya. Namun, entah apa yang akan dilakukan pria itu setelah ini, karena sepertinya William tidak akan melepaskan Bella begitu saja.
Bella langsung menggunakan kembali pakaiannya dengan tergesa. Tak peduli pada William yang sedang melangkah menuju kamar mandi dengan mulut yang terus mengumpat.
"Kalau kau berani selangkah saja pergi dari kamar ini. Ku pastikan kau tidak akan selamat. Kau harus ingat, ada harga yang harus kau bayar karena kelakuan Tante gilamu itu," cetus William dengan tatapan penuh ancaman.
Bella yang ketakutan hanya bisa mengangguk pasrah. Tak berani sedikit pun menatap wajah William yang senantiasa diliputi amarah. "Iya, Tuan. Aku tidak akan ke mana-mana."
Detik selanjutnya Bella hanya bisa terdiam dan melamun, merenungi nasibnya yang begitu malang. "Mana kehidupan layak yang Tante maksud? Tante justru menjerumuskanku pada kesengsaraan." Gumam Bella dengan mata yang senantiasa mengembun.
Sementara dari dalam kamar mandi, suara gemericik air terus berjatuhan.
Bella terus menyelami lamunan yang tiada habis, hingga ia tak sadar bahwa William sudah keluar dengan bertelanjang dada.
William berjalan menuju ranjang untuk mengambil ponsel, tepat pada saat itu Bella tersentak dan refleks membuang wajah. Bagaimana bisa ada pria yang tidak tahu malu seperti ini? Hah, dia lupa bahwa William adalah seorang penjajah wanita.
"Bagaimana, Jo?" tanya William dalam sambungan telepon. Saat ini dia sedang menghubungi asistennya yang mengurus soal Freya.
"Maaf, Tuan, Madam Freya benar-benar tidak ada di rumahnya. Dia kabur," jawab Jo apa adanya. Dia dan anak buahnya sudah mencari Freya ke mana-mana, tetapi wanita itu seperti ditelan bumi, karena begitu cepat menghilang dari kota ini.
Mendengar itu, mata Bella terbelalak lebar dan menutup mulutnya yang menganga, karena William sengaja menyalakan load speaker. Bagaimana dengan nasibnya kalau Freya ternyata kabur? Apakah William akan membunuhnya?
Pria itu melirik Bella yang terlihat bingung dan nyaris putus asa. Namun, tak ada rasa kasihan dalam diri William, karena dia justru mengeratkan genggamannya pada benda pipih itu.
"Cari dia sampai ketemu. Ku pastikan tidak ada ampun baginya karena sudah berani berurusan denganku!" ketus William, kemudian memutus panggilan secara sepihak.
Bagaimana ini? Tante Freya malah kabur. Lalu aku? Aku harus bagaimana? Cih, aku benci padamu Tante, aku benci! Rutuk Bella dalam hatinya, benar-benar tak menyangka kalau sang Tante akan sejahat itu padanya.
Tanpa memedulikan Bella, William segera mengenakan pakaiannya. Gara-gara gadis itu, dia harus meredam hasratnya dengan mandi air dingin sampai satu jam.
"Kau, bangun dan ikut denganku sekarang!" titah William saat ia sudah nampak rapih.
"Ikut? Ke mana?" tanya Bella dengan terbata.
"Kau masih bertanya setelah membuat kepalaku nyaris meledak?" sentak William yang tak pernah bisa baik-baik ketika bicara dengan orang asing. Apalagi sudah berani membuat masalah dengannya.
Tiba-tiba Bella bersimpuh di kaki William sambil menangis. "Tuan, maafkan aku dan juga tanteku. Aku berjanji akan membayar uang yang sudah dia bawa, tapi aku mohon lepaskan aku sekarang."
William mengerutkan keningnya, benar-benar tak habis pikir bahwa dia harus berurusan dengan bocah ABG seperti Bella. "Jangan mengajakku bercanda. Apa kau tahu berapa uang yang sudah aku keluarkan? 100 juta untuk satu malam denganmu, tapi apa yang aku dapat? Cih, memalukan!"
Lagi-lagi jantung Bella mendapat serangan, karena mendengar nilai yang sangat fantastis itu. 100 juta? Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Sementara untuk hidup saja ia sudah pas-pasan?
"Tapi, Tuan, aku bisa mencicilnya. Aku akan bekerja apa saja untuk—"
"Berhenti mengoceh! Atau aku akan menembak kepala Freya di depanmu."
Deg.
"Cepat bangun dan ikut denganku sekarang juga. Aku tidak punya waktu untuk meladeni omong kosong seperti ini!" sambung William yang membuat Bella tak lagi berkutik.
Akhirnya malam itu Bella terpaksa mengikuti William. Dia terperangah karena ternyata pria itu membawanya ke apartemen. Tidak bisa diragukan, William Hognose Liem adalah seorang pria yang memiliki segalanya, ketampanan, kemapanan, dan juga jabatan.
"Kau akan tinggal di sini sampai Freya ditemukan. Kau bisa mengurus masalah rumah tangga 'kan?" tanya William dan Bella langsung menganggukkan kepala. "Bagus. Jangan sampai aku menampung orang yang tidak berguna." Sambung pria itu seraya melangkah ke salah satu kamar, dia membuka pintu.
"Kau bisa pakai kamar ini!"
"Terima kasih, Tuan. Tapi bagaimana dengan pakaianku? Semuanya ada di rumah Tante Freya," ujar Bella, memberanikan diri untuk bicara.
William menghela nafas kasar, bersamaan dengan itu Jo datang dengan membawa beberapa paper bag di tangannya.
"Jo, kau urus dia. Aku ingin istirahat," kata William pada sang asisten.
"Baik, Tuan," jawab Jo dengan cepat. William masuk ke dalam kamarnya sendiri, kamar yang jauh lebih luas. Sementara Jo mendekati Bella dan menyerahkan paper di tangannya.
"Di sini ada pakaian dan beberapa benda yang anda butuhkan, Nona. Selebihnya mungkin nanti besok saya belikan," ucap Jo, terdengar lebih ramah di telinga dari pada suara William yang senantiasa tarik urat.
"Terima kasih, Tuan," balas Bella sambil melepaskan ketegangan yang sedari tadi menyelimuti dirinya. Berdekatan dengan William benar-benar menguji adrenalin.
"Silahkan masuk ke kamar anda dan beristirahat. Mulai besok, anda yang akan bertanggung jawab masalah kebersihan di apartemen ini, dan kalau bisa, anda juga harus memasak. Apakah anda mengerti, Nona?" jelas Jo dengan gamblang.
Bella menganggukkan kepala, baginya hal seperti itu sudah biasa. Karena di rumah pun dia sering membantu Lena mengerjakan semuanya.
"Kalau begitu saya pamit pulang. Selamat malam."
Jo membungkukkan badan sekilas kemudian melangkah pergi, tetapi sebelum itu terjadi Bella lebih dulu menahannya. "Tuan, tunggu!"
Saat Jo berbalik, dia melirik tangan Bella yang memegangi lengan jasnya. Gadis itu seperti tak ingin membiarkan Jo pergi.
"Apakah Tuan tidak tinggal di sini?" tanya Bella dengan tatapan polos.
"Maaf, Nona, saya punya tempat tinggal sendiri. Jadi saya harus pulang."
"Jadi, aku hanya tinggal dengan Tuan Pemarah itu?"
Jo mengangkat sudut bibirnya sekilas, mendengar panggilan baru Bella untuk William. "Benar, anda hanya akan tinggal bersama Tuan William. Ingat ya, selagi dia memerintahmu dengan cara baik-baik, lekas lakukan perintahnya, jangan menunggu dia marah."
"Tapi dia tidak pernah bisa baik-baik denganku," ujar Bella sambil menatap pintu kamar William yang tertutup rapat.
"Pembawaan Tuan William memang seperti itu terhadap orang baru, jadi anda harus terbiasa."
Bella menghela nafas panjang. Sepertinya dia harus membiasakan diri dengan kehidupan barunya. "Oh ya, satu lagi, Tuan. Apakah Tante saya benar-benar tidak bisa ditemukan?"
"Untuk saat ini belum. Tapi kami sedang berusaha untuk terus mencarinya. Dan selama itu, anda akan menjadi jaminannya," jawab Jo yang membuat tubuh Bella terasa lemas semua.
Detik selanjutnya dia membiarkan Jo pergi meninggalkan apartemen, sementara dia masuk ke dalam kamar yang bersebelahan dengan kamar William.
Malam kian larut, tetapi nyatanya William tak bisa terlelap. Sedari tadi dia senantiasa terjaga dengan sebatang benda bernikotin yang terapit di antara jarinya.
"Freya, kau sungguh mengujiku kesabaranku. Kau pikir aku adalah superhero yang suka menolong orang dengan sesuka hati? Cih, aku bahkan bisa membunuhmu dalam satu kali tembak," gumam William sambil menatap pemandangan di luar jendela.
Sejak mengelola perusahaannya sendiri, William memutuskan untuk keluar dari mansion keluarganya. Dan sebagai pria dewasa, William sadar akan kebutuhan biologisnya. Namun, dia justru memilih untuk menyalurkan semua itu pada wanita yang bukan istrinya.
Karena bagi William percintaan hanyalah nomor sekian. Selebihnya dia hanya suka bekerja dan mengurus perusahaan.
Drt ... Drt ... Drt ...
Ponsel William bergetar di atas nakas. Dia segera mengambil benda pipih itu dan melihat siapa orang yang menghubunginya malam-malam seperti ini.
"Leo?" gumam William.
"Halo, Will, kau sedang apa di sana? Apa kau sudah tidur?" tanya Leo, sang sepupu yang memiliki usia 7 tahun di bawahnya. Kini ia sedang menempuh studi di negara yang berbeda.
"Kau pikir bagaimana? Apakah orang tidur bisa menerima telepon, lagi pula seperti tidak ada waktu lain saja menelponku tengah malam," cerocos William.
Leo terkekeh di seberang sana.
"Di sini masih jam 1 siang, Will. Oh iya, aku ingin memberitahumu kalau aku akan pulang minggu depan. Dan aku akan menginap di apartemenmu," ujar Leo yang membuat William mengernyitkan dahi.
"Kenapa harus apartemenku?"
"Ya, karena hanya kau yang jomblo. Zack kan sudah mau menikah. Jadi sudah tidak bisa aku repotkan."
"Jadi kau datang hanya ingin merepotkanku?"
"Will, masih ada mata kuliah yang harus ku ikuti. Sudah dulu ya."
"Hei, jawab aku dulu, Sialan!" sentak William, tetapi panggilan itu justru sudah diputus secara sepihak. "Ck, kenapa orang-orang tak bisa mengurus dirinya sendiri?"
***
Ayo diinget² lagi silsilahnya🤭🤭
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!