NovelToon NovelToon

Ratu Sihir

1. Putri pertama dan terakhir

Ditahun 1870 lahir seorang anak perempuan yang memiliki rupa cantik dan mata yang indah, membuat siapapun yang menatapnya akan jatuh cinta pada bayi ini. Sanak keluarga yang mengetahui kelahiran bayi dari ratu, sangat gembira dan menangis terharu. Semuanya jadi ingin melihat bayi itu bahkan rakyat biasapun juga penasaran. Namun sang raja melarang ratu untuk memperlihatkan bayi mereka kepada orang lain.

"Adinda. Aku mohon jangan mengizinkan siapapun melihat bayi kita,"

"Kenapa? Dia sangat cantik semua orang pasti akan menyayanginya,"

"Biarkan dia besar dalam istana ini. Setelah umurnya menginjak delapan belas tahun, kita akan memperkenalkannya pada dunia luar."

"Kakanda. Bukankah itu terlalu kejam, kita mengurung dia,"

"Tidak sama sekali, ini demi kebaikannya,"

"Aku mohon, ikuti saja perkataanku." Ucap raja dengan mata yang memelas, tangannya menggenggam tangan ratu.

Jika sudah begini, aku tidak bisa memaksakan kehendakku. Batin ratu.

Ratu pun mengangguk.

Ratu itu bernama padantya dan raja itu bernama rawikara. Mereka melahirkan seorang putri yang diberi nama Haritala. Ini adalah anak pertama dan terakhir mereka, karna sebuah kesalahan mereka harus dikutuk hanya bisa memiliki satu anak.

..._____...

Tahun demi tahun telah berlalu. Ratu dan raja mulai menua, rambutnya yang mulai memutih dan wajah yang keriput tentu itu akan terjadi karna usia mereka hampir 60 tahun lebih.

Dan kini bayi kecil mereka sudah berusia 18 tahun. Untuk pertama kalinya raja membawa putrinya ke taman. Semua pelayan dan penjaga istana memandang kagum dengan kecantikan putrinya.

"Ya tuhan, matanya sangat indah." Puji salah satu pelayan.

Sepanjang jalan putri berjalan dengan girang. Raja terseyum melihat itu, putrinya sudah besar dan akan menjadi ratu. Terkadang raja sedih jika memikirkan putrinya menikah.

"Ayah. Apa boleh aku berjalan keluar?" Pinta Haritala, dengan mata yang berbinar.

"Saat ini tidak. Ayah membatasimu dua tahun lagi, kau tidak boleh keluar melewati gerbang besar itu." Jelas raja. Ia menunjuk gerbang besar yang ada jauh di samping mereka.

"Kenapa? Aku sdh besar," rengek haritala.

"Berhenti meminta, walaupun kau sudah besar kau tetap putri kerajaan. Jadi jaga sikapmu." Raja meninggalkan putri yang wajahnya terlihat sedih.

Ia berhenti di samping pengawal, "jaga dia." Perintah raja dengan suara pelan.

Raja pergi ke dalam istana. Para pelayan segera menghampiri putri yang terduduk sedih, pipinya mulai dibasahi air mata.

"Kenapa ayah mengekangku?" Tanyanya.

Para pelayan saling menatap, mereka bingung harus menjawab apa. Sejujurnya mereka juga tidak tahu kenapa raja mengurung putrinya di dalam istana.

Keesokan harinya Haritala berjalan-jalan, dia menemukan tempat di mana di sana tersimpan banyak buku, ya perpustakaan.

Dia berjalan menelusuri rak yang cukup tinggi. Dan berhenti di saat melihat satu buku tebal dengan sampul berwarna hitam dan merah darah. Kakinya menjinjit untuk menggapai buku itu. Sedikit lagi dia bisa, buku itu terjatuh mengenai kepalanya. Hatitala meringis sambil mengusap-usap kepalanya. Dia tidak peduli dengan rasa sakit, berlalu dia memungut buku itu. Dan berjalan menuju kursi yang tersedia.

"Wah, ini buku tentang sihir." Ungkapnya kagum.

Dari sini lah putri yang akan menjadi ratu memperlajari sihir, tanpa diketahui orangtuanya. Hanya ada satu pelayan yang tahu tentang ini dan pelayan itu menjadi pelayan pribadi Haritala, ia bernama Manika.

Haritala mengancam akan memberitahu raja bahwa Manika berniat ingin membunuhnya, jika saja Manika menolak dan melaporkan pada ratu dan raja bahwa Haritala mempelajari ilmu sihir.

...____...

...Tahun 1891...

Kini usia Haritala sudah menginjak 21 tahun. Tidak disangka dia lebih cepat diangkat menjadi ratu. Karena kesalahan sihirnya dia sudah membunuh orangtua‐nya tanpa dia rencanakan. Dia sedih ibunya telah tiada, namun tidak dengan ayahnya. Dia sudah terlanjur membenci ayahnya dan selama hidup ayahnya dia harus berpura-pura menerima adanya raja.

Kini Haritala duduk angkuh di singgasana. Menatap para pengawal yang berbaris menjejer ke samping. Dan para dayang dikedua sisinya yang memberi angin alami dari kipas besar milik ratu terdahulu. Dan Manika yang berada di sisi kanannya sambil memegang semangkok buah-buahan segar.

"Beritahu pengawal siapkan kuda, aku ingin menyapa rakyat." Ucap Haritala denga suara yang tidak begitu nyaring.

"Baik nyonya." Manika menunduk sopan lalu pergi.

Ratu sudah berada di atas kuda. Dia akan pergi dikawal empat pengawal dengan kuda.

"Nyonya. Kau yakin pergi tanpaku?" Tanya Manika.

Tanpa menunduk ratu menjawab, "ya."

"Ayo." Perintahnya pada pengawal.

"Ratu akan pergi, bukakan gerbang." Teriak salah satu pengawal.

Gerbang besar itu pun dibuka. Haritala menatap kagum ke arah luar sana. Berpuluh-puluh tahun dia dikurung di istana akhirnya dia bisa melihat dunia luar.

Kuda yang ditunggangi Haritala mulai melangkah keluar melewati gerbang.

Kelima kuda yang ditunggangi itu kini sudah sampai di pasar. Banyak orang yang memuji Haritala, karna kecantikannya. Haritala menatap mereka dengan senyuman.

"Tidak disangka putri raja secantik ini." Puji pembeli yang berdiri di depan pedagang buah.

"Dia sangat ramah." Kata penjual ikan.

"Yang mulia. Apa kau mau mampir? Roti ku sangat enak." Tawar pedagang roti.

Salah satu pengawal yang berada dekat dengan pedagang roti itu mengarahkan pedangnya tepat di depan dahi pedagang roti itu. Haritala mengangkat tangannya memberitahu pengawal itu agar menurunkan pedangnya. Ratu tersenyum ramah.

"Terimakasih atas tawarannya. Aku akn berkeliling sebentar." Kata ratu.

Kuda pun mulai melanjutkan langkahnya. Dan sekarang mereka sudah berada di tengah-tengah kota, di depan Haritala melihat sebuah patung besar yang dikelilingi air mancur kecil. Patung itu berbentuk naga yang sepertinya di depan mulut naga itu adalah ilustrasi api.

"Apa itu patung milik kerajaan ku?" Tanya Haritala.

"Ya." Sahut salah satu pengawal.

"Yg mulia. Kita akan berjalan sampai mana?" Tanya salah satu pengawal yang lain.

"Ke depan," sahut Haritala dengan senyum yang mengembang.

"Maaf yang mulia. Kita tidak bisa berjalan maju, patung itu juga adalah batas wilayah. Di depan sana adalah bagian wilayah raja kedamaian." Jelas pengawal di samping kanan haritala.

"Apa dia musuh?" Haritala menatap lurus ke depan.

"Bukan yang mulia, masih bisa dikatakan mereka adalah teman baginda raja." Jelas pengawal itu lagi.

"Baiklah, ayo aku ingin berkenalan dengan mereka." Haritala hendak menjalankan kudanya.

"Yang mulia. Kita harus membuat janji sebelum bertemu, di kerajaan memiliki peraturan jika ingin bertemu harus membuat janji terlebih dhlu." Peringat pengawal itu.

"Baiklah, buat janji. Aku ingin bertemu mereka besok dan hanya dikawal satu orang." Haritala menjalankan kudanya berbalik arah ke istana.

Keesokkan harinya. Haritala kini sudah siap dengan gaun merah maroon dan mahkota perak. Senyumnya tak pernah luntur.

Manika, membuka pintu. Dia tersenyim melihat Haritala yang sejak tadi hanya berdiri di depan cermin besar.

"Kau sudah cantik, nyonya, tidak perlu mengkhawatirkan penampilanmu." Goda manika.

"Aku harus terlihat cantik. Karna aku dengar-dengar raja itu memiliki seorang putra." Kata haritala, pipinya tersipu.

"Benar, pangeran itu bernama Gandawasa. Dan sebentar lagi dia akan menjabat sebagai raja kedamaian ketiga." kata Manika.

"Itu bagus,"

"Kami akan menikah, dan menjadikan kota ini tanpa batas wilayah." Ujar haritala. Ia merentangkan kedua tangannya, berputar sambil memejamkan mata.

Dia benar-benar bahagia. Batin manika.

Haritala menghampiri pengawal yang benar-benar dipercaya raja semasa hidup. Sebut saja dia Gardapati.

"Apa kau sudah membuat janji?" Haritala tersenyum girang membuat Gardapati menunduk sebentar untuk menahan senyum.

2. Raja kedamaian

"Apa kau sudah membuat janji?" Haritala tersenyum girang membuat Gardapati menunduk sebentar untuk menahan senyum.

Dengan wajah tegasnya dan pandangan lurus ke depan, "sudah yang mulia."

"Bersikaplah biasa, tidak perlu kaku." Kata haritala.

Mendapat perintah seperti itu Gardapati pun berani menatap langsung Haritala.

"Apa yang mulia ingin berangkat sekarang?" Tanya Gardapati yang diangguki Haritala.

Haritala pergi menggunakan tandu. Karna Manika bilang jika menggunakan kuda akan tidak cocok dengan Haritala yang sudah berdandan cantik.

Mereka sudah sampai di halaman istana raja kedamaian. Para pengawal berbaris menyambut Haritala.

"Mari saya antar," kata pelayan raja.

Pelayan itu membawa Haritala kesebuah tempat yang di depannya adalah kolam ikan mas. Di sana sudah ada pangeran Gardawasa yang duduk bersimpuh dengan alas bantalan.

"Pangeran." Panggil pelayan yang membawa Haritala.

Gardawasa pun menoleh dan tersenyum.

"Silahkan, yang mulia." Katanya mempersilahkan Haritala untuk duduk di seberangnya.

Dengan pipi yang tersipu malu Haritala duduk.

"Sudah lama kami tidak kedatangan tamu dari istana ratu," ucap Gardawasa sambil menuangkan teh di cangkir milik Haritala.

"Semasa hidup ratu dan raja, mereka sibuk membantu rakyat. Maaf kunjungan ini hanya bisa diwakilkan oleh ratu baru." Kata haritala dengan nada sedihnya.

"Itu juga sangat berarti bagi kami, terimakasih telah berkunjung." Gardawasa tersenyum ramah.

Lihatlah, betapa tampannya dia saat tersenyum. Apa aku boleh mengungkapkan perasaanku sekarang, atau itu terlalu cepat. Wajahnya memerah padam. Ini pertama kalinya dia merasakan hal seperti ini.

"Apa di sini terlalu panas?" Tanya Gardawasa khawatir.

"Tidak." Sahut Haritala dengan gugup.

"Eum, bagaimana keadaan ratu dan raja?" Dia berbicara dengan nada yang terdengar aneh, tidak seperti awal dia memulai bicara.

Astaga, rasanya aku malu sekali. Aku ingin pulang wajahnya bekeringat dingin, ada apa dengan dirinya sekarang.

Gardawasa terlihat semakin khawatir dengan keadaan Haritala.

"Mari kuantar, sebaiknya kau istirahat." Gardawasa beranjak dan hendak membantu Haritala untuk berdiri. Namun dengan buru-buru Haritala berdiri tanpa bantuan.

"Maaf, jika kesan pertama kita aku terlihat aneh. Tiba-tiba aku merasa tidak enak badan." Bohong Haritala untuk menutupi rasa salah tingkah dirinya.

"Tidak apa," Gardawasa mendekat hendak menuntun haritala.

Haritala langsung bergeser. "Tidak perlu, pengawalku ada di depan." Ucapnya dengan tersenyum.

Haritala berjalan lebih dulu dan diiringi oleh Gardawasa di belakang.

...____...

Haritala langsung merebahkan badannya di atas kasur besar miliknya.

"Manika," teriak Haritala.

Manika yang berada di luar pintu kamar langsung berlari menghampiri Haritala.

"Ya, nyonya?"

"Cepat carikan buku sihir milikku, aku harus mencari mantra untuk menghapus ingatan pangeran," desak Haritala.

"Nyonya, bukankah itu keterlaluan? Bagaimana jika itu membuat pangeran melupakan semua ingatannya?" Tanya manika.

"Bagaimana jika pangeran tidak suka denganku karna aku aneh?" Tanya haritala dengan panik.

Dia mendudukkan dirinya dan menatap Manika. "Ikuti saja perintahku." Ucapnya dengan wajah yang hendak marah.

"Baik nyonya." Manika menunduk sopan lalu pergi mencari buku itu di perpustakan yang ada di istana.

Kini manika bingung dia tidak pernah melihat sampul buku itu.

"Ada benyak buku sihir di sini," Manika ragu harus mengambil buku yang mana.

"Jika aku mengambil semuanya, para pelayan yang melihat pasti akan bertanya buku apa yang ku bawa," ucapnya semakin bingung.

"Apa yang ini," tangannya hendak mengambil buku bersampul biru malam.

"Tidak, tidak, pasti ini." Akhirnya tangannya mengambil buku berwarna hitam bercampur merah darah

.

Dengan langkah lebar dia membawa buku itu sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Dia panik tentu tidak akan berpikir jika seperti itu akan semakin membuat orang curiga.

"Nyonya," panggil Manika yang sudah memasuki kamar Haritala.

Ia menyerahkan buku itu. Dengan kasar Haritala menerima dan langsung mencari mantra penghilang ingatan.

Buku hampir dihalaman terakhir tapi dia tidak menemukan mantra itu. Dengan kasar dia membalik halaman, dan halaman terakhir mengukir senyum jahat Haritala. Itu adalah mantra penghilang ingatan.

"Nyonya, kau sudah memikirkan itu dengan baik?" Tanya manika. Dia takut jika mantra itu akan membuat kejadian beberapa minggu lalu terulang kembali.

"Kau terlalu cerewet. Aku tidak membutuhkanmu, keluar." Usir haritala.

Dengan terpaksa manika berjalan keluar.

Haritala mengganti gaunnya dengan gaun yang berbahan lebih ringan di badan. Kini dia duduk di dalam ruangan tersembunyi dibalik lemari bajunya. Tanpa mahkota dia mulai membaca mantra. Sesuai yang tertulis dia harus membaca mantra itu sambil memikirkan siapa orang yang ingin dia hilangkan ingatannya. Suasana di dalam sana menjadi terasa gelap dan dingin. Sepertinya mantra itu berhasil.

Setelah selesai haritala mencelupkan dua jarinya ke dalam air yang ada dalam kendi. Itu akan dia serahkan kepada pangeran. Sesuai yang tertulis di buku, air itu harus diminum dan itu akan bekerja setelah orang yang meminum bangun dari tidur.

Besok paginya. Haritala menyuruh Gardapati untuk memberikan kendi itu pada Gandawasa. Dengan alasan sebagai hadiah permintaan maaf atas kesan pertama yang buruk. Haritala juga menambahkan kue buatannya agar tidak terkesan mencurigakan.

"Nyonya. Bagaimana jika raja dan ratu juga ikut meminum air itu?" Tanya Manika. Setelah keberangkatan Gardapati.

"Biarkan sudah terlanjur, aku tidak memiliki ide lain." Perkataan Haritala membuat manika khawatir dengan kondisi keluarga raja kedamaian.

"Apa yang kau khawatirkan?" Tanya haritala.

Sejak tadi Manika menunjukkan sikap yang berlebihan. Benar-benar terlihat cemas.

"Aku hanya takut, ini akan memulai peperangan." Kata Manika. Wajahnya benar-benar terlihat cemas.

"Tidak akan." Ucap haritala. Dia tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Haritala mengatakan itu hanya untuk membuat Manika tenang. Dia berpikir, yang tahu dia memiliki kekuatan sihir hanya manika. Jika orang-orang mencurigainya itu tandanya Manika yang memberitahu orang-orang.

Haritala mendekat, "dengar, jika semua org mencurigaiku, itu karna kau memberitahu mereka." Kata haritala. Matanya memerah.

Manika sangat takut. Jika Manika tidak patuh, kekuatan sihir Haritala akan membunuhnya.

"Aku tidak akan memberitahu siapapun, nyonya." Ucap Manika dengan patuh.

...___...

Dua hari telah berlalu. Kini Haritala akan berkunjung ke istana raja kedamaian.

Ia disambut dengan ramah. Bahkan dirinya sudah duduk di ruang makan bersama ratu, raja dan pangeran.

"Kedatangan ratu sangat berarti bagi kami," ucap raja.

Haritala tersenyum, ia menatap pangeran. Dalam pikirannya dia heran sejak tadi pangeran tidak menunjukkan ekspresi apapun, dia hanya diam dan pandangannya seperti kosong.

Raja menyadari itu. Ia dan ratu saling melirik. Ratu memberi kode mata agar raja menjelaskan pada Haritala.

"Yang mulia," panggil raja menyadarkan Haritala.

"Ya? Oh maaf," Haritala membenarkan posisi duduknya.

"Maaf, jika pangeran tidak seperti biasa. Akhir-akhir ini dia kurang sehat," raja menatap sedih Gandawasa.

"Kuran sehat? Makananku membuat alerginya kambuh?" Haritala berucap dengan panik agar tidak terlihat mencurigakan.

"Tidak, tidak sama sekali," raja tersenyum paksa, terlalu sedih untuk memberi senyuman.

"Eum, mari kita santap makanannya. Jika dingin akan terasa tidak enak," ucap ratu. Mengalihkan pembicaraan.

Dengan hati yang tak karuan, Haritala menyantap makanan yang sudah tersedia. Sesekali dia menatap pangeran yang hanya diam.

Apa ramuan itu salah? Kenapa menjadi seperti ini? Batinnya menyakan bnyk pertanyaan.

Haritala berjalan gontai memasuki gerbang istana.

"Nyonya," Manika berlari menghampiri Haritala.

"Nyonya," Manika merangkul lengan Haritala, menuntunnya menuju kamar.

Dengan perlahan Manika membantu Haritala duduk di pinggiran kasur.

"Nyonya, ada apa?" Tanya Manika khawatir.

"Manika. Aku salah, aku salah," ucap Haritala histeris.

Badannya meluruh terjatuh dari kasur, kedua tangannya menutup kedua telinganya. Haritala bergumam tidak jelas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Manika menggenggam kedua bahu haritala. Tidak peduli dia ratu, keadaan memaksa dia melakukan ini.

"Nyonya, nyonya, sadar." Suara Manika cukup keras.

Ternyata suara manika terdengar sampai luar. Gardapati dengan tiba-tiba membuka pintu, membuat Manika menoleh kaget.

3. Pesta dari ratu

Ternyata suara Manika terdengar sampai luar. Gardapati denga tiba-tiba membuka pintu, membuat Manika menoleh kaget.

Gardapati menatap kondisi Haritala. Dia terkejut ditambah lagi dengan posisi tangan Manika yang tidak sopan sama sekali.

Manika yang sadar arah pandangan Gardapati langsung menurunkan tangannya.

"Maaf." Ungkap manika.

Gardapati berjalan mendekat. Dia melihat ke seluruh isi kamar, namun tidak menemukan apapun yang mencurigakan.

"Ada apa?" Tanya gardapati.

"Nyonya, hanya sedih setelah melihat kondisi pangeran," Manika beranjak dan menatap Gardapati.

"Kau tahu kan, nyonya sangat mencintai pangeran," ucap Manika beralih menatap Haritala.

Gardapati juga menatap Haritala, sungguh keadaan yg buruk.

Apa cinta bs membuat seterpuruk ini, bahkan seperti kehilangan orang yang dicintai itu? Batin Gardapati.

"Aku salah, aku salah," gumam Haritala tak jelas.

Aku salah? Batin Gardapati. Walaupun terdengar tidak jelas namun ia yakin Haritala mengatakan "aku salah".

"Nyonya, harus istirahat." Kata Manika. Ia memotong kalimat yang ingin keluar dari mulut Gardapati.

Manika mendorong Gardapati, membuatnya berjalan mundur keluar dari kamar. Manika tahu jika Gardapti akan menanyakan apa maksud kalimat yang dikatakan Haritala. Setelah memastikan Gardapati tidak ada disekitar dekat kamar. Manika langsung menghampiri Haritala yang masih sama.

"Nyonya," Manika menyentuh sebelah pipi Haritala.

Sejak tadi Haritala terus bergumam tidak jelas. Dia selalu mengatakan dirinya salah.

"Nyonya. Aku yang salah," ucap Manika sambil menangkup kedua pipi Haritala.

Haritala berhenti, dia perlahan menatap Manika.

"Nyonya, maaf, maafkan aku. Saat itu aku tidak tahu harus mengambil buku yang mana," ucap Manika mulai menangis.

"Mungkin, mungkin aku salah mengambil buku itu,"

"Nyonya, maaf," lirih manika.

"Kau bisa membunuhku," Manika menarik lengan kanan Haritala dan menuntun untuk mencekek lehernya.

"Kau pikir setelah membunuhmu, aku bisa mengembalikan keadaan Gardawasa?" Haritala sungguh-sungguh mencekek Manika.

"Nyon–nya, ma–af." Manika terbatuk- batuk setelah Haritala melepas tangannya.

Kejadian itu benar-benar hampir membuat Haritala gila. Dia mengurung dirinya selama berminggu-minggu. Para pelayan dan pengawal kerajaan heran dengan sikap ratu mereka yang tiba-tiba berubah. Beberapa ada yang mencoba menanyakan itu pada Manika, namun Manika hanya menjawab jika ratu hanya merasa terpuruk karna kehilangan ratu dan raja ditambah dengan keadaan pangeran.

Semua orang dikerajaan sudah mengetahui jika Haritala mencintai Gardawasa. Mereka pun memaklumi itu dan percaya dengan perkataan Manika.

"Nyonya," Manika masuk membawa nampan yang dipenuhi dengan makanan dan sedikit buah-buahan.

Keadaan Haritala benar-benar kacau, wajahnya selalu sedih tidak ada keceriaan yang muncul. Setiap kali Manika memasuki kamar Haritala, dia selalu menghembuskan napas melihat ratunya seperti ini.

"Nyonya, kau ratu dan kau harus mengatur kerajaan ini, jika kau seperti ini kami harus mendengarkan perintah siapa?" Manika selalu berusaha membujuk Haritala, walaupun terkadang itu hanya sia-sia.

"Jangan seperti ini nyonya, aku jadi sedih." Kedua mata Manika mulai berkaca-kaca.

"Apa Gardawasa sudah diangkat menjadi raja?" Tanya Haritala tidak bersemangat. Bahkan dia tidak menoleh untuk menatap Manika.

"Ya nyonya, kau harus mengunjunginya dan mengucapkan selamat," ucap Manika dengan semangat.

"Aku terlalu lemah untuk berhadapan dengannya," Haritala terus menatap keluar jendela besar, dengan badan yang disandarkan.

"Nyonya–"

"Dia tidak mencintaiku Manika, dia tidak menjengukku," air matanya mengalir mulai membasahi pipi.

"Nyonya, mungkin dia tidak tahu jika keadaanmu seperti ini," timpal Manika.

"Untuk apa aku berusaha,"

"Kau bukan ratuku, ratuku adalah wanita yang kuat dan memiliki semangat yang besar. Kembalikan ratuku," kata Manika dengan suara cukup keras.

Dalam hati Manika berdo'a, jangan sampai Gardapti mendengar dan datang untuk memastikan keadaan lagi.

Benar, kenapa aku terlalu bersedih? Gardawasa pasti mengharapkan kedatanganku di sana, mungkin dia cukup malu untuk menjengukku. Batin Haritala.

Haritala tersenyum wajahnya kembali ceria. Manika melihat itu juga ikut tersenyum.

"Nyonya," Manika mendekat ingin memeluk Haritala, namun pergerakannya terhenti.

"Apa aku terlalu berbaik hati padamu?" Haritala merasa Manika tidak menghargai posisinya sebagai ratu.

Melihat wajah Manika yg sepertinya takut, Haritala tersenyum dan merentangkah kedua tangannya.

"Ini pertama dan terakhir,"

Mereka saling berpelukan melupakan kududukan mereka sebagai ratu dan pelayan.

Kini haritala kembali duduk di singgasana setelah singgasana itu tidak diisi selama beberapa minggu. Seisi istana tersenyum bahagia atas kembali terlihatnya ratu di atas singgasana.

Para dayang tersenyum sembari memberikan angin dingin pada ratu mereka.

Haritala memejamkan mata menikmati kebahagiaan ini. Semua istana bahagia karna adanya dirinya di sini, selam dia sedih semua juga sedih. Dan kini istana dipenuhi kebahagiaan karna kembali hadirnya dirinya di atas singgasana.

Aku sudah melewatkan banyak kejadian, aku harus menebus semua itu. Batin Haritala. Matanya kembali terbuka menatap para prajurit.

"Malam ini kita mengadakan pesta." Ucap Haritala tiba-tiba.

Semua yang mendengar itu tercengang. Mereka berpikir apakah yang mereka dengar itu hanya mimpi atau mereka salah dengar.

Manika yang berada di samping Haritala juga ikut tercengang, matanya membulat sempurna.

"Ya—ya, ratu bilang pesta. Semuanya siapkan makanan yang banyak untuk malam ini," perintah manika dengan suara yang nyaring.

Semua orang pun bersorak gembira, mereka sibuk ke sana kemari untuk menyiapkan pesta, tidak lupa dengan senyum yang tercetak dibibir mereka.

Malam pun tiba di mana pesta yang diadakan ratu telah dimulai. Suara alunan gamelan terdengar membuat acara semakin ramai. Para prajurit dan pengawal bercanda gurau, para pelayan yang sibuk mengantarkan makanan dan ada juga yang memasakan. Sesekali mereka tertawa saat memasak. Haritala tidak melarang mereka melakukan hal itu saat ini, ia hanya ingin menikmati kebahagiaan.

"Nyonya, terimakasih," lirih Manika.

"Tdk perlu menangis, aku hanya ingin menjadi ratu yang baik untuk kalian," Haritala tersenyum.

"Nikmatilah malam ini, tidak perlu bersedih," ucap Haritala.

Manika mengangguk lalu menghapus air matanya, menunduk sopan sebelum pergi bergabung dengan para pelayan lainnya.

Andai aku bisa bahagia seperti ini setiap harinya. Batin Haritala.

...____...

Setelah kejadian itu hidup Haritala terus diisi dengan tawa dan canda. Ia semakin dekat dengan orang-orang yang ada di istana termasuk Manika dan Gardapati. Bahkan Haritala pernah mengadakan pesta dan mengundang para rakyat.

Haritala hidup tanpa beban pikiran. Dan mulai saat itu dia tidak terlalu memikirkan Gandawasa, bahkan dia berusaha menghindari Gandawasa. Pernah diadakan pertemuan antara para petinggi kerajaan, Haritala saat itu terpaksa harus berbincang dengan Gandawasa karna dia sudah menjadi raja kedamaian ke-3. Namun bukan berarti Haritala tidak menyukai Gandawasa lagi, dia hanya memendam perasaaan itu. Ia akan mengungkapkan disaat waktu yang tepat, walaupun dia nanti akan berumur 30 tahun saat itu.

Hari demi hari berlalu minggu dan bulan dilewati dan tahun kian telah berganti. Kini Haritala yang dikenal rakyat kota Aurelius adalah ratu yang sangat ramah, dia telah menginjak usia 26 tahun dan 4 tahun kedepan dia akan berumur 30 tahun. Benar-benar penuh kesabaran dia memendam rasa selama 6 tahun, itu bukan waktu yang singkat. Semakin bertambah usia semakin bertambah tua. TUA adalah satu kata yang ditakutkan Haritala.

Dan saat ini ratu yang dikenal ramah itu tengah memandang wajahnya dicermin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!