NovelToon NovelToon

Senyum Dua Bidadari

Bab. 1 Perempuan itu

Judan mengunjungi rumah sakit sore hari ini. Ini sudah menjadi sebuah rutinitas baginya. Selain memeriksakan diri, dia juga ingin mengunjungi seseorang.

Pintu ruangan salah satu dokter yang menjadi sahabatnya, sudah mulai terlihat. Namun ada yang membuatnya menoleh ke arah lain. Mengalihkan pandangan pria ini dari pintu dokter yang ingin dikunjunginya. Seorang wanita berpakaian putih tengah melintas di lorong. Bola mata Judan tidak berhenti memandang. Karena terus saja di awasi, wanita itu menoleh. Tatapan mereka beradu.

"Tunggu!" panggil seseorang. Perempuan itu mengalihkan pandangan terlebih dahulu dari Judan karena panggilan seorang perawat. Judan mengerjapkan mata. Bola matanya mengikuti arah perempuan itu berada. Dia masih terus memandang ke arah perempuan yang terasa tidak asing di matanya.

Kenapa aku merasa pernah bertemu dengannya? batin Judan yang masih tetap merasa ia pernah bertemu dengan dokter itu di suatu tempat sebelum ini. Setelah melihat dengan seksama lagi ketika perempuan itu bicara dengan perawat, bibir Judan tersenyum miring. Aku benar. Aku pernah bertemu dengannya. Dia perempuan yang ada di bar itu. Perempuan yang tiba-tiba mendekatkan diri secara aneh padanya.

Tanpa banyak berpikir lagi, kaki Judan bersiap mendekat untuk mendekat. Menunggu waktu jeda mereka bicara karena tidak sopan jika menyela. Apalagi isi pembicaraan mereka terdengar penting.

Namun sungguh ketika dalam sekejap perempuan itu menghilang padahal ia hanya mengalihkan perhatian sejenak pada ponselnya.

Kemana dia? Judan kelimpungan. Tidak ada perempuan itu di lorong tadi. Rupanya perempuan itu sudah berjalan menjauh. Terlihat dari punggungnya yang sudah berada di ujung lorong. Perawat tadi juga sepertinya masuk ke dalam kamar pasien. Tidak mungkin dia memaksa masuk hanya untuk bertanya siapa wanita tadi. Kaki Judan terus menyusuri lorong mengejar perempuan itu.

"Dia harus aku temukan. Perempuan aneh yang mendekatkan diri padaku dan meminta tolong. Dia harus menepati janji untuk mengabulkan permintaanku karena sudah menolongnya," gumam Judan.

Bruk! Tanpa sengaja, karena terus saja fokus pada punggung perempuan itu, Judan menabrak seseorang.

"Oh, maaf," ujar Judan tanpa menoleh ke arah orang yang ditabraknya. Dia hendak bergegas mengejar perempuan itu lagi.

"Hei Judan," tegur seseorang seraya mencegahnya pergi. Fokusnya mencari perempuan itu langsung buyar mendengar ada seseorang menyebut namanya. Apalagi itu suara yang ia kenal. Judan menoleh cepat. Ternyata itu Gio, pria yang menjadi dokter pribadinya sekaligus sahabatnya.

"Ah, Gio."

"Kau ke sini untuk mencari ku bukan?" tanya Gio.

"Eh, itu ..." Judan kesulitan menjawab. Dia masih mengedarkan pandangan ke sekitar lorong rumah sakit berharap menemukan perempuan itu. Sayang, punggung perempuan itu tidak terlihat lagi. Entah belok ke kanan atau ke kiri. Atau bahkan mungkin masuk ke dalam salah satu kamar pasien di lorong ini.

Gio menaikkan alisnya menunggu jawaban Judan. Pria ini tampak kebingungan. Menoleh ke arah temannya, kemudian ke arah lorong secara bergantian. Gio melihat itu sedikit aneh.

"Hei, apa yang kau lakukan?" tegur Gio lagi.

Sial, umpat Judan dalam hati.

"Kau sedang mencari seseorang?" tanya Gio ikut mengedarkan pandangan ke arah lorong rumah sakit dengan tatapan heran. Judan melirik ke arah Gio yang ikut melakukan hal yang serupa dengan dirinya.

"Tidak," ujar Judan cepat.

"Benarkah? Aku lihat kamu terus saja melihat ke arah sana." Dagu Gio menunjuk ke arah lorong di mana sejak tadi menjadi pusat tatapan mata Judan.

"Aku datang untuk mencari mu. Aku mau ke ruangan mu, " ujar Judan mengakhiri pencariannya. Memutus kalimat Gio untuk menanyakan tentang siapa yang ia cari.

"Oh, ya? Apa kamu mulai lupa dimana ruangan ku sekarang?" cibir Gio yang merasa aneh Judan kelimpungan mencari ruangannya. Karena ini bukan pertama kalinya dia datang ke rumah sakit ini memeriksakan diri.

"Bukan begitu." Bibir Judan tersenyum. Pria ini sadar sepenuhnya kalau dia terlihat sangat aneh tadi. "Aku sedang kebingungan sejenak karena lelah. Ayo, kita ke ruangan mu sekarang. Obat penenang ku sudah habis. Aku ingin mendapatkannya lagi." Judan menggiring pria ini untuk menuju ke ruangannya.

"Baiklah. Ayo," ujar Gio. Judan membalikkan badan untuk kembali ke tempat tadi. Namun mata Judan masih melirik ke arah lorong, berharap bertemu wanita itu lagi.

Aku yakin bisa menemukan dia lagi. Karena dia dokter, pasti ia akan mudah di temukan di rumah sakit ini. Bersiaplah, perempuan. Aku akan menagih janjimu.

***

"Apa kamu masih merasa sakit kepala yang berlebihan?" tanya Gio sambil melihat ke arah layar komputer di depannya. Sementara itu, Judan berbaring di atas ranjang pemeriksaan.

"Ya." Mata Judan terpejam.

"Bukankah ini sudah tujuh tahun," kata Gio yang kembali mengingatkan waktu yang sudah berlalu setelah hari kematian itu.

"Ya, tapi untukku terasa masih kemarin Gio," desah Judan terasa sedih. Gio melirik ke arah ranjang. Pria yang masih muda darinya itu, masih memejamkan mata. Lalu Gio melihat ke arah layar komputer lagi.

Rasa sakit di kepala Judan akibat kematian kakaknya masih terasa. Kejadian itu masih teringat jelas di ingatannya. Tidak akan pernah hilang dan tetap membayangi dirinya. Itu membuat trauma dalam diri Judan.

"Tidurmu juga masih terganggu?" tanya Gio.

"Tentu. Justru di malam hari itu adalah waktu yang paling menyiksa," jawab Judan. Gio mengangguk. Dia sangat mengerti keadaan adik temannya ini. Kematian kakak yang sangat disayanginya membuatnya terpukul. Apalagi sebelumnya mereka sudah terpisah lama.

Gio melirik ke arah foto mereka berdua. Dimana ada dia dan Aryan, kakak Judan. Pria itu memilih pergi dari rumah ketika cintanya ditentang keluarganya. Dia memilih hidup dengan perempuan yang amat dicintainya.

"Aku akan menambah resep obat tidurmu Judan," kata Gio. Judan membuka mata. Pria ini lebih muda enam tahun dari Gio, karena dia adalah adik temannya. "Tapi aku harap, kamu bisa tidur tanpa obat penenang. Sangat tidak baik mengandalkan obat itu."

"Aku tahu, tapi aku terus terjaga sepanjang malam jika tidak mengonsumsi obat itu, Gio." Ini sebuah bantahan dari Judan. Gio tahu itu. Dia hanya menyarankan. Judan bangun dari ranjang dan duduk di kursi depan Gio. Bibir Gio bungkam mendengar bantahan itu.

Sungguh sulit bagi Judan ketika tahu kakak yang lama telah hilang, kemudian muncul dalam keadaan tidak sehat. Tidak lama setelah itu meninggalkan dirinya selama-lamanya.

Bingkai kecil yang ada di meja Gio membuat Judan mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Itu foto Gio dan kakaknya.

"Apa kamu pikir, jika dia tidak menikah dengan perempuan itu, dia akan tetap hidup sampai sekarang?" tanya Judan dengan sorot mata sedih tetap memandang ke arah foto yang ada di tangannya.

"Ini jalan yang sudah ia pilih, Judan. Dia pasti ingin menikah dengan perempuan yang dia cintai," kata Gio bijak.

"Sepertinya begitu." Judan tersenyum pedih.

...___________...

Bab. 2 Waktu itu di bar

"Namun aku tetap tidak bisa memaafkan perempuan itu, Gio." Judan menggeram kesal. Masih saja seperti itu. Dendam yang terasa kekanak-kanakan, tapi begitulah perasaan Judan.

"Buang saja benci mu itu. Toh sekarang mereka tidak bisa bersama," ujar Gio berkata benar. Karena keduanya memang sudah terpisah.

"Benar, tapi dia tetap jadi orang yang paling ingin aku hindari," lirih Judan. Gio mendongak melihat ke arah adik temannya.

"Ya, kamu boleh menghindarinya. Namun tidak perlu membencinya. Aku rasa dia sudah cukup mendapatkan banyak kebencian dari keluargamu, jadi aku rasa kamu tidak perlu ikut membencinya." Gio memberi nasehat. Judan menipiskan bibir mendengar nasehat itu.

***

Sementara itu di balik dinding setelah Judan dan dokter Gio masuk ke dalam ruangan, perempuan yang tengah di cari Judan tadi mencoba mengintip dari tempat persembunyiannya.

"Ternyata aku sudah jauh dari pria itu. Hhh ... Sial." Perempuan ini mengumpat pelan. "Kenapa bisa bertemu dengannya di sini?" keluh perempuan ini dengan panik.

Rupanya perempuan yang di cari Judan menyadari bahwa ia sedang di ikuti. Maka dari itu ia sengaja berjalan agak cepat.

"Pasti dia pasien rumah sakit, tapi melihat tubuhnya yang sehat, dia mungkin keluarga pasien. Aku harus berhati-hati ketika di rumah sakit. Aku tidak mau bertemu dengannya." Perempuan ini tidak melihat Judan yang sedang bersama dokter Gio tadi karena dia terlalu sibuk untuk segera kabur. "Aku pikir, aku hanya merasa dia mirip seseorang yang aku kenal, tapi ternyata dia pria di bar itu," katanya dengan mata tidak percaya.

"Hei Runi," tegur seseorang.

"Ah!" pekik perempuan ini terkejut. Teman yang menegurnya menatap dengan heran.

"Kenapa kamu berteriak?" tanya perempuan berkacamata menatap Runi aneh. Runi menoleh ke kanan dan kiri dan tersenyum sambil mengangguk ketika orang yang melintas melihat ke arahnya. Runi langsung melebarkan matanya lega. Ini kedua kalinya.

"Aku pikir pria itu," ujar Runi masih mengamati sekitarnya.

"Pria? Mantan kamu itu?" tanya teman Runi bernama Lena.

"Bukan. Ini pria lain." Runi menatap Lena lurus-lurus. Dia tidak ingin membahas mantannya. Sesaat wajahnya tampak keras.

"Pria lain? Aku baru tahu." Lena berusaha mengingat kalau temannya tengah dekat dengan seseorang. Karena setahu dia, Runi baru putus dengan kekasihnya yang juga bekerja di rumah sakit ini.

"Sudahlah. Jangan bahas itu. Kita bahas pekerjaan kita saja," kata Runi ingin mengalihkan topik pembicaraan.

Bar. Kata itu sama seperti yang di katakan Judan ketika ingat wajah perempuan ini. Keduanya memang pernah bertemu di salah satu bar di kota ini. Tepatnya ketika Junda merasa kalut karena teringat lagi kematian kakaknya.

Judan merasa tidak bisa tidur. Ia memilih menghabiskan malam dengan minum minuman beralkohol di salah satu bar yang letaknya di area lantai dasar. Tubuh Judan setengah membungkuk menghadap bartender yang tenang meramu minuman. Dia hanya sendirian tanpa seseorang yang menemani. Ya, Judan hanya ingin sendirian.

Tangannya terus menuangkan minuman beralkohol itu sedikit demi sedikit ke dalam gelasnya. Lalu menyesapnya perlahan seraya merasakan pahitnya minuman di tangannya.

"Padahal aku ingin menemui mu saat aku sudah menyelesaikan studi ku, ternyata kamu justru menemui ku dengan keadaan yang sudah berada di ambang kematian," gumam Judan menyesal. Judan meneguk minuman itu. "... tapi memang semuanya adalah takdir. Mungkin sudah menjadi keinginanmu dalam kehidupan ini berjuang dengan perempuan yang kamu cintai." Judan menjeda. "Aku jadi muak dengan perempuan yang berhasil membuatmu keluar dari rumah ibu. Pasti dia sudah meracuni mu dengan banyak kata-kata indah hingga membuatmu rela membuang keluargamu sendiri." Judan terus saja meracau dengan lirih.

Semua itu membuat Judan membenci wanita yang dianggapnya sudah merebut kakaknya tercinta, meski tidak tahu bagaimana rupa wanita itu.

Bruk! Seseorang duduk di kursi bar yang berada tepat di sampingnya. Dia hanya melirik sekilas dan kembali fokus pada minumannya. Mungkin perempuan ini tidak menemukan kursi lain karena bar terlihat cukup ramai.

Awalnya dia tidak peduli, tapi di luar dugaan, perempuan itu menarik lengannya untuk berdekatan seraya berbisik, "Tolong bantu aku. Tetap di sampingku," pintanya. Judan tidak mengerti. Dia yang kebingungan hanya diam setuju seraya menatap perempuan ini heran dan kaget.

Samar-samar, terdengar keributan di belakang Judan.

"Kemana wanita itu? Kurang ajar. Beraninya dia menendang kakiku," geram seorang pria yang datang dengan wajah kesal. Matanya beredar ke sekitar bar dan menemukan perempuan dengan ciri-ciri yang sama dengan perempuan yang ia lihat tadi. "Itu sepertinya wanita itu." Pria ini bergegas melangkah untuk mendekat. Meskipun tidak menoleh, perempuan itu tahu bahwa pria yang mengejarnya berjalan mendekatinya.

"Sial," umpat perempuan ini pelan. "Maaf," ujar perempuan ini pada Judan. Awalnya pria ini tidak paham kata maaf itu untuk apa, tapi tiba-tiba wanita ini mendekatkan wajahnya pada pipi Judan. Pria ini melebarkan mata. "Tetap seperti ini, jangan bergerak," bisik perempuan asing ini. Entah karena apa, Judan diam tidak bergerak mengikuti arahan perempuan itu. Wajah mereka begitu dekat.

"Sepertinya bukan. Perempuan itu bukan bersama kekasihnya. Dia sendirian tadi." Melihat kedekatan yang di tunjukkan, mereka merasa keliru. Judan melihat orang-orang itu pergi dan mencari wanita berambut panjang lainnya.

Dari suara di sekitar, perempuan itu tahu kalau orang-orang yang mengejarnya sudah pergi.

"Sepertinya mereka sudah pergi," ujar perempuan itu seraya menjauhkan pipinya dari pipi Judan. Bola mata Judan mengerjap seraya menatap perempuan di depannya.

"Jadi kau menghindari mereka? Kau pencopet atau semacamnya, ya?" tuduh Judan tanpa basa-basi.

"Aku seperti itu ya?" Perempuan ini mendengus. "Sayangnya bukan. Terima kasih sudah membantuku. Kalau takdir setuju, kita akan bertemu lagi. Saat itu aku bisa mengembalikan hutangku ini," ucap perempuan lalu pergi begitu saja. Judan mengerjapkan matanya lagi. Dia serasa baru bangun tidur.

Apa yang terjadi? Ada apa barusan? Siapa dia?

"Akhirnya aku menemukan mu di sini, Judan. Gio datang. Pria itu duduk di samping Judan. Tempat dimana perempuan tadi duduk. "Apa kamu sedang di temani seorang wanita?" tebak Gio yang merasa ada aroma harum lembut parfum wanita.

"Tidak mungkin," bantah Judan.

"Benarkah? Kenapa aroma parfum ini masih terasa, seakan baru saja ada seorang perempuan di sini." Gio menyimpulkan. Judan hanya tersenyum tipis. Dia juga merasakan aroma wangi milik perempuan tadi karena menempel dekat dengan pipinya. "Aku rasa sebaiknya kamu juga mencari perempuan untuk jadi pendamping mu." Gio memanggil bartender untuk memesan minuman.

"Aku masih punya tanggung jawab untuk membesarkan Sofia," ujar Judan.

"Benar, tapi tidak harus dengan terus sendirian tanpa kekasih. Kamu bisa melakukan tanggung jawab mu dengan menjalin hubungan dengan seorang perempuan."

"Lalu bagaimana denganmu?" Karena tidak ingin terus di kejar dengan nasehat, Judan ganti menyerang Gio dengan pertanyaan serupa.

"Jangan khawatirkan tentangku. Mungkin sebentar lagi kamu akan mendapat undangan dariku," kata Gio bangga.

"Wah, melangkah lebih cepat rupanya." Judan menepuk punggung Gio bangga.

...______...

Bab. 3 Gadis cilik yang cantik

“Papa!” pekik seorang bocah berumur 7 tahun keluar dari gerbang sekolah. Judan melambaikan tangan sambil melebarkan senyum. Bu Misna sebagai pengasuh bocah itu ikut tersenyum. Namun mendadak senyum Bu Misna berubah dan melebarkan mata ketika melihat bocah itu menuju ke tempat majikannya seraya berlari.

“Jangan berlari, Nona!” pekik Bu Misna cemas.

“Tidak apa-apa, Bu Misna,” ujar Judan menenangkan pengasuh putrinya.

Hap! Dalam sekejap, tubuh gadis itu sudah berada dalam pelukan Judan. Lalu pria ini mengecup pipi putrinya dengan penuh sayang.

“Aku mencintai papa.”

“Papa juga mencintaimu, sayang ...” Judan mengecup kening gadis cilik ini.

Bu Misna menghela napas lega juga haru melihat keduanya. Matanya sampai berkaca-kaca sejenak.

“Kenapa bibi terlihat sedih barusan?” tegur Sofia yang tidak sengaja menemukan bibi pengasuh menghapus air mata. Judan menoleh juga ke arah Bu Misna mendengar itu.

“Oh, tidak. Bibi tidak sedih,” elak Bu Misna seraya tersenyum. Judan mengerti apa yang sedang di pikirkan oleh pengasuh Sofia.

“Bibi pengasuh tidak sedih. Beliau itu sedang bahagia sayang,” ujar Judan seraya menurunkan tubuh Sofia ke tanah.

“Benarkah? Mana ada bahagia itu menangis, papa?” tanya Sofia heran. Logikanya, air mata itu untuk menangis. Lalu tertawa itu untuk bahagia. Anak kecil pasti pahamnya seperti itu bukan?

“Mungkin kalau masih kecil memang belum merasakannya, tapi suatu hari nanti ... Kalau kamu sudah mulai beranjak dewasa, kamu akan tahu kenapa menangis itu kadang karena hal menyenangkan?” jelas Judan lembut.

“Iya, Pak Judan benar Nona ...” Bu Misna langsung membela majikannya.

“Ow, begitu ...” Sofia mengangguk-anggukkan kepala berusaha mengerti. “Kita akan pulang langsung ke rumah atau kemana, Pa?” tanya Sofia berganti topik pembicaraan.

“Apa Sofia masih ingin jalan-jalan?” tanya Judan merasa bocah ini enggan pulang.

“Iya, aku masih ingin jalan-jalan.” Sofia langsung mengaku. Senyumnya melebar karena tertangkap basah.

“Baiklah. Kita akan jalan-jalan ke tempat yang Sofia ingin.” Judan mengabulkan permintaan putrinya.

“Jadi papa ingin menemaniku bermain?” tanya Sofia antusias.

“Ya.”

“Horee!!” Sofia bertepuk tangan. Bu Misna juga bertepuk tangan pelan. Ikut merayakan kegembiraan nona kecil asuhannya. “Ayo kita ke tempat bermain!” seru Sofia mengatakan tempat yang ingin dikunjunginya sekarang.

“Baiklah, ayo masuk ke mobil.”

 “Eh, tunggu.” Tiba-tiba bocah ini mengerutkan wajahnya. Kakinya yang tadi ingin melangkah, urung.

“Ada apa Nona?” tanya Bu Misna heran.

“Ada apa Sofia?” Judan juga heran.

“Memangnya enggak apa-apa, papa bolos kerja? Bukannya sekarang ini orang sibuk bekerja?” Kalimat Sofia mengejutkan. “Bukannya bolos itu enggak baik, Pa?” Bahkan pertanyaan ini juga membuat Judan dan Bu Misna diam sejenak karena terkejut.

“Em ... memang bolos itu enggak baik, tapi bukannya tidak mempedulikan putrinya juga enggak baik?” Judan berusaha menjawab dengan bijak. Meskipun sebenarnya ini memang jam sibuk, dia hanya ingin meluangkan waktu untuk gadis cantik ini.

“Iya, juga ... “ Sofia mulai ragu. “Ya, sudah. Papa boleh temani aku bermaiiiinnn!” seru Sofia kegirangan. "Ke taman bermain yang ada di dekat rumah sakit saja, Pa." Sofia sering di ajak Judan untuk menemui Gio di sana. Mereka pun mulai berjalan menuju ke mobil yang di parkir di depan sekolah ini.

“Selamat siang nona Sofia,” sapa Rujat sopir sekaligus tangan kanan Judan dengan ramah.

“Selamat siang, Om Rujat.” Sofia membalas dengan ramah dan sopan.

“Silakan masuk ...” Rujat membuka pintu belakang untuk nona muda.

“Terima kasih, Om ...” ucap Sofia berlagak bagai wanita berkelas. Bi Misna tergelak melihat tingkah gadis ini. Junda juga ikut tersenyum. Sepertinya Sofia pernah melihat seorang putri bersikap dalam film anak-anak.

“Tidak perlu membuka pintu untukku, Rujat,” cegah Judan ketika Rujat hendak berlari menuju pintu lainnya. Pria itu mengangguk. Dia kemudian masuk ke dalam kursi pengemudi setelah mempersilakan Judan masuk lebih dulu.

Sungguh polos, bocah itu langsung tertidur pulas ketika duduk di atas mobil. Mungkin dia sudah lelah bermain di sekolahnya tadi.

“Ibu berhasil meneleponku, siapa yang membocorkan nomor ku?” tanya Judan setengah geram. Bi Misna dan Rujat langsung tegang.

“Maaf, Pak. Saya tidak berani melakukannya,” kata Bi Misna.

“Saya juga demikian, Tuan. Saya tidak berani melakukannya.” Rujat langsung ikut menyatakan bukan dirinya.

“Cari orang di dalam perusahaan yang melakukannya. Aku yakin pasti ada mata-mata ayah di dalamnya,” perintah Judan.

“Baik Tuan.” Rujat siap melaksanakan perintah.

Semua orang terdekat Judan tahu bagaimana pria ini memprioritaskan nona kecil itu dengan sedemikian rupa. Karena Sofia sebenarnya bukanlah anak kandung Judan. Pria ini masih lajang. Hanya saja, sejak kakak laki-lakinya meninggal dunia karena penyakit leukemia, dia mengambil alih menjadi orangtua Sofia. Meskipun ditentang oleh keluarganya, dia memilih tinggal di rumah sendiri dengan gadis lucu itu.

***

Runi duduk di bangku taman. Taman bermain anak-anak ini memang dekat rumah sakit tempatnya bekerja. Di tangannya ada es teh dalam cup bening. Karena haus, dia menyedotnya agak keras. Hingga isi es tehnya tinggal setengah dalam sekejap. Saat itu ia melihat seorang gadis cilik tengah bersembunyi di balik rerimbunan tumbuhan pagar di dekatnya.

Entah kenapa, mata Runi terpaku pada gadis itu. Tubuhnya membeku seketika. Saat memperhatikan gadis itu, ia terhanyut. Mata, bibir, dan auranya mengingatkan dia pada seseorang. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Ia merasa sedih dalam sekejap.

"Nona Sofia! Nona Sofia!" teriak Bu Misna yang kebingungan mencari gadis ini. Suara itu mengejutkannya. Hingga air mata yang merebak gagal membasahi pipinya. Tangan Runi mengusap matanya sejenak. Ia pun tersadar.

"Hihihi ..." Gadis itu cekikikan kegirangan karena berhasil membuat Bu Misna kebingungan. Bola mata Runi mengerjap, bibirnya ikut tersenyum melihat bocah itu senang. Tiba-tiba, gadis itu mimisan. Runi segera beranjak dari duduknya dan mendekati Sofia yang mengernyitkan kening ketika menggosokkan tangannya pada hidung, ada darah menempel di punggung tangannya. Awalnya gadis ini tenang, tapi kelamaan bergidik ketika melihat darah makin mengalir dari hidungnya.

"Gadis cantik, tidak apa-apa." Runi langsung mencoba menenangkan.

Sofia menoleh. Dia heran ada orang asing. di dekatnya.

"Tante bantu buat membersihkannya ya? Bolehkan?" tanya Runi lembut. Karena takut melihat darah di tangannya, Sofia menganggukkan kepala setuju. "Ayo duduk dulu." Dia juga patuh ketika Runi memintanya duduk dengan benar.

"Lalu, condongkan tubuh kamu ke arah depan. Coba pegangin hidungnya ya, biar itunya enggak keluar." Masih dalam rasa takut karena ada darah, Sofia mengikuti arahan Runi. Dari sakunya, Runi mengeluarkan tisu dan membersihkan bekas darah yang mengalir tadi. "Coba sekarang dilepas," pinta Runi. Ternyata darah tidak lagi mengalir. "Kamu bisa turunkan tanganmu sekarang." Runi menghela napas lega. Bocah ini tidak mimisan lagi.

...______...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!