Pagi ini, aku berangkat ke sekolah bersama pacarku. Bisa dibilang setiap hari aku sering diantar jemput olehnya. Meskipun aku beberapa kali mengatakan bahwa aku akan berangkat sekolah sendiri, tapi tetap saja dia datang ke rumahku untuk berangkat sekolah bersama.
Aku sangat beruntung memiliki Raka. Sebab dia selalu memperlakukanku seperti layaknya seorang tuan putri.
Terkadang aku merasa tidak enak karena perlakuannya, karena itu membuat aku merasa tidak berguna.
Ya benar, dia selalu membantuku meskipun sebenarnya aku bisa melakukan hal yang menurutku mudah.
"Jen, tugas kamu dibawa gak?" tanya Raka yang membuat lamunanku menjadi buyar.
"Emang ada tugas ya?"
"Ada, sayang."
"Aduh! gimana dong?"
Raka memberhentikan motornya dipinggir jalan dan dia menyuruhku untuk turun.
Tak lama, Raka memberikan buku tugasnya kepadaku. "Cepat tulis! lagipula masih ada waktu."
"Nanti aja di kelas."
"Sekarang! kalau nanti takutnya gak keburu."
Aku mengambil buku tugas Raka dan setelah itu aku menyalin jawabannya ke buku tugasku.
Sambil mengerjakan tugas, aku menoleh kearah Raka yang sedang tersenyum kearah ponselnya.
"Lagi chat cewek ya? kok senyum-senyum kayak gitu."
"Enggak. Aku lagi chat sama Rendi."
"Oh gitu." Aku kembali menyalin jawabannya Raka karena takut nantinya kita akan terlambat datang ke sekolah.
...****...
Setibanya di kelas, sahabatku yang bernama Tasya datang menghampiriku dan Raka. "Ini buat kalian." Tasya memberikan minuman kepadaku dan juga Raka.
"Makasih," ujarku dan Raka bersamaan.
"Oh iya, Ka. Gue boleh minta tolong gak?" ujar Tasya.
"Boleh. Mau minta tolong apa?" kata Raka. Tasya menarik tangan Raka dan membawanya keluar kelas.
Aku hanya tersenyum tipis sambil menatap kepergian Raka dan Tasya, setelah itu aku duduk di kursi.
Disisi lain, ternyata ada seseorang bernama Jevan yang menyaksikan ketika Jena ditinggalkan oleh Raka dan Tasya. Ya, Jevan memang dari awal sudah memperhatikan dari sejak kedatangan Jena hingga akhirnya Jena ditinggalkan oleh Raka dan Tasya.
"Pacar sama sahabat lo mau kemana?" tanya Jevan yang tiba-tiba duduk dikursi depan.
"Gue gak tahu."
"Hati-hati. Takutnya mereka punya hubungan spesial."
Aku menatap tajam kearah Jevan. "Gak mungkin lah!"
Dari dulu Jena, Raka dan Tasya sering bermain bersama. Jadi Jena tidak merasakan cemburu sama sekali kepada kedekatan Raka dan Tasya.
"Btw, hubungan lo sama Raka udah berapa lama sih?"
"Hmm... udah 1 tahun."
"Lo bosan gak menjalin hubungan sama Raka?"
"Ya enggak lah!"
Aku menyipitkan mataku karena aku merasa curiga kepada Jevan yang terus bertanya tentang hubunganku dengan Raka.
"Lo suka ya sama gue?"
Jevan menelan ludahnya karena terkejut mendengar perkataan Jena. "Enggak."
"Terus kenapa tanya-tanya tentang hubungan gue sama Raka?"
"Gue cuma ingin tahu aja."
Aku pergi keluar untuk mencari keberadaan Raka dan Tasya. Bukan karena aku curiga, tapi aku bosan jika tidak ada mereka berdua.
"Rendi, lihat Raka sama Tasya gak?"
Rendi terdiam sejenak. "Gue gak lihat."
"Cari Raka sama Tasya ya?" tanya Rina, lalu Jena hanya mengangguk.
"Tadi gue lihat mereka kearah rooftop."
Kemudian, aku bergegas pergi ke rooftop untuk menemui Raka dan Tasya. Aku sangat penasaran dengan apa yang keduanya lakukan di rooftop. Tapi yang pasti Raka sedang membantu Tasya karena sebelumnya Tasya berkata bahwa dia butuh bantuan Raka.
Tidak membutuhkan waktu lama, aku sampai di rooftop. Aku melihat Raka dan Tasya yang sedang memperhatikan sebuah kardus. Karena penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri keduanya.
"Lagi apa?" tanya Jena dan sontak membuat Raka dan Tasya melihat kearah Jena.
"Lagi kasih makan anak kucing," jawab Raka.
"Itu kucing siapa?"
"Gak tahu. Tapi tadi aku temukan kucing itu didekat lapangan bola," jelas Tasya.
...****...
Jam pelajaran pertama dimulai. Semua murid fokus memperhatikan materi dari guru. Sedangkan aku justru fokus menatap kearah Raka.
Ya, kita memang duduk bersama dan tentunya aku merasa sangat senang. Meskipun begitu, kita sepakat agar tidak mengobrol disaat guru sedang menjelaskan. Karena jika sampai mengobrol, mungkin guru akan menyuruh kita untuk duduk secara terpisah.
Jari-jari tanganku mulai mendekat dan tentunya aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggenggam tangan Raka.
Namun sayangnya, bukannya mengeratkan genggaman, Raka justru menjauhkan tanganku.
"Kejam."
Raka menoleh sekilas kearahku sambil tersenyum, setelah itu ia kembali fokus memperhatikan materi yang disampaikan oleh guru.
"Jena!" panggil Bu Ani.
"Iya, Bu."
"Tolong kerjakan nomer 1 di papan tulis."
Jena terdiam sejenak. "Baik, Bu."
Aku membawa buku paketnya dan segera mengerjakan soal yang diperintahkan oleh Bu Ani.
"Bukan begitu cara pengerjaannya," kata Bu Ani dan otomatis aku langsung menghapus jawabanku.
Aku melihat kearah Raka karena siapa tahu Raka dapat membantunya. Namun sayangnya, Raka malah mengobrol dengan Tasya yang duduk didepannya.
Tatapan Raka begitu tulus kepada Tasya dan itu membuatku sedikit cemburu karena mengingat saat tadi Jevan menyuruhku untuk berhati-hati karena siapa tahu Tasya menikung.
Omongan Jevan tadi sedikit membuatku ketakutan. Karena setelah dipikir-pikir, akhir-akhir ini Raka selalu mendapatkan panggilan telepon dari Tasya.
"Ada yang mau bantu Jena?" tanya Bu Ani kepada murid-murid yang lain.
Pandanganku tertuju kepada Raka untuk memberi aba-aba supaya Raka membantuku.
"Ayo siapa yang mau bantu Jena mengerjakan soal?" tanya Bu Ani lagi.
Aku menggigit bibir karena aku sangat kecewa dengan Raka. Padahal aku tahu bahwa Raka bisa mengerjakan soalnya sebab Raka selalu rangking satu di kelas.
Tiba-tiba seseorang mengangkat tangan. "Saya mau bantu Jena, Bu."
Semua pandangan tertuju kepada Jevan. Semuanya terkejut karena bisa dibilang Jevan merupakan anak yang pemalas, namun kali ini dia terlihat seperti seseorang yang sangat ambisius.
Jevan berjalan menghampiriku, lalu dia mengambil spidol yang aku genggam. "Pacar lo kan rangking satu, tapi kok dia gak mau bantu," ujar Jevan dengan suara yang sangat kecil.
Mendengar perkataan Jevan membuat Jena terdiam karena perkataan Jevan sangatlah benar. Kalaupun misalnya Raka memang tidak bisa, seharusnya dia tetap maju ke depan karena bagaimanapun juga saat ini Jena membutuhkan bantuan.
"Udah selesai, Bu." Jevan memberikan spidol kepada Bu Ani.
"Ya sudah kalian berdua boleh kembali duduk ke kursi masing-masing," suruh Bu Ani. Dengan begitu Jena dan Jevan segera pergi ke kursi masing-masing.
"Tadi kamu kenapa gak bantu aku?"
Raka menoleh kearahku. "Aku malas ke depan."
Jawaban Raka sungguh membuatku kesal. Bagaimana bisa dia menjawab dengan jawaban seperti itu.
"Menyebalkan banget jadi orang."
"Siapa? aku?"
"Pikir sendiri!"
"Ya ampun. Masa cuma gara-gara itu kamu marah sama aku."
Meskipun hanya masalah sepele, namun tetap saja aku sangat kesal kepada pacarku karena dia seperti tidak peduli jika pacarnya sedang mengalami kesulitan.
Disaat jam istirahat, aku memilih untuk pergi ke UKS karena jika ke kantin pastinya aku akan bertemu dengan Raka.
Sebenarnya dari tadi Raka menelpon ku, tetapi aku terus menolaknya karena aku masih marah karena kejadian tadi.
Tiba-tiba pintu UKS dibuka oleh seseorang dan ternyata orang itu adalah Jevan. Ya, aku memang tahu bahwa Jevan pasti datang ke UKS sebab aku beberapa kali melihatnya ke UKS disaat jam istirahat.
"Lo ngapain disini?" tanya Jevan.
"Gue pingin rebahan."
"Lo marah ya sama pacar lo? makanya lo gak istirahat bareng dia," tebak Jevan.
"Enggak kok."
Disaat Jevan sedang menikmati makanannya, entah kenapa aku merasa lapar. Bahkan saat ini perutku tiba-tiba berbunyi, menandakan bahwa diriku sangat kelaparan.
"Lapar ya? sampai bunyi gitu perutnya."
"Enggak kok."
"Ayo kesini! kita makan bareng."
"Gak mau!"
Jevan mendekat kearahku, lalu ia menaruh makanannya di kasur yang ditempati olehku.
"Ayo makan! atau mau gue suapi?"
"Lo suka ya sama gue? kok perhatian banget."
"Kalau gue suka sama lo emang kenapa?"
Perkataan Jevan membuatku terdiam. Entah yang dikatakannya benar atau tidak, tapi yang jelas saat ini aku menjadi sangat canggung didekatnya.
Ting!
Aku melihat ponselku ketika melihat ada satu pesan masuk. Aku terkejut karena baru kali ini teman kelasku yang sangat pendiam tiba-tiba mengirim pesan.
"Tumben banget Ara kirim pesan."
"Ara? emang dia kirim pesan apa?" tanya Jevan penasaran, karena biasanya Ara mengirim pesan hanya saat penting saja.
Aku membaca pesan itu dan aku sebenarnya bingung mengapa Ara ingin bertemu denganku sekarang, padahal bisa saja nanti dia berbicara denganku di kelas.
"Ara pingin ketemu sama gue. Kayaknya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."
"Ya udah suruh dia kesini aja."
Aku mengangguk dan segera membalas pesan dari Ara untuk memberitahunya bahwa saat ini aku berada di UKS.
Beberapa menit kemudian, Ara masuk kedalam UKS dengan raut wajah yang nampak canggung.
Wajar saja, Ara sangat pemalu. Jadi pastinya ia sangat canggung apalagi baru kali ini dia ingin mengobrol denganku.
"Mau bicara apa?"
Ara memandang kearah Jevan. "Bicara berdua boleh gak?"
"Oh oke." Jevan dengan sengaja menaruh handphonenya di ranjang untuk merekam pembicaraan antara Jena dan Ara.
"Jev, handphone lo!" teriakku, namun Jevan berkata bahwa dirinya akan ke toilet, maka dari itu ia menitipkan handphonenya kepadaku.
Setelah Jevan keluar, Ara mendekat kearahku sambil memainkan ponselnya. Dan tentu saja aku kebingungan karena katanya Ara akan bicara sesuatu, tetapi saat ini dia malah fokus dengan ponselnya.
"Ada apa sih?"
"Tunggu sebentar."
Beberapa saat kemudian, Ara menunjukkan sebuah foto kepadaku. Foto itu adalah foto Raka dan Tasya yang sedang berada di sebuah cafe.
"Waktu itu gue lihat Raka sama Tasya di cafe," jelas Ara.
"Iya, terus kenapa?"
"Kayaknya Raka selingkuh dari lo."
"Main berdua kan bukan berarti selingkuh," jelas ku, padahal sebenarnya aku juga takut jika yang dikatakan Ara memanglah benar.
Ara terdiam sejenak karena bingung harus berkata apa lagi supaya Jena mempercayai perkataannya. Maka dari itu, Ara memilih untuk pamit pergi.
"Mereka gak mungkin mengkhianati gue dan juga wajar aja dong kalau mereka ke cafe. Siapa tahu waktu itu mereka memang tidak sengaja ketemu dan akhirnya mereka memilih untuk makan bersama," gumam ku.
Tiba-tiba Jevan kembali masuk kedalam UKS dan dia buru-buru mengambil ponselnya karena takut Jena mengetahui bahwa dari tadi percakapannya terekam.
"Gue pergi dulu ya."
"Mau kemana?"
"Ke kantin, soalnya gue lapar banget." Aku bergegas pergi menuju kantin.
Skip
Sesudah membeli makanan di kantin, aku segera menghampiri Raka dan Tasya. Mereka terdiam saat aku mulai duduk dan itu membuat Jena merasa bahwa ada yang disembunyikan oleh keduanya.
"Lagi membahas apa?"
"Gak lagi bahas apa-apa, kita cuma ngobrol random aja," jelas Raka.
"Guys, gue ke kelas ya soalnya gak mau ganggu kalian," ujar Tasya sambil pergi.
Pandangan Raka tertuju pada Tasya yang mulai menjauh dan itu membuktikan bahwa Raka merasa kehilangan saat ditinggal Tasya. Padahal saat ini sudah ada pacarnya yang duduk didepannya, tapi entah kenapa dia justru melihat wanita lain.
"Oh iya, maaf ya soal tadi. Aku orangnya emang kurang peka," kata Raka.
"Iya, aku udah maafkan."
Aku ingin sekali memastikan tentang ucapan Ara. Namun setelah dipikir-pikir, percuma saja karena mana mungkin ada seseorang yang mengakui bahwa dirinya selingkuh.
"Ka, kamu bosan gak sama aku?"
"Kenapa kamu tanya kayak gitu?"
"Untuk memastikan aja, karena siapa tahu kamu bosan sama aku."
"Jujur sih aku pernah bosan dan kadang aku merasa capek aja sama sikap kamu yang terlalu mengatur."
Aku terdiam karena baru kali ini Raka menyampaikan unek-unek kepadaku. Dan aku mengakui bahwa diriku memang sering mengatur Raka.
"Maafkan aku. Mulai sekarang juga aku janji gak akan mengatur kamu. Kamu bebas mau ngapain aja. Mau kamu merokok, begadang sampai subuh juga silahkan. Bahkan kalau kamu mau pergi kemanapun juga kamu boleh kok gak mengabarkan aku."
"Serius gak akan kayak gitu lagi?"
"Iya. Tapi kamu harus janji, kamu gak boleh selingkuh."
Raka terdiam sejenak. "Iya, aku janji."
Trining! Trining!
Disaat aku ingin melihat layar ponsel Raka, dengan cepat Raka langsung menolak panggilan teleponnya dan dia memasukkan ponselnya kedalam saku celana.
"Siapa yang telepon?"
"Aku gak tahu. Mungkin itu orang yang salah sambung."
"Kenapa gak coba dijawab dulu teleponnya? kan siapa tahu orang itu kenal sama kamu."
"Aku malas jawab telepon dari nomer yang gak aku simpan."
Aku mencoba memakluminya karena aku juga jarang menjawab telepon dari seseorang yang nomernya tidak ku simpan.
"Pulang sekolah kita jalan-jalan yuk!" ajak Raka.
"Aku gak bisa, soalnya aku udah ada janji sama Tasya."
"Memangnya kalian berdua mau kemana?"
"Aku sama Tasya mau ke salon, soalnya aku pingin potong rambut."
Raka melarang ku untuk potong rambut, karena Raka tidak menyukai perempuan berambut pendek. Sebenarnya ada alasan lain yang membuatnya tidak menyukai hal itu, namun Raka tidak ingin menceritakannya kepada Jena.
"Kenapa aku gak boleh potong rambut?"
"Karena kamu lebih cantik rambut panjang dan juga aku suka perempuan yang berambut panjang."
"Ya udah kalau gitu aku ke salon cuma untuk creambath aja."
"Mau aku temani ke salonnya?"
Aku menolak tawaran Raka karena takut jika Raka akan bosan. Dan juga aku kesana akan berangkat berdua dengan Tasya, jadi pastinya aku tidak akan merasa kesepian.
Sehabis dari salon, aku dan Tasya memutuskan untuk pergi menuju cafe. Aku sengaja mengajak Tasya ke cafe yang sama seperti di foto yang ditunjukkan oleh Ara.
Beberapa menit kemudian, kita berdua telah sampai karena jarak antara salon dan cafenya tidak terlalu jauh. Setelah itu kita tak lupa memesan makanan dan minuman.
"Sebelumnya lo pernah ke cafe ini gak?"
"Bukan pernah lagi, tapi gue sering ke cafe ini," jelas Tasya.
"Ini cafe yang sering gue dan Raka datangi loh."
"Serius? gue baru tahu loh kalau kalian sering kesini."
Aku bingung harus mengatakannya sekarang atau nanti. Karena jika aku bertanya sekarang, aku takut kalau Tasya kesal karena aku menuduh Tasya selingkuh dengan Raka. Tetapi jika tidak bertanya, nantinya aku akan semakin penasaran.
"Ngomong-ngomong lo pernah ketemu Raka gak disini?"
Tasya terdiam sejenak. "Gak. Gue gak pernah ketemu sama Raka."
Seketika aku terdiam karena ternyata sahabatku berbohong. Aku tak menyangka bahwa ternyata dugaan Jevan dan Ara benar terkait kedekatan Raka dan Tasya.
"Sya, menurut lo Raka orangnya kayak gimana?"
"Kok lo tanya gue," heran Tasya.
"Ya gue pingin tahu aja pendapat dari lo tentang Raka."
"Menurut gue, Raka itu baik banget. Bahkan dia sering menolong gue disaat gue butuh bantuannya."
Hatiku terasa sakit saat mendengar penjelasan Tasya, karena aku baru tahu jika Tasya sering meminta bantuan kepada pacarku. Bukannya tidak boleh, hanya saja aku merasa cemburu.
"Lo suka ya sama Raka?"
"Enggak kok. Raka bukan tipe cowok gue."
"Terus tipe cowok lo kayak gimana?"
Tasya terdiam sejenak. "Kayak Jevan."
Aku tertawa sarkas, karena Tasya masih bisa berbohong dengan mengaku bahwa Jevan adalah tipe cowoknya. Padahal sudah jelas jika Tasya menyukai Raka.
"Lo kenapa ketawa?" bingung Tasya.
"Soalnya gue gak menyangka kalau Jevan itu tipe ideal lo."
"Dia tipe ideal gue. Karena dia itu tinggi dan hitam manis."
Rasanya aku ingin sekali langsung mengatakan hal yang ada di pikiranku saat ini. Namun karena Tasya tidak mengakui Raka sebagai tipe idealnya, jadi aku akan mengikuti permainan Tasya.
Jelas aku sangat sakit hati. Tetapi karena Tasya dan Raka sering berbuat baik kepadaku, jadi aku akan diam saja hingga kedua orang itu tertangkap basah olehku.
Trining! Trining!
Ponselku berdering dan otomatis aku menjawab panggilan telepon tersebut.
"Hallo, sayang."
"Udah pulang belum?"
"Belum. Soalnya setelah dari salon, aku sama Tasya pergi ke cafe dulu."
"Mau aku jemput gak? soalnya sekarang aku juga lagi diluar."
Kupikir Raka langsung ke rumah setelah pulang sekolah, tetapi kenyataannya tidak. Entah sedang berada dimana dia, tetapi aku merasa bahwa saat ini Raka sedang bersama perempuan.
Melihat foto tadi yang ditunjukkan Ara membuatku merasa kalau Raka bukan hanya selingkuh dengan Tasya, melainkan Raka selingkuh juga dengan perempuan lain.
"Ka, aku boleh video call gak?"
"Kenapa mau video call tiba-tiba? apa kamu menuduh aku sama cewek lain ya?"
"Enggak kok. Aku cuma kangen aja sama kamu."
"Masa kangen, padahal kan setiap hari ketemu."
Raka mengalihkan teleponnya menjadi video call agar membuktikan bahwa dirinya tidak bersama seorang perempuan.
"Katanya kangen tapi kok diam aja," heran Raka, padahal dirinya sudah mengalihkan teleponnya ke video call.
"Coba arahkan kameranya ke sekitar!"
Raka menuruti perkataan Jena. "Udah puas?"
"Ya udah cepat ke cafe Mawar. Sekalian kita makan bareng." Setelah berkata seperti itu, Jena langsung mematikan panggilan video call nya.
Aku ijin pergi kepada Tasya untuk pergi memesan makanan dan minuman untuk Raka. Setelah selesai memesan, Jena kembali lagi menghampiri Tasya.
Skip
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Raka datang menghampiri Jena dan Tasya. Sebelum duduk di kursinya, Raka mengelus rambut Jena.
"Kenapa makanannya belum dimakan?" heran Raka.
"Soalnya kita berdua menunggu kamu."
"Maaf ya, aku jadi gak enak," kata Raka.
"Iya, gak apa-apa," ujar Tasya sambil tersenyum.
Aku menatap kearah Tasya. Aku berpikir bahwa akting Tasya sangatlah buruk. Dari tingkahnya yang seperti itu menunjukkan bahwa Tasya sedang mencari perhatian kepada Raka dengan cara tersenyum manis.
"Sya, boleh tolong foto gue sama Raka gak? soalnya gue mau posting ke instagram."
"Gak mau! gue mau makan," tolak Tasya sambil menikmati makanannya.
"Menyebalkan!"
Raka tertawa kecil mendengar kekesalan pacarnya dan akhirnya Raka segera memotret Jena supaya pacarnya itu tidak kesal.
"Kok difoto."
"Tadi katanya mau difoto," heran Raka.
"Aku mau fotonya sama kamu."
"Ya udah ayo foto berdua." Raka mendekatkan kursinya agar bisa berfoto bersama dengan Jena.
Aku menggenggam tangan Raka dan mataku melirik kearah Tasya seolah-olah memberitahu bahwa Raka adalah milikku.
Aku ingin membuktikan kepada Tasya kalau Raka hanya mencintaiku. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membuat Tasya merasa iri.
"Bisa gak jangan romantis didepan gue?" tanya Tasya.
"Gak bisa, gimana dong?" ledek Jena.
Raka merangkul pinggang Jena dan mengecup pipi Jena. "Iri ya, Sya?"
"Enggak! siapa juga yang iri," kata Tasya.
Aku hanya mematung karena terkejut sebab tiba-tiba Raka mencium pipiku. Selain itu, aku juga kebingungan karena untuk apa Raka menunjukkan keromantisan didepan selingkuhannya.
Aku jadi bimbang, apakah Raka hanya berpura-pura atau bisa jadi Raka dan Tasya sebenarnya memang tidak ada hubungan.
"Kamu kenapa? kok kayak kebingungan gitu?" heran Raka.
"Gak kenapa-napa kok."
...****...
Sehabis dari cafe, Raka mengantarku pulang. Namun karena aku ingin membeli kue untuk diriku dan Mamahnya Raka, jadi aku dan Raka mampir ke toko kue terlebih dahulu.
Sesudah membeli kue, Jena kembali menghampiri Raka. "Aku juga beli kue untuk Mamah kamu."
"Gak usah, Jen. Aku jadi gak enak sama kamu. Masa kamu terus yang bayar."
"Ya gak apa-apa."
"Dengan kamu kayak gitu, harga diri aku merasa direndahkan."
Aku terdiam setelah mendengar perkataan Raka. Padahal sebenarnya aku ikhlas memberikan apapun untuk Raka.
"Aku minta maaf. Aku gak bermaksud menghina atau merendahkan kamu."
"Kalau gitu mulai sekarang kamu harus janji agar kamu gak belikan apapun lagi untuk aku."
"Iya, aku janji."
"Ya udah cepat naik!" perintah Raka, lalu aku segera naik ke motor Raka.
Sepanjang perjalanan, aku merasa bersalah karena aku berpikir tidak apa-apa jika diriku membelikan sesuatu untuk Raka. Namun kenyataanya, Raka justru membenci jika aku terus memberikan sesuatu kepada Raka.
"Kamu marah sama aku ya?" tanya Raka memastikan, sebab ia merasa perkataannya tadi membuat Jena merasa sakit hati.
"Bukannya kamu ya yang marah sama aku?"
"Aku gak marah. Cuma aku merasa gak enak aja sama kamu," jelas Raka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!