NovelToon NovelToon

AZZAM

Soraya

“Mess..”

“Suture..”

Azzam terus memberikan alat medis yang diminta Arsy. Kakaknya itu sedang berlatih menjahit dengan menggunakan boneka yang dirobek bagian perutnya. Azzam tak henti memperhatikan Arsy yang masih menjahit boneka.

“Cut.”

“Cut.”

Azzam menggunting benang setelah sang kakak selesai menjahit. Wajah Arsy nampak puas melihat hasil jahitannya, walau belum terlalu rapih, dan waktu yang dihabiskan cukup lama, namun gadis itu sudah merasa puas.

“Emang kak Arsy mau jadi dokter bedah?” tanya Azzam.

“Belum tahu juga. Tapi kayanya ngga deh. Kakak ngga cukup kuat mental untuk jadi dokter bedah.”

“Terus ngapain kak Arsy belajar beginian?”

“Dokter umum itu harus siap dengan semua keadaan. Apalagi kalau ditugaskan di daerah terpencil. Pasien datang dengan luka terbuka, kemungkinannya besar. Makanya kakak mau sedikit-sedikit belajar juga.”

Hanya anggukan kepala saja yang diberikan Azzam. Arsy kemudian menyalakan laptopnya. Dia membuka gambar-gambar peralatan medis yang sering digunakan di rumah sakit maupun ruang operasi. Gadis itu menerangkan apa saja fungsi dari peralatan tersebut. Dengan serius, Azzam menyimak semuanya.

“Kamu udah bisa RJP?’

“Udah, yang waktu itu kakak ajarin.”

“Coba lagi. Tuh pake boneka aja.”

Azzam mengambil boneka teddy bear berukuran kecil, lalu memposisikannya seperti berbaring. Dia menyatukan kedua tangannya, kemudian menaruh di atas dada boneka tersebut. Dengan perlahan dia mulai memompanya. Arsy memperhatikan apa yang dilakunan sang adik. Beberapa kali dia membenarkan posisi tangan adiknya.

“Bagus, kamu udah lancar sekarang. Pasti latihan itu berguna buat kamu di lapangan nanti.”

“Iya, kak.”

“Kamu beneran mau jadi taruna?”

“Kakak udah berapa kali nanya itu? Kan aku udah lulus ujian, udah daftar ulang aja. Lusa aku berangkat ke Yogya. Masih kurang jelas, kak?” Azzam terkekeh setelahnya.

“Jadi abdi negara, khususnya TNI itu ngga mudah, Zam. Kamu harus punya mental yang kuat dan tekad baja. Kehidupan di asrama ngga semudah dan seenak saat kamu di sini. Kamu juga harus menanggalkan nama besar Hikmat. Begitu kamu masuk ke sana, kamu hanyalah taruna baru yang harus tunduk pada sistem hierarki.”

“Iya, kak. Aku tahu, kok. Aku juga tahu kalau jalanku ngga akan mudah. In Syaa Allah aku udah siap dengan segala konsekuensinya. Kakak doakan aja aku, mudah-mudahan aku bisa menyelesaikan kuliah dengan benar dan aku bisa jadi pilot pesawat tempur, seperti yang aku impikan.”

“Aamiin.. udah pasti, kakak akan selalu doain kamu. Kakak pasti bakalan kangen banget sama kamu.”

Azzam memeluk kakak perempuannya ini. Sebentar lagi dia akan meninggalkan kota kelahirannnya, meninggalkan keluarganya, demi mencapai cita-citanya sebagai pilot pesawat tempur sekaligus abdi negara. Sebuah keputusan yang tidak mudah, dan sempat mendapat tentangan dari mama, KiJo dan kedua neneknya. Namun dukungan Abi dan Kenzie, membuatnya semakin membulatkan tekadnya.

“Azzam!” terdengar suara Nara memanggil namanya.

“Iya, ma.”

“Ada temanmu, nih.”

Azzam segera bangun dari duduknya, kemudian keluar dari kamar. Dengan langkah cepat, dituruninya anak tangga. Tangan Nara mengarah pada ruang tamu. Di sana tamunya duduk menunggu.

“Sora,” panggil Azzam.

Seorang gadis cantik mengenakan hijab berwarna merah muda langsung berdiri ketika Azzam mendekatinya. Soraya adalah teman Azzam sejak mereka berada di sekolah menengah pertama, hingga mereka masuk ke sekolah menengah atas yang sama. Sekarang mereka tidak akan satu lembaga pendidikan lagi, karena Azzam memilih mengikuti pendidikan angkatan udara di Yogyakarta.

“Tumben ke sini, ada apa?”

“Lusa kamu berangkat ke Yogya?”

“Iya.”

“Aku ke sini mau ajak kamu jalan. Anggap aja perpisahan sebelum kamu ke Yogya.”

“Ehmm.. boleh. Kamu mau kemana?”

“Enaknya kemana?”

“Ke More and Most Coffee aja, gimana? Kalau udah masuk asrama, ngga bakalan bisa hangout lagi di café.”

“Boleh.”

“Kamu ke sini naik apa?”

“Tadi diantar bang Fikri.”

“Bentar kau ganti baju dulu.”

Dengan cepat Azzam kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dia tidak mungkin menolak ajakan Soraya. Gadis itu adalah satu-satunya teman berjenis kelamin perempuan. Selama ini dia hanya bergaul dengan teman laki-laki saja. Sedang untuk Soraya adalah penecualian.

Di matanya, Soraya adalah gadis baik yang tidak pernah melakukan hal aneh. Dia juga senantiasa menjaga auratnya dan juga tidak pernah membiarkan pria menyentuhnya, walau hanya kulit tangannya saja.

Tanpa Azzam sadari, diam-diam Soraya memendam perasaan padanya. Hanya saja gadis itu tidak berani mengungkapkan perasaannya. Dia hanya bisa mengagumi dalam diam saja. Baginya, berteman dengan Azzam, dan pria itu bersikap baik padanya, itu sudah cukup. Soraya tidak berani berharap lebih pada lelaki itu.

Mendengar kabar Azzam akan menempuh pendidikan sebagai taruna angkata udara, tentu saja membuat Soraya sedih. Dia tidak bisa lagi bertemu dengan pemuda itu lagi. Tapi Soraya juga tidak punya hak untuk melarang. Anggap saja ini sebagai penguji perasaannya. Apakah cintanya pada Azzam akan bertahan lama, atau akan hilang seiring dengan waktu.

“Ayo..”

Kedatangan Azzam membuyarkan lamunan Soraya. Untuk sesaat gadis itu terpana melihat ketampanan pemuda di depannya. Azzam mengenakan kaon oblong lengan pendek yang dilapisi sweater berhoodie berwarna abu muda. Kakinya terbungkus celana jeans warna hitam. Di mata Soraya, penampilan Azzam tidak pernah ada cacatnya.

Azzam mengajak Soraya menuju garasi. Dia meminjam mobil milik mamanya untuk pergi bersama Soraya. Setelah memakai sabuk pengamannya, pemuda itu mulai menjalankan kendaraannya. Sesekali Soraya mencuri lihat pada Azzam, yang tengah berkonsentrasi dengan kemudinya. Tujuan mereka adalah More and Most Coffee yang ada di daerah Dago atas.

🌻🌻🌻

Suasana More and Most Coffee sudah ramai didatangi pengunjung. Sebagian besar yang datang adalah kawula muda. Mereka senang menghabiskan waktu di café ini sambil menikmati makanan dan minuman yang disediakan. Fasilitas yang disediakan café ini, bukan hanya wifi saja. Tapi ada beberapa permainan lain seperti football table, ring basket, hokey game table dan shoot the zombie.

“Kamu mau pesan apa?” tanya Azzam.

“Aku mau vanila latte aja sama triple chocolate.”

“Ada lagi?” tanya pelayan yang mencatat pesanan mereka.

“Caramel Machiato sama cheese cake,” lanjut Azzam.

Setelah mencatat pesanan, pelayan tersebut segera meninggalkan meja yang ditempati Azzam dan Soraya. Mata Azzam melihat sekeliling café. Kemudian pandangannya terhenti pada mesin permainan shoot the zombie yang kosong.

“Mau main itu?” tawar Azzam sambil menunjuk pada mesin permainan yang ada di dekat mereka.

“Boleh.”

Sambil menunggu pesanan mereka selesai, keduanya segera menuju mesin permainan shoot the zombie. Terlebih dulu, Azzam mengisi kartu permainan di kasir, kemudian menggesekkannya ke tempat kartu yang ada di mesin permainan. Masing-masing dari mereka memegang senjata yang akan digunakan untuk menembak zombie yang ada di layar di depan mereka.

Azzam terus membidikkan senjata di tangannya pada zombie yang mendekat padanya. Sesekali terdengar teriakan Soraya ketika ada zombie yang mendekatinya. Beberapa kali Azzam membantunya membunuh zombie, namun karena banyaknya zombie yang mengepung, pria itu kesulitan juga. Soraya harus menyerah ketika karakter yang dipilihnya mati tergigit oleh zombie.

Kini hanya Azzam yang berjuang sendirian melawan para zombie tersebut. Pria itu berhasil melewati level satu dengan aman. Namun langkahnya harus terhenti di level tiga saja. Keduanya segera kembali ke meja. Di sana pesanan mereka sudah siap.

“Seru banget itu permainannya. Deg-degan juga, berasa dikejar zombie beneran,” cerocos Soraya sambil menyeruput minumannya.

“Bikin penasaran. Sayang cuma bisa sampai level 3.”

“Itu ada berapa level sih?”

“10 kalau ngga salah.”

“Pasti levelnya tambah naik, tambah susah.”

“Pastinya.”

Azzam menyeruput macchiato miliknya. Matanya kembali memandangi sekeliling café. Ternyata banyak pengunjung yang datang berpasangan, termasuk dirinya dan Soraya.

“Kamu rencananya mau ambil korps apa nanti?”

“Pesawat tempur.”

“Wah keren banget, Zam. Mudah-mudahan apa yang kamu inginkan bisa tercapai, ya.”

“Aamiin.. kamu sendiri gimana? Mau ambil jurusan apa?”

“Aku mau ambil keguruan, PGSD tepatnya.”

“Sukses ya. Aku yakin, kamu bakalan jadi guru yang baik. Yang sabar ya kalau ngajar anak SD.”

“In Syaa Allah. Tapi kalau muridnya lempeng kaya kamu, ngga jamin juga.”

“Hahaha.. ada-ada aja kamu.”

Setelah menikmati minuman dan camilan, Azzam mengajak Soraya untuk pulang. Waktu juga sudah hampir jam sembilan malam. Pria itu mengantarkan Soraya sampai di kediamannya. Rumah milik keluarga Soraya nampak sepi.

“Rumah kamu sepi banget. Udah pada tidur?”

“Papa sama mama lagi nengok kak Bila di Bekasi. Bang Fikri kayanya belum pulang.”

“Ooh..”

“Makasih ya, Zam. Aku harap kamu betah selama di asrama. Belajar yang benar, dan semoga cita-cita kamu sebagai pilot pesawat tempur tercapai.”

“Aamiin.. kamu juga. Semoga kamu bisa jadi guru yang baik. Yang bisa mendidik generasi penerus bangsa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”

“Aamiin.. kalau kamu pulang ke Bandung, kabar-kabari ya. Biar kita bisa hangout bareng lagi.”

“Ok..”

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Soraya segera keluar dari mobil yang dikemudikan Azzam. Dia melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam rumah. Dari balik gorden jendela, dia melihat kendaraan roda empat yang membawanya pulang tadi bergerak meninggalkan kediamannya.

“Bye, Zam.. semoga kita bisa bertemu lagi. Dan saat kita bertemu nanti, aku harap di hatimu sudah ada perasaan untukku.”

🌻🌻🌻

Haiii... Azzam sudah hadir membawa kisahnya. Jangan lupa like, komen dan rate bintang 5 nya ya😘😘😘

Merekam Kenangan

Kediaman Abi sudah mulai ramai dengan kedatangan anak, cucu dan para sahabatnya. Mereka berkumpul di hari Minggu ini, selain sebagai kebiasaan keluarga, juga sebagai ajang perpisahan bagi Azzam. Besok pemuda itu akan berangkat ke Yogyakarta, tepatnya ke daerah Sleman, untuk menempuh pendidikan di akademi angkatan udara.

Pagi harinya, diadakan dulu acara pengajian untuk mendoakan cucu tercinta, agar selamat dan lancar selama menempuh pendidikan. Sepanjang hari, Nina, Adinda dan Nara tidak melepaskan Azzam. Ketiga wanita itu selalu berada di sisi pemuda itu. Mulai besok, mereka akan jarang bertemu dengannya.

“Nenek.. ninda… mama… aku pinjam Azzam bentar, ya. Dari tadi dikekepin terus, tar bulukan tuh anak,” celetuk Zar.

“Ngga bisa. Azzam di sini aja,” cegah Nina.

“Ya ampun nenek, kita pinjam sebentar aja. Nanti aku kembaliin utuh kok. Ok ya, para wanita cantik.”

Zar mengedipkan matanya, seraya menarik Azzam menjauh. Azzam cukup lega sang kakak datang menyelamatkannya. Sedari tadi telinganya tak berhenti mendengar nasehat oleh ketiga wanita itu. Perutnya juga sudah kenyang dijejali makanan.

“Makasih ya, bang. Akhirnya aku bisa lepas juga dari para wanita cantik pada zamannya.”

“Hahaha… kedengaran mereka, bisa dijewer estafet, lo.”

Kedua pria itu segera menuju halaman belakang. Mereka menaiki rumah pohon yang usianya sudah lumayan tua. Di sana, Arya, Firhan, Sam, Gilang, Dipa, Farzan dan Alden sudah menunggu. Kedatangan keduanya disambut senang oleh semuanya. Arya meminta Azzam duduk di dekatnya. Dirangkulnya adik sepupunya itu. Walau berat, tapi dia harus melepas Azzam mengejar cita-citanya dan tentu saja mendoakannya.

“Zam.. lo beneran udah mantap mau jadi TNI?” tanya Arya.

“Pikirin lagi, Zam. Ngga mudah jadi taruna,” timpal Firhan.

“Alhamdulillah, udah gue pikirin, dan gue udah yakin banget.”

“Hati-hati selama di sana. Lo tau sendiri kan, udah banyak kejadian akademi kaya gitu kena kasus bully. Bully nya ngga tanggung-tanggung, disiksa. Apalagi yang namanya senioritas dominan banget di sana,” pungkas Alden.

“Iya, doain aja gue bisa menyelesaikan studi dan jadi perwira TNI AU.”

“Aamiin.. yang kenceng,” teriak Gilang.

Sam mengambil camilan yang tersedia, lalu menyodorkannya ke dekat Azzam. Pemuda itu langsung menolaknya. Perutnya sudah hampir meledak, saat Nina dan Adinda terus memintanya memakan makanan olahan mereka berdua.

“Sebenernya yang cocok jadi TNI itu si Zar,” celetuk Arya.

“Ck.. kasihan komandannya kalau bang Zar yang jadi taruna. Tiap hari harus ke dokter THT, periksain kupingnya, hahaha..” timpal Sam.

“Kebayang kalau bang Zar jadi taruna, tiap hari ngoceh mulu. Pas lagi lari pagi atau latihan militer, mulutnya ngga bisa diem. Apa aja pasti dikomentarin,” sambung Firhan.

“Kalau pas lagi latihan covering sama camouflage, pasti langsung ketahuan. Mulut embernya susah mingkem, hahaha,” lanjut Farzan.

“Teroooosss.. lanjutkan, mumpung yang punya nama lagi boker,” celetuk Zar.

“Hahaha..”

Azzam tak bisa menahan tawanya. Pastinya dia akan merindukan momen seperti ini. Berkumpul bersama kakak dan para sepupunya. Pemuda itu berusaha merekam apa yang terjadi hari ini. Kenangan indah seperti ini akan menjadi obat untuknya di saat kerinduan melanda.

“Azzam!! Dipanggil kakek!!”

Terdengar suara Stella memanggil pemuda itu. Azzam bangun dari duduknya, kemudian turun dari rumah pohon. Dia segera menuju gazebo yang ada di halaman bekalang. Di sana pandawa lima sudah menunggunya. Abi menepuk ruang kosong di sebelahnya. Azzam segera duduk di samping sang kakek.

“Kamu sudah menyiapkan semua kebutuhanmu?”

“Sudah, kek. Nanti malam tinggal dipacking.”

“Jaga kesehatan, Zam.. KiJo doakan semoga kamu bisa mencapai apa yang kamu cita-citakan. Walau berat melepasmu, tapi KiJo sadar, kalau kami harus mendukung apa yang kamu lakukan. Selama itu positif dan baik untukmu.”

Raut kelegaan terlihat di wajah Azzam. Dari semua orang di keluarganya, Jojolah yang paling menentang keputusannya. Pria itu sempat tidak ingin bertemu dengan Azzam, bahkan sampai melakukan aksi mogok makan. Tapi beruntung, sang kakek berhasil membujuknya. Tentu saja dibantu oleh grandpa, opa dan juga eyangnya.

“Azzam, ketika kamu sudah masuk dan diterima sebagai taruna, maka di saat itu kamu harus menanggalkan nama besar Hikmat di belakang namamu. Statusmu sama seperti taruna yang lainnya. Kamu harus mematuhi pengajar dan juga komandan sebagai atasanmu. Tapi.. kalau kamu membutuhkan bantuan, jangan segan untuk datang pada kakek, pasti kakek akan membantumu. Grandpa, KiJo, Eyang dan opa juga pasti akan membantumu.”

“Iya, kek.”

“Grandpa yakin, kalau kamu bisa menggapai cita-citamu.”

“Aamiin.. makasih, grandpa.”

“Eyang pengen lihat kamu melakukan atraksi pesawat tempur saat ulang tahun kemerdekaan kita.”

“Kalau kamu mau atraksi pakai parasut, jangan lupa sebut nama KiJo tiga kali sebelum terjun,” celetuk Jojo.

“Biar apa, KiJo?”

“Biar kamu mendarat dengan selamat.”

“Musyrik, jangan didengerin. Kalau kamu nyebut nama KiJo, doamu ngga akan dikabulin. Dia itu lagi dimusuhin malaikat,” ujar Abi asal.

“Mendarat ngga, nyangkut iya kalau nyebut nama KiJo, hahaha..” sambung Kevin.

Jojo mendengus kesal. Dilihatnya wajah Abi dan Kevin bergantian dengan wajah keki. Azzam memeluk akinya ini. Mendapat pelukan dari sang cucu, kekesalan Jojo menguap begitu saja.

“Kakek, KiJo, grandpa, eyang dan opa harus tetap sehat ya. Begitu aku lulus dan jadi pilot pesawat tempur, aku masih mau berkumpul dengan kalian semua. Kalian harus tetap sehat, lihat aku nikah dan punya anak.”

“In Syaa Allah, semoga saja kami semua diberi umur panjang dan bisa melihatmu berkeluarga,” ujar Juna.

“Aamiin.. setiap shalat, aku bakal berdoa untuk kakek, KiJo, grandpa, eyang dan opa.”

“Kalau nanti kamu sudah lulus dan berhasil menjadi pilot pesawat tempur, bilang saja kalau mau dijodohkan,” ujar Abi.

“Kamu udah punya calon, belum?” tanya Jojo.

“Ya ampun, aku belum mikir ke sana, KiJo.”

“Masa? Terus Soraya gimana?” Cakra menaikturunkan alisnya.

“Dia sahabat aku, eyang.”

“Sahabat aja, atau sahabat tapi mesra?” goda Juna.

“Sahabat aja, grandpa. Soraya itu baik, ngga neko-neko, ngga kecentilan. Pokoknya aku suka aja berteman dengan dia.”

“Yakin? Kali aja kamu mau ngikutin jejak grandpa dan grandma? Mereka kan awalnya dari sahabat, jadi nikah,” ujar Jojo.

“Mereka nikah karena andil kakek.”

“Heleh.. bangga banget,” celetuk Kevin.

“Ngga usah komen. Di antara kita, kamu yang paling mengenaskan. Kalau ngga dijodohin sama mamamu, sampe sekarang pasti jadi jomblo tua,” balas Abi.

“Alot juga,” timpal Jojo.

“Untung ngga bulukan,” sambung Cakra.

“Untung juga Rindu mau terima dia.”

“Hahaha..”

Kevin tak bisa membalas lagi. Habis sudah dia dijadikan bulan-bulanan oleh para sahabatnya. Azzam pun ikut tertawa sambil memperhatikan wajah pandawa lima, satu per satu. Dia bersyukur semua anggota keluarganya memberikan kenangan manis padanya, sebelum berangkat menimba ilmu di akademi angkatan udara.

🌻🌻🌻

Nara membantu anaknya berkemas. Dia menyusun pakaian Azzam ke dalam koper. Tidak banyak pakaian yang dibawa anak bungsunya itu. Selain pakaian, Azzam juga membawa laptop dan juga peralatan lain untuk menunjang dirinya dalam belajar. Berkat bantuan sang mama, acara packing berjalan lebih cepat.

“Jangan lupa bawa obat-obatan juga.”

“Iya, ma. Paling aku bawa paracetamol sama vitamin aja. Kan di sana juga ada klinik, kalau aku sakit.”

“Makan yang teratur.”

“Pasti, ma. Di sana kan kita belajar disiplin, semuanya sudah diatur, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Jam makan kita juga udah pasti dijadwal setiap harinya.”

“Kamu jangan lupa kasih kabar sama mama.”

“Iya, ma. Tapi selama tiga bulan, kita belum boleh komunikasi.”

“Kenapa?”

“Sengaja, ma. Biar kita bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, membangun semangat korps dengan taruna yang lain. Nanti kalau udah tiga bulan, kita baru boleh pegang hape, tapi itu juga pas jam bebas atau waktu pelesir. Di luar waktu itu, ngga boleh.”

“Oh gitu.. pokoknya, setiap kamu punya kesempatan buat pegang hape, kamu harus hubungi mama.”

“Iya, mama sayang.”

Azzam menaruh koper di dekat pintu, dan tas ransel di atas meja belajarnya. Kemudian pemuda itu menghampiri mamanya dan memeluknya. Dia tahu kalau Nara masih berat melepasnya. Ibu mana yang tahan tinggal berjauhan dengan anaknya. Azzam mengajak Nara duduk di sisi ranjang.

“Mama ngga usah khawatir. Aku minta doanya aja dari mama. Doa mama dan papa yang akan membantuku menggapai cita-citaku, ya mama sayang.”

“Iya, sayang. Tapi mama rasanya masih belum puas ngurus kamu. Besok kamu udah harus masuk asrama. Dan mungkin kamu baru bisa pulang pas lebaran aja. Mama pasti kangen banget sama kamu.”

“Jaman kan udah canggih, ma. Nanti kalau pas libur atau jam bebas, aku video call sama mama.”

“Iya, sayang.”

Nara mencium kening anak bungsunya itu, lalu memeluknya erat. Pelukannya terurai ketika mendengar ketukan di pintu. Ternyata sang suami yang datang ke kamar anak bungsunya. Kenzie mendekat, lalu mendudukkan diri di samping Azzam.

“Sudah selesai packingnya?”

“Sudah, pa.”

“Tidak ada yang tertinggal?”

“Ngga ada, pa. Aku dibantu mama packing, makanya cepat beres.”

“Besok, papa dan mama yang akan mengantarmu ke Sleman.”

“Iya, pa.”

“Sekarang kamu istirahat, sudah malam. Kita harus berangkat pagi-pagi.”

“Iya, pa.”

Kenzie mengusak puncak kepala anaknya, kemudian mengajak istrinya keluar dari kamar sang anak. Sepeninggal kedua orang tuanya, Azzam menutup pintu kamarnya. Saat akan naik ke ranjang, pandangannya tertuju pada figura yang ada di atas meja belajarnya. Diambilnya figura tersebut. Di sana terpasang foto keluarganya. Mereka berfoto bersama saat liburan bersama tahun lalu. Azzam mengambil figura tersebut, lalu memasukkannya ke dalam ransel. Dia akan membawa foto tersebut, sebagai penyemangatnya di sana.

🌻🌻🌻

Cerita ini bermula saat Azzam baru mau jadi taruna, ya. Jadi kakak dan para sepupunya masih pada jomblo.

Taruna Karbol

Pukul sepuluh pagi, Azzam sudah berada di akademi angkatan udara yang berada di daerah Sleman. Dia dan calon taruna lainnya kembali akan melakukan pantukhir atau pemantauan terakhir. Jika sebelumnya pantukhir dilaksanakan di tempat masing-masing mendaftar. Kali ini pantukhir akan dilakukan secara terpusat di akademi angkatan udara. Dari 305 taruna dan taruni yang datang di pantukhir kali ini, hanya 140 taruna dan 10 taruni saja yang diterima di akademi angkatan udara.

Azzam mendaftar di lanud Husein Sastranegara. Dia bersaing dengan banyaknya pelamar dan harus menjalani beberapa tes. Terakhir, dia bersaing dengan 21 casis saat melakukan pantukhir. Pertama-tama mereka melakukan tes administrasi, tes kesehatan dan tes psikologi. Setelah itu dilanjutkan dengan tes samapta dan tes postur.

Tes samapta sendiri terdiri atas tiga bagian, samapta A, B da C. Samapta A, casis harus lari selama 12 menit dengan tolak ukur jarak tempuh. Sampata B, casis diminta melakukan pull up, push up dan shuttle run. Sedang pada samapta C, dinilai dari kemampuan renang casis dengan jarak 25 meter dengan waktu tempuh sebagai tolak ukur.

Terakhir adalah tes postur. Di sini postur tubuh casis akan diteliti secara mendetil, meliputi bentuk tubuh, bentuk tangan, bentuk kaki, kondisi telapak tangan dan kaki, keseimbangan tubuh, geometri simetris tubuh casis, hingga cara berjalan setiap casis akan menjadi penilaian.

Sebelum mendaftar menjadi calon taruna AAU, tentu saja Azzam sudah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Azzam memiliki postur tubuh yang tinggi untuk anak seusianya. Saat mendaftar, usia Azzam 17 tahun lebih enam bulan, dan memiliki tinggi 181 cm, dengan berat badan ideal. Tidak terlalu kurus dan juga tidak terlalu gemuk. Dia juga sudah rajin melatih tubuhnya dengan melakukan kegiatan fisik, mempelajari beladiri dan juga berlatih renang. Tak heran kalau akhirnya, dia bisa mengalahkan para pesaingnya dan lolos pantukhir. Dari 21 orang casis, hanya 7 orang saja yang terpilih dari lanud Husein Sastranegara. Dan mereka kembali bersaing di pantukhir akhir.

Taruna dan taruni yang berhasil melewati pantukhir diumumkan keesokan harinya. Bagi yang tidak lolos, bisa mencoba kembali tahun depan. Sedang yang lolos, akan langsung mendapatkan pendidikan di akademi ini. Setelah pengumuman dilakukan, para orang tua diperkenankan untuk bertemu dengan anak mereka sebelum sang anak menjalani pendidikan.

Kenzie dan Nara sudah berada di akademi saat menerima kabar kalau sang anak lolos pantukhir dan secara resmi sudah diterima sebagai taruna AAU, atau yang biasa disebut sebagai taruna karbol.

Nara memeluk anaknya dengan erat. Doa-doa tak pernah lepas dari bibirnya saat melepas anak bungsunya menjadi taruna dan mendapatkan pendidikan dan pelatihan di kawah candradimuka. Kenzie juga memeluk sang anak dengan erat. Besar harapannya, sang anak bisa berhasil mencapai cita-cita yang diinginkannya.

“Jangan lupa shalat dan berdoa. Kamu berusaha menjadi taruna terbaik di sini, dan jangan lupa berdoa supaya diberi kemudahan. Hasil akhirnya serahkan pada Allah SWT. Usaha dan doa, tidak akan pernah mengkhianati hasil akhir.”

“Iya, pa.”

“Mama dan papa akan terus mendoakanmu. Doa kami, doamu dan usahamu akan berjalan selaras sampai kamu mencapai tujuanmu,” lanjut Nara.

“Terima kasih, ma. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik dan terus berdoa.”

“Jangan lupa kasih kabar, kalau kamu sudah diperbolehkan berkomunikasi.”

“Iya, ma.”

Sekali lagi, Azzam memeluk mama dan papanya. Pemuda itu kemudian bergabung dengan taruna dan taruni lainnya, membentuk barisan. Para orang tua yang mengantarkan anak mereka, dipersilahkan untuk kembali. Anak-anak mereka selama tiga bulan ke depan akan terputus dari dunia luar, untuk digembleng menjadi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara.

Guberbur AAU, Marsma TNI Cahyo Nugroho memberikan pidato singkatnya, menyambut kedatangan taruna dan taruni Akademi Angkatan Udara tahun ini. Tak lupa pria itu memberikan motivasi pada para taruna dan taruni, agar tetap fokus pada pendidikan dan menjadi lulusan TNI AU yang membanggakan dan dapat diandalkan. Setelah acara penyambutan singkat, para taruna dan taruni dipersilahkan menuju aula untuk pembagian seragam.

Selama menjadi taruna di AAU, mereka hanya diperbolehkan memakai pakaian atau seragam yang sudah disediakan pihak akademi, dari mulai seragam, sepatu, kaos kaki, sampai dalaman. Ada enam kategori seragam yang diberikan, yakni Pakaian Dinas Umum, Pakaian Dinas Harian, Pakaian Dinas Lapangan, Pakaian Dinas Pesiar, Pakaian Dinas Drumband dan Pakaian Olahraga. Dari enam kategori tersebut, masih dibagi lagi menjadi beberapa seragam, seperti pakaian dinas pesiar, terbagi atas pesiar siang dan malam. Total ada 13 seragam yang akan digunakan taruna selama menempuh pendidikan di akademi.

Begitu pembagian seragam selesai, kegiatan dilanjutkan dengan pemberitahuan kegiatan selama di asrama. Mereka sudah diberi jadwal kegiatan, dari mulai bangun tidur sampai menjelang tidur. Satu yang mereka tahu, setiap akan dan sesudah melakukan kegiatan, mereka akan diminta berbaris. Bahkan saat akan dan selesai shalat berjamaah pun mereka diharuskan berbaris.

Setelah mendapatkan seragam dan mendengarkan aturan yang berlaku di asrama dan juga akademi, para taruna dipersilahkan kembali ke kamarnya masing-masing. Para taruna harus menjaga kerapihan kamar, setiap pagi, akan dilakukan pemeriksaan kamar. Jika ada kamar taruna yang berantakan, maka harus siap terkena hukuman.

Usai merapihkan pakaian di dalam kamarnya, Azzam keluar untuk berkenalan dengan taruna lainnya. Dalam menjalin semangat kebersamaan korps, tentu saja mereka harus saling mengenal satu sama lain. Azzam berkenalan dengan taruna di sebelah kanan, kiri dan depan kamarnya.

“Azzam, Bandung,” ujarnya memperkenalkan diri sambil bersalaman.

“Seno, Banyuwangi.”

“Eko, Bantul.”

“Zakaria, Sinjay.”

“Sinjay itu Sulawesi Selatan, ya?” tanya Seno dengan logat Jawanya yang kental.

“Iya.”

“Manggilnya apa nih yang enak?” tanya Eko.

“Bebas.”

“Jangan bebas, harus jelas. Soalnya nama kamu tuh kalau dipenggal ngga enak,” seru Seno. Sosok Seno terlihat yang paling humoris di antara yang lain.

“Ngga enak, gimana?” tanya Zakaria polos.

“Namamu kan Zakaria, kalau dipanggil dari belakang, Ria, kaya cewek. Kalau ngga salah, ada taruni yang namanya Ria juga. Kalau dari depan jadi….”

“Zakar, hahaha..” celetuk Azzam.

“Nah.. itu tau, hahaha..”

Sontak terdengar tawa empat orang tersebut, termasuk Zakaria. Awalnya dia tidak mempermasalahkan panggilan untuknya. Di kampungnya dulu, dia dipanggil Ria, santai-santai saja. Tapi di sini, sepertinya riskan memanggilnya dengan sebutan Ria. Apalagi ada taruni yang bernama Ria. Tapi kalau dipanggil *****, juga tidak enak di telinga.

“Terserah kalian ajalah, asal jangan ***** atau Ria.”

“Ehmm.. gimana kalau, Zak. Lebih keren, kan?” usul Azzam.

“Sekalian aja, Jack. Biar kaya orang bule,” celetuk Eko.

“Ngga pantes. Mohon maaf nih, mukamu ngga cocok jadi bule, hahaha,” lanjut Seno.

Dengan cepat pertemanan di antara keempatnya mulai terjalin. Mereka banyak bertukar informasi soal diri masing-masing. Keempatnya juga mendiskusikan jadwal yang sudah diberikan oleh pelatih. Yang mereka bingung adalah waktu makan yang hanya diberikan waktu tiga menit.

“Ngga salah nih, kalau makan cuma dikasih waktu tiga menit?” tanya Eko.

“Ya ini aturannya kaya gitu,” jawab Seno.

“Kalau lebih dari tiga menit gimana?”

“Bakalan kena hukum kayanya,” timpal Azzam.

“Waduh!”

Dari keempat orang tersebut, Eko terlihat paling panik. Sebelum masuk AAU, Eko termasuk orang yang paling lambat soal makan. Selain itu, porsi makannya juga tidak banyak. Saat menjadi taruna, kini dia harus siap dengan kehidupan yang penuh dengan kedisiplinan dan keteraturan, termasuk soal makan.

“Kenapa?” tanya Zakaria.

“Aku kalau makan paling lama.”

“Sekarang kalau makan, langsung telen aja, ngga usah dikunyah, hahaha..” timpal Seno.

“Weh tambah bahaya itu.”

Bukan hanya Eko saja, tapi hampir semua taruna merasakan kekhawatiran yang sama, terutama para taruni. Mereka hanya bisa berdoa, semoga saja ada kelonggaran di masa-masa awal mereka menjadi taruna dan taruni.

🌻🌻🌻

Usai melaksanakan shalat isya berjamaah bagi yang melaksanakan, para taruna dan taruni langsung berbaris di depan ruang makan. Mereka masuk bergiliran setelah mendapat komando dari pelatih. Ruang makan di akademi ini cukup luas. Di dalamnya terdapat banyak meja panjang dan kursi untuk para taruna dan taruni menikmati hidangan. Satu meja terdiri dari enam kursi yang duduk berhadapan.

Para taruna dan taruni berbaris untuk mendapatkan ompreng atau tempat makan yang kemudian akan diisi dengan nasi, sayur, lauk dan buah. Azzam mengambil ompreng dan gelas yang terbuat dari alumunium dari tempatnya, kemudian menuju pelatih yang akan memberi mereka makanan. Dia terkejut dengan nasi yang dimasukkan ke dalam omprengnya. Porsinya lebih banyak dari porsi makannya sehari-hari.

Selanjutnya pelatih kedua memberikan sayur sop ke ompreng milik Azzam, kemudian pelatih berikutnya memberikan tempe mendoan dan kerupuk. Azzam kembali berjalan dan mendapatkan pisang sebagai buahnya. Terakhir, dia mendapatkan air putih untuk mengisi gelasnya. Setelah omprengnya terisi makanan, dia segera menuju meja yang sudah tertata rapih.

Zakaria, Eko dan Seno memillih duduk bersamanya. Mereka meletakkan ompreng dan gelas di atas, lalu duduk dengan sikap sempurna, menunggu taruna dan taruni lain selesai mengambil makanan. Setelah semua taruna dan taruni mengambil makanan, mereka masih harus menunggu ketua regu melapor pada pelatih, kalau mereka sudah siap untuk makan bersama. Sang pelatih membunyikan lonceng, tanda untuk semua berdoa sebelum makan. Kemudian dia membunyikan lonceng dua kali, tanda semua diperkenankan untuk makan.

Azzam memandangi sejenak ompreng miliknya. Hanya ada sayur sop, tempe mendoan dan kerupuk saja yang menjadi menu makannya sekarang. Nasinya juga tidak pulen, mirip seperti beras raskin. Hal ini berbanding jauh dengan menu yang biasa dinikmati olehnya ketika berada di rumah. Pemuda itu mulai menyantap makannya. Sebisa mungkin dia menghabiskan dengan cepat makanan tersebut, sebelum lonceng kembali berbunyi.

TENG

TENG

TENG

Lonceng berbunyi tiga kali. Terdengar suara pelatih meminta para taruna dan taruni menghentikan makan mereka. Beberapa pelatih memeriksa meja para taruna dan taruni baru. Hampir semua belum menghabiskan makan mereka. Berbeda dengan para senior yang sudah menghabiskan makan mereka. Bahkan tidak sebutir nasi pun tersisa di atas ompreng.

“Lambat!!” teriak salah satu pelatih.

“Semua taruna dan taruni baru!! Baris di lapangan!!”

“Siap, laksanakan!!”

Kompak mereka segera berdiri, dengan rapih mereka keluar dari ruang makan dan berbaris di lapangan. Mereka akan terkena hukuman karena tidak menghabiskan makanan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Mereka dihukum lari keliling lapangan sebanyak tiga putaran. Di antara para taruna, ada beberapa orang yang sudah menyelesaikan makannya, namun mereka juga ikut dihukum karena kesalahan teman-temannya. Kesalahan yang dilakukan satu atau dua orang, akan ditanggung oleh bersama. Ini dimaksudkan untuk menjaga kekompakan dan juga saling jaga antara taruna satu dan lainnya.

🌻🌻🌻

Itu gimana ceritanya makan cuma tiga menit🙀

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!