Suara jam weker membangunkan Putri Anindita dari tidurnya. Ia bergegas beranjak dari tempat tidur. Dipan kayu dengan kasur kapuk yang mulai mengeras, membuat badannya agak sakit ketika bangun di pagi hari. Ia meregangkan otot ditubuhnya, lalu melangkah ke bagian belakang rumahnya. Seorang wanita paruh baya sedang berjongkok di depan tungku kayu, memasak sayuran bayam yang ia petik dari belakang rumahnya. Kebun kecil berjejer rapi aneka tumbuhan hijau, yang sengaja mereka tanam untuk memenuhi kebutuhan harian.
Keluarga sederhana itu terdiri dari empat orang, ayah dan ibu beserta kedua anak perempuan nya. Ayu Pradita, adalah anak sulung di keluarga itu. Ia merantau untuk bekerja di kota, namun baru lima bulan berada di kota. Ayu ditemukan tewas tergantung di sebuah bangunan kosong. Berdasarkan dari buku catatannya, ia mengaku frustasi karena sering dibully dan dikucilkan di tempat kerjanya. Sehingga ia menuliskan pesan untuk mengakhiri hidupnya. Berawal dari situlah, Putri adik semata wayang Ayu tak mau melanjutkan pendidikannya. Setelah lulus SMA, Putri memutuskan untuk bekerja di kota. Tanpa sepengetahuan kedua orang tua nya, Putri diam-diam melamar kerja di pabrik garment yang dulu menjadi tempat kerja kakaknya. Tak hanya itu, ia juga sudah memutuskan untuk tinggal di kost yang dulu ditempati kakaknya.
“Ibu masak apa nih? Sini biar Putri bantu, ibu gak boleh terlalu capek ya. Mulai besok Putri gak bisa bantu-bantu di dapur lagi. Jadi ibu gak usah terlalu sering memasak, soalnya anak ibu yang tukang makan ini udah gak ada di rumah lagi.” Ucap Putri seraya mendekap ibunya dari belakang.
“Kau pikir ibu dan bapakmu tak butuh makan? Dasar anak nakal, sudah dibilang gak usah kerja. Malah nekat ngelamar kerja, emangnya kau diterima kerja dimana to nduk?” Tanya sang ibu seraya mengusap rambut Putri.
“Hmm... Belum diterima kok bu, tapi Putri pasti bekerja dalam waktu yang cepat. Putri belum pengen kuliah bu, lagian ibu sudah kesulitan bekerja di sawah dan kebun setiap harinya. Belum lagi mengurusi ayah yang belum sembuh juga sampai sekarang.” Jawabnya dengan menghembuskan nafas panjang.
Ayahnya memang sudah lama sakit parah, dan penyakitnya belum diketahui apa penyebabnya. Luka membusuk di beberapa bagian tubuh, yang membuat ayahnya tak dapat melakukan aktivitas dengan normal. Semua urusan pekerjaan terpaksa ibunya yang mengurus. Apalagi semenjak kematian mendadak kakaknya, sang ayah semakin sering dilema dan murung. Kerap kali ayahnya menjerit-jerit dengan menyebutkan nama Ayu berulang kali seraya meminta maaf dan menangis tersedu-sedu.
Hati Putri semakin hancur melihat kondisi ayahnya yang sedemikian. Belum lagi hampir setiap malam, Putri selalu memimpikan kakaknya. Ayu berada di sebuah tempat gelap, ia terbaring di atas dipan kayu dengan tangan dan kaki terikat. Ia hanya mengenakan kain jarik yang terlilit di tubuhnya, kain jarik dengan motif parang berwarna putih. Terlihat lilin menyala memutari sekeliling dipan kayu. Ada aneka bunga tujuh rupa yang ditaburkan di atas tubuhnya. Ayu menangis memohon pertolongan, namun tak ada satupun orang yang menolongnya. Tiba-tiba ia melotot dengan sorot mata nyalang. Kakinya terhentak dengan tubuh bergetar, seakan ia sedang meregang nyawa. Dan beberapa saat kemudian, Ayu tergeletak lemas dengan mata melotot dan kepala yang agak miring. Jika mengingat mimpi itu, Putri kembali bertanya-tanya. Bukankah kakaknya meninggal karena gantung diru, lantas kenapa ia sering bermimpi yang sama hampir setiap malam.
Putri menghembuskan nafas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan cepat. Ia kesulitan menemukan arti dari mimpi buruk nya.
“Ini dimakan dulu sayur bayam dengan ayam goreng sambal terasi kesukaan mu. Besok kau sudah tak bisa menikmati masakan ibu lagi.” Ibunya menata sajian masakan ke atas meja kayu jati.
“Iya ibuku sayang, terima kasih buat hidangan spesialnya. Putri bawakan makanan dulu buat ayah, mumpung masih hangat.”
“Gak usah nduk, biar ibu saja. Nanti kau terlambat berangkat ke terminalnya. Lagian kau belum tau mau kost dimana juga kan, jangan sampai kau lontang lantung di kota. Setelah makan coba cari tempat kost dulu, biar kau bisa langsung istirahat setelah sampai.”
Putri hanya diam dengan menelan ludah kasar, lalu ia mengangguk seraya mengambil dua centong nasi beserta sayur dan lauknya. Nampak sang ibu membawa satu piring nasi ke kamar. Tak berselang lama terdengar suara piring pecah, lalu suara ayahnya yang kembali menjerit memanggil nama Ayu. Sang ibu berteriak seraya menangis, meminta ayahnya untuk tenang. Dengan cepat Putri berlari ke kamar ayahnya. Ia melihat ayahnya mendongakkan kepala ke atas, dengan tangan yang menunjuk ke atas pula.
“Maafkan ayah Ayu... Maafkan ayaaah...” Berulang kali hanya kata itu yang terucap.
Putri membulatkan kedua mata terkejut, begitu ia melihat sesosok perempuan melayang di atas ranjang ayahnya. Perempuan dengan sebelah wajah yang pucat, tengah menatap ke bawah dengan separuh rambut yang menutupi wajahnya. Sontak saja Putri menjerit keras dengan menutupi wajahnya menggunakan tangan. Ia berjongkok menghadap tembok, saking takutnya dengan sosok penampakan yang dilihatnya.
Terlihat ibunya semakin bingung melihat reaksi Putri. Ia kebingungan harus menenangkan sang suami atau anak gadisnya. Sampai akhirnya sang ayah berkata, jika Putri tak perlu takut melihat kakaknya. Putri mulai berani membuka kedua tangan yang menutupi wajahnya, perlahan ia mendongakkan kepala ke atas. Dan sosok wanita misterius tadi sudah menghilang. Putri menghembuskan nafas lega, lalu bertanya pada ayahnya.
“Maksud ayah tadi apa? Gak usah takut sama mbak Ayu? Emangnya tadi ayah lihat perempuan itu juga?” Tanya Putri dengan mengaitkan kedua alis mata.
Sang ayah mengangguk seraya menjawabnya. “Di dia adalah mbakyumu nduk... Tolonglah jiwa nya, dia masih belum tenang.”
Deeggh.
Darimana ayahnya tau, jika jiwa Ayu masih belum tenang. Apakah mungkin kematian kakaknya memang disengaja oleh seseorang. Putri semakin membulatkan tekadnya untuk menyelidiki yang sebenarnya. Ia harus tau, apa penyebab kematian sang kakak. Sehingga ia memberanikan diri untuk menyelidiki kembali, apa yang telah terjadi sebelum kakaknya ditemukan tewas menggantung.
“Sudah to nduk, jangan dengarkan ayahmu. Dia sedang sakit, dan pikirannya kemana-mana. Biarlah Ayu beristirahat dengan tenang di alamnya.” Ucap sang ibu dengan berlinang air mata.
“Alam mana yang kau maksud bu? Ayu tak akan bisa istirahat dengan tenang, jika semua ini belum selesai. Ayah memang bersalah, telah membuat kalian terseret dalam masalah ini!” Kata ayahnya dengan suara bergetar.
“Sudahlah yah, bu. Kalian gak usah hawatir lagi. Mulai sekarang Putri yang akan mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.”
Sang ayah menyentuh telapak tangan Putri dengan menggelengkan kepala. Ia berkata jika apa yang akan dilakukannya terlalu beresiko, dan ia membutuhkan bantuan orang lain. Ayahnya meminta Putri untuk mengambil sesuatu di dalam lemari pakaian. Selembar amplop usang yang terletak di dalam kotak kayu jati. Sesuatu yang akan berguna untuknya kelak.
“Ini apa yah?”
“Buka saja, kau akan tau apa isinya.”
Dengan penasaran, Putri membuka selembar amplop usang lalu membacanya. Tertulis nama Aditya di dalamnya, dan ada selembar foto anak kecil. Seketika sang ibu penasaran, dan ikut melihat apa yang dilihat anak gadisnya.
“Foto siapa ini yah?” Tanya Putri dengan mengaitkan kedua alis matanya.
“Dia adalah saudara sepupumu nduk, dulu pakde dan budhemu mengadopsi nya. Karena mereka tak bisa memiliki keturunan. Sekarang dia pasti sudah dewsa, dan wajahnya berbeda dari foto masa kecilnya. Kau akan kesulitan mencarinya, karena yang kami tau dia sekarang bekerja di Polres Jakarta Barat.” Jawab ibunya dengan menghembuskan nafas panjang.
“Lalu apa hubungannya denganku yah, bu?”
Sang ayah yang terbaring lemah di atas ranjang susah payah duduk lalu menyenderkan tubuhnya di tembok.
“Mungkin dia bisa membantu mu nduk, ayah mendapatkan kabar kalau sekarang Adit sudah menjadi polisi. Kau akan sedikit terbantu ketika tinggal di kota. Kalau ada orang yang mengganggu mu seperti mbak mu waktu itu, kau bisa mendatangi Adit dan meminta pertolongannya. Meski dia hanya anak angkat pakdemu, Adit akan tetap membantu mu. Jangan sampai kau berurusan dengan orang yang salah. Dan semoga kau tak bertemu dengan mereka!” Tegas sang ayah matanya berkaca-kaca.
“Mereka siapa yah?” Putri bangkit berdiri menghampiri ayahnya.
“Sudah nduk, tak usah dibahas sekarang. Ayah tak ingin mengingatnya, semoga semua kejadian tak ada hubungannya dengan masa lalu itu.” Jawab ayahnya setengah meringis menahan sakit di tubuhnya.
Ibunya meminta Putri ke dapur, untuk mengambil makanan untuk ayahnya. Ketika Putri berjalan ke arah dapur, ia melewati sebuah ruangan yang pintunya setengah terbuka. Nampak sebuah bayangan dari dalamnya. Karena penasaran Putri masuk ke dalam, dan ia sangat terkejut begitu melihat penampakan Ayu. Wajah yang setengah pucat tadi, rambutnya tersibak karena hembusan angin. Nampak seluruh wajahnya terlihat, kepala yang agak miring dengan lidah menjulur keluar. Membuat Putri berteriak kencang, lalu ia berjongkok karena lemas. Kakinya tak dapat menopang tubuhnya, ia sangat ketakutan sampai menangis pun tak mengeluarkan suara.
“Ada apa to nduk?” Ibunya berlari cepat mendatangi nya, lalu memeluk Putri seraya mengusap air mata yang membasahi wajahnya.
“Tadi ada mbak Ayu bu disini, dia berdiri di depan cermin menampakkan wujudnya pada Putri.” Jelasnya sesegukan.
“Kau sering seperti ini Put, apa karena kau belum ikhlas dengan kematian kakakmu?”
“Tentu saja Putri belum ikhlas bu, apalagi mbak Ayu sering datang melalui mimpi. Bahkan hari ini, gak cuma lewat mimpi tapi mbak Ayu menampakkan wujudnya padaku. Jangan-jangan ada yang gak beres dengan kematiannya bu. Pasti mbak Ayu bukan mati karena bunuh diri, tapi ada sesuatu yang gak kita ketahui.”
Ibunya membantu Putri bangkit berdiri, lalu keduanya duduk di depan jendela. Terlihat raut wajah sang ibu berubah cemas. Namun seakan ia mengetahui sesuatu.
“Waktu itu Ayu pernah bercerita pada ibu, jika ada beberapa teman di kostnya yang suka meledeknya. Karena Ayu datang dari desa dan tak seperti temannya yang lain, Ayu sering dikucilkan dan tak pernah di ajak bicara. Namun ada kesalah pahaman yang sempat terjadi. Katanya pacar temannya ada yang suka curi pandang padanya, lalu temannya tau dan mereka sempat bertengkar. Sampai terjadi keributan di tempat kostnya, malahan ibu kostnya sempat menghubungi ibu. Karena Ayu sempat mengurung diri di kamar, dan tak berangkat kerja selama dua hari. Sejak saat itu kelakuan Ayu berubah, dia jadi pendiam dan murung. Setelah pulang kerja dia sering berada di dalam kamar, dan dia sering keluar tengah malam. Hanya itu yang ibu tau, entah apa yang terjadi antara Ayu dan temannya. Tapi ada yang lebih aneh lagi nduk. Ayahmu itu seakan tau jika terjadi sesuatu pada mbakyu mu. Mungkin sebelum Ayu ditemukan tergantung, ayahmu sudah tau kalau terjadi hal buruk padanya. Ayahmu sempat kejang dan batuk sampai memuntahkan seteguk darah. Dia menjerit menyebut nama Ayu, lalu mengatakan kata maaf berulang kali. Katanya semua salah ayahmu, sampai Ayu harus bernasib malang begitu. Ibu jadi gak mengerti, apa maksud ayahmu. Kenapa dia tau jika hal buruk terjadi pada mbakyu mu, sementara dia sendiri hanya terbaring lemah di tempat tidur. Apakah sebenarnya ayahmu tau sesuatu yo nduk? Tapi dia gak mau cerita ke kita?”
“Putri juga gak tau bu. Mungkin langkah awal yang Putri ambil sudah benar. Putri harus bekerja di kota, mungkin saja sepupuku yang seorang polisi itu bisa membantu. Doa kan Putri ya bu, InsyaAllah Putri akan baik-baik saja.”
Terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah. Putri buru-buru ke depan dan membuka pintu rumahnya. Mawar datang dengan nafas terengah-engah, ia memegangi dadanya dengan berbicara tak jelas karena ia kesulitan mengatur nafasnya.
“Mas Mawar ambil nafas dulu, jangan langsung ngomong kalau capek. Ada apa buru-buru datang kesini?” Tanya Putri dengan menggaruk kepala yang tak gatal.
Sekilas namanya seperti seorang perempuan, namun Putri memanggilnya dengan sebutan mas. Namanya Mawardi, ia lebih suka dipanggil dengan nama Ardi. Namun karena warga desa lebih sering menyebutnya dengan nama depannya, dari kecil sampai dewasa jadi suatu kebiasaan memanggilnya dengan nama Mawar. Kalau kata warga desa, biar terdengar lebih indah jika memanggilnya. Terkadang Putri masih geli jika memanggil namanya, karena nama Mawar tak sesuai dengan kepribadian lelaki berusia dua puluh lima tahun itu. Bentuk tubuhnya yang tinggi besar, dengan otot-otot yang menghiasi lengan kekarnya. Dia bekerja di kebun membantu ibunya, dan mengelola hasil kebun yang akan dijual di kota.
“Gawat Put, ada hama yang merusak kebun cabai. Sehingga kita gagal panen, karena semuanya jadi rusak. Padahal bulan depan ayahmu harus berobat ke rumah sakit, dan biayanya seharusnya di ambil dari hasil panen cabai.” Jelas Mawar dengan mengacak rambutnya kasar.
“Ssstt... Pelan-pelan aja ngomongnya mas. Jangan sampai ayah mendengarnya, nanti ayah gak akan mau dibawa ke rumah sakit. Kau urus saja semua seperti biasanya, pinjam hasil kebun tetangga dulu. Kalau kita udah bisa panen, baru balikin ke mereka. Setelah ini aku akan berangkat ke kota, kalau bulan depan udah gajian aku akan mengganti hasil kebun tetangga yang kita pinjam. Tapi itu juga kalau hama kembali menyerang kebun kita. Kenapa hanya kebun kita saja ya yang selalu diserang hama, padahal kebun tetangga yang di sebelah gak kenapa-napa?” Kata Putri dengan mengaitkan kedua alis mata.
“Mungkin gak sih ada hubungannya dengan hal gaib Put? Atau ayah dan ibumu punya musuh yang gak suka sama mereka?” Celetuk Mawar berbicara agak berbisik.
Terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Putri dan Mawar langsung mengalihkan pembicaraan, mereka tak ingin membuat ayah ataupun ibu Putri hawatir.
“Loh Mawar, udah selesai panen nya?” Ucap ibu Putri dengan menyunggingkan senyuman.
“Belum to bu, ini aku datang sengaja mau mengantarkan Putri ke terminal!” Kata Mawar seraya menyikut lengan Putri, dan ditanggapi Putri dengan anggukkan kepala.
Akhirnya Putri kembali ke dalam kamar ayahnya dan berpamitan. Terlihat ayahnya merogoh sesuatu dari bawah ranjangnya, sesuatu yang tersimpan di dalam kain hitam diberikan untuk Putri. Sang ayah berpesan, jika Putri harus membawa benda yang ada di dalam bungkusan itu kemanapun.
“Dulu ayah lupa memberikan itu pada Ayu, karena ayah kira tak akan terjadi apa-apa padanya. Dan ayah tak mau mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Meski ayah menjadi seperti ini, selamanya nasib buruk itu mungkin tak akan berhenti pada kalian berdua saja.” Ucap ayahnya dengan meneteskan air mata.
"Memangnya ini apa yah? Kenapa Putri harus membawanya kemanapun?"
"Supaya kau terlindungi dari marabahaya nduk. Kalau bisa kau kenakan saja di dalam bandul kalungmu itu, karena ketika ada sesuatu yang tak beres dan mengancam nyawa mu jimat itu bisa berguna untukmu."
"Hah. Jimat yah? Untuk apa ayah meminta Putri memakai barang seperti ini? Percaya dengan jimat itu musrik yah, Putri gak mau memakainya. Yang ada ibadah Putri gak akan diterima Allah nanti." Protes Putri meletakkan bungkusan kain hitam di atas ranjang ayahnya.
Nampak sang ayah tertunduk dengan wajah sendu. Ia berkata jika Putri tak bisa meninggalkan desa tanpa membawa benda tersebut. Karena jika Putri nekat pergi tanpa membawa bungkusan kain hitam tersebut, ayahnya juga tak akan mau menjalani terapi atau pengobatan. Putri tak memiliki pilihan lain, ia tak ingin membuat ayahnya bersedih dan banyak pikiran. Tapi ia juga mengajukan syarat, jika ia hanya akan menyimpan benda tersebut di dalam saku celananya.
"Putri harus janji dulu ke ayah, meski hanya membawanya di dalam saku celana. Kapanpun Putri merasa ada bahaya yang terasa gak masuk di akal, Putri harus menggenggam jimat itu. Supaya gak ada sosok gaib yang bisa mencelakai Putri. Cepat janji pada ayah dulu nduk!" Pinta ayahnya menangis dengan menggenggam tangan Putri.
Sang ibu yang mendengar pesan suaminya, meminta anak gadisnya untuk menyetujui perintah ayahnya. Ia memeluk Putri dengan berderai air mata, lalu memberi kode dengan gestur tubuh. Jika Putri harus melakukan apa yang diminta ayahnya, karena itu keputusan yang terbaik buat mereka.
"Baiklah yah, bu. Putri akan menyimpan di saku celana, kemanapun Putri pergi. Tapi jika Putri harus shalat dan menghadap Yang Maha Kuasa, Putri gak bisa membawanya. Putri harap ayah dan ibu paham dan gak memaksakan kehendak lagi."
"Tapi nduk..." Ucap ayahnya tak melanjutkan kata-katanya, karena sang istri menghentikan nya lalu memintanya untuk menganggukkan kepala, setuju dengan syarat yang diberikan anaknya.
"Gak apa-apa to yah... Shalat kan gak membutuhkan waktu lama. Mana ada makhluk gaib yang akan menggangu manusia ketika menghadap ke PenciptaNya. Meski setan mengganggu manusia ketika shalat, mereka hanya bisa mengganggu tanpa bisa mencelakai. Percayalah, Gusti Allah gak akan mungkin membiarkan Putri celaka dalam keadaan beribadah. Setelah shalat selesai, Putri pasti tak akan lupa mengantongi jimat itu lagi. Ya to nduk?" Tanya sang ibu, hanya dibalas dengan anggukan kepala.
"Ya udah ayah istirahat di kamar aja, Putri mau langsung berangkat di antar mas Mawar. Ayah janji ya, harus mau terapi dan melakukan pengobatan. Putri harus melakukan tanggung jawab sebagai anak ayah dan ibu, Putri akan mengembalikan nama baik mbak Ayu juga. Doa kan Putri ya yah, bu." Ucapnya seraya mengecup punggung tangan ayah dan ibunya.
Ketiganya saling memeluk dengan berlinang air mata. Kepergian Putri ke kota tak hanya untuk mencari penghasilan, tapi ia juga akan mengungkap sebuah misteri besar yang tersembunyi.
"Yok mas kita jalan!" Seru Putri seraya menenteng dua tas besar, dan satu ransel di pundaknya.
"Oalah Put... Mau minggat apa gimana to! Lha kok banyak banget bawaannya! Emang mau selamanya tinggal di kota, gak keberatan apa bawanya?" Mawardi terheran-heran, melihat tas besar yang dijinjing Putri susah payah.
"Udah tau berat ngapain nanya to mas? Lha mbok ini dibawain tas nya! Putri mungkin menetap lama di kota, selain kerja ada hal lain yang harus di urus. Makanya sekalian bawa barang yang diperlukan dari rumah. Biar nanti pas di kota gak usah repot beli lagi. Selain buang waktu juga buang duit kan mas. Udah yok jalan jangan ngobrol terus, bisa kehabisan tiket bis nanti!" Kata Putri dengan menghembuskan nafas panjang.
"Bentar... Pamit sama ayah dan ibumu dulu!"
"Udah gak usah. Udah dipamitin sekalian tadi. Oh iya ibu pesan, disuruh sekalian beli pupuk, dan obat buat membasmi hama di kebun. Ini uang nya, kembaliannya buat ganti bensin motornya mas Mawar."
"Gak usah diganti bensinnya! Aku ini ikhlas nganter ke terminal. Kau ini kan adik semata wayang sahabat baik ku, jadi kau juga sudah seperti adik ku sendiri."
Mendengar perkataan Mawardi, nampak hati Putri terharu. Ia kembali teringat kenangan nya bersama sang kakak. Dulu Ayu memang sangat dekat dengan Mawardi. Bahkan persahabatan keduanya sering disalah pahamkan menjadi suatu hubungan yang spesial.
Perjalanan dari desa ke terminal memakan waktu hampir satu jam lebih. Apalagi beberapa kali motor tua yang menjadi tunggangan Mawardi ngadat. Putri turun dari sepeda motor, lalu memandang ke segala arah. Ia mencari bis dengan jurusan Jakarta. Beruntung nya, ada bis ke Jakarta yang lumayan penuh melintas tepat di depan nya. Reflek Mawardi melompat dari motor untuk menghadang bis tersebut.
"Lek mandek Lek!" Teriak Mawardi, meminta sopir menghentikan laju bis nya.
"Loh mas! Gak bahaya ta langsung berdiri di depan bis?" Kata Putri terkejut dengan membulatkan kedua matanya.
"Wes gak apa-apa, lha wong setan gak doyan demit gak ndulit. Mas Mawar mu ini gak akan kenapa-napa. Sudah sana naik ke atas bis, biar aku yang memasukan barang-barangmu ke bagasi!" Seru Mawardi memasukan semua tas Putri ke dalam bagasi, dibantu dengan kernet bis.
Putri duduk di samping jendela. Ia melambaikan tangan perpisahan pada Mawardi.
"Suwun yo mas, titip ayah sama ibu. Kalau ada apa-apa kabarin aku ya!" Seru Putri dari dalam bis, dan dibalas dengan anggukan kepala Mawardi.
Perlahan bis meninggalkan terminal. Putri menyenderkan kepalanya, lalu mengeluarkan bungkusan kain hitam pemberian ayahnya.
"Jimat ini isinya apa ya? Aku jadi penasaran dan ingin membukanya." Batin Putri di dalam hatinya.
Tiba-tiba ada penumpang lain yang duduk di sampingnya. Putri langsung memasukan benda itu ke dalam saku celananya.
"Mau ke kota juga ya?" Tanya seorang perempuan muda menyapa nya.
"Eh iya mbak. Saya diterima kerja di Jakarta. Mbak juga mau ke kota?" Jawab Putri dengan pertanyaan.
"Iya... Ada yang harus saya urus disana. Senangnya jika ada teman mengobrol selama di perjalanan."
"Oh iya, perkenalkan namaku Putri. Mbak kerja apa kuliah di Jakarta?"
Belum sampai Putri mendapat jawaban. Kernet bis datang menagih ongkos perjalanan.
"Mau turun dimana mbak?" Tanya kernet bis seraya menghitung kembalian.
"Kalau mau ke Universitas Merdeka, lebih dekat turun dimana?" Ucap si perempuan dengan menundukkan kepalanya.
"Turun di terminal Kampung Rambutan saja mbak. Dari sana bisa langsung oper naik angkot atau gak ojek online. Gak lama kok, kalau gak macet!"
Putri menyunggingkan senyumnya, ketika perempuan yang ada di sampingnya melempar senyuman padanya.
"Oh mbak ini kuliah di Kampus Merdeka? Tadinya aku juga pengen kuliah disana, tapi terpaksa di undur beberapa tahun lagi. Mau kerja dulu, sekalian ada masalah yang harus diselesaikan lebih dulu." Jelas Putri dengan raut wajah sendu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!